Giko tidak berhasil mengajak Arin makan siang bersama. Aku yakin wanita itu jengah mendengar rayuan gombal yang dikeluarkan lelaki playboy itu.
"Hanya soal waktu. Biasa, cewek mah gitu. Suka tarik ulur, jinak-jinak merpati. Ntar kalau gue jauhin baru deh nyesel. Ngarep dideketin lagi." Giko mengibaskan tangan. "Gue udah sering nemuin cewek yang begitu."Aku melirik Danar yang hanya bisa menggeleng mendengar komentar Giko soal Arin."Ya, siapa sih cewek yang mau dideketin kalau ujung-ujungnya cuma buat main-main doang? gue juga ogah." Aku meraih gelasku yang masih penuh."Dari mana mereka tahu kalau kami laki-laki deketin cuma buat main-main doang? Kalian aja yang sudah berburuk sangka duluan."Aku berdecak. "Cewek juga tahu kali mana cowok yang beneran serius dan cowok yang hanya main-main doang kayak lo. Cukup lihat aja track record lo yang buruk, mereka tahu kalau lo itu nggak pernah serius untuk urusan asmara."Aku bersumpah akan menyiram air minum ini ke mukanya kalau dia berani membantah."Terserah lo, deh, Win. Kalian mahluk dunia yang terlalu banyak pertimbangan. Bahkan untuk satu buah baju yang mau dibeli saja harus keliling mal berjam-jam dulu. Eh, ujung-ujungnya balik ke pilihan pertama juga." Giko menyadarkan punggung ke kursi."Kalau nggak gitu, kami perempuan nggak akan pernah tahu mana yang terbaik untuk kami pilih. Memiliki sikap selektif itu wajib buat kami, agar nggak sampai kejadian salah pilih." Aku menyeruput minumanku. Setelahnya menatap Danar. "Yang gue bilang bener, 'kan, Dan?"Danar yang seperti biasa hanya mendengar perdebatan kami nampak tercenung. "Benar, sih, meskipun nggak sepenuhnya.""Kok gitu?""Nyatanya kasus cerai malah menjamur. Dalam proses memilih itu kan kita cuma bisa melihat tampak luarnya saja. Seselektif apa pun kita, nanti bakal nemu cacat yang akhirnya bisa menjadi cikal bakal munculnya konflik," ungkap Danar seolah dia pakar dalam hal ini. Pacaran saja belum pernah."Gaes, udah, ya, kita tutup kasus ini. Sekarang kita bahas reuni. Kalian mau pada datang nggak?" tanya Giko mengalihkan pembicaraan."Gue ngikut kalian aja," jawab Danar."Gue ...." Mendadak aku ragu membuat keputusan. "Gue nggak punya sesuatu yang bisa gue banggain. Gue nggak usah ikut aja, deh."Dua pasang mata dengan sinar yang berbeda menatapku seketika. Hmm, reaksi mereka terlalu berlebihan. Memang ucapanku ada yang salah?"Sejak kapan lo jadi insecure gini?" tanya Giko melongo."Sejak gue dapat email dari panitia reuni," Aku mengerang sebal."Astaga, jangan terlalu diambil pusing, Win."Aku mendesah. Menolak pura-pura tidak tahu kalau reuni itu ajang kuat-kuatan mental."Jadi, apa yang harus gue jawab kalau salah seorang dari mereka bertanya soal pencapaian gue selama ini?" tanyaku tak semangat.Giko menyeringai. Tidak, aku tidak akan membiarkan dia mengeluarkan koleksi kata-katanya yang absurd."Sudahlah, lupakan. Urusan datang enggaknya, kita lihat ntar aja." Aku buru-buru mengakhiri kegiatanku, dan tidak membiarkan Giko berkomentar lagi. "Gue duluan, ya, Arin udah nunggu gue.""Loh, Win. Kok jadi buru-buru gini?" protes Giko."Gue lupa mau bantuin Arin sesuatu." Aku melihat ke Danar. "Tolong. Bayarin makan gue dulu, ya, Dan. Gue cabut."Aku sudah tidak peduli lagi mereka berdiskusi apa. Mungkin saol wanita yang akan mereka bawa nanti saat reunian.Aku mendesah duduk di kursi. Menyalakan kembali laptop dan membuka akun i*******m. Lagi-lagi kegiatan stalking. Giko pasti akan mengolokku habis-habiskan kalau tahu kegiatanku yang satu ini. Ternyata aku lebih mengenaskan dari Danar. Lelaki itu masih punya kesempatan untuk bisa meraih cinta masa lalunya. Lah aku? Laki-laki yang sangat aku sukai bahkan nggak pernah sadar kalau