Share

PART 2

Raina mengernyit heran saat melihat tumpukan buku yang dibawa oleh Rian. Mereka kini sedang berada di rumah Rian. Sesuai perintah Rian, Raina mengikuti cowok itu untuk pergi ke rumahnya. Selama perjalanan tadi, Raina terus bertanya apa tujuan cowok itu membawanya ke rumahnya, namun Rian sama sekali tidak mau menjawab pertanyaannya membuat Raina kesal sendiri.

"Lo ngapain bawa buku banyak-banyak?" tanya Raina masih dengan wajah herannya.

"Catat materi yang ada di buku paket ke buku tulis gue."

"Maksudnya lo nyuruh gue gitu?"

"Iya lah. Siapa lagi kalau bukan lo?" ketusnya.

"Tapi kan ini banyak banget, Yan. Kalau kayak gini bisa-bisa gue gak pulang ke rumah gue."

"Itu bukan urusan gue. Sekarang lo harus catat semua materinya sampai selesai."

"Gini aja deh, daripada gue catat di sini, mendingan gue pulang aja. Nanti biar gue catat di rumah. Kan lebih simpel."

"Gak. Kalau lo catat di rumah lo, yang ada lo gak selesain catatannya. Kalau di sini gue bisa pantau lo."

Raina berdecak pelan. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa mengumpat Rian dalam hati.

Dengan terpaksa, ia pun mencatat materi yang ada di buku paket. Sedangkan Rian, sibuk bermain game o****e di ponselnya.

Ingin sekali Raina mencaci maki cowok itu karena sudah seenaknya memerintahnya, tapi Raina tidak pernah berani. Itu karena Raina takut dengan Rian. Bukan hanya Raina, tapi satu sekolah juga takut dengan cowok itu.

"Catat! Jangan liatin gue!" Raina terkejut karena ketahuan sedang menatap cowok itu. Dengan segera, ia kembali mengalihkan pandangannya ke buku lalu kembali melakukan pekerjaannya.

*****

Raina mengusap perutnya ketika merasakan perutnya berbunyi. Ia melirik arloji yang ada di tangannya. Raina sedikit terkejut karena jam yang menunjukkan pukul setengah delapan malam. Saking fokusnya mencatat materi, ia sampai lupa waktu.

Pasti papa dan mamanya sedang mencarinya. Ia tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir.

"Mau ke mana lo?" tanya Rian melihat Raina yang sudah bangkit berdiri lalu memakai tas punggungnya.

"Mau pulang. Ini udah malam. Orang tua gue pasti nyariin gue."

"Lo udah selesai catat materinya belum? Kalau belum selesai lo belum bisa pulang."

"Udah," jawab Raina singkat. Raina segera keluar dari rumah Rian tanpa berpamitan pada cowok itu.

*****

"Duh, ojek o****e pada ke mana sih? Kok dari tadi gak ada yang terima orderan gue, sih?" gerutu Raina. Kini Raina sudah berada di halte yang tidak jauh dari rumah Rian. Sedari tadi, ia memesan ojek o****e, namun tak kunjung dapat.

Sekarang Raina hanya bisa berharap pada ojek o****e. Karena angkot sudah tidak ada lagi. Mau naik taksi pun, uangnya tidak akan cukup untuk membayar.

"Gimana nih? Bisa-bisa gue gak bisa pulang."

Raina terlonjak kaget saat bunyi klakson motor yang tepat berada di hadapannya.

Raina memasang wajah tidak suka saat tahu pelaku yang membunyikan klakson motor itu.

"Ayo naik," ucap Rian.

"Gak! Gue bisa pulang sendiri," tolak Raina cepat.

Raina tidak akan mau diantar cowok itu. Karena, jika Rian sudah mengantarnya itu berarti hutang Raina semakin bertambah. Jika hutang Raina padanya semakin banyak, maka Raina tidak akan bisa lepas dari cowok itu. Bisa-bisa Raina akan terus-menerus menjadi budak dengan status pacarnya.

"Cepat naik sebelum gue berubah pikiran."

Raina tampak berpikir sejenak. Sebenernya bisa saja ia menolak untuk diantar oleh Rian, tapi bagaimana kalau ia tidak bisa mendapat ojek o****e? Bagaimana nasibnya? Tidak mungkin ia tidur di sini, bukan? Itu sangat tidak lucu.

"Mau apa enggak?" Pertanyaan Rian membuat Raina langsung tersadar dari lamunannya.

"Iya gue mau." Rian melempar helm yang langsung ditangkap oleh Raina.

Setelah memakai helm, Raina pun naik ke motor Rian.

