***
“Apa maksudmu?” tanya Cantaka.
Citraloka memberikan secarik kain yang bernodakan darah merah yang sudah mengering, kain itu terlihat bersih dan terjaga dengan baik.
Tidak mungkin jika Saraswati mencoba melakukan pembunuhan terhadap Cantaka, semuanya tidak berdasar jika tidak ada bukti yang membenarkan.
“Aku yang menjagamu dengan baik selama kamu terkena racun, bukan penyakit yang kamu alami, bukan juga kutukan. Melainkan racun yang ditemukan di sebuah mangkuk kayu yang sebelumnya kamu pakai minum,” jawab Citraloka.
“Tapi bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau Saraswati adalah pelakunya?” tanya Cantaka.
Ia tidak ingin membuat keputusan dengan mendadak, ia ingin segalanya berdasarkan rencana yang matang. Jika pun benar Saraswati mencoba meracuni Cantaka, pasti ada alasan mendesak kenapa wanita itu sampai mau melakukannya.
“Dulu, Saraswati adalah kepala dari juru masak kerajaan. Semuanya mulai menuduh Saraswati, tetapi entah kenapa Istana mencoba menutupi dan membiarkan kasus itu berlalu bagai buih di laut,” balas Citraloka.
Memang itulah cara paling ampuh untuk mengatasi sugesti dan omongan liar yang berada di masyarakat, dengan tidak merespon dan membiarkan kabar itu berlalu layaknya berita bohong.
Cantaka mengerti betul bagaimana jalannya politik di zamannya dengan membandingkan zaman sekarang yang ia tinggali.
“Berita itu kembali muncul seiring dengan kondisiku yang semakin membaik, kan?” tanya Cantaka, Citraloka mengangguk pelan.
Wanita itu langsung memegang kedua tangan Cantaka dan menggenggamnya erat. Tatapan sayu dan sedih terpancar dari pantulan air mata yang mulai menggenangi kedua matanya, Cantaka menyadari jika tangisan yang jatuh dari mata Citraloka bukanlah air mata buaya.
“Istana sangat berbahaya, pergilah keluar dan hidup damai sebagai seorang rakyat biasa,” balas Citraloka.
Tangannya mengusap lembut pipi Cantaka dan tak lama kedua tangan wanita itu mulai mendekap tubuh anaknya ke dalam pelukan hatinya yang sakit. Ia tidak sanggup melihat Cantaka kembali tersiksa akibat pergolakan politik istana yang “kotor”.
“Dan meninggalkan Ibu sendirian di sini? Di tempat berbahaya ini? Aku tidak bisa melakukannya,” tegas Cantaka sembari melepas pelukan dari ibunya, Citraloka terdiam melihat respon dari anaknya tersebut.
“Aku akan perg menemui Saraswati dan memastikan apa yang sedang terjadi,” ucap Cantaka.
Ia langsung bangkit dari duduknya dan berbalik menatap pintu keluar kediaman Citraloka. Namun, kaki-kakinya tertahan oleh kedua tangan ibunya yang enggan melepas Cantaka kembali ke sarang beracun Istana.
“Ibu … aku tidak akan tahu kepastiannya jika tidak bertanya padanya,” balas Cantaka sambil kembali berjongkok.
“Kamu hanya akan dibunuh jika dia tahu kamu berusaha bertanya perihal masalah tahta tersebut!” bentak Citraloka, Cantaka terdiam.
Ia memegangi kedua pundak ibunya dan menatap kedua mata wanita tersebut dengan teliti, “Tahta apa? Beritahu aku, Ibu.”
“Saat itu, istana sedang tegang karena perebutan tahta putra mahkota. Purana tidak setuju jika tahta putra mahkota diberikan kepada pangeran selain dirinya,” balas Citraloka, suaranya sedikit berbisik sehingga Cantaka harus mendekatkan telinganya ke arah sumber suara.
“Aku juga tidak tahu kenapa, tapi seiring berjalannya waktu, kamu ikut terseret konflik tersebut setelah keluar dari dalam istana,” sambung Citraloka.