aku menyukainya dulu itu.Yudhistira Pratama atau biasa disebut Tama. Laki-laki yang berhasil mencuri perhatianku sejak aku mengenal manisnya rasa merah jambu. Namun, rasa itu hanya bisa kupendam dalam hati. Bahkan sampai saat ini. Aku membawanya ke mana pun aku pergi. Miris.Mungkin karena ini juga aku selalu gagal menjalin sebuah hubungan. Ya, aku pernah berpacaran dua kali sebelumnya. Pertama saat semester pertengahan kuliah. Aku pernah berpacaran dengan anak dari fakultas hukum. Namun, tidak bertahan lama. Hanya sekitar empat bulan aku sudah tidak menemukan ketidakcocokan. Kedua sekaligus yang terakhir adalah tiga tahun lalu. Hubunganku kandas karena dia ketahuan selingkuh di belakangku. Bukan aku sih yang melihatnya berselingkuh, tetapi si Giko. Dan, dia pun berakhir bonyok di tangan Giko.Jadi, selama tiga tahun ini aku betah menjomlo. Sebenarnya nggak betah, hanya saja aku masih saja belum menemukan orang yang tepat. Apa lagi tujuanku sekarang bukan sekadar mencari pacar. Aku ingin ketika menjalin sebuah hubungan, maka itu adalah hubungan yang serius. Umurku sudah bukan waktunya lagi bermain-main. Masa keemasannya sebentar lagi hilang.Tubuhku menegak ketika melihat unggahan baru dari akun i*******m Tama. Dia mengunggah kegiatannya yang sedang memimpin sebuah rapat di kantornya. Foto yang diambil secara candid. Tama terlihat gagah dengan kemeja slimfit berwarna biru muda sebuah dasi berwarna navy bergaris diagonal menggantung di kerah kemejanya.Ya Tuhan, kenapa mahluk setampan Tama bukan jodohku sih? padahal jujur dulu itu, Tama pernah ada dalam doaku. Tapi, garis hidup berkata lain. Aku mendadak berhenti mendoakan Tama ketika tahu dia jadian dengan Sintia, teman sekelas lelaki itu. Gadis itu pula yang menjadi istri Tama sekarang. Gimana aku nggak iri coba? Itu membuktikan bahwa Tama itu adalah seorang lelaki setia."Woy! Bengong aja!"Suara Arin mengagetkanku. Aku belum sempat menggulir layar laptop ketika dia datang. Jadi foto Tama yang sedang memimpin rapat bisa dilihat oleh wanita itu."Wah! Siapa itu? Ganteng banget. Gebetan lo ya, Win?" tanya Arin duduk di kursinya yang berada tepat di sebelahku."Bukan lah. Itu cuma akun yang kebetulan lewat di beranda gue." perasaanku kepada Tama tidak ada yang tahu, bahkan Danar dan Giko sekali pun."Masa sih?" Arin melempar tatapan menggoda."Ya iyalah. Eh, kenapa tadi lo nggak makan bareng kita sih?" tanyaku mengalihkan topik. Aku nggak mau Arin mengorek-ngorek keadaan hatiku yang mendadak pilu kalau mengingat Tama."Nggak, ah. Pak Giko reseh." Arin bergidik.Aku terkekeh. "Yakin nih nggak mau nyobain sama dia? kali aja cocok."Arin mendengus. "Nggak selera. Meskipun tampangnya lebih charming dari Pak Danar. Gue bakal terima dengan tangan terbuka seandainya yang lo tawarin itu Pak Danar." Dia merentangkan tangan lebar dan tersenyum.Danar. Dia memang tampan. Aku menjadi saksi perubahannya tahun demi tahun. Saat masih kuliah juga lumayan banyak cewek yang deketin dia. Cuma dia bukan seorang playing. Jadi, ya cewek-cewek itu hanya dianggap angin lalu saja.Yang baru nemu cerita ini, jangan lupa follow Author-nya yaa... Pastikan cerita ini masuk di reading list kalian. Happy reading.💖💖💖Aku melotot ketika melihat flyer pengumuman reuni sekolah dimuat di akun IG alumni sekolah. Ternyata ada dress code untuk menghadiri acara tersebut. Tidak susah. Bagi alumni perempuan menggunakan warna putih, sementara alumni laki-laki warna navy. Dan jenis pakaian tidak ditentukan, yang jelas warnanya sesuaikan.Aku belum memutuskan akan datang, tapi sudah mengingat apakah aku punya dress warna putih atau enggak. Siapa tahu Danar atau Giko menarikku paksa ke acara itu. "Nggak pulang lo, Win?" tanya Arin yang sudah siap menenteng tas. "Iya bentar lagi," sahutku masih meng-stalking komen yang ada di postingan terbaru acara reuni itu. Mataku berbinar ketika akun Tama ikut berkomentar. Lalu aku tertarik untuk komen di bawahnya dengan pertanyaan yang sama. Sejenak aku terkikik."Gila lo ya, Win?"Eh? Aku mendongak. Ternyata Arin masih ada. "Gue pikir l
