Hari demi hari berlalu tanpa terasa, malam bulan purnama pun tiba. Dan seluruh pengawal istana kebingungan mencari Dewi Sekar Arimbi. Gadis cantik itu hilang sejak siang tadi. Dan yang aneh menurut pengakuan mbok pengasuhnya Sekar Arimbi pergi bersama Raden Kamandraka.
"Raden Kamandraka berada di ruang semedi sejak tiga malam yang lalu,Mbok."
"Tapi, hamba berani bersumpah bahwa Raden Kamandraka menjemput Dewi Sekar,yang mulia Patih."
Patih Benggala terhenyak, ia sadar bahwa mereka sudah kecolongan. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa iblis itu akan menyamar manjadi Raden Kamandraka. Patih Benggala pun segera melaporkan hal ini kepada Prabu Bratanaya.
"Bagaimana dengan Gayatri. Kita harus membawa Gayatri pergi dari istana dan menyembunyikannya kalau begitu," kata Prabu Bratanaya.
"Kemanapun, ia akan mencari Putri Gayatri. Jika memang kita mau menyembunyikannya, kita sembunyikan saja di tempat Eyang guru,tapi yang paling penting sekarang adalah mencari Dewi Sekar Arimbi terlebih dahulu," tukas Kamandraka.
Patih Benggala mengangguk, "Apa yang dikatakan Raden kamadraka benar. Kita harus menyebar dan mencari kemana iblis itu menculik dan membawa Sekar Arimbi pergi."
***
Sementara itu jauh di tengah hutan, Kamandraka palsu sedang menggandeng tangan Dewi Sekar Arimbi dengan mesra. Sementara gadis cantik yang tengah dilanda asmara itu senang saja saat Kamadraka yang ada di hadapannya ini memeluk dan menciumnya dengan mesra.
"Raden, hari sudah hampir malam, apa tidak sebaiknya kita kembali?" tanya Sekar Arimbi dengan manja.
"Kau takut?"
Dewi Sekar Arimbi tersipu malu sambil menggelengkan kepalanya perlahan.
"Bukan, aku tidak takut selama aku ada di samping Raden. Yang aku takutkan hanyalah apabila kita berdua khilaf melakukan hubungan yang seharusnya tidak kita lakukan."
"Contohnya?"
Pipi Sekar Arimbi pun semakin merona merah.
"Aku akan mengajakmu ke puncak bukit di depan sana," tunjuk Kamandraka palsu alias Fajar Kelana.
"Buat apa?"
"Kita akan menikmati keindahan sinar bulan purnama malam ini dan memadu kasih bersama," jawab Fajar Kelana.
Tiba-tiba Sekar Arimbi seolah tersadar saat mendengar bulan purnama. Bukankah malam bulan purnama itu adalah ....
Sekar Arimbi menghentikan langkahnya dan menatap Fajar Kelana sedikit ragu. Benarkah pemuda di hadapannya saat ini adalah Raden Kamandraka?
"Ada apa,Sekar?"
"Ampun, tadi Raden mengatakan malam bulan purnama? Jika memang malam ini malam bulan purnama seharusnya kita tidak meninggalkan istana," tukas Dewi Sekar Arimbi dengan suara bergetar. Menyadari calon korbannya mulai curiga, Fajar Kelana pun tersenyum dan membelai rambut Sekar Arimbi dengan lembut.
"Sebenarnya ini adalah tugas rahasia dari Baginda Prabu Bratanaya. Beliau yang menyuruhku untuk membawamu ke tempat yang aman."
Dewi Sekar Arimbi menghela napas lega.
"Kenapa Raden tidak mengatakannya sejak tadi?" tanya Sekar Arimbi.
"Aku tidak ingin kau jadi panik. Sekarang, biar aku menggendongmu saja ke pucak bukit sana."