Cantaka menghela napas sambil memegangi dagunya, seolah berpikir keras apa yang menyebabkan konflik tersebut sampai menyeret dirinya.
Ia juga menanyakan apakah ada catatan khusus yang dibuat Cantaka sebelum ia jatuh sakit, Citraloka tak tahu menahu terkait itu.
“Tapi ada satu pelayan pria yang selalu mengawasimu ketika aku tidak ada di sini, dia mungkin tahu sesuatu berkaitan dengan catatan tersebut,” balas Citraloka.
“Siapa dia? Apa kamu bisa memanggilnya kemari?” tanya Cantaka, Citraloka menggelengkan kepalanya.
“Yang Mulia Ratu Suprabha mengusir pelayan itu dari istana, mungkin dia sudah kembali ke kampung halamannya di Cirebon,” ujar Citraloka, jarak Cirebon dengan Pakuan (Bogor) cukup jauh, tapi itu mungkin sepadan dengan bukti penting terkait siapa yang meracuni Cantaka.
Cantaka berdiri dari posisi jongkoknya dan berjalan menghampiri jendela kamar yang langsung menghadap ke taman istana yang hijau nan rindang.
“Karena hilang ingatan, membuatku kesulitan membedakan mana kebenaran dan kejahatan. Dengan mengejar masa laluku, maka aku akan bisa menyimpulkan siapa sebenarnya yang berencana membunuhku.”
Citraloka berdiri dan berjalan menjemput Cantaka yang terlihat gagah disinari rembulan malam yang terang, “Apa kamu berencana menjemput pelayan itu?”
“Mungkin hanya dia yang mengetahui kebenarannya, aku tidak boleh sampai lengah,” balas Cantaka.
Citraloka kembali memeluk tubuh Cantaka dan merangkul pemuda atletis itu dengan erat, air matanya tumpah membayangkan perpisahaan yang akan terjadi antara dirinya dengan Cantaka.
Malam itu, rasanya pikiran Cantaka bercampur marut dengan penasaran yang hinggap di kepalanya. Ia harus tahu dalang di balik penyakit yang ia derita.
***
“Apa kamu akan pergi ke Cirebon? Tapi apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Raja, ia cukup sedih ketika harus ditinggal pergi oleh penyembuhnya, Cantaka.
“Ada sesuatu yang perlu kupastikan, aku harap Yang Mulia berkenan mengizinkan saya pergi.”
Raja menghela napas, ia masih duduk di atas kasur dengan pakaian tidurnya yang berwarna putih. Pandangan matanya berkeliling di ruangan tersebut, seolah-olah sedang mencari barang hilang.
Tak lama, ia kembali menatap Cantaka dan mengayunkan tangannya perlahan meminta pemuda itu mendekat.
“Apa kamu mencari pelayan itu?” tanya Raja.
Cantaka membelalak, ia menangkat kepalanya dan keduanya saling beradu pandang.
“Sudah kuduga, hari ini akan datang juga,” jawab Raja.
“Aku tidak bisa melarangmu dan juga tak bisa mengizinkanmu dengan mudah.”
Sungguh sesuatu yang rumit, setiap perkataan yang keluar dari mulut Raja pastilah sesuatu yang bijak dan butuh pemahaman luas untuk mengerti.
“Sisanya tergantung pada aksimu,” ucap Raja.
Cantaka mengangguk dan berpamitan pada Raja, ia juga berpesan untuk Raja terus memakan obat yang sudah ia buatkan dan menghabiskannya. Cantaka akan kembali tepat setelah satu minggu berada di Cirebon.
Cantaka langsung pergi mengambil barang-barangnya, sebelum berangkat dari istana, ia berpamitan pada Citraloka yang tentu langsung mengundang tangis darinya.
Pemuda itu pergi bersama seorang pengawal yang diperintahkan Citraloka untuk menjaga Cantaka, ia bernama Ayodya. Keduanya cukup mudah terlepas dari penjagaan istana dan pergi dengan cepat menaiki kuda yang terlihat bugar.
Tak terduga, kuda keduanya terhenti setelah dihadang oleh rombongan pasukan dari luar istana, terlihat seorang pria berpakaian militer dengan pedang panjang terselip di samping seragamnya terus memerhatikan Cantaka.