Aku memutar di depan cermin. Setengah berlenggok dan menelengkan kepala untuk memperhatikan pantulan diri sendiri yang tampak beda dengan balutan gaun yang memeluk erat tubuhku itu. Dulu aku memiliki tubuh mungil. Namun, berkat olahraga renang yang aku ikuti semasa remaja, tubuhku menjadi lebih tinggi. Aku merasa puas dengan keadaan diriku sekarang. Meski nggak cantik-cantik banget, aku terbilang manis sebagai seorang wanita. Eits, ini bukan aku loh yang bilang. Yoga mantan pacarku yang pernah dibuat bonyok oleh Giko yang bilang. Tone kulitku tidak terlalu putih, tapi juga tidak bisa disebut cokelat. Entah ini jenis warna kulit apa, kuning? Ya, orang bilang kuning langsat. "Wuidih! Tuan Putri kayaknya udah siap datang ke acara reuni nih." Aku menoleh ketika suara Giko terdengar. Sontak aku memamerkan diri dan berputar di hadapannya. "Cocok enggak, sih gue pake warna putih? Gue nggak pede sama warna kulit," tanyakuku melirik lenganku yang terbuka. "Cocok, kok. Lo kan emang selalu
"Kamu nggak pa-pa?"Sebuah suara menyapaku. Aku yang berjongkok dengan kepala menunduk penuh rasa takut pelan mengangkat wajah. Wajah seorang pria dengan alis tebal, serta hidung yang mencuat tampak begitu dekat denganku. Aku pikir dia malaikat yang akan menjemputku, mungkin saja tubuhku sudah terpental jauh dan terguling. Sementara nyawaku masih tetap tertahan di lokasi kejadian. Namun, wajah malaikat itu terasa tak asing buatku. Sorot matanya yang teduh dan bibirnya yang penuh sama persis dengan seseorang yang sering aku stalking akun Instagramnya. Aku tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi kan? Masa wajah di hadapanku yang saat ini tengah mengerjap mirip Tama? "Ap-apa gue masih hidup?" tanyaku setengah sadar. "Ya, lo masih hidup."Aku cukup terkejut mendengar suara itu lagi. Dia menjawab, aku tidak sedang berdelusi. Pandanganku bergeser ke depan mobil yang hampir menabrakku. Ternyata posisinya masih jauh dari tempatku. Aku benar-benar masih hidup. Saat menengok kaki sendir
Aku mematut diri di depan cermin beberapa kali. Kadang berputar, kadang condong ke depan. Memastikan penampilanku hari ini tidak terlihat aneh. Waktu mengepas di butik sih Giko bilang gaun ini cocok buatku. Tapi tetap saja aku merasa nggak percaya diri. Sekarang aku memusatkan ke riasan wajah. "Aku nggak terlalu menor kan?" gumamku pada pantulan diri di dalam cermin. Aku sengaja memilih make-up dengan warna nude agar terlihat natural. Inginnya sih tanpa make up, sayangnya aku nggak memiliki kecantikan alami yang bisa dibanggakan. Wajahku gampang kering dan itu sangat mengganggu. Aku akan selalu membawa face mist ke mana-mana. Telunjukku bergerak menyingkirkan poniku yang sedikit menjuntai. Aku belum sempat merapikannya, padahal Giko kerap mengingatkan aku. Dia risih setiap kali melihatku membenarkan poniku yang kerap kali mengganggu aktivitasku. Sampai-sampai dia gemas sendiri dan membelikanku penjepit rambut mini. Kali ini aku enggak akan membiarkan poniku menjadi masalah di reuni
