l"Sejam lagi sampe, Mas.”
“B-bisa pulih, gak? Kayaknya udah tak utuh lagi ini. Aauch ... hati-hati.”“Tenang, Mas. Bisa. Aku udah kasih tau soal ini kemarin.”Mobil menembus gelap malam di jalan yang semakin sunyi menuju Gunung Kemukus. Kini, mereka telah sampai di jalan utama menuju tempat pesugihan. Kabut hitam menyelimuti sepanjang perjalanan hingga akhirnya mobil telah sampai di tempat parkir.Saimah segera turun dari mobil lalu membantu sang pria turun dan memapahnya menuju tangga, jalan menuju puncak Gunung Kemukus. Sang pria dengan langkah tertatih-tatih dan mulut meringis menapaki tangga dipapah Saimah.Beruntung anak tangga menuju puncak telah terpasang lampu penerangan berjarak setiap meter. Jadi mempermudah bagi peziarah maupun pelaku ritual pesugihan melaluinya saat malam hari seperti ini.“Mas, berhenti sebentar, ya. Nafasku habis. Ada air nih, Mas mau minum juga?”“Airnya berisi obat anti nyeri?”“Aish ... apaan? Buat tambah tenaga. Obat Mas ada di atas. Bentar juga sampe.”“Iya, tau, Sayang!”“Berhenti ucap sayang, Mas. Panggil biasa aja.”“Satu kali ini aja, biar agak reda sakitnya. Tolonglah! Berapa harga panggilan sayang? Aku bayar juga.”Saimah yang mendengar kata-kata pria berparas rupawan dibandingkan suaminya ini, seketika tertawa. Tak bisa dipungkiri, sebenarnya ia pun suka dipanggil dengan kata tersebut. Namun, ia harus tahu batasan.Setelah upacara persembahan di puncak Gunung Kemukus malam ini, otomatis sang pria menjadi budak seks sang pemberi pesugihan. Saimah tak mau kena amarah Sang Ratu yang bisa berakibat penyakit yang mematikan untuknya sekeluarga.Ia hanya cukup menikmati petualangan liarnya dengan para pelanggan sampai dengan ritual terakhir. Dalam ritual ini pun, Sang Ratu telah ikut andil terbukti dengan lamanya durasi yang mereka mainkan nonstop tanpa kelelahan. Saimah tak ambil pusing soal itu.Wanita berparas cantik hasil perawatan ini cukup bahagia dengan kenikmatan sesaat dan juga pundi-pundi harta yang dihasilkan. Saimah mengambil dua botol mineral dari dalam tas salempang.Sebotol diberikannya pada sang pria yang tampak di kain pembalut badan bagian tengah ternoda oleh darah. Hanya melihat rembesan darah yang tampak masih mengalir, ia sudah bisa membayangkan bagaimana sakitnya bagian tersebut.“Ngapain liatin situ, Sayang? Pengen lagi? Auch ... aach!”“Mas gak usah ngomong macem-macem di sini. Mau diilangin juga?”Sang pria segera meringis sambil menggeleng mendengar perkataan Saimah. Mereka segera menghabiskan minuman masing-masing lalu Saimah menyimpan kedua botol kosong ke dalam tas kembali.“Ayo kita lanjut jalan. Kamu masih kuat papah aku, kan?”“Masih, Mas. Asal pelan-pelan naiknya sambil ambil napas juga ini.”“Iyalah! Tak mungkin juga aku dengan kondisi kayak gini bisa buru-buru. Khawatir copot.”Saimah tersenyum lebar mendengar kata-kata sang pria. Mereka dengan langkah hati-hati menapaki anak tangga berlumut di beberapa sisi satu persatu. Hampir satu jam mereka menghabiskan waktu untuk menuju puncak. Kini tapak kaki mereka telah berada di puncak anak tangga.Tinggal beberapa meter lagi menuju pepunden, tempat ritual persembahan. Ritual persembahan sebagai rasa syukur telah berhasil melaksanakan seluruh proses ritual syarat pesugihan dan sekaligus penobatan sang pelaku ritual sebagai pengikut Sang Ratu.