LOGINEva Brown menjalani kehidupannya tanpa merasakan cinta dari keluarganya. Semenjak kematian ibunya, rumah adalah penjara yang diisi oleh penderitaan serta tertawa sinis dari ibu dan kakak tirinya. Puncaknya terjadi di suatu malam yang dingin, Eva diusir dari keluarganya, terdampar tanpa siapapun dan hanya membawa luka hati. Saat ia berpikir kegelapan sudah mutlak, muncullah seorang pria misterius yang bernama William Vanderbilt. Pria asing itu melihat kehancurannya dan menawarkan solusi gila: Pernikahan. Eva Brown langsung menerimanya tanpa berpikir panjang. Ia hanya bisa menjadikan William sebagai satu-satunya tempat berlindung. Namun, takdir kembali mempermainkannya. Pria asing yang ia anggap sebagai suaminya sendiri, kini berdiri di depan kelasnya sebagai seorang dosen mata kuliahnya. Bagaimana Eva menjalani peran ganda sebagai mahasiswi dan nyonya Vanderbilt, sementara setiap tatapan William perlahan menyentuh dan menyembuhkan luka yang ia bawa sejak lama? Dan mungkinkah kesepakatan tanpa cinta ini akan berakhir menjadi pelabuhan terakhir yang sesungguhnya?
View More“Dasar anak durhaka! Berani-beraninya kamu mencuri barang kakakmu!”
“Bu-bukan aku yang mencurinya- AHH!”
Mason mengayunkan tangannya, cambuk tersebut mengenai tangan Eva hingga meninggalkan garis panjang merah yang pedih. Eva jatuh tersungkur.
“Padahal kami sudah bersusah payah membesarkanmu. Seperti inikah caramu membalas budi??”
Tubuh Eva gemetaran disertai rasa perih yang menusuk. Air mata Eva mengalir dengan deras di wajahnya.
“Bukan aku...”
“Masih nggak mau ngaku ya??”
Mason mengangkat tangannya, Eva buru-buru merangkak ke arah Mason dan memegang kakinya.
“Ayah, aku mohon percayalah padaku. Bukan aku yang mencuri barang kakak.”
Mason mendorong tubuh Eva menggunakan kakinya, “kalau bukan kamu lalu siapa lagi?? Di rumah kita, cuma kamu yang berani melakukannya.”
Eva terdorong, tangannya yang penuh dengan luka menopang tubuhnya yang hampir jatuh ke lantai. Dengan perlahan ia mendongakkan kepalanya.
“Sudahlah, Eva. Lebih baik kamu mengaku saja, ayah pasti mau kok memaafkanmu.”
Eva menoleh ke arah Chloe.
“Chloe, kamu nggak perlu mengasihani dia. Sudah sepantasnya dia mendapatkan hukuman seperti ini. Berani berbuat berarti berani menerima konsekuensi.” Ucap Amelia sambil memegang kedua tangan Chloe.
“Tapi bu.. tubuhnya sudah penuh dengan luka seperti itu, aku nggak tega melihatnya.”
Amelia mengusap kepala Chloe dengan lembut, “kamu memang anak yang pengertian,” tatapan tajam Amelia beralih ke Eva, “nggak seperti adikmu ini yang nggak mau mengakui kesalahannya.”
Eva sedikit tertunduk, lalu mengusap air matanya. Dengan sisa tenaganya, Eva berusaha untuk bangkit berdiri.
“Ibu... aku sama sekali nggak mengambil apapun dari kakak. Kalau ibu nggak percaya, ibu bisa tanyakan kepada pelayan yang disini.”
Eva menunjuk ke arah pelayan, tetapi mereka semua menundukkan kepala dan tidak berkata apapun. Eva yang melihat itu, seketika dunianya menjadi hancur.
Mereka yang biasanya menjadi sandaran bagi Eva, ternyata kini berbalik mengkhianatinya. Tidak ada satupun dari mereka yang mau membantunya. Eva menarik kembali tangannya dengan perlahan.
