Share

Bab 2

Sampai sekarang, mereka masih membuka toko pakaian juga, tapi hanya di depan rumah saja. Tak lagi menyewa tempat. Usia yang semakin menua, membuat mereka menahan diri untuk tak mengambil pinjaman modal usaha. 

Lagipula, mereka dagang juga hanya untuk mengisi kesibukan di hari tua saja. Selama ini, Mas Mondi juga membantu untuk biaya kehidupan mereka. Aku tak keberatan, karena sudah tau sejak sebelum kami menikah. Selama kebutuhanku bisa dipenuhi oleh Mas Mondi, menurutku hal itu tak jadi masalah. 

Kata Mama, mereka juga masih ada deposito di bank. Kalau untuk hari tua mereka, kami tak terlalu risau. 

"Pasti izinin. Sebelum berangkat, kita minta izin dulu ke rumah mama papa. Kalau rezeki kita bagus, kita bisa sesekali datang ke sini, atau mama papa yang kita minta datang ke Medan," kata Mas Mondi, yang cukup bisa diterima akalku. 

"Beberapa bulan lagi, Ayah juga pensiun. Ayah akan menyusul kalian ke Medan," ucap Ayah. 

"Bener ya. Jangan cari kerja lagi di sini. Rachel nggak tenang, kalau Ayah sendirian terus di sini. Kalau bisa, jangan sampe Rachel lahiran," kataku penuh harap, Ayah akan memenuhi janjinya.

Walau kondisi fisik Ayah masih sehat, tapi di usianya yang tak muda lagi itu, tak tega rasanya kalau dia hanya tinggal seorang diri. Ayah juga pasti tak akan mau kalau disuruh tinggal dengan mertuaku, meski hubungan mereka sangat baik. 

"Iya. Kapan Ayah pernah ingkar janji sama Rachel?" tanya Ayah. 

Aku coba mengingat-ingat, Ayah memang hampir tak pernah ingkar janji. Ayah selalu saja berusaha untuk memenuhi janjinya padaku. 

"Ada. Ayah pernah nggak tepat janji sama Rachel," kataku ketika akhirnya bisa ingat kalau Ayah pernah task menepati janji. 

"Janji apa?" tanya Ayah yang ternyata justru sudah lupa. 

"Ayah nggak pernah ajak Rachel ke Medan untuk ziarah ke kuburan ibu." 

Ayah tampak tercenung mendengar aku mengingatkan dirinya akan janji itu. Janji yang tak pernah ditepati Ayah hingga kini. 

"Ayah kok jadi melamun. Ya udah, Rachel nggak marah kok. Kan sebentar lagi Rachel akan menetap di sana. Bisa sering-sering ziarah ke makam ibu," ucapku agar Ayah tak sedih lagi. 

Aku merasa yakin, bukan masalah biaya ke Medan yang ayah pikirkan. Bahkan saat aku sudah bekerja pun, ayah tetap saja tak mengajakku ke Medan, untuk berziarah ke makam ibu. Padahal aku sudah bilang, akan menanggung biaya trasportasi. 

