Yang baru nemu cerita ini, jangan lupa follow Author-nya yaa... Pastikan cerita ini masuk di reading list kalian. Happy reading.
💖💖💖Aku melotot ketika melihat flyer pengumuman reuni sekolah dimuat di akun I* alumni sekolah. Ternyata ada dress code untuk menghadiri acara tersebut. Tidak susah. Bagi alumni perempuan menggunakan warna putih, sementara alumni laki-laki warna navy. Dan jenis pakaian tidak ditentukan, yang jelas warnanya sesuaikan.Aku belum memutuskan akan datang, tapi sudah mengingat apakah aku punya dress warna putih atau enggak. Siapa tahu Danar atau Giko menarikku paksa ke acara itu."Nggak pulang lo, Win?" tanya Arin yang sudah siap menenteng tas."Iya bentar lagi," sahutku masih meng-stalking komen yang ada di postingan terbaru acara reuni itu. Mataku berbinar ketika akun Tama ikut berkomentar. Lalu aku tertarik untuk komen di bawahnya dengan pertanyaan yang sama. Sejenak aku terkikik."Gila lo ya, Win?"Eh? Aku mendongak. Ternyata Arin masih ada. "Gue pikir lo udah balik, Rin.""Ini gue mau balik. Udah ah gue cabut. Lo ati-ati jangan ketawa sendirian. Udah sepi ini," ujarnya sembari berlalu.Aku sontak celingukan. Benar. Hanya aku yang ada di workstation serta OB yang masih tampak mondar-mandir. Aku mengakhiri kegiatanku menekuri I* dan segera membereskan apa-apa yang ada di atas meja.Aku sudah akan meninggalkan kubikel ketika pintu ruangan Danar terbuka. Manajer Marketing itu penampilannya terlihat sudah tidak serapi pagi tadi. Lengan kemejanya digulung hingga siku, bahkan dasi yang menggantung di kerah lehernya sudah tidak terlihat. Danar melangkah setelah menutup pintu."Lo belum pulang, Win?" tanya Danar berjalan mendekat."Ini mau balik. Lembur?"Danar mengangguk. "Pak Reno ngasih banyak kerjaan. Lo pulang bareng Giko?""Enggak. Gue naik bus."Danar yang saat ini berdiri di depan water dispenser menoleh. "Nggak bareng Giko aja?""Enggaklah. Dia paling udah balik sama teman kencannya.""Gue anter aja kalau gitu." Paper cup yang sudah diambil, disimpannya kembali ke tempatnya."Nggak usah, Dan. Lo kan lagi sibuk. Udah ah. Gue duluan." Aku melambaikan tangan dan buru-buru meninggalkannya.Aku memang kerap nebeng Danar atau Giko. Siapa saja yang kebetulan pulang di jam yang sama. Tapi, kalau mereka sibuk nggak mungkin aku mau merepotkan mereka."Win!"Aku menoleh dan mendapati Giko berjalan tergesa ke arahku. Tepatnya mungkin ke lift yang sedang aku tunggu."Danar mana?" tanya dia setelah berhasil berdiri di sampingku."Masih banyak kerjaan."Pintu lift terbuka dan kami masuk. Tidak ada siapa pun di dalam selain kami berdua."Bilangin dia jangan serius banget kalau kerja. Hidup juga perlu dinikmatin. Nggak heran kalau predikat jomlo masih aja nempel."Aku berdecak. "Lo ngajak ngobrol jomlo juga by the way."Giko terkekeh. "Lupa gue," tangannya yang jail dengan iseng mengacak rambutku."Giko, gue udah susah payah nyisir nih. Lo berantakin lagi." Aku kembali merapikan rambutku yang berantakan sambil mendumel.Kebiasaan buruknya bikin aku pengin meng-sleding kepalanya."Ahelah, Win. Mau lo rapi atau berantakan nggak ada yang protes.""Tetep aja penampilan cewek itu harus menarik bahkan di saat jomlo sekali pun. Siapa tau kan ada pangeran lewat tak terduga. Jadi, kalau penampilan oke kan nggak malu-maluin."Giko mencibir. "Pangeran apaan, Pangeran William?"Pintu lift terbuka kami lantas berjalan beriringan. Dan, saat tangan Giko melambai, aku tahu dia sedang ditunggu seseorang sekarang. Mataku menyipit melihat wanita berkacamata dengan rambut tergerai."Gi, itu Bu Rina?" tanyaku tanpa melepas pandangan dari sosok yang berdiri di depan resepsionis."Yoi! Gue duluan ya, Win. Lo bisa pulang sendiri kan?"Tidak perlu menunggu jawabanku Giko langsung menghampiri Bu Rina. Bahkan tangan lelaki itu langsung menyambar pinggang Bu Rina, lalu keduanya berjalan keluar lobi.Aku spontan menepuk jidat. "Bahkan tante-tante dia embat juga."