Mukhayyam Hafiz bangun pagi-pagi sekali, seperti biasa, dengan cahaya mentari yang mulai menyinari langit di atas Desa Cindua. Tadi malam, ia tidur dengan pikiran yang dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan perasaan yang campur aduk. Keputusan untuk pergi, untuk mencari ilmu dan kekuatan, terasa semakin dekat. Namun, di balik keputusan itu ada banyak hal yang harus ia hadapi, banyak hal yang harus ia pahami tentang dirinya dan dunia yang ada di luar Desa Cindua.
Di dapur, ibunya sudah menyiapkan sarapan seperti biasanya—nasi hangat, ikan goreng, dan sayur daun singkong. Ibu Syarifah selalu memiliki cara untuk memberikan kenyamanan dengan masakan sederhana yang penuh cinta. Mukhayyam memandang ibunya dengan penuh rasa terima kasih. Setiap gerakan ibunya di dapur terasa seperti bagian dari rutinitas yang tak pernah lepas dari kehidupannya. Sebuah rasa aman yang tidak bisa ia temukan di tempat lain.
"Sudah siap untuk berangkat, Nak?" tanya Syarifah dengan lembut, sambil menyajikan secangkir teh panas untuk anaknya.
Mukhayyam hanya tersenyum tipis. Ia menundukkan kepala, meresapi kata-kata ibunya. "Aku tidak tahu apakah aku siap, Bu. Tapi aku tidak bisa tinggal di sini selamanya. Aku harus mencari jawaban dari pertanyaanku sendiri."
Ibunya menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian duduk di sampingnya. "Kau tahu, Nak, dunia luar itu sangat luas. Dan kadang-kadang, kita merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Tetapi satu hal yang perlu kau ingat, tak peduli seberapa jauh perjalananmu, rumah ini akan selalu menantimu."
Mukhayyam mengangguk pelan, mencoba memahami kata-kata ibunya yang penuh dengan kebijaksanaan. Tiba-tiba, pikirannya melayang ke percakapan yang baru saja ia lakukan dengan Pak Darman di bawah pohon beringin. "Pak Darman bilang, perjalanan itu bukan hanya tentang mencari sesuatu di luar, tetapi juga tentang menemukan sesuatu di dalam diri kita sendiri. Aku ingin mencari kekuatan, Bu. Tapi aku takut aku akan tersesat."
Ibunya tersenyum, meskipun ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan di matanya. "Kekuatan, Nak, bukanlah tentang mengalahkan musuh di luar diri kita. Kekuatan sejati datang dari kemampuan untuk menghadapi diri sendiri. Dunia ini memang penuh dengan cobaan dan godaan, tetapi jika kau tahu siapa dirimu dan apa yang kau perjuangkan, tak ada yang bisa menghalangimu."
Mukhayyam terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Ayahnya, Rasyid, yang tadi duduk di sudut ruangan dengan buku-buku yang selalu ia bawa, mengangkat kepala dan memberikan senyuman hangat.
"Jangan lupakan satu hal, Nak," kata Rasyid, sambil menutup buku yang tengah ia baca. "Ilmu itu bukan hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi juga untuk memahami dunia yang lebih besar. Kau mungkin tidak tahu persis apa yang akan kau temui di luar sana, tetapi percayalah bahwa setiap pengalaman akan memberikan pelajaran berharga. Jangan hanya mencari kekuatan untuk dirimu sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang membutuhkan pertolonganmu."
Mukhayyam merasa ada kehangatan dalam kata-kata ayahnya. Kata-kata yang mengingatkannya bahwa kekuatan yang ia cari bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk menjadi agen perubahan di dunia yang penuh dengan ketidakadilan.
Setelah sarapan, Mukhayyam berkemas. Ia mengambil tas yang telah disiapkan sejak semalam, memeriksa perlengkapan sederhana yang dibawanya: pakaian, buku-buku kecil untuk mencatat hal-hal penting, serta peralatan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di perjalanan. Ia melihat ayah dan ibunya dengan mata yang penuh rasa hormat dan kasih sayang, lalu melangkah keluar rumah.