“Hmph, lihatlah. Bahkan mereka semua hanya diam saja, itu berarti kamu memang bersalah. Anak durhaka sepertimu memang harus diberi pelajaran!”
Mason mengayunkan cambuknya dengan kuat dan mengenai kaki Eva. Ia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh tersungkur. Darah segar mengalir dari kakinya, kulitnya terasa sangat perih seperti disayat.
“Mulai hari ini, kamu bukan lagi bagian dari keluarga Brown. PENGAWAL!”
Beberapa pengawal yang mengunakan setelan jas berwarna hitam datang menghampiri Mason.
“Usir anak durhaka ini dari rumah. Bawa dia ke tempat yang jauh supaya nggak bisa kembali lagi.”
Mereka semua mengangguk, lalu segera memegang lengan Eva dan mengangkatnya. Dahi Eva berkerut, ia sedang menahan sakit di sekujur tubuhnya. Saat Eva sedang diseret keluar, ia menoleh ke belakang dan melihat wajah tersenyum Chloe.
'Ternyata... sejak awal aku memang nggak pernah dianggap keluarga.' Pikir Eva.
Eva dimasukkan ke dalam mobil dan meninggalkan kediaman keluarga Brown. Setengah jam kemudian, mobil tersebut berhenti di tengah jalan jembatan. Eva ditarik keluar dengan kencang hingga terjatuh.
“Bapak, ku mohon jangan tinggalkan aku disini...”
Eva memegang kaki pengawal tersebut sambil menangis. Pengawal tersebut merasa sedikit iba, tetapi ia segera memalingkan wajahnya.
“Maaf nak, ini adalah perintah.”
Eva terus menggoyangkan kaki pengawal tersebut, ia menghela nafas dan segera menarik kakinya.
“Nak, semua ini bisa terjadi karena kesalahanmu sendiri. Kalau saja kamu meminta maaf dari awal, mungkin kamu masih memiliki tempat tinggal.”
“Ta-tapi... aku memang nggak bersalah. Kenapa kalian semua nggak ada yang memercayaiku?”
Pengawal tersebut menggelengkan kepalanya, lalu ia berjalan kearah mobil dan meninggalkannya begitu saja.
“Tunggu!”
Eva merentangkan tangannya, tetapi mobil itu sudah pergi menjauh. Eva hanya memandangi mobil tersebut hingga tak terlihat lagi. Kemudian, ia menundukkan kepalanya sambil menangis.
Eva berusaha untuk bangkit berdiri, kemudian ia menoleh ke samping. Lampu bangunan kota yang menyala memberikan nuansa yang indah, ia belum pernah melihat pemandangan yang seperti ini.
“Ibu... aku sangat merindukanmu. Aku ingin segera bertemu denganmu.”
Dengan langkah yang tertatih-tatih, Eva terus berjalan tanpa tujuan. Rintik-rintik hujan mulai turun, ia mendongakkan kepalanya dan melihat kearah langit malam yang gelap. Tidak lama kemudian, hujan semakin deras dan mengenai luka bekas cambukan.
“Hisss!”
Eva refleks memegang lengannya, rasa perihnya sangat menusuk hingga ke tulang. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri tetapi tidak ada tempat untuk berteduh. Saat sedang berjalan, ia tidak sengaja menyenggol orang lain. Karena tubuhnya yang lemas ia terjatuh ke samping.
“Hati-hati dong kalau jalan! Gunakan matamu bukan dengkulmu.” Bentaknya.
“Maaf...”
Orang itu pergi dengan menggerutu, “dasar anak zaman sekarang.. sering banget melamun.”
Eva ingin bangkit berdiri, tetapi tubuhnya semakin melemah. Sejak dari pagi, Eva belum memakan apapun. Lalu ia melihat ada seseorang yang membuang roti sisa. Dengan sekuat tenaga, ia merangkak ke arah roti itu dan memakannya dengan lahap.
