***
“Jangan beritahu siapa pun tentang keadaanku,” pinta Raja kepada Cantaka, keduanya berada di ruangan kamar Raja, Cantaka ditugaskan untuk memeriksa kesehatan Raja untuk terakhir kalinya.
“Memangnya kenapa, Yang Mulia?” tanya Cantaka.
Raja menghela napas sambil kedua tangannya memegang lututnya, ia bersila di atas kasur dengan hanya mengenakan pakaian panjang serba putih, bisa dibilang pakaian tidur bangsawan zaman ini.
“Ketika seekor singa yang malang jatuh sakit seorang diri, maka anak singa yang cakap pasti sudah bersiap menggantikan posisinya,” jawab Raja, tangannya menunjuk-nunjuk kearah Cantaka yang berada di hadapannya dengan penuh keseriusan.
“Apa Yang Mulia berencana untuk mengungkapkan siapa sebenarnya yang menginginkan takhta Raja?” tanya Cantaka, Raja itu mengangguk, ia menengguk teh ramuan yang telah dibuatkan oleh tabib kerajaan.
“Aku sama sekali belum menentukan siapa yang berhak menyandang Pangeran Mahkota, jika keadaanku terus saja memburuk, satu di antara keempat pangeran itu akan terus mendesakku,” balas Raja.
Tersirat rasa khawatir dan cemas dari wajah Raja di depan Cantaka. Perebutan kekuasaan di lingkungan istana kerajaan selalu berakhir dengan tragedi berdarah, mengingat keempat pangeran memiliki kekuatan yang berimbang.
Jika melihat dari urutan lahir para pangeran, Purana yang lebih berpotensi untuk naik takhta meneruskan perjuangan Raja Dharmasiksa. Namun, sikap dan kepribadian Purana yang buruk menjadi alasan Raja belum mengumumkan pangeran mahkota.
“Jadi Yang Mulia sengaja tidak memberitahukan kabar ini agar bisa memancingnya untuk keluar?” tanya Cantaka.
“Benar.”
Tampak Raja sudah selesai menghabiskan ramuan herbal yang diberikan oleh tabib kerajaan. Ketika hendak pergi meninggalkan ruang kamar tersebut, langkah Cantaka terhenti ketika Raja memanggil namanya lagi.
“Jangan lupa pikirkan apa permintaanmu, aku akan menunggu.”
Cantaka mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun, ia kemudian pamit dan berjalan menyimpan nampan tersebut di pelayan wanita yang sedari tadi berdiri di depan kamar Raja.
Ketika langkah Cantaka yang besar terayun pergi dari koridor kamar Raja, kedua matanya terpesona melihat kecantikan Saraswati yang baru saja keluar dari kamar Ratu Suprabha.
Sungguh wanita yang anggun dan santun, pantas saja Purana begitu menyukai dan ingin memiliki Saraswati seutuhnya.
Ia menundukan kepalanya, memberi hormat kepada Cantaka yang mana justru tidak sebanding dengan kedudukan yang dimiliki Saraswati.
“Bagaimana keadaan Raja?” tanya Saraswati.
Cantaka kembali teringat dengan nasihat yang diberikan Raja, ia perlu menyembunyikan keadaan kalau Raja sudah membaik.
“Suhu tubuhnya masih tinggi dan gerakannya masih lemah, mungkin butuh beberapa minggu lagi untuk sembuh total,” jawab Cantaka.
“Begitu, yah? Paman pasti tersiksa dengan penyakit yang ia rasakan saat ini,” balas Saraswati.
Terukir kesedihan dari wajah wanita tersebut, perasaannya begitu lembut dan hatinya cukup peka melihat situasi di sekitarnya.
“Aku akan pergi ke kuil untuk berdoa demi kesembuhan Paman, apa kamu mau ikut bersamaku?” ajak Saraswati.
Sebuah senyuman mengambang dan terlukis jelas dari raut wajah Saraswati, sudah cukup lama ia tidak pergi bersama dengan teman masa kecilnya tersebut.