“Mas, aku tungguin di batu itu, ya. Mas ke punden sendiri. Kuncennya (juru kunci) udah aku telepon semalam. Sesajen telah disiapkan.”“Kamu gak ikut, Sayang? Aku masih sakit ini. Gak bisa jalan sendirian.”“Tenang, Mas! Tiga langkah dari sini, lukamu akan sembuh dan tak akan sakit lagi. Tahan sakit dalam tiga langkah aja, kok.”“Serius?”Saimah mengangguk ke arah sang pria. Tanpa diduga pria ini mendekap erat tubuh Saimah lalu menciuminya dengan beringas. Wanita berkulit bersih ini sekuat tenaga melepaskan diri.“Jaga dirimu, Mas! Ritual telah selesai dan jangan kau hancurkan karena sikap sembrono.”“Aku tau semua, Yang. Setelah ini kita tak mungkin melakukan lagi karena aku telah sah jadi pengikut dan pelayannya. Berat hatiku melepas rasa yang telah tumbuh selama ini. Aku sayang kamu lebih dari istriku.”Saimah yang mendengar nya segera menutup mulut sang pria dengan telapak tangan. Ia merasa kaget juga, rupanya pria yang selalu ditemani ritual selama hampir setahun ini sudah tahu banyak sebelum ia sempat bercerita.“Sst! Jangan ngomong gitu, Mas. Mulai detik ini, tak ada yang boleh kau cintai melebihi istrimu kecuali Sang Ratu. Kamu telah berjanji untuk setia di depan juru kunci saat pertama datang.”Pelanggan terakhirnya ternyata mempunyai sisi melankolis melebihi pelanggan lain. Dari kedua pelupuk matanya keluar buliran bening. Pria ini mengangguk.“Kupikir meski kau tak mau aku nikahi sebagai istri kedua. Kita masih bisa berhubungan lagi setiap aku memerlukanmu.”“Aku tak mungkin kau peristri, Mas. Aku masih sah istri orang dan juga aku tak mau kena mala petaka dari Sang Ratu karena mengambil jatahnya.”Sang pria lalu memeluk Saimah erat dan memberi ciuman pada pipi kanan dan kiri sang wanita.“Aku telah berjanji padamu untuk membelikanmu sebuah ruko. Besok siang kita ke sana, ya.”Saimah seketika mengangguk dan tersenyum bahagia. Impiannya untuk mempunyai sebuah toko, segera terwujud.“Sudah, Mas! Kamu harus segera melaksanakan persembahan.Tuh, udah ditunggu kuncen dan anak buahnya.”Sang pria segera melepas pelukan lalu membetulkan bebatan kain yang mulai kedodoran. Ia memegang tangan Saimah lalu menciumnya dan mulai melangkah tertatih-tatih.Seperti kata Saimah, pada hitungan ketiga, pria tersebut mulai berjalan tegak dan bisa mempercepat langkah. Wanita teman ritual tersenyum senang ke arah sang pria pelanggan terakhir.Pada bulan depan, ia bersiap mencari pelanggan baru lagi untuk menemani proses ritual sampai selesai.“Hai, Mbak! Udah punya teman?”Secara mengejutkan Saimah mendengar sapaan dari samping. Ia segera menoleh dan ternyata ada seorang pria berkepala plontos berumur sekitar lima puluh tahunan sedang tersenyum manis padanya. Di lihat dari penampilan pria tersebut bukanlah pencari pesugihan karena kemiskinan.“Hai, Pak! Iya nih. Mau naik juga?”“Panggil Mas aja, ya.”“Baik, Mas.”Mereka menapaki anak tangga menuju sendang (kolam mata air). Sebelum memasuki sendang dengan pria tersebut, Saimah berpamitan ada urusan sebentar kepada calon pelanggan baru. Wanita ini pun segera menghampiri pria pelanggan terakhir yang sedang duduk menunggu persiapan persembahan.“Mas, ini kunci mobilnya. Aku izin pulang dulu, kebetulan ada kenalan mengajak barengan.”“Kenalan pria?”