Share

Jalan curam pembuktian

***

“Apa maksudmu?” tanya Cantaka.

Citraloka memberikan secarik kain yang bernodakan darah merah yang sudah mengering, kain itu terlihat bersih dan terjaga dengan baik.

Tidak mungkin jika Saraswati mencoba melakukan pembunuhan terhadap Cantaka, semuanya tidak berdasar jika tidak ada bukti yang membenarkan.

“Aku yang menjagamu dengan baik selama kamu terkena racun, bukan penyakit yang kamu alami, bukan juga kutukan. Melainkan racun yang ditemukan di sebuah mangkuk kayu yang sebelumnya kamu pakai minum,” jawab Citraloka.

“Tapi bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau Saraswati adalah pelakunya?” tanya Cantaka.

Ia tidak ingin membuat keputusan dengan mendadak, ia ingin segalanya berdasarkan rencana yang matang. Jika pun benar Saraswati mencoba meracuni Cantaka, pasti ada alasan mendesak kenapa wanita itu sampai mau melakukannya.

“Dulu, Saraswati adalah kepala dari juru masak kerajaan. Semuanya mulai menuduh Saraswati, tetapi entah kenapa Istana mencoba menutupi dan membiarkan kasus itu berlalu bagai buih di laut,” balas Citraloka.

Memang itulah cara paling ampuh untuk mengatasi sugesti dan omongan liar yang berada di masyarakat, dengan tidak merespon dan membiarkan kabar itu berlalu layaknya berita bohong.

Cantaka mengerti betul bagaimana jalannya politik di zamannya dengan membandingkan zaman sekarang yang ia tinggali.

“Berita itu kembali muncul seiring dengan kondisiku yang semakin membaik, kan?” tanya Cantaka, Citraloka mengangguk pelan.

Wanita itu langsung memegang kedua tangan Cantaka dan menggenggamnya erat. Tatapan sayu dan sedih terpancar dari pantulan air mata yang mulai menggenangi kedua matanya, Cantaka menyadari jika tangisan yang jatuh dari mata Citraloka bukanlah air mata buaya.

“Istana sangat berbahaya, pergilah keluar dan hidup damai sebagai seorang rakyat biasa,” balas Citraloka.

Tangannya mengusap lembut pipi Cantaka dan tak lama kedua tangan wanita itu mulai mendekap tubuh anaknya ke dalam pelukan hatinya yang sakit. Ia tidak sanggup melihat Cantaka kembali tersiksa akibat pergolakan politik istana yang “kotor”.

“Dan meninggalkan Ibu sendirian di sini? Di tempat berbahaya ini? Aku tidak bisa melakukannya,” tegas Cantaka sembari melepas pelukan dari ibunya, Citraloka terdiam melihat respon dari anaknya tersebut.

“Aku akan perg menemui Saraswati dan memastikan apa yang sedang terjadi,” ucap Cantaka.

Ia langsung bangkit dari duduknya dan berbalik menatap pintu keluar kediaman Citraloka. Namun, kaki-kakinya tertahan oleh kedua tangan ibunya yang enggan melepas Cantaka kembali ke sarang beracun Istana.

“Ibu … aku tidak akan tahu kepastiannya jika tidak bertanya padanya,” balas Cantaka sambil kembali berjongkok.

“Kamu hanya akan dibunuh jika dia tahu kamu berusaha bertanya perihal masalah tahta tersebut!” bentak Citraloka, Cantaka terdiam.

Ia memegangi kedua pundak ibunya dan menatap kedua mata wanita tersebut dengan teliti, “Tahta apa? Beritahu aku, Ibu.”

“Saat itu, istana sedang tegang karena perebutan tahta putra mahkota. Purana tidak setuju jika tahta  putra mahkota diberikan kepada pangeran selain dirinya,” balas Citraloka, suaranya sedikit berbisik sehingga Cantaka harus mendekatkan telinganya ke arah sumber suara.

“Aku juga tidak tahu kenapa, tapi seiring berjalannya waktu, kamu ikut terseret konflik tersebut setelah keluar dari dalam istana,” sambung Citraloka.

Cantaka menghela napas sambil memegangi dagunya, seolah berpikir keras apa yang menyebabkan konflik tersebut sampai menyeret dirinya.

Ia juga menanyakan apakah ada catatan khusus yang dibuat Cantaka sebelum ia jatuh sakit, Citraloka tak tahu menahu terkait itu.

“Tapi ada satu pelayan pria yang selalu mengawasimu ketika aku tidak ada di sini, dia mungkin tahu sesuatu berkaitan dengan catatan tersebut,” balas Citraloka.

“Siapa dia? Apa kamu bisa memanggilnya kemari?” tanya Cantaka, Citraloka menggelengkan kepalanya.

“Yang Mulia Ratu Suprabha mengusir pelayan itu dari istana, mungkin dia sudah kembali ke kampung halamannya di Cirebon,” ujar Citraloka, jarak Cirebon dengan Pakuan (Bogor) cukup jauh, tapi itu mungkin sepadan dengan bukti penting terkait siapa yang meracuni Cantaka.

