Reuni? Aku berpikir sejenak. Apa ada yang bisa aku banggakan di reuni tersebut? Karier? Aku masih bekerja sebagai staf marketing di perusahaan orang. Suami? Jangankan suami, pacar saja tidak punya. Anak? Dari mana dapat anak, kalau belum punya suami? Kepalaku menggeleng. Bibirku mengerut. Nyaris tidak ada yang bisa aku banggakan. Aku mendesah pasrah.
Tadi pagi aku mendapat undangan reuni lewat email. Aku yakin bukan hanya aku saja yang dapat email itu. Danar dan Giko pasti dapat juga. Mereka pasti akan menggeretku ke sana. Kalau mereka sih enak ada yang bisa mereka banggakan. Giko menampu jabatan manajer personalia di perusahaan ini. Dia juga pasti tidak akan membawa tangan kosong ke reuni itu. Sementara Danar? Meskipun jomlo, setidaknya saat ditanya bekerja di mana, dia bisa menjawab dengan bangga. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar.Sebenarnya ada satu alasan kuat yang bisa membawaku ke sana. Namun ... tanganku bergerak menekan kursor laptop dan masuk ke akun i*******m. Miris, seorang wanita berusia akhir dua puluhan sepertiku masih saja stalking akun seseorang yang belum tentu mengingatku. Dan yang lebih miris daripada ini, orang tersebut sudah memiliki keluarga bahagia. Kenapa aku bisa bilang begitu? Ya, karena di usia muda dia sudah memiliki dua anak, rumah dan kendaraan yang nyaman, serta pekerjaan yang mapan. Jujur, setiap dia posting tentang keluarganya aku iri membayangkan kehangatan mereka."Bukannya itu Tama, Win?"Astaga! Aku buru-buru meng-close akun i*******m mendengar suara itu. Aku memutar kursi dan melihat Danar sudah berada di dekatku."Tadi itu Tama, 'kan?" tanya Danar lagi.Aku meringis lantas mengangguk. "Eh, lo dapat undangan reuni nggak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Semoga Danar tidak bertanya soal Tama lagi."Iya, dapat. Giko barusan nelpon gue. Tanya mau datang atau enggak." Danar meletakkan sebuah map ke mejaku. "Tolong cek, ya.""Terus lo mau datang?"Danar mengedikkan bahu. "Gue ngikut kalian aja.""Kali aja kan di sana lo bisa dapat jodoh. Eh btw, dia itu satu sekolah dengan kita 'kan?" Maksudku adalah cewek yang tidak bisa bikin Danar move on sampai sekarang hingga dia betah menjomblo."Iya. Tapi udah masa lalu juga." Danar mengibaskan tangan."Kali saja dia masih jomlo, Dan.""Dengar-dengar sih begitu. Tapi nggak penting juga.""Masa sih?" Aku menatapnya jail.Lelaki berperawakan tinggi itu terkekeh. "Udah, kerja. Nanti soal reuni dibahas pas makan siang aja." Danar kembali beranjak ke ruangannya."Psst! Psst!"Aku tahu itu suara desisan dari kubikel di sebelahku. Tempat si Arin."Apa sih, Rin?" tanyaku mulai membuka dokumen yang tadi Danar bawa."Jodohin gue sama dia napa sih, Win." Arin masih dengan permintaan yang sama seperti kemarin."Susah kalau dia mah. Hatinya udah beku kayak es di kutub Selatan.""Es di kutub Selatan juga ada yang udah mencair, Win," sambut Arin. Dia masih belum percaya si Kulkas susah diketuk pintunya."Kalau Giko aja gimana? Dia pasti lebih gampang." Giko pasti mau kalau ngedate sama Arin, dan minta sama dia untuk kencan sama cewek itu semudah membuka telapak tangan."Pak Giko? Nggak ah." Arin bergidik."Lah kenapa? Dia ganteng, tajir lagi. Anak bos, Rin.""Ganteng sih ganteng. Tapi ya ampun! Dengar-dengar cewek satu divisi pernah dia kencani. Gila nggak tuh?"Aku menoleh melihat Arin. "Masa sih? Gue kok nggak tahu soal itu, ya.""Sudah jadi rahasia umum ke-playboy-an anak bos besar itu. Tajir, ganteng, tapi kalau sana sini mau ya sori sori to say aja. Gue masih mau panjang umur. Jatuh cinta sama laki-laki kayak Pak Giko pasti bikin gue mati muda."Tawaku pecah. Ya Tuhan, ternyata ada juga cewek yang anti sama si Giko."Jangan ketawa aja. Gue beneran minta tolong sama lo buat comblangin gue sama Pak Danar. Sosoknya suamiable banget." Arin menangkupkan kedua tangan seraya terpejam.Aku memutar bola mata. Suamiable dari mananya? Memang kalau sudah kepincut tai kucing juga bakal dianggap jimat.