Tanpa menunggu jawaban Dewi Sekar Arimbi, Fajar Kelana segera membopong tubuh Sekar Arimbi dan dengan ilmu meringankan tubuh hanya dalam waktu beberapa saat mereka pun sudah tiba di puncak bukit.
Alangkah kagetnya Dewi Sekar Arimbi saat mereka tiba di puncak bukit itu. Tampak sebuah batu besar berbentuk persegi. Fajar Kelana segera meletakkan tubuh Dewi Sekar Arimbi di atas batu itu dan dengan gerakan cepat, ia langsung menotok jalan darah SEkar Arimbi sehingga gadis itu tidak bisa bergerak sama sekali.
"Siapa kau sebenarnya? Kau pasti bukan Raden Kamandraka," ujar Dewi Sekar Arimbi ketakutan.
"Hahahah ... Sudah terlambat bagimu menyadarinya."
Dan Dewi Sekar Arimbi pun terpekik saat melihat wajah pria di hadapannya berubah menjadi sosok yang mengerikan.
"Siapa kau sebenarnya? TOLONG! TOLONG!"
Dewi Sekar Arimbi mulai berteriak dan mencoba untuk bergerak, namun semua itu sia-sia. Fajar Kelana sudah membentengi tempat itu dengan ajian halimunan sehingga tidak ada seorang pun yang bisa melihat mereka kecuali yang memiliki ilmu tinggi.
"Berteriaklah sekuatnya, tidak akan ada yang bisa mendengar suaramu!" kata Fajar Kelana sambil menghampiri tubuh Dewi Sekar Arimbi. Dengan cepat ia menarik pakaian yang dipakai Sekar Arimbi dengan kasar sehingga hanya dalam waktu sekejab gadis itupun sudah polos tanpa mengenakan apa-apa.
"Aku mohon, jangan bunuh aku. Kasian ayahku, dia hanya memiliki aku," kata Sekar Arimbi. Gadis cantik itupun mulai menangis putus asa.
Namun, tangisan Sekar Arimbi tentu tak akan didengarkan oleh Fajar Kelana yang merupakan titisan iblis. Ia menelan salivanya saat melihat tubuh indah milik Sekar Arimbi. Dan, saat sinar bulan tepat berada ditengah dan menyinari batu besar itu, Fajar Kelana pun langsung menyetubuhi Sekar Arimbi dengan brutal. Kemudian mengisap darah gadis itu sampai habis.
DUAAAR!!!
Tepat setelah ia mengisap habis darah Sekar Arimbi, kabut yang ia ciptakan terbuka dan Raden Kamandraka langsung menyerangnya dengan pukulan jarak jauh.
"Ibliis keparat! Jangan lari kau!" seru Kamandraka.
"Hahahah ... Darah gadis itu sangat enak. Dan, kau harus berhati-hati melindungi calon istrimu itu. Karena aku akan menjadikan dia sebagai tumbal terakhirku!"
"Dalam mimpimu!" seru Kamandraka sambil kembali melepaskan pukulan, namun Fajar kelana yang baru saja mendapatkan darah segar kekuatannya semakin bertambah, dengan mudah ia menghindar dan menghilang seketika.