Di luar, matahari semakin tinggi, sinarnya memantul dari atap rumah-rumah penduduk, memberi warna keemasan pada suasana desa yang damai. Desa Cindua tidak berubah. Segala sesuatunya masih sama seperti yang ia kenal. Jalanan berdebu, ladang-ladang yang hijau, dan rumah-rumah dengan atap jerami. Kehidupan berjalan lambat, penuh dengan ketenangan yang jarang ditemukan di luar sana.
Namun, Mukhayyam tahu bahwa ketenangan ini adalah sesuatu yang harus ia tinggalkan. Dunia yang lebih besar menunggunya, dan meskipun hati ini berat, ia harus pergi. Langkah pertama untuk menjadi pemimpin sejati adalah memulai perjalanan ini—perjalanan mencari kekuatan, mencari ilmu, dan mencari tujuan yang lebih tinggi.
Sesaat setelah melangkah keluar rumah, Mukhayyam melihat Haris, sahabat lamanya, sedang berjalan di jalan yang sama. Haris adalah teman dekatnya sejak kecil, seorang pemuda yang selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang dunia luar. Haris sering kali bertanya tentang hal-hal yang tidak pernah ia temui di Desa Cindua, seperti dunia luar, perang, dan perubahan yang lebih besar.
"Hai, Mukhayyam," seru Haris, menyapa dengan penuh semangat. "Ke mana kau akan pergi pagi ini? Aku melihatmu sedang berkemas, sepertinya kau punya tujuan penting."
Mukhayyam berhenti sejenak, menatap sahabatnya dengan senyuman yang penuh makna. "Aku akan pergi, Haris. Aku harus mencari ilmu dan kekuatan. Dunia luar menantiku, dan aku tak bisa tinggal di sini selamanya."
Haris mengangkat alisnya, wajahnya menunjukkan rasa terkejut. "Kau serius? Kau akan meninggalkan desa ini? Tapi... apa yang kau cari di luar sana? Bukankah hidup kita sudah cukup baik di sini? Ayahmu, ibumu, semuanya ada di sini."
Mukhayyam menghela napas, berusaha menjelaskan perasaannya. "Aku tidak tahu apa yang akan aku temui di luar sana, Haris. Tetapi aku tahu bahwa aku harus pergi. Ada sesuatu dalam diriku yang ingin aku pahami. Aku ingin mencari kekuatan, tetapi bukan kekuatan untuk diriku sendiri. Aku ingin menemukan cara untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Kau tahu betul bahwa ada banyak ketidakadilan di luar sana. Aku harus menjadi seseorang yang bisa mengubahnya."
Haris terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Mukhayyam. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. "Aku mengerti. Tapi, Mukhayyam, jangan lupakan desa ini. Jangan lupakan kami. Kau mungkin mencari dunia yang lebih besar, tetapi rumah ini akan selalu menantimu. Kami akan selalu ada di sini, menunggumu kembali."
Mukhayyam menatap sahabatnya dengan rasa terima kasih yang mendalam. "Terima kasih, Haris. Aku tidak akan melupakanmu, atau desa ini. Ini adalah langkah pertama yang harus kuambil. Jika aku berhasil, aku akan kembali dan memperjuangkan apa yang benar."
Setelah berbicara sebentar, Mukhayyam melanjutkan langkahnya. Langkah demi langkah, ia menuju batas desa, menuju dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Meskipun hatinya penuh dengan rasa ragu dan takut, ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus ia ambil.
Di kejauhan, Mukhayyam melihat sosok ayahnya, Rasyid, berdiri di depan rumah mereka. Ia melambai, memberikan isyarat untuk datang. Mukhayyam mendekat dengan langkah pasti, dan ayahnya memanggilnya dengan suara yang penuh kebanggaan.
"Anakku, aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah," kata Rasyid dengan suara penuh kasih. "Tetapi ingatlah satu hal—jalan ini akan menguji kekuatan dan keteguhan hatimu. Jangan pernah takut untuk berbuat baik, bahkan jika itu berarti kau harus menghadapi rintangan yang besar."
