RUMAH EYANG

RUMAH EYANG

Oleh:  KARTIKA DEKA  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 Peringkat
40Bab
2.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Rachel pulang ke kampung halamannya dan tinggal di rumah yang diwariskan oleh eyangnya. Ibu Rachel sendiri, sudah meninggal karena sakit, sejak Rachel masih kecil. Sejak tinggal di rumah itu, Rachel selalu saja dihantui oleh arwah hantu anak kecil dan hantu berwujud ibunya. Rachel berupaya mencari tau tentang anak itu. Akankah Rachel bisa mengungkap tentang hantu anak kecil yang selalu menghantuinya? Juga, bisakah Rachel mengungkap penyebab kematian ibunya yang sebenarnya? ikuti kisahnya di sini.

Lihat lebih banyak
RUMAH EYANG Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Luppin X
kpan lanjut
2024-03-05 03:55:28
0
user avatar
Tifa Nurfa
ceritanya bagus.
2023-11-03 20:04:32
0
40 Bab
Bab 1
POV Rachel"Ehhm, hausnya." Aku terjaga dari tidurku. Tiba-tiba rasa haus mendera."Mas, bangun. Temani ke dapur." Kuguncang oelan bahu suamiku, tapi dia tak mau bangun. Malah berbalik, jadi memunggungiku.Tidurnya sangat lelap, apalagi dia baru saja melalui hari yang berat. Baru saja diberhentikan sepihak dari tempatnya bekerja, adalah hal yang sangat berat baginya. Lebih baik aku keluar sendiri untuk mengambil minum. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 02.00 wib. Jam dimana banyak orang masih dibuai dalam mimpi mereka masing-masing. Perlahan sekali aku turun dari atas ranjangku, agar tak menimbulkan suara yang bisa mengganggu tidur suamiku. Membuka pintu kamar juga sangat hati-hati aku lakukan, sampai benar-benar tak menimbulkan suara. Dahiku mengernyit, saat melihat ada cahaya di dapur. Seperti cahaya yang berasal dari kulkas. Kalau malam, lampu dapur dan ruangan tengah dipadamkan, jadi akan terlihat jelas kalau ada cahaya dari dapur. "Hmm, pasti Ayah lupa tutup kulkas lagi
Baca selengkapnya
Bab 2
Sampai sekarang, mereka masih membuka toko pakaian juga, tapi hanya di depan rumah saja. Tak lagi menyewa tempat. Usia yang semakin menua, membuat mereka menahan diri untuk tak mengambil pinjaman modal usaha. Lagipula, mereka dagang juga hanya untuk mengisi kesibukan di hari tua saja. Selama ini, Mas Mondi juga membantu untuk biaya kehidupan mereka. Aku tak keberatan, karena sudah tau sejak sebelum kami menikah. Selama kebutuhanku bisa dipenuhi oleh Mas Mondi, menurutku hal itu tak jadi masalah. Kata Mama, mereka juga masih ada deposito di bank. Kalau untuk hari tua mereka, kami tak terlalu risau. "Pasti izinin. Sebelum berangkat, kita minta izin dulu ke rumah mama papa. Kalau rezeki kita bagus, kita bisa sesekali datang ke sini, atau mama papa yang kita minta datang ke Medan," kata Mas Mondi, yang cukup bisa diterima akalku. "Beberapa bulan lagi, Ayah juga pensiun. Ayah akan menyusul kalian ke Medan," ucap Ayah. "Bener ya. Jangan cari kerja lagi di sini. Rachel nggak tenang, kal
Baca selengkapnya
Bab 3
Aku mendekati Eyang. Terus terang saja, agak merasa aneh sih. Setelah dua puluh tahun baru bisa bertemu lagi. Aku dan Mas Mondi hanya berdiri saja setelah bersalaman dengan Eyang. Kalau kuperhatikan, Eyang sangat cantik, meskipun sudah tua. Usianya sekitar tujuh puluhan. Kalau saja tubuhnya tak lumpuh, pasti akan sangat menyenangkan. "Bagaimana kabar ayahmu? Kenapa dia tak ikut kesini? Eyang juga suruh dia datang kesini? Biar bisa mengelola kebun juga ternak," kata Eyang. "Alhamdulillah, Ayah baik Eyang. Ayah masih bekerja, mungkin beberapa bulan lagi, setelah Ayah pensiun baru datang. Rachel udah bilang sama Ayah, supaya datang sebelum Rachel melahirkan." Aku mengatakan sesuai dengan perbincangan kami dengan Ayah sebelum kemari."Sudah berapa bulan?" tanya Eyang seraya menarik tanganku untuk lebih dekat lagi. Beliau mengelus lembut perutku. "Masih lima bulan Eyang," jawabku. "Mudah-mudahan sehat," katanya. Aku tersenyum mendengar doa Eyang. "Kalian istirahatlah dulu. Pasti cape