Jenazah Dewi Sekar Arimbi dibawa ke Kahuripan dan segera dikremasikan."Semoga Dewa memberkati Dewi Sekar dan kelak bisa reinkarnasi di kehidupan yang lebih baik," kata Prabu Bratanaya. Hari ketiga setelah upacara kremasi Raden Kamandraka dan beberapa prajurit pilihan juga Patih Benggala berangkat ke kaki gunung Ciremai. Tujuan mereka adalah padepokan Segara Geni. Melalui telepati, Empu Supa meminta agar Raden Ayu Putri Gayatri dibawa ke Padepokan."Maafkan murid yang lalai,Eyang guru," ujar Kamandraka saat menghadap Empu Supa Mandrageni."Tidak ada yang bisa menolak takdir, cucuku," ujar Empu Supa."Putri Gayatri akan aku sembunyikan di tempat yang paling aman," kata Empu Supa."Di mana,Eyang Guru?" tanya Patih Benggala. Padepokan milik Empu Supa bukanlah padepokan yang besar dan memiliki banyak murid. Empu Supa tidak sembarangan menerima seseoran
Dewi Gayatri hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Awalnya dia berpikir bahwa di dalam guci akan gelap gulita. Namun, ternyata tidak. Ia berada di sebuah kamar tidur yang tidak terlalu besar namun sangat rapi dan bersih. Di atas meja terdapat buah-buahan yang dapat ia makan. Dewi Gayatri membuka pintu,ia terbelalak melihat aliran air sungai yang begitu jernih. "Ini seperti di surga, bahkan di istana saja aku tidak dapat melihat yang seperti ini," gumam Gayatri.Perlahan ia melangkah mendekati sungai dan membuka pakaiannya. Melihat air yang begitu jernih ia merasa ingin mandi. Putri Prabu Bratanaya itupun mulai mandi dan menikmati segarnya air sungai. "Ah, seandainya saja kakang Kamandraka ada di sini bersamaku, tentu aku akan merasa senang sekali," katanya lagi.Dewi Gayatri dan Raden Kamandraka sudah dijodohkan sejak kecil. Namun, keduanya tidak ada yang merasa te
Empu Supa yang tidak menyangka bahwa Patih Benggala akan menghabisi nyawa Senopati Sangkar langsung mendekat."Seharusnya kita tidak langsung membunuhnya," ujar Empu Supa. Patih Benggala menarik napas panjang dan mengembuskannya lalu berlutut menghaturkan hormat."Ampun, Eyang guru. Murid terbawa emosi, jujur saja di antara yang lainya hamba paling percaya kepada Senopati Sangkar, karena dia sudah hamba rawat sejak kecil. Bahkan hamba sudah menganggap adik hamba sendiri." Empu Supa menepuk bahu Patih Benggala,ia melihat ada air mata yang menetes membasahi pipi patih yang biasanya selalu tegar itu."Kuburkanlah dia secara layak," kata Empu Supa."Laksanakan Eyang," jawab Patih Benggala. Dengan dibantu oleh beberapan orangb prajurit Patih Benggala menguburkan Senopati Sangkar. Ia merasa sangat sedih sekaligus juga merasa malu. Mengapa orang kepercayaannya bisa m
_Bandung 660 tahun kemudian_ "Kalau kamu nggak mau juga nggak masalah, aku masih bisa kok minta anter sama cowok lain!"Gadis cantik itu tampak mengentakkan kakinya dengan kesal sambil menatap kekasihnya itu dengan sebal."Aku bukan nggak mau antar kamu, tapi, Papamu sendiri yang melarang kamu untuk pergi ke sana. Giselle!" tegas Genta."Kamu kan, bisa bohong sama Papa, Mas. Dari pada aku pergi sama cowok lain," rayu Giselle lagi. Tapi, bukan Genta namanya jika menurut begitu saja pada gadis labil di hadapannya ini."Sekali tidak , ya tidak! Aku bisa mengatakan kepada Papamu semua jadwalmu dan dengan siapa kamu pergi. Jadi, jangan coba-coba kamu berbohong atau pergi dengan orang lain.""Jahat!" pekik Giselle nyaring. Namun, Genta tidak peduli. Ia bahkan dengan santai menarik tangan gadis itu untuk segera masuk ke dalam mobil."Kita pulang