Oke, kita mulai up lagi, yak. Jangan lupa sebar komen ya hehe sebelum baca. ***"Lo nggak bilang kalau yang hampir nabrak lo Tama?" Danar di sampingku berbisik. "Gue nggak ngeh itu dia. Kejadiannya malam gue nggak bisa lihat dengan jelas. Mana gue tau kalau itu dia," balasku berbisik juga. Saat ini kami sedang berada di meja nomor sepuluh. Ya, kami satu meja bersama Tama berkat kedua laki-laki yang datang bersamaku ini. Tatapku beralih kepada Tama yang saat ini sedang asyik mengobrol dengan Giko. Keduanya dulu sama-sama anggota inti OSIS dan juga satu ekskul. Bahkan keduanya pernah mewakili paskib di tingkat provinsi. Jadi, sangat wajar jika pertemuan keduanya terlihat renyah. Di meja lain aku melihat Sintia, wanita yang sudah dari jamannya sekolah selalu bersama Tama. Aku iri padanya. Seandainya bisa, aku mau bertukar posisi dengannya. "Teman-teman sekelas kita mana ya?" tanya Danar entah kepada siapa, kepalanya celingukan. Ya, selain Danar dan Giko aku tidak menemukan teman
Aku up Reuni lagi, yak! Jangan lelah menunggu pokoknya, bakar aja kalau mau cepet update. Pembaca senang, penulis pun riang. Wkwk. Happy reading jangan lupa vote, Gaes.ᕙ( ͡◉ ͜ ʖ ͡◉)ᕗ"Gue minta maaf buat malam itu. Gue hampir ngenalin lo, tapi lo keburu pergi." Aku ingin kabur, tapi kali ini kakiku tetap menjejak. Aku heran dengan pikiranku. Bukankah ini yang aku ingin? Bertemu Tama di reunian. Harusnya aku senang dan mengajak dia ngobrol. Bukan malah mati kutu dan nggak berkutik begini? "Nggak apa-apa," aku menggeleng. Nyatanya aku kesulitan menggerakkan lidah yang mendadak kelu di depan Tama. Aku bersyukur karena penjaga stand bakso segera memberiku mangkok bakso yang kupesan. "Gue ke sana dulu ya." "Nggak makan bareng aja?" tanya dia, lalu pandangannya memindai ballroom yang lumayan ramai ini. "Tuh, ada tempat kosong kita bisa ke sana dan mengobrol." Aku mengerjap. Sama sekali tidak menduga Tama akan mengajakku makan bersama. Tatapku lalu mencari sosok Sintia di meja nomor s
"Lo sama Arin meeting ke tempat klien bisa enggak, Win?" Aku mendongak dan melihat Danar sudah berdiri di depan kubikelku. Sebenarnya aku malas bertemu klien, lalu mempersuasi agar mau bekerja sama dengan kami. Itu kan tugas Danar sebagai manajer. Lelaki itu menatapku, dengan sorot yang bisa aku artikan 'please, jangan tolak permintaanku', menyebalkan. "Emang lo mau ke mana?" tanyaku kembali memelototi layar laptop. "Gue ada seminar di Bogor. Siang ini juga harus berangkat," ujarnya sembari melirik pergelangan tangannya. "Tinggal datang aja sih, nanti juga perusahaan mereka tahu kalau lo memperkenalkan diri. Gue udah buat janji kok." "Tanya aja sama Arin," aku menunjuk Arin yang sedang berjalan ke arah kami. Dia habis dari mesin fotokopi yang ada di koridor. "Eh, ada Pak Danar. Kenapa, Pak?" tanya Arin begitu sampai. Wanita rambut sebahu itu lantas masuk ke kubikel. "Habis makan siang ketemu sama klien ya. Eh bukan klien sih, masih calon," ujar Danar. Aku harap Arin menolak. "
Aku memeluk tas laptop, masih berdiri nggak jauh dari posisinya. Yudhistira Pratama tersenyum memandangku. Senyum yang masih sama seperti dulu ketika aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Dan hanya dengan satu ulasan itu dadaku berdegup tak karuan. Aku makin erat memeluk tas laptop sembari membalas senyum kikuk. Dia nggak menggunakan kata "lo" ketika menyebutku, tapi "kamu". Sekarang dia klien perusahaanku, aku juga tak mungkin berlo-gue dengannya. "Apa kabar ... Pak Tama?" tanyaku setenang mungkin. Kami hanya berdua di ruangan ini dan tentu saja aku nggak akan membiarkan diriku sendiri bertingkah konyol di pertemuan yang ke .... tiga? Tama terkekeh pelan. Sudut matanya berkerut, tapi itu sama sekali nggak mengurangi ketampanannya. Diam-diam aku menarik napas dan mengembuskannya pelan. Detak jantungku yang menggila benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah berniat melupakannya setelah reuni itu, tapi takdir malah mempertemukan kami kembali. Aku bisa apa? "Aku baik." Aku? Al