***Aku sedang memilih baju di sebuah butik salah satu mal ketika mataku tanpa sengaja menangkap sosok bayangan seseorang. Aku bergegas meninggalkan rentengan baju yang sedang aku pilih begitu saja dan beranjak keluar.Di depan pintu kaca transparan butik tersebut aku celingukan. Aku tidak mungkin salah lihat."Nyari siapa sih, Win?" tanya Giko ikut celingukan."Tadi gue liat Tam—" aku spontan memejamkan mata. Lupa sesaat bahwa aku datang ke sini bersama Giko. "Enggak. Bukan siapa-siapa. Gue kayaknya salah liat doang. Masuk lagi yuk." Aku menyeret lengan Giko masuk ke butik kembali. Sempat aku menoleh ke belakang lagi. Dan, dari kejauhan aku melihat dia. Hanya sekilas sebelum sosok itu berlalu makin menjauh.Demi apa! Dadaku berdetak kencang. Padahal manusianya jauh, lalu gimana bisa efeknya sedahsyat ini? Tanpa sadar aku menyentuh dadaku. Dia ternyata ada di Jakarta."Lo kesambet apa gimana sih, Win?" Giko meneleng dengan pandangan aneh, menatapku. Lagi-lagi aku lupa sedang bersama playboy cap ayam jago ini."Siapa yang kesambet. Gue tadi cuma liat pangeran," sahutku asal sembari kembali menuju hanging stand."Hah? Pangeran William beneran ada?""Pangeran Will mah udah tua, kalau yang gue liat tadi jauh lebih tampan," ujarku sembari membayangkan wajah tampan Tama. Namun, wajah itu mendadak buyar ketika wajah istrinya ikut nongol."Halah, paling juga masih gantengan gue ke mana-mana," Giko berdecih. Dia paling tidak suka kalau aku sudah membahas ketampanan pria lain jika kami sedang bersama. Padahal fungsi dia cuma teman."Iya, kalau dilihat dari puncak Monas pake sedotan.""Heh, sembarangan. Nggak ada yang raguin ketampanan gue ya." Giko tampak tak terima. "Semua cewek bahkan ngantri minta gue ajak kencan."Aku memutar bola mata. Entah pelet apa yang Giko lempar pada cewek-cewek itu, yang jelas buat aku peletnya nggak bakal mempan."Termasuk Bu Rina?"Giko menggerak-gerakkan alisnya. "By the way gue udah lama banget ngincer dia. Dan akhirnya ketangkep juga. Binal euy di atas ranjang," ujarnya tertawa."Gue nggak tertarik denger petualangan ranjang lo."Biasanya Danar yang selalu dengar cerita-cerita Giko dan wanita-wanitanya. Dengan bangga dia akan memamerkan koleksi kondomnya atau gaya baru yang dia praktekkan bersama partner-nya. Menjijikkan."Sekali-kali denger, kali aja lo tertarik nyoba, Win. Gue siap bantu pecahin telur lo.""Sinting." Aku menabok kepala Giko yang kurang oksigen itu dengan hanger baju."Astaga, sakit Win! Pantes lo jomlo. Galak masih dipelihara."Aku melotot sebelum masuk ke ruang ganti. "Diem lo! Awas kalau ngintip."Giko melengos. "Sori, emang ada yang bisa gue intip gitu? Dada lo aja rata gitu, apa yang mau gue intipin?"Setelah mengatakan itu dia ngeloyor pergi ke etalase khusus outfit pria. Aku sendiri sudah menemukan satu dress yang akan aku gunakan nanti di acara reuni sekolah. Meski aku tidak yakin akan datang, persiapan tetap perlu.Aku keluar dari ruang ganti dengan gaun terusan ruffle sepanjang bawah lutut. Gaun tanpa lengan ini polos di bagian atas hingga pinggang. Lalu merumbai dari pinggang hingga ke bawah lutut. Tidak ada printilan yang menyilaukan mata. Cukup simpel dan aku suka.Aku memutar di depan cermin. Setengah berlenggok dan menelengkan kepala untuk memperhatikan pantulan diri sendiri yang tampak beda dengan balutan gaun yang memeluk erat tubuhku itu. Dulu aku memiliki tubuh mungil. Namun, berkat olahraga renang yang aku ikuti semasa remaja, tubuhku menjadi lebih tinggi. Aku merasa puas dengan keadaan diriku sekarang. Meski nggak cantik-cantik banget, aku terbilang manis sebagai seorang wanita. Eits, ini bukan aku loh yang bilang. Yoga mantan pacarku yang pernah dibuat bonyok oleh Giko yang bilang. Tone kulitku tidak terlalu putih, tapi juga tidak bisa disebut cokelat. Entah ini jenis warna kulit apa, kuning? Ya, orang bilang kuning langsat. "Wuidih! Tuan Putri kayaknya udah siap datang ke acara reuni nih." Aku menoleh ketika suara Giko terdengar. Sontak aku memamerkan diri dan berputar di hadapannya. "Cocok enggak, sih gue pake warna putih? Gue nggak pede sama warna kulit," tanyakuku melirik lenganku yang terbuka. "Cocok, kok. Lo kan emang selalu