Buana menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia merasa begitu damai setiap kali ia kembali ke sini. Buana lahir di Cirebon, tepatnya di Sindang Laut. Ia sempat menjadi santri di Buntet Pesantren Cirebon. Kedua orangtua Buana memberinya nama Buana Cakrawala. Entah mengapa sang ayah memberinya nama itu. Tapi, Buana sendiri menyukainya. Setiap kali ia kembali ke Cirebon untuk bertemu gurunya di pesantren dan ziarah ke makam kedua orangtuanya, Buana selalu menyempatkan diri ke gunung Ciremai. Rasanya seperti ada yang memanggilnya dari kejauhan. Memanggilnya untuk selalu pulang ke sana. Tidak perlu naik ke puncak, cukup di kaki gunung saja, begadang bersama para penjaga di pos pendakian. Itu saja sudah cukup untuk Buana. Seperti ponsel yang baru saja selesai dicharge maka semangat Buana untuk kembali bekerja akan kembali menyala setelah ia kembali dari Ciremai."Bang, k
_Hongkong_ Sersan Yongseng menghela napas panjang, ia baru saja mendapatkan hasil autopsi dari penemuan mayat gadis yang ditemukan di Kowloon Walled City. Gadis itu ditemukan oleh warga sekitar dalam kondisi tanpa sehelai pakaian pun. Yang paling aneh adalah, darah gadis itu kering."Apa mungkin ini perbuatan Vampir, sersan?"Yongseng menatap anak buahnya dengan tajam."Kau pikir seperti cerita dalam film? Vampir pengisap darah yang meminum habis darah korbannya!""Tapi, manusia macam apa yang mengisap darah korbannya sampai habis, bahkan tanpa jejak sedikitpun seperti hantu.""Itulah tugas kita sebagai polisi, untuk menyelidikinya!" Dalam perjalanan karirnya sebagai seorang polisi Sersan Yongseng baru pertama kali ini menemukan mayat dalam kondisi yang sangat aneh. Ini adalah mayat kedua yang ditemukan dalam kondisi seperti ini. Polos dan kehabisan darah
Giselle tersenyum saat melihat siapa yang datang menjemputnya di gerbang kampus."Mas Genta!" serunya."Kok tau kalau aku di sini?" tanya Giselle."Mamamu bilang kau sedang mengurus pendafaran kuliahmu, jadi aku sengaja menjemputmu.""Duh, yang habis jalan-jalan dari luar negeri. Katanya nggak lama, hanya tiga hari aja, taunya lebih dari sebulan." Genta tersenyum manis sambil memeluk gadis itu lalu mengecup dahinya penuh rasa sayang."Aku ada pekerjaan, jadi aku harus ke beberapa tempat. Tidak hanya ke Bangkok, tapi aku mampir ke Hongkong juga.""Yang penting oleh-oleh untukku jangan sampai lupa," ujar Giselle dengan manja."Ada di rumahmu, jadi sekarang kita pulang,ya. Sudah selesai semuanya,kan?""Sudah,semua sudah selesai. Dua minggu lagi aku akan menjalani masa orientasi.""Hmm, calon mahasiswi," komentar Genta."Ya sudah, kita pulang," ajak Genta.
Buana meraih buku yang disodorkan oleh Yongseng. Isinya tentang pemujaan dan ilmu yang bisa membuat hidup abadi."Maksudmu?""Buana, kejadian itu tidak hanya terjadi di Hongkong. Tapi, menurut informasi yang aku dapatkan korban dengan kondisi yang sama ditemukan di beberapa negara berbeda." Buana menatap sepupunya itu dan mencoba mencerna setiap penjelasan yang diberikan oleh Yonseng."Jadi, kau datang ke Indonesia untuk menyelidiki kasus pembunuhan aneh, begitu?""Bukan tidak mungkin CIA dan FBI juga akan mengirimkan orang untuk mencari info tentang orang yang kami curigai ini.""Bisa saja ,kan dia hanya kebetulan sedang dalam kunjungan untuk bisnis atau liburan barangkali.""Aku ingin sekali berpikir seperti itu, Buana. Tetapi, kebetulan itu rasanya terlalu ....""Aku mengerti maksudmu.""Besok kita ke Cirebon," kata Buana. Yonseng mengerutkan dahinya,"C