Aku mendekati Eyang. Terus terang saja, agak merasa aneh sih. Setelah dua puluh tahun baru bisa bertemu lagi. Aku dan Mas Mondi hanya berdiri saja setelah bersalaman dengan Eyang.
Kalau kuperhatikan, Eyang sangat cantik, meskipun sudah tua. Usianya sekitar tujuh puluhan. Kalau saja tubuhnya tak lumpuh, pasti akan sangat menyenangkan.
"Bagaimana kabar ayahmu? Kenapa dia tak ikut kesini? Eyang juga suruh dia datang kesini? Biar bisa mengelola kebun juga ternak," kata Eyang.
"Alhamdulillah, Ayah baik Eyang. Ayah masih bekerja, mungkin beberapa bulan lagi, setelah Ayah pensiun baru datang. Rachel udah bilang sama Ayah, supaya datang sebelum Rachel melahirkan." Aku mengatakan sesuai dengan perbincangan kami dengan Ayah sebelum kemari.
"Sudah berapa bulan?" tanya Eyang seraya menarik tanganku untuk lebih dekat lagi. Beliau mengelus lembut perutku.
"Masih lima bulan Eyang," jawabku.
"Mudah-mudahan sehat," katanya. Aku tersenyum mendengar doa Eyang.
"Kalian istirahatlah dulu. Pasti capek dari perjalanan jauh," ujar Eyang.
"Baik Eyang. Kami ke kamar dulu, ya Eyang," balasku. Eyang mengangguk.
Aku dan Mas Mondi keluar dari kamar Eyang, dan menutup pintunya kembali dengan perlahan.
Bi Lasmi belum memberitahu di mana kamar kami. Akhirnya aku ke dapur untuk mencarinya, sementara Mas Mondi memilih untuk duduk di sofa.
Aku terus jalan semakin masuk ke dalam rumah. Aku tak tau benar, di bagian mana dapur rumah ini. Karena belum tau seluk beluknya, tapi aku merasa sudah sangat tau saja. Mungkin karena waktu kecil aku pernah tinggal di sini.
"Bik!" Aku memanggil Bik Lasmi.
"Iya Non. Bibik di belakang," sahutnya. Segera aku mengikuti arah suaranya tadi.
Wangi dari bumbu rempah yang dimasak, langsung memenuhi rongga hidungku. Semakin aku jalan ke belakang, semakin tercium aroma yang sangat menggugah selera.
"Masak apa, Bi?" tegurku saat sudah ada di dapur.
"Masak bebek ungkep. Non Rachel sangat suka kalau dulu Bibi masak kayak gini. Padahal pedes," katanya seraya tersenyum mengingat masa kecilku.
"Hmm, pantes, wanginya langsung bikin laper," kataku.
"Sebentar lagi masak. Biar empuk dulu. Bibik juga masak pecak lele," kata Bi Lasmi.
"Nggak papa Bi. Becanda aja tadi. Bik, kamar Rachel dimana?" tanyaku.
"Yang di sebelah kamar Eyang," jawabnya.
Bi Lasmi mengambil satu sendok kecil untuk mencicipi kuah masakannya.
"Ya udah, Rachel istirahat sebentar, ya Bi."
"Iya. Udah sana. Nanti kalau sudah selesai semua, Bibi panggil," katanya.
Aku pun kembali lagi ke ruang tamu. Sampai di ruang tamu, aku tak melihat Mas Mondi. Hanya ada koper dan tas kami saja. Aku segera keluar untuk mencarinya.
Kuedarkan pandangan, tapi aku tak melihatnya.
Mataku menangkap seorang anak kecil perempuan yang bermain dengan riang. Manis sekali. Dia seperti sedang mengejar-ngejar bebek. Tawanya sangat renyah. Pasti itu bebek Eyang yang keluar dari kandang. Dimana kandang bebek Eyang ya? Kok aku tak mendengar suara riuhnya. Juga tak ada tercium aroma tak sedap, yang biasanya timbul kalau ada peternakan dekat rumah.
"Adek!" Aku memanggil anak itu seraya mendekatinya. Mungkin dia bisa menjadi temanku yang pertama di sini.
Dengan riang aku mendekati anak itu yang jongkok sambil bernyanyi karena berhasil menangkap bebek yang sedari tadi di kejarnya. Aku memang suka dengan anak kecil.
"Dek," kataku sambil jongkok juga di sebelahnya.