Mukhayyam menatap ayahnya dengan penuh rasa hormat, lalu berkata dengan tekad yang lebih kuat, "Aku akan membawa nama baik keluarga ini, Ayah. Aku akan mencari jalan untuk membawa keadilan bagi dunia ini."
Dengan kata-kata terakhir itu, Mukhayyam melangkah pergi, menuju masa depannya yang penuh tantangan dan harapan. Dunia luar yang luas dan penuh misteri menunggunya, dan ia tahu bahwa ini baru saja permulaan dari perjalanan panjang yang akan membentuk dirinya menjadi pemimpin yang sejati.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Mukhayyam Hafiz melangkah dengan mantap, meninggalkan Desa Cindua yang aman dan penuh kenangan. Langkahnya terasa berat, namun tekad di dalam hatinya lebih kuat dari apapun. Langit biru di atas kepalanya menggantung tenang, seperti sebuah kanvas kosong yang menunggu untuk diwarnai oleh petualangannya. Meskipun perjalanan ini baru saja dimulai, Mukhayyam merasakan beban yang tak terlihat—beban harapan dan impian yang digantungkan pada pundaknya oleh kedua orang tuanya, oleh sahabat-sahabatnya, dan oleh dirinya sendiri.
Di jalan setapak yang berdebu itu, ia berjalan tanpa suara, hanya terdengar langkah kaki yang menggema di udara pagi yang tenang. Pikirannya melayang, memikirkan kembali semua yang telah terjadi dan mengapa ia memilih jalan ini. Dunia luar yang selama ini hanya ia dengar melalui cerita-cerita orang tua dan penduduk desa kini terasa begitu nyata. Setiap perasaan ragu yang datang muncul di hatinya selalu dihadang oleh keyakinan bahwa ia harus menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan yang damai di Desa Cindua.
Mukhayyam melanjutkan perjalanan menuju hutan yang lebat, sebuah rintangan pertama yang harus ia hadapi sebelum keluar dari batas desa. Hutan ini dikenal oleh penduduk sebagai tempat yang penuh misteri. Konon, di dalam hutan itu ada makhluk-makhluk yang tidak terlihat oleh manusia biasa, serta pohon-pohon yang bisa bergerak. Hanya sedikit yang berani melintasi hutan ini, dan Mukhayyam tahu bahwa ia tidak akan menghindarinya. Ini adalah bagian dari perjalanan—untuk berani menghadapi hal-hal yang tidak diketahui.
Setelah beberapa waktu berjalan, Mukhayyam mulai merasakan keheningan yang mendalam. Suasana hutan semakin mencekam. Daun-daun bergoyang pelan diterpa angin, namun tak ada suara burung atau binatang lainnya. Semuanya sunyi. Hati Mukhayyam berdebar kencang, namun ia terus melangkah maju. Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu yang aneh.
Di depan, di antara pepohonan yang rimbun, ia melihat sosok seorang pria tua yang tampaknya sedang duduk bersila di atas batu besar. Pria itu mengenakan jubah hitam yang panjang, dan rambut serta janggutnya yang putih panjang mencuat ke segala arah. Mukhayyam berdiri tertegun, merasa aneh melihat kehadiran orang di tempat yang sunyi ini.
Pria itu membuka matanya perlahan dan menatap Mukhayyam dengan pandangan tajam, namun penuh ketenangan. "Apa yang kamu cari, anak muda?" suara pria itu terdengar dalam dan berat, menggetarkan udara di sekitar mereka.
Mukhayyam merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Semua kata-kata yang ingin ia ucapkan mendadak menghilang. Namun, tekadnya untuk melanjutkan perjalanan menguatkan hatinya. "Aku sedang mencari ilmu," jawab Mukhayyam dengan suara yang sedikit gemetar, namun penuh keyakinan. "Aku ingin menemukan kekuatan yang sejati. Aku ingin tahu bagaimana cara menjadi pemimpin yang bisa membawa keadilan bagi dunia ini."
