Pagi itu Kota Moonlight ramai seperti biasa, tetapi suasana terasa berbeda. Obrolan di pasar, kedai arak, hingga jalan-jalan kecil hanya berputar pada satu topik: orang asing berjubah hitam yang mempermalukan anak pejabat dan membantai dua kultivator bayaran. Cerita itu menyebar cepat, dari mulut ke mulut, dengan tambahan bumbu yang membuat sosoknya terdengar semakin menyeramkan.
Hiro duduk di sebuah kedai sederhana sambil menikmati sarapan. Ia tidak berbicara, hanya mendengarkan riuhnya orang-orang yang bahkan tak sadar objek pembicaraan mereka ada di ruangan yang sama. Sebagian menyebutnya pembunuh legendaris yang bangkit dari kubur, sebagian lain menganggapnya kutukan dalam wujud manusia. Hiro menyesap tehnya, senyum samar terlukis di bibir. Pintu kedai tiba-tiba terbuka. Seorang pemuda berbaju putih dengan bordir pedang emas melangkah masuk. Auranya tajam, setiap langkahnya diiringi tatapan hormat dari orang-orang yang mengenal lambang Paviliun Pedang Langit di dadanya. Ia menatap lurus ke arah Hiro. “Apakah kau orang asing berjubah hitam yang sedang dibicarakan seluruh kota?” Ruangan mendadak hening. Semua mata beralih pada Hiro. “Andai aku memang dia, lalu apa?” jawab Hiro tenang. Pemuda itu tersenyum tipis. “Namaku Li Feng, murid inti Paviliun Pedang Langit. Atas perintah para elder, aku datang menyampaikan undangan. Malam ini, datanglah ke menara utama. Mereka ingin melihat apakah rumor tentangmu benar adanya.” Bisik-bisik kembali pecah. Warga menatap Hiro dengan campuran kagum dan takut. Bagaimana mungkin orang asing yang kemarin hanya jadi bahan cerita, hari ini sudah dipanggil resmi oleh sekte sebesar itu? Hiro bangkit berdiri. Tatapannya menusuk pemuda di depannya. “Baik. Aku akan datang.” Li Feng mengangguk singkat lalu pergi tanpa menoleh lagi. Kedai kembali riuh, tetapi Hiro sudah tidak memperhatikan. Ia tahu benar, ini adalah langkah awal untuk menancapkan bayangannya lebih dalam ke dunia ini. Matahari tenggelam. Menara Paviliun Pedang Langit memancarkan cahaya spiritual yang terlihat dari segala penjuru kota. Banyak mata mengawasi jalan utama, menunggu sosok berjubah hitam itu datang. Hiro berjalan mantap menuju gerbang, jubahnya berkibar tertiup angin malam. Pedang hitam di punggungnya bergetar halus, seolah merasakan darah yang akan segera tertumpah. Li Feng sudah menunggu di depan gerbang. “Elder telah bersiap. Nasibmu akan diputuskan malam ini,” katanya. Hiro menatap menara menjulang itu. Senyum samar menghiasi wajahnya, tetapi tatapannya sedingin malam. “Bukan nasibku yang diputuskan. Mulai malam ini, Paviliun Pedang Langit akan tahu siapa yang mereka undang.” Ia melangkah masuk, meninggalkan hiruk pikuk kota, menuju ujian yang akan mengubah segalanya. Langkah Hiro bergema ketika ia memasuki menara. Udara di dalam berbeda dari luar—penuh aura tajam seperti ribuan bilah pedang tak kasat mata, menusuk kulit, seolah menguji siapa pun yang berani masuk. Li Feng membawanya melewati lorong panjang hingga tiba di sebuah aula luas. Dindingnya dari batu putih berukir pedang yang bersinar samar. Di ujung aula, tiga elder duduk di kursi tinggi. Tatapan mereka tajam, bagaikan mata pedang yang siap menembus jiwa. Salah seorang elder berbicara. “Kau yang disebut orang asing berjubah hitam? Namamu?” “Hiro,” jawabnya singkat. “Tidak biasa,” gumam elder lain dengan suara berat. “Katanya kau menaklukkan beberapa kultivator hanya dengan kekuatan mentah. Namun Paviliun Pedang Langit tidak percaya pada rumor. Kami hanya percaya pada bukti.” Salah satu elder mengangkat tangannya. Aura spiritual bergetar, lantai aula terbuka menampakkan arena lingkaran. Dari sekeliling, sepuluh murid Paviliun Pedang Langit muncul dengan pedang di tangan, tatapan penuh keyakinan. “Inilah ujian pertamamu. Bertahanlah