“Wanita Mas. Pelaku ritual juga. Udah selesai dan akan pulang. Aku harus buru-buru pulang, takut suamiku sudah sampe rumah. Maaf, Mas.”“Iya, gak papa. Makasih, ya. Entar siang, aku hubungi.”“Baik, Mas.”Saimah pun melangkah pergi diiringi tatapan pria pelanggan.•••¤•°•¤•°•¤•••TBC ....Cerita lebih lengkap ada di KBM APP: CITRA AYU BENING sudah sampai bab 50Ikuti, like, tolong kasih komentar dan kritik membangun untuk penyajian cerita yang lebih baik. Untuk mempererat tali silaturahmi, bisa ikuti aku. sosial media saya yang lain:F*. Citra Rahayu BeningI*. Citra Rahayu BeningWp. Nyi_Nyot2"Dapat foto dari mana?"tanya Kesi yang mengambil alih ponsel. Kini kedua matanya menatap foto dalam ponsel lalu mengangguk-anggukkan kepala. Ia yakin akan yang dipikirkannya."Mas Parman dapat cincin dari mayat di belakang toko Pak Trenggono.""Serius, Im?"tanya Kesi dengan mata membulat."Serius. Aku dan Mas Parman sempat liat Pak Trenggono datang bareng Kuncen,"ungkap Saimah yang semakin membuat kedua mata Kesi semakin terbelalak."Pak Trenggono pelaku ritual juga?"tanya Kesi dengan bola mata menatap lekat foto cincin di ponsel yang dipegangnya.Wanita berkulit hitam manis ini tampak mengerutkan dahi. Beberapa saat kemudian, Kesi meneteskan air mata. Ia ingat sesuatu. Saimah yang melihat hal tersebut langsung bertanya,"Punya siapa?"Kesi mendongak lalu mengusap buliran bening dengan ujung jari. Wanita hitam manis ini menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan-pelan. Tampak sekali, ada beban berat yang sedang ingin ia lepaskan. Kesi menatap Saimah dengan kedua bola mata masih berk
"Bisa terbuka, Dek!"seru Parman dengan raut wajah lega."Syukurlah, Mas. Kita bisa keluar lagi," balas Saimah dengan kedua mata berbinar-binar.Parman kembali mundur lalu memukul permukaan pohon dengan keras. Seketika terdengar.'Braaakk!'Pasangan suami istri tersebut saling berpandangan dengan raut wajah senang. Keduanya segera balik badan lalu beranjak semakin masuk. Mereka berada dalam sebuah lorong panjang dengan cahaya terang di ujung. Mereka melangkah hati-hati sembari mata awas mengamati sekeliling. Mereka khawatir bahwa lorong yang dilewati terpasang jebakan.Setelah mereka melewati lorong sepanjang dua puluh meter, akhirnya sampai di ujung lorong. Saat pasangan suami istri ini menginjakkan kaki di tanah selepas lorong, betapa terkejut keduanya. Ternyata, mereka berada di area halaman belakang toko Pak Trenggono. Dari kejauhan mereka bisa melihat gundukan tanah yang diduga sebagai kuburan.Ujung bawah gamis Saimah tersangkut sesuatu. Wanita ini langsung menghentikan langkah l
"Mobilnya ada di mana?"tanya polisi lagi."Sudah pergi, Pak," ucap Kesi.Badrun yang tahu kondisi labil yang sedang dialami oleh Kesi dengan segera memeluk istrinya. Dengan nada lirih, pria tersebut mengungkap,"Maaf, Pak. Istri saya melihat penampakan seperti bayangan.""Begitu rupanya,"balas polisi yang lalu menutup wadah berisi kedua benda. "Sebaiknya Bapak dan Ibu membuat laporan ke kantor polisi. Ini bisa sebagai barang bukti.""Baik, Pak," ucap Kesi yang langsung direspons anggukan kepala oleh Badrun.Tak berapa lama empat orang polisi datang dari arah tempat pemulasaran jenazah dengan membawa kontainer box berisi barang-barang bukti. Akhirnya para polisi tersebut berpamitan kepada Kiai Ahmad untuk kembali ke kantor. Saimah dan Kesi bersama pasangan mereka ikut serta berpamitan. Keempatnya akan membuat laporan ke polisi.Empat orang tersebut menumpangi taksi menuju ke kantor polisi. Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba Saimah meminta berhenti. Ia dan Parman ada suatu keperluan. A