Pria itu tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan. "Ilmu dan kekuatan bukanlah sesuatu yang bisa kamu temui dengan mudah. Mereka datang kepada mereka yang siap. Tetapi sebelum kau mencari, kau harus siap melepaskan apa yang kau anggap sebagai kekuatan."
Mukhayyam bingung dengan kata-kata pria itu, namun rasa ingin tahunya mendorongnya untuk bertanya lebih lanjut. "Apa maksudmu dengan itu? Apa yang harus aku lepaskan?"
Pria itu berdiri perlahan, tubuhnya masih tampak tegap meskipun usia yang sudah sangat lanjut. Dengan satu gerakan, ia mengarahkan tangannya ke pohon yang ada di sebelahnya, dan dalam sekejap, pohon itu mulai bergoyang dan bercabang-cabang ke arah yang berbeda, seolah-olah hidup. "Lihatlah pohon ini. Sebelum ia bisa tumbuh tinggi, ia harus melepaskan benihnya. Tanpa melepaskan, ia tidak akan pernah dapat tumbuh. Seperti itulah kehidupan. Kau harus melepaskan sesuatu dalam dirimu untuk mendapatkan kekuatan yang lebih besar."
Mukhayyam merenung, mencoba mencerna kata-kata pria tua itu. Ia mengingat kembali ajaran ayahnya, Rasyid, yang sering kali mengatakan bahwa untuk menjadi pemimpin yang baik, ia harus memiliki kebijaksanaan yang datang dari pengalaman dan pemahaman diri. Namun, kata-kata pria itu terasa berbeda, seperti sebuah pencerahan yang datang begitu saja.
"Bagaimana cara aku melepaskan itu?" tanya Mukhayyam.
Pria itu mendekat dan menepuk bahu Mukhayyam dengan lembut. "Bukan aku yang bisa memberitahumu caranya, anak muda. Itu adalah perjalananmu sendiri. Kau harus menghadapinya sendiri. Tapi ingatlah satu hal—jika kau ingin menjadi pemimpin sejati, kekuatanmu harus berasal dari dalam dirimu. Bukan dari luar."
Dengan kata-kata itu, pria tua itu berbalik dan berjalan ke dalam hutan, meninggalkan Mukhayyam yang masih terdiam, merenung tentang apa yang baru saja ia dengar. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, tetapi kata-kata pria itu terus terngiang di benaknya. Kekuatan sejati berasal dari dalam diri sendiri—itu adalah pesan yang dalam, yang seolah memberi arahan untuk perjalanan yang baru saja dimulai.
Saat melanjutkan perjalanan melalui hutan yang semakin lebat, Mukhayyam merasa seperti ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu untuk ditemukan. Perjalanan ini bukan hanya untuk mencari ilmu dan kekuatan fisik, tetapi untuk menggali sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang akan membentuk dirinya menjadi pemimpin yang ia cita-citakan. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Banyak hal yang harus ia pelajari, banyak rintangan yang harus ia hadapi, dan mungkin banyak pertempuran yang akan menguji dirinya, baik secara fisik maupun mental.
Akhirnya, setelah beberapa jam berjalan, Mukhayyam keluar dari hutan dan memasuki padang rumput yang terbuka. Di kejauhan, ia melihat pegunungan yang menjulang tinggi. Itulah tujuan akhirnya—sebuah tempat di mana ia berharap dapat menemukan guru yang dapat membimbingnya lebih jauh dalam pencariannya. Namun, meskipun jarak menuju pegunungan itu masih jauh, hati Mukhayyam sudah terasa ringan. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti semakin dekat dengan tujuannya, dan rasa percaya diri yang baru tumbuh di dalam dirinya semakin kuat.
Mukhayyam terus berjalan, bertekad untuk menemukan kekuatan sejati yang akan membantunya mengubah dunia. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua orang yang berharap pada pemimpin yang adil dan bijaksana—seperti yang ia inginkan. Dunia ini membutuhkan perubahan, dan ia akan menjadi bagian dari perubahan itu.
Dengan tekad yang semakin menguat, Mukhayyam melangkah maju, siap menghadapi segala tantangan yang ada di depannya.