melawan mereka tanpa keluar dari lingkaran. Jika kau mampu, barulah kami akan mempertimbangkan mu.” Li Feng melirik Hiro sekilas, mencoba membaca ekspresinya. Namun wajah Hiro tetap datar, hanya matanya yang memancarkan dingin. Tanpa banyak bicara, Hiro melangkah masuk ke lingkaran. Suara desis terdengar ketika ia menarik pedang hitam dari punggungnya. Aura gelap melingkupi bilahnya, membuat cahaya spiritual di dinding seolah meredup. Sepuluh murid menyerang serentak. Pedang mereka berkilat seperti kilat dari segala arah. Penonton menahan napas, yakin orang asing itu akan hancur dalam hitungan detik. Namun di tengah badai serangan, Hiro bergerak. Tubuhnya lenyap sekejap, bayangan hitam melintas, dan suara logam beradu bergema keras. Satu murid terlempar ke luar lingkaran dengan pedang patah. Sorak kecil terdengar, bercampur ketakutan. Elder di kursi atas menyipitkan mata, kini benar-benar menaruh perhatian. Hiro melangkah ringan di antara lawan-lawannya. Setiap ayunan pedangnya sederhana, tapi tekanannya tak masuk akal. Dua murid lagi tumbang, terlempar dengan luka goresan dalam. Darah menetes, membasahi lantai arena. Sisa murid mulai gemetar. Mereka adalah murid terpilih Paviliun Pedang Langit—tetapi sekarang seolah sedang melawan sesuatu yang bukan manusia. Hiro mengangkat pedangnya. Ujung bilah hitamnya meneteskan darah. Tatapannya menyapu seluruh arena. “Jika hanya segini, maka Paviliun ini terlalu lemah untuk menahan langkahku.” Aula mendadak mencekam. Bahkan para elder condong ke depan, wajah mereka berubah serius.Kabut malam menutup Paviliun Pedang Langit seperti tirai raksasa. Bulan hanya tampak samar, seolah enggan menatap dunia yang bersiap ke jurang pertempuran. Hiro berdiri di pelataran utama, angin dingin menyapu jubahnya.Di balik kesunyian, ia merasakan denyut halus energi liar. Bukan sekadar insting; getaran itu menyusup lewat tulang.{Peringatan awal: aktivitas spiritual tak dikenal mendekat dari arah timur. Sumber tidak terklasifikasi.}Suara sistem itu tidak lagi terdengar seperti bunyi logam kaku. Kini ia mendengar nada seperti bisikan, tenang namun mendesak. Hiro mengerutkan alis. Malam ini tidak biasa.Elder Qiu bergegas ke pelataran, wajahnya serius. “Semua murid, bentuk formasi pertahanan. Kita tidak menunggu tamu malam ini.”Belum sempat formasi selesai, kabut di depan gerbang mendidih. Dari balik kegelapan, ratusan sosok berjubah hitam bermunculan seperti bayangan air yang pecah. Pedang mereka memantulkan cahaya kehijauan—racun yang menetes di ujung bilah.“Pasukan Sekte Bay
Langit pagi Paviliun Pedang Langit masih diselimuti kabut tipis ketika rombongan akhirnya kembali. Embun menempel di pakaian dan pedang, membawa aroma tanah basah bercampur darah yang mulai mengering. Hiro berjalan paling depan, langkahnya tenang meski semalam mereka menantang maut di Lembah Jiwa Malam.{Prestasi Dikonfirmasi: Penakluk Roh Penjaga Jiwa Malam} {Hadiah Utama: Teknik Analisis Racun Korosif – Diaktifkan} {Bonus Prestasi: 300 Poin Esensi Pertarungan ditambahkan ke inti roh}Hiro berhenti sesaat di ambang gerbang batu. Cahaya samar dari panel sistem melintas di sudut pandang, hanya bisa dilihat olehnya.“Akhirnya kau memberi hadiah lagi,” gumamnya dalam hati.{Sistem menilai keberhasilan Anda melampaui perkiraan. Peningkatan kekuatan diperlukan untuk menghadapi ancaman internal Paviliun.}Aliran energi hangat menyebar dari inti dantian, menyalakan jaringan meridian bagai kilatan halus. Otot-ototnya yang sempat tegang sehabis pertempuran tiba-tiba terasa ringan, seolah sis