***Aku melihat Giko melenggang memasuki kantor divisi marketing. Jam makan siang padahal kurang lima belas menit lagi. Kenapa manusia itu sudah menyambangi kantorku? Mentang-mentang anak si bos jadi begitu kelakuannya. Dia langsung menyambangi kubikelku seperti biasa."Jam makan siang masih lima belas menit lagi btw," ujarku seraya mengepak kertas dan menjepitnya dengan clip paper."Tau gue, Win. Nggak ada kerjaan di kantor jadi sekalian aja ke sini." Mata Giko mulai jelalatan. Dia melirik Arin di kubikel sebelah."Rajin amat sih, Arin," sapanya kemudian. Matanya berkilat-kilat mirip kucing garong liat ikan asin."Iya, Pak." Arin terdengar menjawab dan tersenyum singkat sebelum fokus kembali ke layar laptopnya."Makan siang bareng mau enggak?" tanya Giko mulai masang jerat."Enggak deh, Pak. Makasih. Saya udah ada janji makan siang," tolak Arin sadis."Win, ada bethadine enggak?" tanya Giko tiba-tiba padaku.Aku mengernyit heran. Habis ngajak makan siang orang kok malah minta betadine. "Buat apaan sih?""Buat ngobatin luka hati gue akibat penolak Arin." Giko memegangi dada sebelah kirinya seraya berakting kesakitan."Lebay lo!" semburku. Lalu beranjak menuju ruangan Danar. Giko tampak duduk di kursiku sambil terus ganggu Arin saat aku hendak membuka handle pintu ruangan Danar."Giko udah ada di sini tuh, Dan," kataku begitu masuk, lalu meletakkan proposal yang aku bawa ke meja Danar."Mana? Kok nggak ke sini?" Danar membuka halaman pertama proposal itu."Tuh di luar lagi godain Arin. Kelakuan kalau belum dapet, pantang menyerah. Heran gue tobatnya kapan itu anak." Aku bergerak duduk di kursi depan meja Danar.Danar terkekeh. "Itu kan hobi dia. Kalau udah hobi susah diilanginnya."Aku bergidik. "Jangan sampai gue punya laki kayak dia.".Danar menjeda kegiatannya membaca proposal dan melirikku. "Jangan ngomong gitu. Nanti kalau kamu jatuh cinta sama dia repot."Aku mendelik tak terima. "Gue jatuh cinta sama dia? Gue pasti salah minum obat."Danar tertawa dan menggeleng. "Siapa tahu kan? Kan kita nggak tahu besok lo bakal jatuh cinta sama siapa?"Aku tertegun. Danar benar. Jatuh cinta itu misteri. Tidak bisa direncanakan sebelumnya. Kadang hal yang tidak dinyana-nyana malah bisa bikin kita jatuh cinta. Namun, kalau itu Giko? Astaga! Pertama, aku udah kenal lama Giko, jadi sudah tahu boroknya. Kedua, track recordnya sudah buruk di mataku perihal asmara. Gila, aku tidak mau menyodorkan diri kepada lelaki yang rajin ganti pacar seperti ganti celana dalam setiap hari. Seperti kata Arin bisa-bisa nanti mati muda sambil berdiri..Aku menyisir rambut tebal Danar dengan jemari. Dia masih terlelap dengan nyaman di atas dadaku. Lengan kekarnya memeluk perutku, terlihat nyaman. Sama sekali nggak merasa engap karena semalaman tidur dengan posisi begini. Setelah kumpul-kumpul bersama yang lain, lalu bertemu sebentar dengan ibu dan mama—ibu mertuaku, kami baru kembali ke kamar sekitar pukul sebelas malam. Meski begitu, Danar tidak membiarkanku tidur hingga lewat tengah malam. Danar dan gairahnya membuatku sedikit kuwalahan. Aku nggak mungkin menolak meski jujur sangat mengantuk. Nyatanya setelah itu dia berhasil membuat kantukku hilang. Rasa penasaran sebagai pengantin baru membuat kami ingin terus mencoba. Senyumku terbit saat kembali mengingat sentuhannya semalam. Masih bisa membuat tubuhku merinding hingga sekarang. Setelah melewati yang pertama, kedua dan seterusnya aku merasa lebih nyaman."Nar, bangun...." Aku menepuk pipinya pelan. "Hm." Dia melenguh namun tidak mengubah posisi tidurnya. "Nanti kita nggak
"Norak banget, sumpah. Bisa nggak itu tangan kalian lepas? Kalau mau show off ke gue tuh jangan tanggung-tanggung, live streaming malam pertama kalian minimal tuh!" Tanganku dan Danar masih saling tertaut meskipun sekarang sudah duduk berdampingan di salah satu sudut kafe. Itu yang bikin Giko jengkel setengah mampus. Aku sih bodo amat. "Lepas kagak?!" Entah dapat dari mana karet gelang yang Giko pegang sekarang. Detik berikutnya tautan kami sontak terlepas karena kunyuk itu menjepret-nya dengan karet sialan itu. Yang kena jepretan Danar, tapi yang terkejut aku. "Resek lo!" Aku langsung meraih kembali tangan Danar dan mengabaikan decakan Giko. "Aku nggak apa-apa, Win," ucap Danar tersenyum. "Lebay! Cuma jepret karet doang itu. Sakitnya nggak ada apa-apanya dibanding malam pertama lo." Aku menggeram sebal. Dari tadi Giko nyinggung soal malam pertama terus. Dia beneran kurang belaian kurasa. "Katanya Marissa mau ke sini? Kok nggak datang-datang?" tanya Giko menengok jam tangannya.