Kuil berada di dalam kompleks istana, seluruh penghuni istana dalam, seperti Raja hingga anggota keluarga Ratu yang lain dilarang pergi keluar istana. Mereka akan dihukum keras hingga diasingkan jika ketahuan pergi keluar istana.
Berbeda dengan Ratu, untuk anak selir dibebaskan untuk keluar istana, bahkan mereka diperbolehkan melakukan perjalanan jauh ke kerajaan lain untuk berdagang. Komoditas pangan Kerajaan Sunda-Galuh begitu unggul dari kerajaan lainnya di Pulau Jawa.
Ketika keduanya tengah berjalan bersama, Pangeran Purana datang dari sebuah tempat di sebelah kanan Cantaka. Pria itu tersenyum sinis melihat kedekatan Saraswati dan Cantaka yang kembali terjalin.
“Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan dari teman semasa kecil, bukan benar begitu, Nona Saraswati?” tanya Purana.
“Teman masa kecil? Tunggu, kamu dan aku adalah teman sejak dulu?” tanya Cantaka, matanya membelalak kaget mendengar perkataan dari Purana.
“Lihat! Dia sendiri lupa kalau kamu adalah temannya, bagaimana dengan perasaannya? Kupikir hal itu sudah jelas kalau—”
“Selamat Sore, Pangeran Purana,” jawab Saraswati menyela perkataan dari Purana, ia berjalan dengan cepat meninggalkan Cantaka dan Purana berdua di tengah jalan.
Saraswati mencoba sedini mungkin menghindari kontak dengan Purana, kenangan buruk ketika Purana hampir memperkosanya membuat seluruh tubuh Saraswati bergetar ketakutan tatkala mendengar atau melihat Purana secara langsung.
Pikirnya, Cantaka akan melindungi Saraswati mengingat dulu Cantaka jago bela diri. Namun, pria itu bukanlah pria yang dahulu, ia jauh berbeda dari Cantaka yang Saraswati kenal.
Ada apa dengannya?, batin Cantaka tatkala melihat Saraswati berjalan bergegas meninggalkan Purana.
“Ia benar-benar kecewa,” ucap Purana.
“Kenapa?” tanya Cantaka, penasaran.
Purana melirik pelan kearah pria di sampingnya, sebuah senyum menyeringai terulas jelas di wajahnya yang tegas.
“Masa lalunya telah hilang,” balas Purana.
Ia berjalan menghampiri Cantaka sambil membisikan sesuatu di telinga kiri pria tersebut, “Aku kenal baik dengan Saraswati, sekali kecewa, dia akan selamanya kecewa.”
Cantaka yang terkejut langsung berlari meninggalkan Purana seorang diri, ia melangkah dengan cepat menghampiri Saraswati yang sudah berada di dalam kuil untuk berdoa.
Terlihat Saraswati tengah terduduk di atas lantai yang beralaskan karpet merah berbulu, kedua telapak tangannya menyatu sambil matanya terpejam. Terdengar ia merapalkan mantra khusus yang digunakan untuk berdoa kepada Tuhan.
“Apa dia sudah pergi?” tanya Saraswati kepada Cantaka tanpa meliriknya.
“Iya, aku meninggalkannya.”
Saraswati berdiri dari posisi duduk tersebut dan berbalik memandang Cantaka yang ada di depannya. Secara mengejutkan Saraswati langsung memeluk tubuh Cantaka dan mendekap erat punggung pria tersebut.
“Entah aku harus senang atau sedih melihatmu tersadar saat ini,” balas Saraswati.
“Apa kamu kecewa padaku?” tanya Cantaka, Saraswati melepaskan pelukannya dan menatap kedua mata Cantaka, sendu.
“Tak pernah ada rasa kekecewaan yang tumbuh padamu di hatiku, aku yakin kamu pasti memiliki alasan di balik sikapmu yang berubah seperti ini,” jawab Saraswati.