Fajar baru saja menyingkap langit ketika rombongan menjejak halaman Paviliun Pedang Langit. Embun masih menggantung di atap genting, memantulkan cahaya merah keemasan. Para murid yang berjaga terdiam melihat luka-luka di tubuh mereka, lalu saling berbisik—antara kagum dan ngeri.Elder Qiu melangkah ke depan, menyerahkan kantong batu giok berisi Tanaman Jiwa Malam kepada seorang penjaga senior. “Simpan di Aula Obat Roh. Hanya Kepala Paviliun yang boleh menyentuhnya,” ujarnya tegas.Tatapan murid-murid lain diam-diam mengarah ke Hiro. Dalam perjalanan pulang, cerita tentang pertarungannya dengan Roh Penjaga sudah menyebar. Beberapa penuh kekaguman, lebih banyak lagi yang menampakkan ketakutan samar—seolah mereka menyaksikan sesuatu yang melampaui batas manusia.Zhang Wei berjalan agak di belakang, wajahnya kaku. Dari sudut mata, Hiro dapat merasakan bara kebencian yang berusaha disembunyikan di balik ketenangan palsu.{Tuan, detak jantung Zhang Wei meningkat setiap kali tatapannya menga
Kabut kian menebal ketika rombongan menuruni jalur berbatu menuju dasar Lembah Jiwa Malam, lembah yang juga dikenal sebagai Lembah Kabut karena selimut putihnya yang tak pernah lenyap. Udara lembap dan berat; setiap helaan napas terasa seperti menelan embun dingin yang menggantung di udara. Sunyi hanya dipecah oleh tetes air yang jatuh dari dedaunan lebat di atas kepala.Li Feng menatap sekeliling penuh waspada. “Tempat ini… berbeda,” bisiknya.Hiro mengangguk tipis. “Seperti masuk ke perut bumi. Aroma darah lama masih berbekas.”Elder Qiu berhenti di tepi lereng curam. Di bawah, lembah tampak seperti kawah hijau keperakan yang tertutup kabut berpendar. Di pusatnya, cahaya biru berdenyut lembut—tanaman Jiwa Malam, tujuan mereka.“Tanaman itu hanya mekar saat kabut mencapai puncaknya,” kata Elder Qiu. “Kita harus turun sebelum matahari meninggi.”Mereka menuruni jalur licin satu per satu. Setiap batu yang terinjak menimbulkan suara gemeretak yang cepat ditelan kabut. Hiro berjalan pali
Fajar baru merayap ketika rombongan kecil murid Paviliun Pedang Langit berkumpul di gerbang timur. Kabut tipis menggantung di udara, menelan suara langkah kaki dan derap napas menjadi gema samar. Di antara mereka, Hiro berdiri paling belakang, pedang hitam di punggung memantulkan cahaya redup.Li Feng menghampirinya sambil menata sabuk pedang. “Senior, jalur menuju lembah tempat obat langka itu terkenal berbahaya. Banyak binatang roh dan—”“—dan manusia yang lebih berbahaya dari binatang,” potong Hiro ringan. “Aku tahu.”Elder Qiu, pengawas misi, mengedarkan tatapan tajam ke seluruh peserta. “Kalian akan menempuh perjalanan dua hari. Tugas kalian sederhana: membawa pulang Tanaman Jiwa Malam yang tumbuh di dasar Lembah Kabut. Jangan anggap remeh. Kalian adalah perwakilan Paviliun Pedang Langit.”Hiro merasakan tatapan beberapa murid lain menusuk punggungnya. Zhang Wei berdiri tidak jauh, wajahnya tenang tapi matanya menyala seperti bara. Di sebelahnya ada Kang, yang berpura-pura menata
Udara pagi di Paviliun Pedang Langit terasa lebih berat daripada biasanya. Embun masih menempel di dedaunan, namun halaman latihan sudah dipenuhi murid-murid yang sengaja datang lebih awal. Bukan untuk berlatih, melainkan untuk melihat sosok yang kini menjadi pusat perhatian seluruh paviliun—Hiro, orang asing berjubah hitam yang menumbangkan Bai Jian di depan para elder.Tatapan-tatapan itu penuh ragam: kagum, takut, iri, bahkan benci. Namun satu hal yang sama, tak ada yang berani berbuat gegabah. Hiro berjalan di tengah kerumunan itu dengan langkah ringan, seakan sorot mata ratusan murid hanyalah angin lalu.{Tuan, analisis lingkungan menunjukkan tingkat pengawasan terhadap Anda meningkat drastis. Setiap pergerakan Anda kini menjadi bahan pembicaraan.}Sistem kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih tenang daripada sebelumnya.“Aku tahu,” jawab Hiro dalam hati. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Biarkan mereka menatap. Semakin mereka menaruh perhatian, semakin besar ketakutan