Beberapa saat kemudian, Eva melihat sebuah mini market di Seberang. Eva merasa sangat haus dan ingin membeli sesuatu. Tanpa berpikir lama, ia langsung menyebrang jalan. Kemudian cahaya lampu mobil menyilaukan matanya, sebuah mobil melesat cukup cepat ke arahnya, lalu semua pandangan berubah menjadi gelap.
‘Apa yang terjadi? Apakah aku sudah mati?’
Eva tidak bisa merasakan apapun, tetapi ia bisa mendengar suara seseorang samar-samar. Suara tersebut terdengar sangat panik.
“Bagaimana ini, tuan?? Lukanya sangat parah!”
“Kita harus segera membawanya ke rumah sakit, cepat masuk ke mobil!”
‘Jadi seperti ini ya akhir dari hidupku?’
Setelah suasana hati Eva membaik, Eva beristirahat sejenak dan memainkan game MoLa. Kemudian, ia lanjut belajar hingga larut malam.Keesokan harinya, Eva pergi ke kampus tetapi kali ini ia sama sekali tidak membawa tas atau buku satu pun, hanya ada satu pulpen saja. Clara menghampiri Eva dan mendorong kursi rodanya."Eva, kok kamu hari ini nggak bawa tas?"Eva menoleh. "Iya, soalnya nanti aku bakalan kerjain ujiannya di ruang dosen.""Hah?? Di ruang dosen? Kamu dihukum?"Eva menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, ini salah satu cara untuk membersihkan namaku juga."Clara menghela nafas lega. "Syukurlah, kalau begitu. Tapi tetap saja ... sekali pun kamu bisa membersihkan namamu, nggak menutup kemungkinan kamu bakalan digosipin mereka."Eva diam sejenak, pandangannya lurus ke depan. "Biar sajalah, toh itu juga urusan mereka. Karena kejadian kemarin sudah terjadi, aku nggak bisa mengontrol perilaku mereka."Clara menoleh ke ar
Entah sudah berapa lama Eva menangis di pelukan William. Tetapi, tangisan Eva perlahan-lahan mulai mereda."William ...""Hm?"Eva berbicara dengan suara yang serak. "Bagaimana cara untuk mengatasi traumaku ini? Apa aku harus meminta bantuan profesional?"William berpikir sejenak. "Itu semua tergantung kamu, kalau kamu mau berusaha mengatasinya sendiri juga bisa. Tapi, kalau kamu merasa kesulitan, aku bisa kok bantu kamu cariin Psikolog atau Psikiater profesional. Meski pun trauma yang kamu alami ini juga bisa hilang sendiri, tapi semuanya balik lagi ke kamu."Eva menempelkan dagunya ke bahu William. "Kalau bisa sih, aku juga pengen atasi sendiri ... konseling itu rasanya nggak enak banget ... soalnya kita mau nggak mau harus ceritain masa lalu yang kelam, dan itu sangat menyakitkan."William tersenyum tipis dan menepuk punggung Eva dengan lembut. "Memang nggak enak, itulah kenapa kalau kamu mau meminta bantuan profesional, kamu harus sudah
Sesampainya dirumah, pelayan rumah menghampiri mereka dan membawakan tas Eva. Eva ingin masuk ke kamarnya, tetapi kursi rodanya di dorong lebih dulu oleh William ke ruang tamu."Wi-William? Kamu mau apa?"William tidak menjawab. Saat sudah sampai di ruang tamu, William menggendong Eva dan menaikkannya ke sofa."Tunggu di sini."Eva mengedipkan matanya dan melihat punggung William yang semakin menjauh. Eva sedikit memiringkan kepalanya. "Sebenarnya dia mau apa sih? Kenapa dia menyuruhku duduk di sini?"Beberapa saat kemudian, William kembali sambil membawa kotak P3K di tangannya. Kotak P3K itu di taruh di atas meja lalu ia jongkok di depan Eva. William membuka kotak itu lalu mengambil obat salep, ia menarik tangan Eva dan mengoleskan obat tersebut di bagian yang membiru.Bahu Eva sedikit terangkat. "Sshhh ..."William melirik sekilas ke arah Eva. "Sekarang baru terasa sakit? Terus waktu kamu melukai tanganmu, kamu sama sekali nggak ngerasa sakit gitu?"Mata Eva melebar. "Ka-kamu tahu?"