"PERGI DARI SINI!" Dia tiba-tiba berteriak. Suaranya sangat besar, bukan seperti suara anak kecil.
Aku langsung terjengkang ke belakang melihat anak itu berbalik. Bola matanya putih semua, giginya juga hitam keseluruhan. Suaranya sangat mengerikan.
Aku berusaha untuk bangkit, dan terus berlari ingin masuk lagi ke rumah. Namun, belum lagi aku sampai ke teras rumah Eyang, aku melihat Mas Mondi.
Dengan nafas tersengal, dan tubuh agak gemetar, aku berdiri untuk memastikan kalau itu adalah Mas Mondi. Benar, itu Mas Mondi yang ngobrol dengan seseorang.
Aku melihat ke tempat anak itu lagi, tak ada lagi sosoknya di situ. Siapa anak itu? Dia mengingatkan diriku akan mimpi buruk waktu itu.
Aku mengatur nafas terlebih dahulu agar kembali normal. Kuelus perutku lembut, syukurlah, aku tak merasakan sakit di bagian perutku.
Setelah bisa bernafas dengan normal lagi, aku menghampiri Mas Mondi.
"Mas!" Ketika sudah mau dekat, aku memanggilnya.
Mas Mondi dan Bapak yang mengobrolnya melihatku, Bapak itu langsung pergi begitu saja. Seolah-olah tak suka aku datang. Aneh.
"Siapa itu, Mas?" tanyaku.
"Pak Sugeng. Katanya tukang kebun, sekalian mengurus ternak bebek sama ternak lele Eyang," jawab Mas Mondi.
"Kok aneh ya," kataku seraya melihat punggung Pak Sugeng yang semakin menjauh.
"Aneh gimana?" tanya Mas Mondi.
"Masak lihat aku dia nggak nyapa. Malah langsung pergi," jawabku.
"Dia buru-buru. Belum ngasih makan bebek. Tadi dia lagi nyari bebek, hilang satu katanya. Lain kali kita ke kandang bebek. Katanya, dia tinggal di dekat kandang bebek."
Mas Mondi menggandeng tanganku, kami berjalan lagi ke rumah Eyang.
'Apa bebek yang dicari Pak Sugeng, yang dikejar sama anak tadi?' tanyaku dalam hati.
Aku bergidik mengingat kejadian yang barusan kualami. Masak sih, anak itu hantu. Siang begini, masak ada hantu?
Baru lagi mau masuk rumah, kembali aku melihat Bu Parsiah. Awalnya, dia hanya berdiri melihatku, lalu tiba-tiba berlari dan memelukku seperti tadi.
"Sinta, ibu kangen Nak," katanya.
Tentu saja aku sangat takut. Siapa yang tak takut tiba-tiba dipeluk oleh seseorang yang mentalnya terganggu?
"Saya bukan anak Ibu. Nama saya Rachel, bukan Sinta, Bu," kataku berusaha melepaskan diri darinya.
Mas Mondi dengan sabar mengelus punggung wanita itu.
"Ibuu, ini bukan Sinta. Ini Rachel, teman Sinta. Coba Ibu perhatikan ya," kata Mas Mondi dengan lembut.
Mas Mondi memang seperti itu. Lembut dan sangat perhatian, bukan hanya padaku, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya. Dia tak tampak panik melihat Bu Parsiah.
Bu Parsiah terdiam memandang lekat wajahku yang masih berada di dalam dekapannya.
Perlahan, aku bisa merasakan, kalau pelukannya sedikit longgar, lalu terurai seutuhnya. Aku langsung bersembunyi di punggung Mas Mondi, takut Bu Parsiah tiba-tiba memelukku lagi.
"Bu, ngapain di sini. Gangguan orang aja."
Aku menoleh mendengar suara itu. Ternyata Pak Sugeng yang datang.
"Maaf Non, kalau istri saya sudah mengganggu. Permisi," kata Pak Sugeng langsung membawa Bu Parsiah yang masih terus memperhatikanku dengan wajah yang sangat menyedihkan.
"Kita masuk," ajak Mas Mondi.
Kami masuk lagi ke rumah Eyang. Walau rumah Eyang sangat besar dan memiliki halaman yang sangat luas, namun tak ada pagarnya. Hingga orang bebas keluar masuk kapan saja.