"Lisa, kamu harus bisa bertahan. Bulek akan mengeluarkan kamu!" teriak Kesi histeris.Teriakan wanita berkulit hitam manis tersebut tak urung menarik perhatian semua orang yang ada di dalam toko. Badrun yang pertama kali menghampiri Kesi lalu memeluknya."Dek, sabar. Pak Trenggono sedang menelepon karyawannya," ucap Badrun yang berusaha menenangkan istrinya.Sesaat kemudian, Saimah dan Parman menyusul keluar. Kedua orang tersebut mendekat dengan ekspresi heran. Pak Trenggono pun ikut keluar masih dengan keadaan menelepon. Pria pemilik toko seketika kaget melihat perilaku Kesi yang sedang mengintip dalam mobil. Ia segera mengakhiri hubungan telepon lalu mendekat ke arah mobil."Ada apa ini?"tanya Pak Trenggono sambil memandang ke arah Kesi dengan tatapan tak wajar."Maaf, Pak. Barusan istri saya liat keponakannya ada dalam mobil," jawab Badrun sambil merangkul Kesi untuk menjauh dari kaca."Keponakan? Siapa?"tanya Pak Trenggono sambil mengusap sisi kaca yang barusan diintip oleh Kesi.
"Kes, ada apa?"tanya Saimah saat sudah berdiri dekat Kesi."Aku lihat bayangan Lisa menghilang di sini, Im. Kamu dengar, dia berteriak kesakitan. Di bawah sini," jawab Kesi sambil menepuk-nepuk gundukan tanah tersebut.Saimah ikut berjongkok lalu mengamati tanah basah yang dipenuhi taburan berbagai macam bunga yang telah layu. Wanita ini tak mendengar suara apa pun. Namun, dirinya tak menyangkal bahwa bagi mereka yang terbiasa berhubungan dengan hal-hal gaib akan bisa merasakan sebuah kejanggalan dengan kasus ini.Ia yakin Lisa telah meninggal dunia dan jasadnya masih tersembunyi. Saimah menoleh ke arah Kesi lalu bertanya,"Kes, kamu dengar apa?""Lisa kesakitan, Im. Dia ada di sini," jawab Kesi sambil menepuk-nepuk tanah di depannya. Ia menangis terisak-isak lalu mengais tanah tersebut.Saimah yang melihat hal tersebut segera memegang kedua tangan Kesi. "Kes, ini tanah orang. Kita harus minta izin ke pemiliknya dulu," ucap Saimah sambil membersihkan kedua tangan Kesi yang belepotan d
"Ke mana Lisa? Baru saja aku suruh duduk situ. Bantu aku mencarinya, Im. Kasian dia!"Saimah yang mendengar ucapan Kesi, tak bisa menahan rasa haru. Ia memeluk erat tubuh Kesi. "Kamu yang tabah! Ada aku, Mas Parman, suamimu dan para penghuni pondok yang sayang kamu.""Aneh, kamu, Im! Yang perlu disemangati itu Lisa. Bukan aku. Tolong, bantu cari Lisa!" pinta Kesi dengan nada jengkel.Tampak Badrun berlari menghampiri kedua wanita. Pria tersebut segera memeluk tubuh Kesi erat lalu mengecup kening istrinya."Dek, ayo buruan ke pemulasaran jenazah. Ditunggu ustazah dan santriwati," ucap Badrun.Kesi yang tak mengerti masalahnya, semakin bingung dengan perilaku suaminya. Ia memandang wajah Badrun dan ada raut kesedihan di kedua mata."Tadi Saimah. Sekarang Mas. Pada kenapa kalian? Ada kejadian apa?" tanya Kesi sambil memandang kedua orang bergantian."Mas, temani Kesi ke sana. Aku mau bersiap dengan yang lain," ucap Saimah seraya menepuk bahu Kesi pelan."Ya, Mbak. Kami segera menyusul," b