"Kamu nggak pa-pa?"Sebuah suara menyapaku. Aku yang berjongkok dengan kepala menunduk penuh rasa takut pelan mengangkat wajah. Wajah seorang pria dengan alis tebal, serta hidung yang mencuat tampak begitu dekat denganku. Aku pikir dia malaikat yang akan menjemputku, mungkin saja tubuhku sudah terpental jauh dan terguling. Sementara nyawaku masih tetap tertahan di lokasi kejadian. Namun, wajah malaikat itu terasa tak asing buatku. Sorot matanya yang teduh dan bibirnya yang penuh sama persis dengan seseorang yang sering aku stalking akun Instagramnya. Aku tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi kan? Masa wajah di hadapanku yang saat ini tengah mengerjap mirip Tama? "Ap-apa gue masih hidup?" tanyaku setengah sadar. "Ya, lo masih hidup."Aku cukup terkejut mendengar suara itu lagi. Dia menjawab, aku tidak sedang berdelusi. Pandanganku bergeser ke depan mobil yang hampir menabrakku. Ternyata posisinya masih jauh dari tempatku. Aku benar-benar masih hidup. Saat menengok kaki sendir
Aku mematut diri di depan cermin beberapa kali. Kadang berputar, kadang condong ke depan. Memastikan penampilanku hari ini tidak terlihat aneh. Waktu mengepas di butik sih Giko bilang gaun ini cocok buatku. Tapi tetap saja aku merasa nggak percaya diri. Sekarang aku memusatkan ke riasan wajah. "Aku nggak terlalu menor kan?" gumamku pada pantulan diri di dalam cermin. Aku sengaja memilih make-up dengan warna nude agar terlihat natural. Inginnya sih tanpa make up, sayangnya aku nggak memiliki kecantikan alami yang bisa dibanggakan. Wajahku gampang kering dan itu sangat mengganggu. Aku akan selalu membawa face mist ke mana-mana. Telunjukku bergerak menyingkirkan poniku yang sedikit menjuntai. Aku belum sempat merapikannya, padahal Giko kerap mengingatkan aku. Dia risih setiap kali melihatku membenarkan poniku yang kerap kali mengganggu aktivitasku. Sampai-sampai dia gemas sendiri dan membelikanku penjepit rambut mini. Kali ini aku enggak akan membiarkan poniku menjadi masalah di reuni
Oke, kita mulai up lagi, yak. Jangan lupa sebar komen ya hehe sebelum baca. ***"Lo nggak bilang kalau yang hampir nabrak lo Tama?" Danar di sampingku berbisik. "Gue nggak ngeh itu dia. Kejadiannya malam gue nggak bisa lihat dengan jelas. Mana gue tau kalau itu dia," balasku berbisik juga. Saat ini kami sedang berada di meja nomor sepuluh. Ya, kami satu meja bersama Tama berkat kedua laki-laki yang datang bersamaku ini. Tatapku beralih kepada Tama yang saat ini sedang asyik mengobrol dengan Giko. Keduanya dulu sama-sama anggota inti OSIS dan juga satu ekskul. Bahkan keduanya pernah mewakili paskib di tingkat provinsi. Jadi, sangat wajar jika pertemuan keduanya terlihat renyah. Di meja lain aku melihat Sintia, wanita yang sudah dari jamannya sekolah selalu bersama Tama. Aku iri padanya. Seandainya bisa, aku mau bertukar posisi dengannya. "Teman-teman sekelas kita mana ya?" tanya Danar entah kepada siapa, kepalanya celingukan. Ya, selain Danar dan Giko aku tidak menemukan teman