Baca selengkapnya
Bab 4
"Tadi kami ngobrol kok Bi, sama Eyang," kataku. Apa mungkin Eyang yang lupa. Usia yang sudah menua, bisa saja membuatnya mulai pikun. "Loh, jadi kok Eyang masih nanyain Non Rachel? Eyang lelap sekali tidur tadi katanya. Beberapa hari ini memang sulit tidur. Mungkin sekarang sudah lega, karena Non Rachel sudah datang. Non mau ngobrol dulu sama Eyang, apa mandi dulu? Apa mau Bibi siapin air panas untuk mandi. Udah sore banget loh. Air di sini dingin sekali kalau terlalu sore begini. Soalnya langsung dari mata air yang ngalir dari bukti belakang sana." "Em, nggak usah Bi. Nanti kalau mau, Rachel masak sendiri." Agak merasa sungkan juga kalau semua dilayani. Aku yang sudah terbiasa mandiri sejak kecil, sekarang harus diperlakukan seperti seorang putri, rasanya kok malah aneh. Bukan tak senang, cuma gimana ya, kayak nggak enak aja gitu."Mana makan Eyang, Bi? Biar sekalian Rachel suapi." Aku berpikir untuk menyuapi Eyang makan terlebih dulu, baru mandi. Sekaligus menjawab rasa penasara
Baca selengkapnya
Bab 5
"Ada apa Non?" Bi Lasmi langsung datang ke kamar Eyang. "Mangkuknya jatuh, Bi. Nggak sengaja tadi," kataku berbohong. Kalau kubilang ada yang memukul tanganku, apa dia percaya?"Ya sudah. Biar saja. Bibik ambil sapu sama pengki dulu. Non, nemani Eyang saja, nanti Bibi ambilkan yang baru lagi makanan buat Eyang," kata Bi Lasmi langsung beranjak keluar kamar Eyang. Aku bangkit, lalu mendekati Eyang. Eyang tampak tenang, tak terkejut dengan kejadian barusan. Dia hanya menoleh, berusaha melihat ke belakang sebentar. "Maaf ya, Yang," kataku. "Nggak papa. Kamu nggak papa kan, Ndok?" tanya Eyang. Dia menatapku dengan mata teduhnya. Eyang pasti sangat cantik di masa mudanya. Gurat kecantikan itu masih terlihat sangat jelas di usianya yang sudah senja. "Ambil bangku," suruh Eyang. Aku menurut. Aku mengambil bangku bundar yang ada di meja rias Eyang, lalu duduk di hadapan Eyang."Syukurlah, Eyang masih sempat melihat kamu, sebelum Eyang meninggal," kata Eyang sambil mengelus lembut pipik
Baca selengkapnya
Bab 6
Zain mendekatiku, dengan mata yang tak lepas dari wajahku. Membuat aku jadi tertunduk malu. "Kau tak kenal sama aku?" tanyanya dengan logatnya yang Medan sekali. Aku menggeleng cepat. "Aku Zain. Anak Wak Togar. Aku dulu selalu main sama kau setiap hari di sini. Sama Sinta, sama Nunik, juga Yoga. Masak kau tak ingat," katanya berusaha mengingatkan pada nama-nama orang yang mungkin aku kenal. "Dia mana ingat Zain. Dulu kalian masih kecil sekali. Masih lima tahun dulu umurnya," kata Eyang. "Tapi aku ingat, Eyang. Pantas, aku kayak kenal muka dia. Makin cantik kau ya, udah besar." Pujiannya berhasil membuat pipiku memerah. "Kamu lebih tua 4 tahun dari dia, wajar kalau kamu ingat. Jangan kamu ganggu dia, dia sudah menikah," kata Eyang."Astaghfirullah hal adzim. Tak mungkinlah Eyang, aku mengganggu perempuan yang sudah beristri. Eyang tau, dari kecil dia sudah kayak adikku. Mana suami kau, kau kenalkan dulu sama abangmu ini," katanya penuh percaya diri. Entah kenapa, saat dia bilang
Baca selengkapnya
Bab 7