Seandainya dulu aku tau alamat Eyang di Medan, pasti aku sudah berangkat sendiri.

~~~~~~~~~

Sampai juga kami di rumah Eyang. Seorang sopir bernama Pak Manto yang menjemput kami ke bandara. Dia sopir pribadi Eyang. 

Aku dan mas Mondi tak lantas masuk ke dalam rumah. Kami berdiri diam di depan rumah itu, takjub melihat megahnya rumah Eyang. Sama sekali aku tak menyangka kalau Eyang ternyata orang paling kaya di kampung ini. 

Walau rumah Eyang modelnya tidak kekinian, tapi cukup menandakan kalau beliau orang yang memiliki banyak kekayaan, juga banyak pengaruh. 

Bahkan menurut cerita Pak Manto tadi, selain pemilik kebun sawit terbesar, Eyang juga memiliki peternakan bebek juga ikan lele. 

"Eh, ini pasti Non Rachel. Ealah, cantik sekali sudah besar. Dulu, waktu Non Rachel kecil, Bibi loh, yang momong. Masih ingat nggak, sama Bibi Lasmi?" 

Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah itu, dan langsung sangat ramah dan terlihat sangat akrab denganku. 

Dahiku mengernyit. Aku tak ingat padanya. Memang kata Ayah, sampai usiaku 5 atau 6 tahun kami tinggal di sini bersama Eyang. Eyang Putri tepatnya, karena Eyang Kakung, sudah tiada saat ibuku masih dikandungan. 

"Yok yok masuk. Eyang udah nungguin dari tadi. Sini tasnya Bibik bawain." Bi Lasmi sangat ramah dan energik sekali. Dia ingin meraih tas dari tangan Mas Mondi.

"Nggak usah, Bik. Nggak berat kok," kata Mas Mondi menolak, sungkan meminta orang yang lebih tua mengangkat tas kami yang memang tak berat. 

Sengaja kami tak membawa banyak baju ganti. Buat jaga-jaga, kalau suatu saat kami tak betah tinggal di sini. Semua sudah kami titip di rumah mertua, agar tak merepotkan Ayah nanti, kalau benar Ayah akan menyusul ke Medan. 

"Anakku. Anakku." 

Aku sangat terkejut, saat tiba-tiba ada wanita yang merangkulku sangat erat. Penampilannya benar-benar buruk, seperti orang yang hilang ingatan.

Terang saja aku sangat ketakutan, namun aku juga tak mau bergerak dengan gegabah. Aku sedang hamil lima bulan, takut kalau tiba-tiba wanita itu melakukan sesuatu yang membahayakan kandunganku. 

Mas Mondi berusaha menarik tubuh wanita itu yang terus merangkulku. 

"Buk, lepasin. Ini istri saya, bukan anak Ibu." Walau keadaan wanita itu seperti orang tak waras, Mas Mondi tetap sopan padanya. 

"Eh, Parsiah, lepasin! Ini bukan anakmu!" Dengan kasar Bi Lasmi menarik tubuh wanita itu hingga wanita itu hampir terjengkang. 

Mas Mondi cepat menangkapnya. Kasihan sekali dia. Wanita bernama Parsiah itu langsung menangis dengan wajah memelas.

"Pergi sana! Anakmu sudah mati! Awas aja ya, kalau sampai aku lihat kau di dekat sini lagi." Bi Lasmi terlihat sangat tak suka dengan Bu Parsiah. 

Sambil mengisak, dan mata yang terus melihat ke arahku, dia pergi juga. Irama jantungku masih saja tak beraturan sejak tadi. 

"Bi, jangan seperti itu. Bagaimana pun, dia manusia juga," kata Mas Mondi. Raut wajahnya tampak tak senang dengan cara Bi Lasmi mengusir wanita itu. 

Bi Lasmi tak peduli. Dia justru melihat kondisiku, untuk memastikan kalau aku akan baik-baik saja. 

"Non, nggak papa kan. Dasar orang gila itu si Parsiah. Sejak anaknya meninggal, dia jadi senget kayakgitu," omel Bi Lasmi. 

"Memangnya anak Ibu itu, sebaya sama Rachel, Bi?" tanyaku. 

Kami cerita sambil jalan masuk ke dalam rumah yang semakin membuatku berdecak kagum. 

"Dulu, anaknya itu teman main Non Rachel. Namanya Sinta. Bapaknya tukang kebun, tapi nggak setiap hari datang. Kalau bapaknya datang ke sini, dia pasti ikut," ungkap Bi Lasmi. 

Aku sangat terkejut, ternyata aku juga punya teman masa kecil di sini. 

Aku memandang rumah ini. Benar-benar klasik interior bagian dalamnya, termasuk perabotan di dalam rumah. Semuanya bernilai seni tinggi. Hampir semua perabotan terbuat dari kayu yang berkualitas dengan ukiran jepara klasik. 

"Ini kamar, Eyang." 

Bi Lasmi membuka pintu sebuah kamar. 

"Non sama Mas, masuk saja. Bibi akan siapkan makan malam," kata Bi Lasmi lagi seraya meninggalkan kami. 

Kakiku berjalan pelan masuk ke dalam kamar itu, diikuti oleh Mas Mondi. Mataku bisa menangkap sesosok tubuh wanita tua yang sedang duduk di sebuah kursi goyang yang menghadap ke jendela. 

"Eyang," sapaku sangat pelan, agar tak mengagetkannya. 

Eyang menoleh, dan langsung tersenyum padaku. Seketika hatiku merasa sangat terharu, hingga mataku berkaca-kaca. 

"Akhirnya kamu datang, Ndok," kata Ayang. Suaranya begitu lemah. 

~~~~~~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status