Tangan-tangannya yang lentik mengusap pelan pipi Cantaka dengan lembut, suaranya terdengar lirih dan napasnya berhembus wangi. Tubuhnya jauh lebih ramping dari yang Cantaka duga, mungkin karena wanita di zaman ini banyak mengkonsumsi sayuran hijau yang masih segar.
“Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu,” balas Saraswati, matanya sayu menatap Cantaka mengharapkan kepedulian dari pria tersebut.
“Silakan, apa yang ingin kamu katakan?” tanya Cantaka.
“Apa kamu benar-benar lupa ingatan? Apa kamu tidak tahu apa saja yang terjadi selama ini?” tanya Saraswati.
Cantaka menghembuskan napas pelan sambil berkacak pinggang di hadapan Saraswati, sungguh ia tidak mengingat apa pun berkaitan dengan sang pemilik tubuh asli. Ia hanya bisa mengandalkan informasi yang diberikan pelayan atau ibunya, Citraloka, untuk kembali mengingat masa lalunya.
“Aku tidak mengingatnya sama sekali,” balas Cantaka.
Terlihat Saraswati sedikit membelalakkan matanya selepas mendengar perkataan dari Cantaka, kemudian ia tersenyum simpul sambil memegang pundak kanan pria tersebut.
“Jangan terlalu dipikirkan, ingatan itu pasti akan kembali lagi padamu, hanya masalah waktu saja,” jelas Saraswati, selepas berdoa wanita itu berjalan pergi meninggalkan kuil tersebut, ia berjalan seorang diri di tengah senja yang hampir gelap.
Tiba-tiba di tengah kesunyian kuil tersebut, muncul dari koridor lain Citraloka yang berjalan menghampiri Cantaka, putranya.
Ia tentu senang melihat anaknya kembali beraktivitas dan bergaul dengan teman-temannya, tetapi ada kekhawatiran yang terasa di hati Citraloka, ini berkaitan dengan tugas sementara Cantaka untuk menyembuhkan penyakit Raja, pasalnya penyakit itu sulit disembuhkan.
“Apa kamu yakin bisa menyembuhkan penyakit Raja?” tanya Citraloka dengan lembut, Cantaka mengangguk.
Pria itu berpaling dan memandang ibunya yang berdiri di samping tubuhnya, “Ibu, beritahu aku semuanya tentang masa laluku, tentang para pangeran, bahkan tentang Nona Saraswati.”
Citraloka tersenyum sambil menjulurkan tangannya, mempersilakan Cantaka berjalan berdampingan di sampingnya.
Cantaka mengangguk saja tanpa tahu kebenaran yang akan diberitahu oleh Citraloka padanya.
*** “Apa maksudmu?” tanya Cantaka. Citraloka memberikan secarik kain yang bernodakan darah merah yang sudah mengering, kain itu terlihat bersih dan terjaga dengan baik. Tidak mungkin jika Saraswati mencoba melakukan pembunuhan terhadap Cantaka, semuanya tidak berdasar jika tidak ada bukti yang membenarkan. “Aku yang menjagamu dengan baik selama kamu terkena racun, bukan penyakit yang kamu alami, bukan juga kutukan. Melainkan racun yang ditemukan di sebuah mangkuk kayu yang sebelumnya kamu pakai minum,” jawab Citraloka. “Tapi bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau Saraswati adalah pelakunya?” tanya Cantaka. Ia tidak ingin membuat keputusan dengan mendadak, ia ingin segalanya berdasarkan rencana yang matang. Jika pun benar Saraswati mencoba meracuni Cantaka, pasti ada alasan mendesak kenapa wanita itu sampai mau melakukannya. “Dulu, Saraswati adalah kepala dari juru masak kerajaan. Semuanya mulai menuduh Saraswati, tetapi entah k
*** Setengah perjalanan dari Pakuan menuju Cirebon, Ayodya sudah menyadari kalau mereka diikuti oleh seseorang. Hal