Aku up Reuni lagi, yak! Jangan lelah menunggu pokoknya, bakar aja kalau mau cepet update. Pembaca senang, penulis pun riang. Wkwk. Happy reading jangan lupa vote, Gaes.ᕙ( ͡◉ ͜ ʖ ͡◉)ᕗ"Gue minta maaf buat malam itu. Gue hampir ngenalin lo, tapi lo keburu pergi." Aku ingin kabur, tapi kali ini kakiku tetap menjejak. Aku heran dengan pikiranku. Bukankah ini yang aku ingin? Bertemu Tama di reunian. Harusnya aku senang dan mengajak dia ngobrol. Bukan malah mati kutu dan nggak berkutik begini? "Nggak apa-apa," aku menggeleng. Nyatanya aku kesulitan menggerakkan lidah yang mendadak kelu di depan Tama. Aku bersyukur karena penjaga stand bakso segera memberiku mangkok bakso yang kupesan. "Gue ke sana dulu ya." "Nggak makan bareng aja?" tanya dia, lalu pandangannya memindai ballroom yang lumayan ramai ini. "Tuh, ada tempat kosong kita bisa ke sana dan mengobrol." Aku mengerjap. Sama sekali tidak menduga Tama akan mengajakku makan bersama. Tatapku lalu mencari sosok Sintia di meja nomor s
"Lo sama Arin meeting ke tempat klien bisa enggak, Win?" Aku mendongak dan melihat Danar sudah berdiri di depan kubikelku. Sebenarnya aku malas bertemu klien, lalu mempersuasi agar mau bekerja sama dengan kami. Itu kan tugas Danar sebagai manajer. Lelaki itu menatapku, dengan sorot yang bisa aku artikan 'please, jangan tolak permintaanku', menyebalkan. "Emang lo mau ke mana?" tanyaku kembali memelototi layar laptop. "Gue ada seminar di Bogor. Siang ini juga harus berangkat," ujarnya sembari melirik pergelangan tangannya. "Tinggal datang aja sih, nanti juga perusahaan mereka tahu kalau lo memperkenalkan diri. Gue udah buat janji kok." "Tanya aja sama Arin," aku menunjuk Arin yang sedang berjalan ke arah kami. Dia habis dari mesin fotokopi yang ada di koridor. "Eh, ada Pak Danar. Kenapa, Pak?" tanya Arin begitu sampai. Wanita rambut sebahu itu lantas masuk ke kubikel. "Habis makan siang ketemu sama klien ya. Eh bukan klien sih, masih calon," ujar Danar. Aku harap Arin menolak. "
Aku memeluk tas laptop, masih berdiri nggak jauh dari posisinya. Yudhistira Pratama tersenyum memandangku. Senyum yang masih sama seperti dulu ketika aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Dan hanya dengan satu ulasan itu dadaku berdegup tak karuan. Aku makin erat memeluk tas laptop sembari membalas senyum kikuk. Dia nggak menggunakan kata "lo" ketika menyebutku, tapi "kamu". Sekarang dia klien perusahaanku, aku juga tak mungkin berlo-gue dengannya. "Apa kabar ... Pak Tama?" tanyaku setenang mungkin. Kami hanya berdua di ruangan ini dan tentu saja aku nggak akan membiarkan diriku sendiri bertingkah konyol di pertemuan yang ke .... tiga? Tama terkekeh pelan. Sudut matanya berkerut, tapi itu sama sekali nggak mengurangi ketampanannya. Diam-diam aku menarik napas dan mengembuskannya pelan. Detak jantungku yang menggila benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah berniat melupakannya setelah reuni itu, tapi takdir malah mempertemukan kami kembali. Aku bisa apa? "Aku baik." Aku? Al
Meski sepi kayak kuburan, tetep aku update-nya. Aku sayang cerita ini soalnya. (人 •͈ᴗ•͈)"Kalian berhasil menggaet klien?" tanya Danar saat dia meneleponku. Aku baru saja turun dari bus trans Jakarta dan berjalan menuju apartemen. "Lo tau kalau klien kita itu perusahaan tempat Tama kerja?" tanyaku balik, tanpa menjawab lebih dulu petanyaannya. Aku berhenti berjalan dan menunggu lampu merah menyala. "Tau. Kan gue yang nawarin kerjasama pas kemarin di acara reuni. Jadi, kemarin itu follow up tawaran gue." Sudah kuduga. Tahu begini aku–"Dan lo tau pasti bakal dapat kontraknya, kan?" "Oh, kalau itu belum tentu makanya aku kirim kalian. Pas itu Tama bilang mau lihat dulu proposal tawaran kerjasamanya." Syukurlah, itu artinya usaha Arin nggak sia-sia membuat percaya calon klien. "Lo masih di Bogor?" Aku mendongak ketika lampu merah menyala. Lalu kembali berjalan dengan pejalan kaki lainnya untuk menyeberang."Masih, tapi kayaknya sebentar lagi selesai. Gue pulang malam kayaknya."