“Nda, minggu besok apa jadi ke rumah ibu?” tanya mas Ubay.
Dia suamiku. Sedangkan namaku Fira. Kita berdua berada di dapur. Dia duduk di belakangku, tepatnya di meja makan. Aku sedang memasak mumpung jagoan kecilku terlelap tidur.
Jam di dinding menunjukkan pukul setengah enam sore, sudah hampir maghrib tapi Arsya—putraku belum juga bangun. Dia tidur dari jam setengah empat tadi. Mungkin dia kelelahan habis main dengan teman-temannya.
“Jadi dong, Yah. Kita sudah lama lho, nggak ke sana. Sejak aku hamil Arsya, kita belum pernah bertemu sama ibu lagi. Apa kamu nggak kangen, Yah?”
Aku memasukkan bumbu-bumbu ke dalam wajan.
“Kangen sih pasti, Nda. Tapi ibu ‘kan yang menyuruh kita nggak main ke rumahnya. Apa lebih baik kita menuruti apa kata ibu saja?”
“Yah … kok ngomong gitu sih? Kita sudah lima tahun lho nggak main ke sana. Apa kamu nggak kasihan sama ibu? Mungkin di sana beliau sangat kesepian. Bapak juga udah lama meninggal. Ibu pasti ingin ketemu sama kita dan cucunya, Yah. Apa kamu tega, Arsya dari bayi nggak pernah lihat neneknya lho, Yah.”
Aku terpaksa menghentikan pekerjaan untuk sesaat dan melihat mas Ubay.
“Bukan begitu, Nda. Ibu ‘kan sudah nggak tinggal di rumah yang dulu. Semenjak bapak meninggal beliau pindah ke rumah yang ada di desa terpencil. Ibu juga sering titip pesan sama paman, kalau kita dilarang pergi ke sana. Mangkanya, aku nggak pernah ajak Bunda ke sana lagi.”
Perkataan mas Ubay memang benar. Namun, rasanya tak tega jika harus seperti itu terus. Aku rasa ibu mertua pun ingin melihat anak-anak dan cucunya, tapi entah apa alasannya kami dilarang untuk mengunjungi beliau. Aku pun sebenarnya ingin membawa beliau untuk tinggal di rumah ini bersama kami. Namun, beliau menolak.
“Tapi Yah … aku kasihan sama ibu. Sekali-kali kita kasih kejutan nggak apa-apa ‘kan? Pasti beliau akan sangat bahagia.”
Aku kembali sibuk dengan wajan penggorengan.
“Bunda yakin, mau tetap ke sana? Kalau ibu justru nggak suka kita ke sana gimana, Nda?”
Mas Ubay berkata seolah enggan datang ke rumah ibu. Padahal beliau adalah ibu kandungnya sendiri dan kami khususnya mas Ubay tidak pernah ada konflik besar yang terjadi. Jadi, kenapa mas Ubay sepertinya mempersulit kedatangan kami ke rumah beliau?
“Ayah, kamu kenapa sih? Beliau ‘kan ibu kandungmu, Yah? Kenapa kamu seolah malas menemui beliau. Jangan gitu dong, Yah. Nggak baik.”
Terpaksa, aku kembali memalingkan badan dan menatap mas Ubay dengan tatapan tak suka. Keningku mengerut agar dia tahu perasaanku.
Mas Ubay yang kutatap sedemikian rupa hanya bergeming. Mungkin dia merasa bersalah. Karena ekspresinya seperti itu, aku kembali menyibukkan diri dengan masakanku yang tak kunjung usai.
“Kita silaturahmi sama ibu, Yah. Aku yang mantunya saja kangen, masa Ayah yang anak kandungnya sendiri biasa saja. Jangan begitu dong, Yah … Arsya juga pasti ingin bertemu sama neneknya. Kasihan kalau sampai ibu sudah nggak ada di dunia kita baru menyesal. Nggak mau begitu ‘kan, Yah?”
Ocehan di mulutku tak mau berhenti. Padahal tadi aku sudah melihat ekspresi bersalah dari wajah mas Ubay. Namun, aku masih saja belum puas jika hanya berdiam diri mengetahui suami sendiri yang enggan datang ke rumah ibunya. Bagiku itu salah.
Bagaimana pun orang tua yang kadang menyebalkan, mereka tetap orang yang sangat berjasa di hidup kita. Apalagi seorang ibu yang merawat kita dari dalam kandungan sampai bisa berdiri tegak menyongsong dunia. Sepertinya durhaka jika sampai melupakan jasanya begitu saja.