“Kulihat kamu keluar dari dalam istana, bukankah cukup jelas kalau Raja melarang siapa pun keluar?” tanya pria tersebut, dia adalah Jenderal Pasukan, Bagaskara.
“Kita utusan dari Kerajaan Kediri, apa kamu berencana menghadang utusan dari kerajaan besar?” tanya Ayodya.
Bagaskara terpaku diam, ia tidak mengenal keduanya dan cukup riskan jika membantah perintah dari keduanya. Alhasil, Cantaka dan Ayodya dipersilakan lewat dan langsung pergi dengan langkah cepat.
“Kalian berdua, ikuti mereka,” titah Bagaskara, kedua orang prajurit yang berada di belakangnya mengangguk dan langsung pergi meninggalkan rombongan tersebut.
“Apa Jenderal mencurigai mereka?” tanya salah satu ajudan Bagaskara.
“Banyak musuh yang berencana menjatuhkan Kerajaan Sunda-Galuh, bukankah sikap waspada penting bagi kerajaan kita?” tanya balik Bagaskara, ajudannya diam membisu.
“Jika kedua prajurit tidak datang dalam beberapa hari, bisa dipastikan kecurigaanku memang benar,” sambung Bagaskara.
Ia mulai berjalan masuk istana dan pergi menemui Raja, tetapi terkejutnya melihat Purana yang tengah duduk di atas singgasana Raja. Tatapan pemuda itu begitu tajam membuat Bagaskara sempat tersulut emosi dibuatnya.
“Apa maksudmu duduk di tempat itu?!” tanya Bagaskara dengan lantang.
“Jenderal, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Ini berkaitan dengan kejayaan Kerajaan Sunda-Galuh.”
***“Apa kau baik-baik saja?”Saraswati datang menghampiri bersama dengan Danar yang berada di sampingnya. Anak laki-laki itu, Cantaka belum kesampaian untuk membawanya menghadap Adibaya. Rencana demi rencana yang sudah ia susun sedemikian tertata harus hancur karena dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan para penyusup.“Aku baik.”“Pangeran Cantaka. Aku membuatkan sesuatu untukmu,” ungkap Danar, membuka kedua telapak tangannya yang semula tertutup.Terlihat sebuah kalung yang terbuat dari kayu ukiran terpampang jelas di tangan lembut Danar. Tertulis kata-kata yang menyayat hati Cantaka ketika membacanya, “Aku sayang padamu.”“Itu manis sekali. Aku akan menjaga kalung ini seperti aku menjaga dirimu,” jelas Cantaka, berterima kasih seraya tersenyum.Danar bisa dibilang adalah anak laki-laki yang ceria, dia sudah melupakan kejadian mengerikan di rumahnya dan mengatakan kalau k
***Keadaan Cantaka semakin memburuk di dalam sel penjara. Sejak semalam hingga pagi datang, belum ada satu makanan pun yang masuk ke tubuhnya.Ia masih melihat noda darah yang mengering menempel di jeruji besi tempatnya menginap semalam. Pangeran muda itu bisa membayangkan betapa keji dan brutal pembunuhan yang terjadi di tempat ini.Pintu penjara terbuka, secercah cahaya masuk memantik reaksi terkejut dari diri Cantaka. Derap langkah yang kuat terdengar jelas, menimbulkan bayangan kilat tentang betapa kuasanya orang di hadapannya.Raja Sunda.Matanya berkeliling, begitu juga dengan kepala dan tubuhnya, ikut memutar. Sorot mata Raja memicing memandang pedang khusus milik pangeran tergeletak di atas tanah.“Kenapa pedangmu ada di sini?” tanya Raja, berwibawa.