Sebelum aku benar-benar masuk ke dalam rumah, aku melihat Pak Sugeng dan Bu Parsiah yang terus pergi menjauh. Iba juga hati ini melihatnya.
Saat masuk ke dalam rumah. Aku melihat Bi Lasmi keluar dari kamar Eyang dengan membawa baskom berisi air.
"Buat apa itu, Bi?" tanyaku.
"Buat lap lap badan Eyang. Eyang udah nggak bisa mandi di kamar mandi lagi. Udah nggak bisa jalan," kata Bi Lasmi.
"Terus, kalau Eyang mau duduk di kursi goyang, siapa yang angkat?" tanyaku.
"Ya Bibi, sama Pak Manto. Eyang jarang minta duduk di kursi goyang, paling duduk di ranjang aja. Pinggangnya suka pegel kalau duduk di kursi goyang. Seharian ini juga belum. Nanti Mas Mondi bantu angkat ya. Tadi katanya mau duduk di kursi goyang, makannya minta disuapi Non Rachel. Berarti Non belum ngobrol ya, tadi sama Eyang? Soalnya tadi beliau tidur."
Pernyataan Bi Lasmi membuatku dan Mas Mondi saling pandang. Lalu siapa yang duduk di kursi goyang tadi?
~~~~~~~~
Mataku mendelik besar, kala Pak Manto mengarahkan senjata tajam itu ke wajahku. Perih, ujung belati itu menggores wajahku. Apalagi Pak Manto terus menggeser belati itu. Aku meringis, air mata tak mau berhenti keluar dari sudut mataku. Dadaku bergerak turun naik dengan cepat. Seringai di wajahnya membuatku ngeri. Bibirnya tersenyum miring, mengejek ketidak berdayaanku.Dadaku terus bergemuruh dengan cepat, mataku tak mau berkedip kala senjata tajam itu didekatkan ke pipiku. Hanya berjarak satu inci lagi, maka benda itu akan menyayat kulitku. Pak Manto terus menggeser benda itu, sangat perlahan. Dia seolah-olah sengaja membuatku ketakutan. Memancing rasa cemas yang berlebihan. Dia mengangkat benda itu ke atas. Aku hanya bisa pasrah. Kupejamkan mata sangat kuat. Ya Allah, aku pasrah. Terdengar suara benda jatuh dan suara gaduh. “Astaghfirullah hal adzim.” Mataku langsung kubuka saat mendengar suara seseorang yang beristighfar dan suara derap kaki yang saling berkejaran.Terima kasih y
“Kamu pasti bohong!” teriakku. Tanganku kuhentak-hentakkan, berharap ikatan akan terlepas.“Kamu tau, bertahun-tahun aku sudah bersabar menghadapi keserakahan Sandra. Aku terima saja, saat dia menguasai seluruh harta warisan dari bapakku. Hanya karena aku anak dari istri kedua, dia tak menganggap aku sama sekali.”Sumpah, aku sangat terkejut. Ternyata benar, Pak Manto adalah anak dari Buyut juga. Sangat banyak rahasia di rumah Eyang yang tidak aku ketahui. Semuanya membuatku bingung juga takut. Kenapa aku baru tau sekarang? Ayah, kenapa Ayah tidak menceritakan semua padaku sebelumnya? Apa Ayah tidak berpikir, kalau aku yang pada akhirnya akan menjadi korban?“Saat dia hanya menjadikan aku dan istriku pesuruhnya pun, aku tak menolak.” Pak Manto bicara sambil mengelilingi meja tempat tubuh ini dibaringkan. Di tangannya ada sebuah pisau daging. Entah untuk apa pisau itu. Apa mereka akan menghabisi aku sekarang? Ya Allah, tolong aku. Tolong anakku. “Sejak kecil, dia tak pernah mau meng
“Aduuhh.” Aku meringis sambil memegangi kepalaku yang terasa sangat sakit dan pusing sekali.Ya Allah kenapa jadi sakit semua. Kepala sakit, perut sakit. Mas, cepatlah datang. Aku rasanya sudah tak kuat lagi. Ajakku di dalam perut juga terus bergerak dengan sangat aktif. Rasanya sakit sekali. Apa mungkin aku mau melahirkan, tapi belum masuk harinya. Tubuhku sampai berkeringat dingin merasakan sakitnya. Tidur salah, jalan juga salah. Rasanya seluruh tulang yang ada di tubuhku rontok semua. Luar biasa sakit. Ya Allah, tolong. Aku dengar suara gaduh. Suara langkah kaki yang tergesa. Mas Mondi yang datang, bersama dengan Bi Lasmi. Mereka langsung masuk ke kamarku. “Coba baring, Non,” kata Bi Lasmi. Aku segera berbaring, dibantu oleh Mas Mondi. Bi Lasmi langsung memeriksa perutku. “Ini udah mau lahiran. Kayaknya kita nggak sempat ke rumah sakit, anaknya udah mau keluar,” kata Bi Lasmi. Suaranya terdengar panik. Membuat aku juga jadi panik. “Mas, ambilkan air hangat, pake baskom. Air