Eva hanya diam saja, saat ini dia tidak ingin membahas apa pun. Eva meletakkan alat makannya di piring."Maaf, aku mau ke toilet sebentar. Kamu habisin saja makananmu."Eva menggerakan kursi rodanya dan pergi seorang diri."Eva ..." arah pandang Clara mengikuti pergerakan Eva yang semakin menjauh.Clara menggelengkan kepalanya. "Apa yang terjadi pada Eva? Biasanya dia masih bisa tersenyum walau pun ada masalah ... apa masalah kali ini sudah mengenai mentalnya?"Clara menlanjutkan makannya, tetapi hatinya merasa tidak enak. Ia ingin sekali membantu sahabatnya untuk menyelesaikan masalahnya. tapi apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa biasa sepertinya?Sesampainya di toilet, Eva menghampiri wastafel dan mencuci tangan serta wajahnya. Sorot matanya terlihat kosong, raut wajahnya juga tampak lesu. Ia menghela nafas dengan panjang."Kenapa tiba-tiba aku jadi seperti ini sih?"Eva mengepalkan tangannya. "Padahal aku sudah
Seseorang yang berdiri di belakang mereka, ia seorang pria yang mengenakan kemeja batik dan berkacamata. Terlihat sebuah senyuman tipis dari wajahnya."Pa-pak Michael?"Michael menghampiri William dan mengulurkan tangannya. "Nama saya Michael, saya belum lama ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Psikologi."William bersalaman dengannya, lalu ia mengangguk. "Hm. William.""Saya sudah tahu kok mengenai bapak, karena saya sering mendengar reputasi bapak dari rekan-rekan kerja yang lain. Suatu kehormatan bagi saya bisa berkenalan secara resmi dengan bapak di sini."Dosen di sebelah William tersenyum lebar. "Wah ... bahkan pak William juga terkenal di Fakultas lain ya? Seperti seorang artis saja."Michael tertawa. "Haha, tentu saja. Lagipula, kita semua di sini satu ruangan. Jadi, bukan hal yang mengejutkan kalau semua dosen dari Fakultas lain juga mengenal pak William."William tak ingin berbasa-basi lagi, ia langsung menyerahkan lembaran soal dan juga jawaban kepada Michael. "Ini, so
Ibu Ruth langsung merasa gugup, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang dan tersenyum. "Kalau dibandingkan dengan yang ada di buku, itu memang benar ada kesalahan penunjuk yang bisa berakibat fatal. Tapi itu masih belum bisa membuktikan kalau dia memang tidak menyontek."Ia melirik sekilas ke arah Eva. "Kesalahan kecil ini bisa terjadi karena 2 hal, yang pertama, dia buat contekan ini saat di malam hari, dimana mata mulai mengantuk dan konsentrasinya sudah mulai menghilang. Yang kedua, dia buat contekan ini sebelum ujian di mulai, jadi dia terburu-buru untuk menggambar dan akhirnya salah penempatan penunjuk."William mengamati ibu Ruth dengan seksama, tatapannya cukup tajam. 'Ketenangan, cara berkomunikasi, pengendalian emosi ... hmph, pantas saja Eva merasa nggak nyaman kalau berbicara dengannya, bahkan bisa membuat traumanya kambuh kembali.'William tersenyum tipis. "Sepertinya ibu sudah memikirkan banyak hal ya ... saya cukup kagum dengan kemampuan men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments