Share

Part 10

“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.

“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”

Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.

“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.

“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”

“Fira bantu ya, Bu?”

Selalu saja diriku menawarkan bantuan.

“Nggak usaha. Kamu sama Arsya saja,” ucap beliau sembari pergi ke dapur.

Aku menurut saja. Memang sih di sini posisiku sebagai tamu, tapi dulu ibu senang kalau aku membantunya memasak di dapur. Berjalannya waktu, beliau terlihat tak sehangat dulu. Atau memang karena keadaan yang telah memisahkan kita sehingga rasa hangat itu kian memudar. Rasanya seperti menantu baru saja. Apa yang kubayangkan jauh berbeda dengan kenyataan yang saat ini kurasakan.

“Nda, kita nggak jadi pulang sekarang?” tanya Arsya.

“Belum Sayang. Nanti malam kita boleh pakai listrik. Jadinya nggak gelap-gelapan kayak tadi malam. Arsya pasti nggak takut lagi. Nggak apa-apa ya? Kita di sini dulu.”

Sehalus mungkin aku membujuknya. Meski rasa takutku saja belum sepenuhnya hilang, tapi aku tak enak hati dengan ibu dan mas Ubay. Sebenarnya aku juga masih kangen sama ibu, tapi sifatnya itu yang tak sehangat dulu membuat pagar pembatas antara kami berdua. Atau mungkin karena setelah sekian lama baru bertemu lagi. Ya, mungkin begitu.

Arsya terlihat murung. Rasa takutnya pasti masih sangat melekat dipikirannya. Kasihan sebenarnya, tapi mas Ubay pasti menyuruhku untuk tetap membujuknya agar mau tinggal di sini sementara waktu. Mengingat ini kesempatan emas bisa berkunjung ke rumah ibu. Mungkin jika sudah pulang ke rumah, ibu akan melarang lagi untuk datang ke sini. Entah apa alasannya, aku belum mengetahuinya.

“Bentar lagi mataharinya nongol, Sya. Nanti habis sarapan kita main bola yuk. Atau main mobil-mobilan angkutin tanah yang ada di halaman sana. Mau ya? Bunda sudah nggak sabar lho, Sya.”

Tugasku harus membuat Arsya ceria lagi. Bagaimana pun caranya akan kulakukan. Dia harus menikmati apa yang ada di sini untuk sementara waktu. Meminta pulang pun sepertinya belum tentu dikabulkan oleh mas Ubay.

“Bunda sama Arsya terus ya? Jangan pergi-pergi.”

Perlahan wajah murungnya kembali ceria. Aku sangat bersyukur, Arsya bisa memahami keadaan saat ini. Meski ada rasa kasihan di dalam hatiku, semoga saja kedepannya tidak terjadi apa-apa.

“Iya, Bunda janji,” ucapku seraya tersenyum.

“Gawai Arsya mana? Sebelum main bola Arsya mau main gawai dulu, Nda. Harus makan dulu ‘kan, baru boleh main bola?”

Perasaannya pasti semakin membaik, dia tak lagi merengek meminta pulang. Syukurlah ….

“Ada di kamar. Bunda ambil dulu sebentar ya? Arsya di sini sama ayah dulu.”

“Iya, Nda ….”

Aku  masuk ke dalam untuk pergi ke kamar mengambil gawai. Saat menyibakkan tirai, aku merasa ibu sedang berbicara sendiri sambil mengolah masakan.

Langkah kuperlambat. Telinga kupasang untuk menguping apa yang sedang diucapkan oleh beliau.

“Aku mohon, jangan ganggu mereka. Untuk sementara waktu, tinggallah di gubuk itu. Apa pun akan kulakukan, asal jangan mengambilnya.”

‘Ibu lagi ngomong sama siapa sih? Apa orang yang diajak bicara ada di luar pintu belakang. Pintunya ‘kan terbuka. Pasti ada orang di sana. Aku coba mendekat ke sana saja,’ batinku.

Karena penasaran, aku pun menghampiri beliau yang sedang sibuk memasak.

“Bu, masak apa?” sapaku dari belakang.

Pandanganku sesekali mencari seseorang di luar pintu belakang yang terbuka.

“Lho, Fira? Kenapa malah ke dapur? Kamu nggak usah membantu Ibu. Kamu tunggu saja di depan. Kalau sudah matang semua, Ibu akan membawanya ke depan. Kamu nggak usah datang ke sini.”

Jawaban ibu cukup panjang, padahal aku hanya bertanya tentang menu saja. Beliau pun terlihat kaget melihatku sudah ada didekatnya. Dan lagi, aku tak menemukan siapa pun di luar rumah. Jadi, tadi beliau berbicara dengan siapa? Apa aku harus menanyakannya?

“Nggak kok, Bu. Kebetulan lewat saja. Fira mau ambil gawai di kamar, tapi tadi Fira mendengar Ibu sedang berbicara dengan seseorang. Ibu bicara sama siapa?”

Akhirnya aku menanyakannya juga. Daripada penasaran, lebih baik bertanya saja.