"Kamu nggak lagi bercanda kan?" tanya Mas Mondy seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan. "Nggak Mas. Ayo." Aku menarik tangan Mas Mondi untuk masuk ke dalam kamar Eyang."Mas geser lemarinya. Ada ruang bawah tanah, Mas," kataku. Aku masih merasa takut dan tegang kalau teringat kejadian yang tadi. Mas Mondi mengintip sedikit dari celah yang ada di belakang lemari, lalu menggeser lemari itu. "Biar Mas aja," cegah Mas Mondi ketika aku ingin membantunya. Sekuat tenaga Mas Mondi menggeser lemari itu, akhirnya bisa juga. Setelah dirasa bisa dilewati satu badan manusia dewasa, Mas Mondi tak lagi menggesernya."Tuh, kan ada pintunya Mas," kataku. Mas Mondi meletakkan telapak tangannya di pintu itu. Membuka kunci yang hanya mengait begitu saja, lalu mendorong pintu itu pelan.Aku memegangi tangan Mas mondy. Aku masih teringat akan kejadian tadi. "Jangan masuk Mas, bahaya," kataku melarangnya untuk masuk."Kamu tunggu di sini aja," katanya. Mas Mondi jalan perlahan menuruni anak tangg
"Yoga!" Reflek aku menjerit dan berlari ke arah Yoga. Yoga tampak kesakitan memegang punggungnya yang sepertinya sakit sekali. Tak ada siapapun selain Nunik yang terbaring lemah. Siapa yang menyerang Yoga tadi?Aku berjalan mendekati Nunik, untuk melepas ikatan di tubuhnya. Kami harus segera keluar dari ruangan ini. Aku bisa merasakan kalau aura di ruangan ini sangat menyeramkan. Bulu kudukku terus meremang sejak kamu mulai memasuki ruangan ini. "Chel, jangan!" Yoga meneriakiku agar jangan mendekati Nunik. Kami tak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa membawa Nunik keluar. Aku abaikan larangan Yoga. Aku menarik dalam nafasku, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aku tau, ini bahaya. Kalau kami tak melakukan apapun, juga akan berbahaya untuk Nunik. Perlahan aku jalan, seraya memegangi perutku. Kita kuat Nak. Jangan takut. Bunda nggak akan biarkan apapun terjadi sama kamu.Aku semakin dekat dengan Nunik. Tak ada apapun yang terjadi, membuatku semakin berani. Ti
''Bukannya Nunik sudah pulang?" tanyaku."Iya, tadi sudah pulang. Selesai sholat tadi, dia izin mau ke rumah Eyang lagi. Katanya kasihan kau sendirian di rumah," jelas Yoga. "Loh, katanya ada hajatan di rumah saudara kalian?" tanyaku heran. "Memang ada hajatan, tapi kami nggak pergi. Hanya titip amplop saja. Kamu khawatir sama kau, makanya Nunik ke sini. Zain sudah pesan untuk jaga kau."Jelas aku jadi khawatir mendengarnya. Berarti tadi benar Nunik yang datang. Kenapa Bi Lasmi bilang dia tak melihat Nunik? Apa memang dia tak nampak Nunik lewat? Apa tadi suara Nunik?"Bu, Rachel pulang ya," kataku. "Iyah." Dia mengangguk cepat, dengan senyuman yang lebar. "Kita ke rumah Ga." Aku langsung mengajak Yoga ke rumah. "Hati-hati." Aku langsung berbalik mendengar Bu Parsiah bilang hati-hati. Tetapi, dia terlihat sedang bermain dengan bebek. Aku melihat Pak Sugeng yang terus memperhatikan kami. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku cepat menyusul Yoga yang jalan lebih dulu, sambil memeg