“Nda, masaknya nggak selesai-selesai? Dari tadi aku sudah menunggu di depan lho. Biasanya Bunda nyamperin kalau sudah selesai masak, ini kok lama banget. Sudah hampir maghrib, jadi aku masuk saja nemuin Bunda di dapur.”
Bibirku yang belum lama terdiam, dikagetkan dengan suara seseorang yang sangat kukenal. Kumatikan kompor dan memalingkan badan melihat seseorang yang baru saja berbicara padaku.
Aku kaget saat melihat mas Ubay berdiri di ambang pintu pembatas dan berjalan perlahan menuju ke tempatku berdiri. Sepertinya mas Ubay baru datang dari arah depan. Padahal dari tadi dia sedang duduk di meja makan yang jauh dari sana. Kami pun berbicara panjang lebar, tapi kenapa mas Ubay terlihat seperti baru saja datang?
Beberapa kali mataku melihat ke arah meja makan yang belum lama ini diduduki olehnya. Namun sekarang dia sudah berada di dekatku berjalan dari arah depan. Padahal meja makan ada di sisi sebelah kanan ruangan ini, sedangkan pintu pembatas ada di sisi sebaliknya.
“Yah, dari tadi kamu duduk di sana ‘kan?”
Aku menunjuk ke meja makan.
Kini giliran mas Ubay yang mengerutkan keningnya.
“Maksud kamu apa, Nda?”
“Iya, tadi ‘kan kita bicara membahas soal pergi ke rumah ibu. Kamu duduk di sana ‘kan?”
Aku kembali memastikan.
“Apaan sih, Nda? Aku baru datang ke sini lho?” ucapnya seraya menatapku aneh.
“Ayah nggak usah iseng ya sama Bunda. Dari tadi kita berbicara lho, Yah. Kamu kayak nggak mau pergi gitu ke rumah ibu. Aku protes dong sama kamu. Terus sekarang kamu mau isengin aku, Yah? Kamu nggak terima sama ucapanku?”
“Bunda, jangan aneh-aneh deh. Aku dari tadi di depan nungguin kamu selesai masak tapi lama banget nggak kelar-kelar. Aku susul saja ke sini. Dan lagi, aku nggak pernah ngomong kalau aku nggak mau pulang ke rumah ibu. Padahal aku sudah kengen banget sama beliau. Mana mungkin aku ngomong begitu sama kamu, Nda. Kamu kecapekkan kali, butuh istirahat biar nggak ngehalu gitu, Nda.”
“Yah! Jangan iseng ya! Kamu dari tadi duduk di sana kok!”
Aku kembali menunjuk ke tempat duduknya tadi.
“Aku nggak mungkin salah, Yah. Jelas-jelas kamu duduk di sana ngobrol sama aku. Ayah jangan iseng, sok-sokan akting datang dari arah depan!”
“Bunda ini aneh. Aku baru saja datang ke sini sudah dituduh macam-macam,” ucapnya seraya mencomot masakanku dan pergi mengambil piring.
“Tadi kamu duduk di sana, Yah. Nggak mungkin aku salah lihat. Kita ngobrol juga kok.”
Aku tak mau kalah.
“Nda ….”
Arsya memanggilku dari kamar.
“Itu Nda, Arsya udah bangun. Kamu itu ada-ada saja. Sebelum pergi ke rumah ibu, kamu harusnya istirahat dulu, Nda. Perjalanan kita panjang lho, Nda. Aku lapar, mau makan dulu.”
“Ah Ayah, aku tuh nggak mungkin salah lihat,” dengusku sambil pergi ke kamar jagoan kecilku.
“Padahal jelas-jelas kami mengobrol, tapi kenapa mas Ubay kayak nggak tau apa-apa. Aneh banget sih,” gumamku seraya berjalan menemui Arsya di kamarnya.
“Nda ….”
Kembali Arsya memanggilku.
“Iya Sayang. Bunda datang.”
“Nda … hiks!”
Aku segera mendatangi Arsya yang tiba-tiba saja menangis. Tak biasanya dia bangun tidur seperti ini.