ini diketahui tepat ketika Ayodya melihat orang yang sama ketika menginap di salah satu rumah yang ia sewa. “Sudah dua kali aku mendapati mereka berada di desa yang sama dengan kita,” jawab Ayodya. Keduanya tengah duduk bersama di ruang tengah rumah tersebut sembari menikmati teh hijau yang disediakan oleh Ayodya. Ia mengenal betul Cantaka seperti apa karena Ayodya sudah lama mengabdi kepada Citraloka. “Apa kamu tahu siapa mereka?” tanya Cantaka, Ayodya menggelengkan kepala. “Ini mencurigakan, jika dia adalah utusan dari pelaku yang meracuniku, kemungkinan mereka datang untuk membunuh kita berdua,” jawab Cantaka. Hal seperti itu masuk akal jika dipikirkan baik-baik. Namun, kepala Ayodya jauh lebih luas dari Cantaka, pengetahuannya tentang strategi dan siasat juga jauh melampaui pemuda tersebut. “Tidak, bukan itu t
“Apa kamu mengira aku akan mengkudeta posisi Raja?” tanya Purana.Pangeran pertama itu berjalan menuruni undakan tangga dengan posisi tubuh yang tegap dan pandangan mata yang lurus ke depan. Serdadu yang kedua pangeran bawa sama besar dan kekuatannya jika hal buruk pertumpahan darah harus terjadi.“Semua orang akan berkata demikian, hanya perbedaan sudut pandang ketika melihat kejadian ini,” balas Ragasuci.Purana tertawa, ia benar-benar mengagumi kecerdasan dan kemampuan Ragasuci yang sangat bijak dan cerdik. Dengan hati yang kesal, ia berjalan melewati Ragasuci dan meninggalkan istana dalam dengan raut wajah kecewa.Pintu terbuka, terlihat beberapa pelayan dan penjaga istana yang terkejut tatkala melihat Purana keluar dari dalam istana dengan mengenakan seragam militer lengkap. Purana melihat keberadaan Saraswati yang berdiri di belakang saudara-saudaranya, Jayadharma dan Jayagiri.Jenderal pasukan Sunda datang, ia adalah
***Ayodya datang bersama dengan pria pejabat biro dan seorang pria bernama Wunguk. Pria tersebut bertubuh biasa, tidak berotot tidak pula gendut. Wajahnya terukir banyak kerutan dan rambut belakangnya mulai memutih seiring usianya yang bertambah.Cantaka terbaring pingsan di sebuah ruang khusus rumah biro tersebut, tempat yang biasa dipakai oleh para pejabat untuk bersenang-senang dengan para wanita panggilan.Tubuhnya tak lagi mengenakan seragam militer, melainkan kain halus yang terbuat dari sutra berwarna biru langit, cocok dengan kepribadiannya yang dingin dan misterius.Pintu terbuka dan terlihat oleh Ayodya, Cantaka masih belum tersadar dan ia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga pria itu dari masalah apa pun, itu membuat hatinya gusar dan khawatir.“Apa dia benar-benar mendapatkan kutukan?” tanya pria dari biro, matanya masih terpaku melihat Cantaka yang terbaring dengan wajah yang bersinar karena pantulan cahaya matahari
***“Kita akan istirahat di desa ini,” balas Cantaka.Malam itu, udara cukup dingin dan angin terasa berhembus dengan kencang dari arah perbukitan gunung Cireme. Untungnya ia menemukan desa kecil di kaki gunung, berjumlahkan kepala keluarga yang kurang dari 50 orang dan mayoritas bekerja sebagai petani.