Tidak ada pengait bra di punggung. Tidak ada adegan romantis saat bra itu melonggar di dada. Cup silicon yang kukenakan aku lepas sendiri lantaran Danar sepertinya agak kejang melihat bentukan asli dadaku. Diam-diam aku mengulum senyum saat pria itu dengan hati-hati dan perlahan menyentuh area itu. Telapak tangannya yang agak kasar sedikit membuatku menggelinjang. Apalagi ketika jemarinya bermain di puncak dadaku. Ya Tuhan aku bisa merasakan sekujur tubuhku merinding seketika. Ciuman Danar berpindah ke pipi lantas rahang. Kepalaku sontak mendongak ketika dia menyasar area leher. Dan lagi-lagi aku dibuat merinding saat bisa merasakan jejak basah yang dia tinggalkan. Danar sedikit mendorongku agar bergerak mundur. Dia dengan pelan menuntun duduk di tepian tempat tidur, dan tanpa melepas ciumannya menjatuhkan tubuhku ke atas permukaan tempat tidur. Dia sendiri lantas memposisikan diri di atasku. Desahan pertamaku lolos saat step ciumannya turun ke dada. Sebelah tanganku refleks merem
Pernah punya sahabat rasa suami? Atau suami rasa sahabat? Aku merasakannya hari ini. Not bad, bahkan terlalu manis. Di saat pria lain membawa pengantinnya ke kamar dengan cara membopong, Danar malah menggendongku di punggungnya. Alasannya karena badanku berat, sialan sekali. Resepsi pernikahan sederhana kami, sudah berakhir beberapa puluh menit yang lalu. Aku dan Danar memutuskan kembali ke kamar setelah sebelumnya pamit kepada Ibu, Mama dan Papa mertuaku, serta lainnya. Lantaran pernikahan kami berlangsung pagi, dan dihadiri hanya oleh sanak famili, acaranya cuma berlangsung hingga pukul sepuluh pagi. Rencananya kami akan mengadakan tour wisata keluarga setelah ini. Jangan berharap aku dan Danar bisa bobo cantik di sini, ya. Hehe."Gimana kalau kita nggak usah ikut tour? Pasti mereka paham, kok," ujar Danar saat kami melewati lorong-lorong menuju kamar kami. Aku masih berada di gendongannya."Ih, nggak enak. Kayak ketahuan nggak sabarnya." "Ya biarin, kita kan emang nggak sabar
"White gold, mewah juga ya konsepnya." Giko memasuki ballroom yang disulap menjadi taman bunga dengan dominasi warna putih dan emas.Sembari mengisi buku tamu aku mengedarkan pandang. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan indoor seperti ini. Undangan pernikahan teman tidak pernah aku lewatkan. Hitung-hitung mencari referensi dekorasi yang cantik.Aku menyerahkan pena pada Danar yang ada di belakangku. Setelah dia mengisi buku tamu, kami bertiga melewati lorong taman bunga buatan yang lumayan panjang."Ini kira-kira mereka menghabiskan berapa ribu tangkai, ya?" tanya Giko, tangannya dengan usil mengambil salah satu kelompok bunga."Yang jelas ratusan ribu. Bunga satu kebon kayaknya diangkut ke sini," sahutku lantas terkikik."Beb, lo mau konsep pernikahan kayak gini juga enggak?"Pertanyaan yang bikin mood-ku lumayan naik. "Gue nggak mau ribet, sih. Cukup outdoor party aja.""Di mana?" Giko berbalik. "Di hutan aja, kayaknya belum pernah ada yang ngadain acara pernikahan di hu
Danar tidak main-main. Setelah membawaku ke rumah mamanya, dia langsung menyusun acara melamarku ke ibu. Aku agak ngeri dengan langkahnya yang begitu cepat. Seolah sedang menjaring klien, dan takut kliennya akan hilang."Gue bilang juga apa! Lo itu udah cocok sama Bang Danar, Kak," ujar Dendy. Acara lamaran sudah kelar dari satu jam lalu. Rombongan pelamar pun sudah pulang lagi ke Jakarta. Namun, Danar tetap tinggal."Kenapa dari dulu lo nggak desak kakak lo, sih, Den?" tanya Danar duduk memepet ke dekatku. Salah satu kebiasaan baru pria itu sejak jadian, nempel terus kayak perangko."Capek gue ngomongin, Bang.""Ish! Gue kan nggak enak sama cewek lo. Dia itu naksir berat sama Danar dulu," timpalku mengernyit tak suka lantaran terus dipojokkan."Arin pernah bilang ke gue, sih. Katanya deketin Bang Danar kayak lagi deketin kayu hidup.""Ebuset, pinokio dong!" celetuk Dean yang sejak tadi makan aneka kue basah yang didapat dari lamaran."Tau tuh! Padahal Arin cantik, dilirik pun enggak,