“Nda … Arsya takut, Nda … hiks!”Dia menatapku dengan linangan air mata. Aku segera mendekap dan menenangkannya.“Udah, udah … nggak usah takut ya? Sudah ada Bunda ‘kan? Arsya nggak usah takut lagi ya?”“Tapi Arsya masih takut, Nda ….”Tangan kecilnya mendekapku erat.“Arsya mimpi buruk ya?”Aku menerka kejadian yang membuatnya menangis sesenggukan seperti ini.Kepalanya mengangguk. Berarti benar apa yang kuduga.
“Oh iya, kok jadi nggak ada. Padahal nggak lama manggil ayah. Apa mungkin sudah dikubur sama tetangga?”Aku pun heran dengan kejadian yang baru saja terjadi.“Yah … kok malah dikubur sama tetangga sih, Nda. Arsya ‘kan mau lihat ayah yang nguburin,” ketus Arsya. Dia benar-benar penasaran.“Bagus dong kalau sudah ada yang nguburin,” sahut mas Ubay.“Mbak Fira, Mas Ubay … lagi ngapain bawa cangkul segala?” tanya tetangga depan rumah.“Hehe. Iya Bu. Tadi ada ayam mati yang tergeletak di rumput dekat pagar,” jawabku.
“Tapi Man, kami sudah jauh-jauh datang ke sini. Dari jam Sembilan pagi sampai jam dua lebih baru sampai lho, Man. Sayanglah kalau mau pulang lagi. Apalagi kami sudah lama banget nggak ketemu sama ibu.”Mas Ubay tentu saja akan memprotesnya. Padahal menurut mas Ubay, paman Joko adalah orang yang sangat baik, tapi kenapa sekarang melarang kami untuk pergi menemui kakaknya yang memang ibu kandungnya mas Ubay.“Ya sudah terserah kamu saja, Bay. Yang penting paman sudah memperingatkan. Ayo duduk. Oh, ini Arsya pasti ya? Udah gede ya?”Sebelum duduk, aku pun bersalaman. Arsya pun kusuruh untuk mencium tangan kakeknya.“Memangnya di rumah ibu ada apa? Kenapa sampai Pam
“Oh iya ya … hmm, mungkin kakek tadi terburu-buru. Ya jadi gitu deh, beliau jalannya cepat-cepat masuk ke semak-semak itu, Sayang.”Aku menjelaskannya dengan nada sebiasa mungkin. Tidak mau jika Arsya mengetahui, aku pun sebenarnya merasa takut dan ngeri. Masa iya, tidak ada tanda-tanda kakek itu sudah masuk ke area yang lebih banyak ditumbuhi semak-semak. Ya, setidaknya ada semak-semak yang bergoyang karena kakek itu melewatinya. Yang kulihat hanya bergerak terkena angin saja.“Oh … begitu ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Untunglah tidak ada pertanyaan lain yang Arsya sampaikan.
“Alhmdulillah Ibu … akhirnya bisa ketemu sama Ibu lagi,” ucap mas Ubay, saat mengetahui seseorang yang memanggilnya adalah ibu mertua.Dengan langkah yang panjang, dia menghampiri beliau. Aku dan Arsya pun menyusulnya. Mas Ubay terlihat sangat bahagia, aku pun merasakan hal yang sama. Lima tahun sudah tak pernah bertemu. Sudah pasti, kami sangat rindu dengan beliau. Apalagi dulu kami sempat tinggal bersama lumayan lama.“Ubay? Fira?”Ibu terkejut melihat kami ada di hadapan beliau.Tak menunggu lama, mas Ubay langsung saja memeluk beliau. Aku yakin, detik ini dia sangat bahagia dan terharu.&ldq
“Yah, kayaknya ibu nggak terlalu suka kalau kita datang ke rumah ini deh,” bisikku, agar tidak terdengar oleh ibu.“Nggak lah, Nda. Ibu pasti hanya bingung, tau-tau kita sudah ada di rumahnya. Di dalam hati pasti ibu sangat bahagia.”Mas Ubay tidak mau berpikiran negative kepada ibu. Iya sih, seharusnya memang begitu. Namun, dari tadi sikap ibu terlihat sangat aneh dan sepertinya ibu sangat tak nyaman. Raut wajahnya seperti seorang yang sangat khawatir. Tapi apa yang dikhwatirkan oleh beliau? Seharusnya ibu bahagia saat kami datang ke rumahnya. Justru beliau terlihat sebaliknya.“Iya Yah, semoga saja seperti itu. Kira-kira yang tadi jatuh apa ya, Yah?”Aku
Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?
Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.“Membent