Cantaka berdiri dari posisi jongkoknya dan berjalan menghampiri jendela kamar yang langsung menghadap ke taman istana yang hijau nan rindang.

“Karena hilang ingatan, membuatku kesulitan membedakan mana kebenaran dan kejahatan. Dengan mengejar masa laluku, maka aku akan bisa menyimpulkan siapa sebenarnya yang berencana membunuhku.”

Citraloka berdiri dan berjalan menjemput Cantaka yang terlihat gagah disinari rembulan malam yang terang, “Apa kamu berencana menjemput pelayan itu?”

“Mungkin hanya dia yang mengetahui kebenarannya, aku tidak boleh sampai lengah,” balas Cantaka.

Citraloka kembali memeluk tubuh Cantaka dan merangkul pemuda atletis itu dengan erat, air matanya tumpah membayangkan perpisahaan yang akan terjadi antara dirinya dengan Cantaka.

Malam itu, rasanya pikiran Cantaka bercampur marut dengan penasaran yang hinggap di kepalanya. Ia harus tahu dalang di balik penyakit yang ia derita.

***

“Apa kamu akan pergi ke Cirebon? Tapi apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Raja, ia cukup sedih ketika harus ditinggal pergi oleh penyembuhnya, Cantaka.

“Ada sesuatu yang perlu kupastikan, aku harap Yang Mulia berkenan mengizinkan saya pergi.”

Raja menghela napas, ia masih duduk di atas kasur dengan pakaian tidurnya yang berwarna putih. Pandangan matanya berkeliling di ruangan tersebut, seolah-olah sedang mencari barang hilang.

Tak lama, ia kembali menatap Cantaka dan mengayunkan tangannya perlahan meminta pemuda itu mendekat.

“Apa kamu mencari pelayan itu?” tanya Raja.

Cantaka membelalak, ia menangkat kepalanya dan keduanya saling beradu pandang.

“Sudah kuduga, hari ini akan datang juga,” jawab Raja.

“Aku tidak bisa melarangmu dan juga tak bisa mengizinkanmu dengan mudah.”

Sungguh sesuatu yang rumit, setiap perkataan yang keluar dari mulut Raja pastilah sesuatu yang bijak dan butuh pemahaman luas untuk mengerti.

“Sisanya tergantung pada aksimu,” ucap Raja.

Cantaka mengangguk dan berpamitan pada Raja, ia juga berpesan untuk Raja terus memakan obat yang sudah ia buatkan dan menghabiskannya. Cantaka akan kembali tepat setelah satu minggu berada di Cirebon.

Cantaka langsung pergi mengambil barang-barangnya, sebelum berangkat dari istana, ia berpamitan pada Citraloka yang tentu langsung mengundang tangis darinya.

Pemuda itu pergi bersama seorang pengawal yang diperintahkan Citraloka untuk menjaga Cantaka, ia bernama Ayodya. Keduanya cukup mudah terlepas dari penjagaan istana dan pergi dengan cepat menaiki kuda yang terlihat bugar.

Tak terduga, kuda keduanya terhenti setelah dihadang oleh rombongan pasukan dari luar istana, terlihat seorang pria berpakaian militer dengan pedang panjang terselip di samping seragamnya terus memerhatikan Cantaka.

“Kulihat kamu keluar dari dalam istana, bukankah cukup jelas kalau Raja melarang siapa pun keluar?” tanya pria tersebut, dia adalah Jenderal Pasukan, Bagaskara.

“Kita utusan dari Kerajaan Kediri, apa kamu berencana menghadang utusan dari kerajaan besar?” tanya Ayodya.

Bagaskara terpaku diam, ia tidak mengenal keduanya dan cukup riskan jika membantah perintah dari keduanya. Alhasil, Cantaka dan Ayodya dipersilakan lewat dan langsung pergi dengan langkah cepat.

“Kalian berdua, ikuti mereka,” titah Bagaskara, kedua orang prajurit yang berada di belakangnya mengangguk dan langsung pergi meninggalkan rombongan tersebut.

“Apa Jenderal mencurigai mereka?” tanya salah satu ajudan Bagaskara.

“Banyak musuh yang berencana menjatuhkan Kerajaan Sunda-Galuh, bukankah sikap waspada penting bagi kerajaan kita?” tanya balik Bagaskara, ajudannya diam membisu.

“Jika kedua prajurit tidak datang dalam beberapa hari, bisa dipastikan kecurigaanku memang benar,” sambung Bagaskara.

Ia mulai berjalan masuk istana dan pergi menemui Raja, tetapi terkejutnya melihat Purana yang tengah duduk di atas singgasana Raja. Tatapan pemuda itu begitu tajam membuat Bagaskara sempat tersulut emosi dibuatnya.

“Apa maksudmu duduk di tempat itu?!” tanya Bagaskara dengan lantang.

“Jenderal, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Ini berkaitan dengan kejayaan Kerajaan Sunda-Galuh.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status