“Apa kamu tidak keberatan, Wunguk?” tanya Ayodya.Ia berbalik dan menatap Wunguk yang berada di kuda yang berbeda, ia mengangguk pelan tanda setuju.Cantaka meminta Wunguk untuk kembali karena hanya dia seorang yang mungkin mampu mengembalikan ingatan tentang kehidupan Cantaka yang lalu. Tak hanya itu, ia juga bisa dijadikan saksi kunci terkait percobaan pembunuhan dengan racun terhadap Cantaka.Ayodya berjalan mendekati Cantaka, ia bertanya tentang keadaan desa yang keduanya datangi. Namun, keanehan yang ia rasakan perlahan memudar ketika melihat seorang pria berjalan sembari menenteng cangkul di bahunya.Pendu
*** Ketiganya berpamitan kepada pemilik rumah, Cantaka sadar apa yang ia lakukan sebenarnya salah. Namun, perkataan Ayodya dan Wunguk ada benarnya juga. Cantaka membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menumpaskan kejahatan yang ada di desa tersebut. Mereka mengambil jalan memutar dengan menuruni perbukitan, beberapa desa terlewati karena ketiganya bertekad untuk mengambil langkah cepat menuju istana. Hingga Wunguk meminta beristirahat ketika sampai di salah satu lapang sabana yang luas. Ia benar, sudah dua belas jam ketiganya berada di perjalanan, beristirahat beberapa jam saja tak membuat Cantaka keberatan. Dengan bermodalkan api unggun dari kayu-kayu yang mereka dapatkan, ketiganya mengelilingi api unggun itu dengan jarak yang cukup renggang satu sama lain. Cantaka bisa merasakan tubuhnya mulai menghangat di malam hari yang dingin, hanya ditemani suara jangkrik yang memecah kesunyian di hamparan karpet rumput yang sangat luas. “Hanya membutuh
Pintu istana tiba-tiba terbuka, seluruh Menteri datang dengan senyum sumringah, beberapa ada yang berubah kecut ketika melihat kondisi Raja yang benar-benar bugar layaknya seekor kuda di pagi hari. “Apa Yang Mulia sudah mendingan?” tanya salah satu sekretaris kerajaan, Bayuputra. Raja mengangguk, ia duduk di atas singgasananya sembari menyarungkan kembali pedang yang sebelumnya ia acungkan ke hadapan Ragasuci. Para menteri tidak boleh melihatnya agresif seperti ini, bisa bahaya dan mengancam kelangsungan pewaris tahta kerajaan selanjutnya. Mereka berbaris menghadap Raja, diawali dengan kepala kementrian hingga diikuti perbarisan oleh anggota per kementriannya. Ragasuci masih berlutut di atas lantai, tak mengindahkan beberapa menteri yang menatapnya bingung. Isu terkait Purana da Ragasuci yang berkomplot untuk mengkudeta Raja semakin nyaring terdengar, tak hanya di kalangan istana, tetapi mulai beranjak ke rakyat ibukota. Seorang Menteri Pertah
*** “Apa kamu dengar kalau Pangeran Purana dan Pangeran Ragasuci akan diasingkan hari ini?” “Mereka pantas mendapatkannya! Itu jauh lebih ringan dari hukuman eksekusi.” “Sebaiknya kita lihat mereka di istana kerajaan.” Pemberitaan tentang hukuman pengasingan yang didapatkan Purana dan Ragasuci menyebar layaknya wabah, setiap warga mengetahui informasi tersebut, bahkan untuk mereka yang tinggal di perbatasan sekali pun. Tak terkecuali kepada Cantaka dan rombongannya. Mereka mengetahuinya tepat ketika tengah berbelanja di pasar rakyat, salah satu pedagang asik menceritakan satu kisah menarik yang entah kenapa Ayodya mengenal dengan betul kisah tersebut. “Kita tidak bisa menghentikan hukuman Raja, bagaimana pun keputusannya harus dilaksanakan oleh mereka,” ucap Ayodya, ketiganya masih menempuh perjalanan dari satu daerah ke daerah lain dengan menaiki kudanya masing-masing. “Aku tidak percaya kalau Pangeran Ragasuci akan melakukan