"Eh, nggak." Aku tak lagi menjelaskan tentang anak itu. Dia tampak berbeda dengan anak yang kulihat mengejar bebek tadi. Dia justru lebih mirip dengan anak yang kulihat di mimpiku sebelum ke rumah ini. Ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di rumah Eyang? Zain. Apakah dia tau sesuatu? Makanya dia ingin Eyang diruqyah. Bisa jadi, sosok-sosok itu yang mengganggu Eyang."Sayang, kenapa malah melamun. Makanannya keburu dingin." Mas Mondi menegurku. Aku cepat makan, agar mengimbangi Mas Mondi dan Bi Lasmi. Kami kembali mengobrol. Bi Lasmi yang aktif bertanya tentang kehidupan kami di Jakarta. Lebih banyak mas Mondi yang menjawab. Mereka terlihat sangat cepat akrab. Padahal, mas Mondi bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Syukurlah, berarti mas Mondi bisa betah tinggal di sini. "Besok, Mas Mondi bicara sama pak Sugeng. Kalau mas Mondi juga mau ikut mengurus ternak Eyang," kata bi Lasmi.Alisku menaut mendengarnya. Kenapa jadi bi Lasmi yang mengatur? Bahkan Eyang saj
Baca selengkapnya
Bab 8
Malam ini kami tidur lebih awal. Usai sholat Isya aku langsung merebahkan tubuhku. Seharian ini belum ada istirahat, membuat mataku benar-benar tak dapat lagi menahan kantuk.Mas Mondi juga sudah mengantuk. Tak banyak hal yang bahas di atas tempat tidur besi model klasik, dengan tilam kapuk tempahan yang masih sangat empuk. Tak butuh waktu lama, sebentar saja aku sudah beralih ke alam mimpi. Tiba-tiba telingaku menangkap suara tangisan seseorang. Suara seorang wanita, sangat menyayat hati suara itu. Suara yang menyimpan kesedihan mendalam. Aku turun dari atas ranjang. Kulihat mas Mondi sudah lelap sekali. Tak perlu lah kuganggu dia. Kulihat jam jadul yang ada di dinding. Masih jam sembilan malam. Walau jam itu sangat klasik, tapi masih berfungsi dengan baik. Jarumnya berjalan seperti biasa. Kulangkahkan kali dengan perlahan, ke arah luar kamar. KRIIEETTTSuara derit pintu yang kubuka, lalu kututup kembali setelah aku keluar dari kamar itu. Indra pendengaranku lebih kutajamkan la
Baca selengkapnya
Bab 9
"Tadi terbangun, jadi hilang ngantuknya. Mas bingung mau ngapain, mending ngobrol sama pak Sugeng. Lagian belum terlalu larut." Alasan Mas Mondi cukup masuk di akal. Tak ada alasan untuk curiga. Astaghfirullah. Kenapa aku curiga sama suamiku? Atas dasar apa?"Kamu kenapa bangun?" tanyanya. "Terbangun juga. Aku …." Apa sebaiknya aku cerita saja ya, sama Mas Mondi tentang mimpiku."Mas, aku mimpi buruk banget." Aku mulai menceritakan mimpiku. "Mimpi apa?" "Aku melihat ibu." "Ibu kamu?""Iya." Aku merasa yakin, wanita yang ada di dalam mimpiku adalah Ibu. Walau aku hanya mengenal wajahnya lewat foto, tapi wajah itu terus aku ingat di dalam kepalaku. Aku sebenarnya mirip dengan Ibu, tapi jauh lebih cantik Ibu. Aku harus akui itu. Wajah Ibu identik sekali dengan keayuan wanita Jawa, walau dia asli kelahiran Sumatra. "Aku melihat ibu bunuh diri dengan memotong nadinya sendiri," kataku dengan serius. "Apa ibu meninggal bunuh diri?" tanya Mas Mondi. "Kata ayah, ibu meninggal karena s
Baca selengkapnya
Bab 10
"Sudah," kata Eyang sembari menahan tanganku yang ingin menyuapkan lagi makanan ke mulutnya. Eyang sepertinya kehilangan selera makan karena ku membahas soal Ibu. Namun, aku tak memaksa. Kuberikan gelas berisi air minum Eyang. Entah hanya minum sedikit saja. "Ayahmu bilang apa?" tanya Eyang. Dahulu mengernyit, kenapa Eyang justru bertanya soal Ayah. "Maksudnya, ayah bilang apa gimana, Eyang?" tanyaku. "Tentang ibumu. Apa yang ayahmu katakan tentang kematian ibumu?" tanya Eyang. "Ayah bilang, ibu meninggal karena sakit. Sakit yang sudah lama ibu derita sejak melahirkan Rachel," jawabku sesuai dengan apa yang Ayah ceritakan. "Kalau ayahmu bilang begitu. Berarti benar seperti itu. Tak usah lagi diungkit tentang ibumu. Kasihan dia. Dia sudah tenang," kata Eyang. Jujur, aku merasa tak puas dengan jawaban Eyang. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Sesuatu yang tak boleh aku ketahui. Namun, tak mungkin juga aku memaksa Eyang cerita dengan kondisi kesehatan Eyang yang tak b
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status