“Karena aku dijebak. Aku tidak mungkin membunuh mereka ketika para tahanan itu mendapatkan pengawasan tentara kerajaan yang ketat,” balas Cantaka, berargu
Mereka bertiga sepakat untuk kembali ke istana, bersama Jayagiri yang berjalan berbarengan dengan Danar.Saraswati masih syok dengan pembunuhan yang terjadi di depannya, apalagi ketika mengetahui kalau pria yang tewas terbunuh tak lain adalah pelayan istana.Pada awalnya, Saraswati menduga kalau Cantaka yang berada di balik semua ini. Setelah melihat ekspresi pemuda itu barusan, ia yakin pelayan pria itu salah satu anak buah Cantaka.Saraswati dengan tegap memegang tangan Cantaka, menghentikan langkah pemuda itu dan menatapnya lekat-lekat.Ada sesuatu yang ingin Saraswati pastikan, hal itu berkaitan dengan kejadian barusan yang mengejutkannya.“Apa ada sesuatu, Saraswati?” tanya Cantaka, bingung.“Iya dan ini berkaitan dengan kejadian penculikan tadi. Aku yakin, itu tidak terjadi atas dasar kebetulan semata.”Mereka berhenti melangkah dan pergi setelah Saraswati memberitahu Jayagiri. Danar mengiyakan karena dia
***Para penyusup itu enggan untuk berbicara, bahka membuka mulut mereka meskipun Jayadharma sudah menginterogasi dengan keras.Hal itu akan sia-sia belaka jika diteruskan, tujuan awal mereka ketika tertangkap adalah mati, maka masuk akal jika mereka tidak berbicara jika tujuan interogasi yang dilakukan adalah kematian.“Ini sulit, mereka masih tidak mau berbicara. Apa perlu aku potong kaki dan tangan mereka untuk membuatnya bicara?” tanya Jayadharma, pria itu berdiri di samping Cantaka.“Tidak perlu, itu justru akan memudahkan rencana mereka untuk mati,” jelas Cantaka, tegas.“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Jayadharma, bingung.Ia masih memandang para penyusup yang tertangkap dengan pandangan kuat. Satu persatu dari para pelaku mendapatkan cap dan siksaan yang sama dari Jayadharma, tidak satu pun dari mereka yang memiliki ruang bebas di kulit mereka dari cap besi.“Aku tahu.”
***Mereka berdua begadang hingga larut malam. Danar tidur di ruang kerja Cantaka, sedangkan Pangeran muda itu sedang berbincang dengan seorang pelayan yang merangkap sebagai anggota pasukannya.Sekitar jam 1 malam, mereka berdua berbincang di luar ruang kerja Cantaka, tepatnya di lorong kediamannya yang cukup sunyi.“Pangeran akan menggunakan anak itu sebagai alat untuk membuat Adibaya bicara?” tanya pelayan itu, berbisik.“Benar. Aku ingin kamu besok menculiknya ketika dia tengah berjalan bersamaku keluar istana,” ujar Cantaka, pelan.“Aku mengerti.”Pelayan pria itu segera meninggalkan Cantaka setelah mendengar semua perintah untuknya. Malam itu, hanya ada pasukan pengawal istana yang tengah berjaga dan berpatroli.Mereka melakukannya lebih ketat dan gencar setelah terjadi dua pembunuhan dalam waktu singkat, apalagi kejadiannya di malam hari.Seorang pasukan kerajaan datang menghampiri dan
Gunawarman melepas Cantaka pergi. Pangeran muda itu langsung beranjak pergi meninggalkan kelompok kiri yang tengah menjalani perjamuan.Ia masih menggenggam gulungan tersebut dan membuang pikirannya jauh-jauh tentang tahta. Dia hanya ingin menuntaskan kejahatan terhadap orang terdekatnya.Han yang tengah berjalan di koridor istana melihat keberadaan Cantaka. Ia segera memanggil pemuda itu dan bertanya tentang keberadaannya siang ini.“Ada sesuatu yang perlu kuurus di luar istana,” balas Cantaka, ramah.“Apa boleh aku mengetahui apa itu?” tanya Han, penasaran.Cantaka melihat kalau di sisi pelayannya tersebut, terdapat seorang dayang yang tengah membawa nampan berisi alat-alat menyulam. Keduanya hendak mengirimkan peralatan itu kepada Ratu Citraloka.“Ini hanya bisnisku. Aku sedang berusaha memperluasnya dengan kerja sama antar pihak,” ujar Cantaka, lembut.“Bisnis apakah itu, Pangeran?&r