"Udah?" tanya Rian.

"Udah." Setelah mendapat jawaban dari Raina, Rian pun melajukan motornya.

*****

"Aku pulang." Raina mencium tangan kedua orang tuanya saat ia sudah tiba di rumah. Raina sedikit ketakutan karena wajah kedua orang tuanya terlihat begitu datar.

"Dari mana aja kamu? Kamu tahu kan sekarang jam berapa? Anak perempuan kok pulang malam. Mana masih pakai seragam sekolah lagi. Apa kata tetangga kalau liat kamu pulang malam-malam begini?" omel mama Raina yang bernama Dian.

"Om, Tante, sebelumnya saya minta maaf, tapi Raina pulang malam karena saya. Tadi, saya minta Raina ke rumah buat ngajarin saya Matematika," ujar Rian membuat Riana yang awalnya menunduk langsung menoleh pada cowok itu. Raina terkejut karena ia pikir Rian sudah pulang. Dan, cowok itu juga tadi hanya mengantarnya sampai depan gerbang rumahnya saja.

"Oh, jadi kamu yang bawa anak saya?" tanya Seno, papanya Raina.

"Om gak marah, cuma lain kali kalau mau belajar sama Raina, antarin Raina pulang ke rumahnya dulu buat ganti baju. Biar kita gak khawatir."

"Iya Om. Saya minta maaf."

"Ya sudah tidak apa-apa. Om maafin kamu."

"Nama kamu siapa?" tanya Seno.

"Saya Rian, Om."

"Makasih Rian udah antarin anak Om."

"Sama-sama Om. Kalau gitu saya pamit dulu, Om, Tante."

"Iya hati-hati."

"Rian ganteng, ya, Pa?"

"Iya, Ma. Kayak Papa dulu waktu muda."

"Gak mirip. Gantengan juga Rian. Iya gak Rain?"

"Duh, Papa, Mama udah deh gak usah ngomongin dia lagi."

*****

Raina membaringkan tubuhnya di kasur. Ia baru saja selesai mandi. Hari ini, Raina merasa tubuhnya sangat lelah. Rian benar-benar menyiksanya.

Semenjak ia berpacaran dengan cowok itu, Raina tidak bisa bebas seperti dulu. Ia selalu saja disuruh-suruh oleh cowok itu.

DRRT...

Raina meraih ponselnya yang berada di nakas. Keningnya mengerut saat mendapat pesan dari Rian. Ia pun membuka pesan tersebut.

Rian Galak : Woi!!

Raina : Apa?

Rian Galak : Lo gak diomelin sama bonyok lo kan?

Raina : Gak. Kenapa nanya? Peduli sama gue? Punya hati nurani juga lo?

Rian Galak : O.

Raina berdecak begitu membaca balasan dari Rian yang sangat singkat. Bodoh sekali Riana. Rian tidak pernah perhatian atau pun peduli dengannya. Kenapa sekarang Raina malah berharap cowok itu peduli dengannya? Ia pasti sudah gila.

"Sadar Rain, dia itu manusia gak punya hati. Mana mungkin dia peduli sama lo?"

"Tapi gue heran deh sama dia. Gimana bisa dia buat Papa sama Mama gak marah sama dia? Padahal kan gara-gara dia gue pulang telat."

"Udah gak minta terima kasih gak minta maaf pula."

Kalau saja kedua orang tuanya tahu kalau Rian sengaja menyuruhnya ke rumah cowok itu untuk mengerjakan semua tugasnya, pasti mereka akan marah pada Rian.

Sebenarnya bisa saja ia mengadu pada kedua orang tuanya, tapi ia tidak mau membuat masalahnya dengan Rian menjadi lebih rumit. Menjadi pacarnya saja ia sudah tersiksa, apalagi mencari masalah dengan cowok itu? Yang ada hidupnya akan lebih tidak tenang. Tapi mau sampai kapan ia terus dijadikan budak oleh cowok itu? Ini saja baru dua minggu, tapi ia sudah merasa cukup tersiksa. Kalau ia bertahun-tahun menjadi pacar Rian, bisa-bisa bertahun-tahun pula ia menjadi budak cowok itu.

"Kenapa nasib gue sial banget, ya? Kenapa gue harus ketemu cowok kayak dia? Dan lebih sialnya kenapa gue harus jadi pacar dia?" Mungkin kalau hanya menyandang status sebagai pacarnya saja, Raina bisa menerimanya, tapi tidak dengan menjadi budak cowok itu. Mau marah pun tidak bisa. Yang bisa Raina lakukan sekarang hanyalah menyesal karena sudah mengenal Rian.

*************************

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status