“Oh, begitu … itu, anu Ibu nggak ngomong sama siapa-siapa. Kebiasaan bergumam saja.”

Nada bicara beliau terdengar tak meyakinkan. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa mempercayainya saja. Akan bertanya lebih, rasanya tak enak hati.

“Kalau Ibu kesepian, lebih baik Ibu pulang ke rumah Fira saja yuk. Di sana banyak temannya, Bu. Tetangga Fira baik-baik semua.”

Dengan senang hati aku menawarkannya. Kasihan jika memang ibu kebiasaan bergumam sendiri seperti itu.

“Nggak usah Fira. Terima kasih. Ibu mau di sini saja. Ibu sudah betah di sini.”

Jawaban itu membuat bibirku terkunci rapat. Jika ibu sudah betah di sini, akan ditawarkan apa pun juga, tetap saja keputusannya itu tidak bisa diganggu gugat. Ya sudah, terserah beliau saja. Yang penting ibu bahagia. Biarkan masa tuanya dilalui dengan apa yang beliau inginkan. Senyamannya saja.

“Ya sudah, Bu. Fira mau ke kamar dulu ya? Arsya pasti sudah menunggu.”

“Iya, jangan ke sini lagi. Kalau nanti sudah selesai, Ibu akan membawakannya ke depan. Kamu bersantai saja. Urusi Arsya saja. Jaga dia baik-baik.”

“Ya Bu.”

Aku pergi ke kamar dengan banyak tanda tanya. Jika ibu berbicara seperti memberikan suatu tanda yang tak bisa kumengerti. Kata-katanya itu, seolah Arsya dalam keadaan bahaya. Saat ibu bergumam tadi saja terdengar aneh. Apa mungkin di sini ada bahaya yang mengancam sehingga dari dulu ibu melarang kami datang? Ah, entahlah. Kepalaku pusing jika memikirkan sesuatu yang tak kuketahui dengan pasti. Ada mas Ubay ini yang bisa melindungi kami. Tentunya Sang Kuasa pasti akan melindungi hamba-hamba-Nya dimanapun berada.

*** 

“Ayo Nda, kita main. Mataharinya udah nongol tuh.”

Arsya sudah kembali ceria. Aku sangat bersyukur, secepat itu dia melupakan mimpi buruknya.

“Iya Sayang. Makan dulu ya?”

Di hadapan kami sudah ada makanan untuk sarapan. Ibu memasak sayur papaya muda, telur dadar dan sambal. Sangat sederhana, tapi aku yakin masakan ini sangat enak. Dari dulu, masakan ibu memang pas di lidahku. Rasanya sangat enak menurutku.

“Pakai apa, Nda?” tanya Arsya dari ambang pintu.

“Ayo sini dulu. Pasti enak.”

“Iya Nda.”

Dari kecil Arsya sudah suka pedas. Jadi, tidak bingung memberinya makan. Apa saja dia pun suka. Makannya selalu banyak tapi aktivitasnya pun banyak. Jadi badannya terlihat proposional.

Setelah sarapan selesai, Arsya sudah tak sabar untuk bermain. Aku mengikutinya saja. Mas Ubay sibuk mencari sinyal. Di sini sinyal ternyata lumayan susah. Dia berjalan entah kemana untuk mencari sinyal yang lebih kuat.

“Nda, bolanya Arsya tendang ya?”

“Iya Sayang.”

Kami bermain di samping rumah. Di sana tanahnya lebih halus tanpa ada batu kerikil seperti di halaman depan.

Arsya menendang bola lumayan kuat. Bola itu bergulir cukup jauh sampai masuk ke gubuk belakang rumah.

“Nda … kok nggak ditangkap sih? Bolanya jadi masuk ke sana ‘kan?” protes  Arsya.

“Arsya kalau nendang jangan kuat-kuat dong. Bunda takut kena wajah. Pasti sakit.”

“Yahh, Bunda. Gimana sih? Terus bolanya siapa yang ambil?”

“Ya udah, Arsya mainan mobil-mobilan dulu. Bunda mau ambil bolanya.”

“Iya Nda. Jangan lama-lama.”

Aku pergi melangkah ke gubuk tersebut.

“Itu ‘kan gubuk yang dimaksud sama ibu. Aku dilarang memasukinya. Ck. Jadi gimana dong?”

Ada keraguan di dalam hati. Sepertinya tadi ibu pergi entah kemana. Kini hanya aku yang ada di sini. Mas Ubay pun tak terlihat batang hidungnya.

Semakin dekat dengan gubuk itu, perasaanku semakin tak enak.

“Masuk nggak ya? Tapi Arsya pasti kecewa kalau bundanya nggak bawa bolanya. Mana bola kesayangannya lagi. Ah … bismillah saja. Sudah siang. Jangan takut, Fira.”

Dengan pertimbangan matang. Aku pun melangkah masuk ke dalam gubuk tersebut.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fheransia Cha
sumpah ya,greget bacanya,qlo gw pribadi psti ud pulng ,, toh ibuny juga ud ksih respon untuk sgera pulng
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status