Share

Part 2

“Nda … Arsya takut, Nda … hiks!”

Dia menatapku dengan linangan air mata. Aku segera mendekap dan menenangkannya.

“Udah, udah … nggak usah takut ya? Sudah ada Bunda ‘kan? Arsya nggak usah takut lagi ya?”

“Tapi Arsya masih takut, Nda ….”

Tangan kecilnya mendekapku erat.

“Arsya mimpi buruk ya?”

Aku menerka kejadian yang membuatnya menangis sesenggukan seperti ini.

Kepalanya mengangguk. Berarti benar apa yang kuduga.

“Udah ya, Arsya nggak usah nangis lagi ya? Mimpinya ‘kan udah selesai. Sekarang ada Bunda yang nemenin Arsya.”

Aku melepas pelukan dan mengusap air matanya.

“Arsya takut banget, Nda. Arsya mau dibawa pergi sama nenek-nenek wajahnya serem banget. Arsya takut pokoknya, Nda.”

Bocah lima tahunan itu menceritakan mimpi buruk yang baru saja dialami.

“Kalau Arsya nggak bangun kayaknya Arsya sudah nggak sama Bunda lagi. Arsya pasti udah mati dibawa sama nenek-nenek serem itu, Nda. Untung saja Arsya masih bisa bangun.”

Dia kembali berbicara dengan sisa air matanya.

“Lain kali, kalau Arsya mau tidur harus berdoa dulu ya? Pasti tadi Arsya lupa nggak berdoa ‘kan? Udah ya, jangan nangis lagi. Yang penting kalau mau tidur harus baca doa dulu biar nggak mimpi serem kayak tadi. Arsya paham ‘kan sama yang Bunda ucapkan?”

Aku menasihatinya dengan membelai lembut rambutnya yang hitam dan tebal.

“Iya Nda, Arsya lupa nggak baca doa. Besok Arsya harus selau berdoa kalau mau tidur ya, Nda? Arsya nggak mau lagi mimpi kayak tadi. Arsya takut banget, Nda.”

Aku tersenyum mendengar ucapan yang keluar dari bibir mungil jagoan kecilku.

“Pintarnya, anak shalehnya Bunda.”

Kepalaku tidak memikirkan hal aneh tentang mimpi yang baru saja dialami oleh Arsya. Ya, namanya tidur terkadang pasti mengalami mimpi buruk. Itu hal biasa. Aku hanya menasihatinya saja agar selalu berdoa sebelum tidur. Selebihnya tak kuanggap serius.

Mungkin bisa jadi karena Arsya tidur diwaktu senja seperti ini. Sudah hampir maghrib, mungkin saja mendapat teguran dari Sang Kuasa agar tidak tidur di sore hari. Namun, Arsya masih anak-anak, apa iya sudah mendapat peringatan semacam itu? Atau mungkin peringatan itu sengaja ditujakan untukku sebagai orang tuanya. Ah … entahlah. Pasti hanya bunga tidur saja.

*** 

“Nda, sudah siap semua? Jangan sampai ada yang tertinggal. Coba dicek lagi.”

Kami sedang bersiap untuk pergi ke rumah ibu. Hari ini tepat hari minggu, dimana rencana yang sengaja kami susun untuk menemui beliau. Kejadian waktu di meja makan sudah tak kubahas lagi. Memang pernah sekali kutanyakan lagi, tapi mas Ubay tetap mengatakan hal yang sama, dia tidak merasa melakukan percakapan itu. Tatapannya pun aneh memandangku. Seolah memang tak pernah melakukannya. Saat itu aku jadi merinding. Jadi, siapa yang kuajak berbicara waktu itu? Aku tak lagi membahasnya karena merasa aneh dan takut sendiri.

Sekarang masih sekitar pukul delapan pagi, kami berencana pergi ke sana pukul Sembilan nanti. Aku dan mas Ubay kembali mengecek barang-barang yang akan kami bawa ke sana.  Karena kami memakai mobil pribadi, barang yang kami bawa lumayan banyak.

Rencananya kami akan menginap di sana sekitar tiga mingguan. Ya, waktu yang cukup panjang untuk bersantai menikmati suasana pedesaan. Cukup untuk menenangkan pikiran dari aktivitas sehari-hari yang kami lakukan di kota yang bising dan penuh kepenatan.

“Sudah Yah. Tadi sudah kucek beberapa kali. Semua aman,” ucapku sambil tersenyum.

“Ya sudah, kita santai dulu, Nda. Pasti kamu capek ngurusin ini dan itu.”

“Iya, Yah. Bekal yang tadi aku masak juga sudah siap. Ibu pasti suka kalau kubuatin rendang sapi ‘kan, Yah? Nggak sabar pengin ketemu sama ibu. Arsya pasti senang mau main ke desa.”

Kami duduk di ruang tengah. Ada beberapa tas besar tergeletak di lantai yang sudah siap kami bawa ke rumah ibu.

“Pasti suka, Nda. Dulu ibu ‘kan paling suka sama masakan rendang sapimu, Nda.”

“Benar Yah, ibu pasti suka.”

Aku kembali tersenyum bahagia. Aku sangat menantikan hari ini. Sudah tak sabar rasanya ingin bertemu dengan beliau. Meski hanya seorang ibu mertua, beliau begitu baik dan memperlakukanku layaknya anak sendiri. Sudah pasti aku melakukan hal yang sama kepada beliau.

Namun, entah apa alasannya, beliau menyuruh kami untuk pindah ke kota saja sejak aku hamil empat bulan. Sampai sekarang beliau tidak mau dijenguk oleh kami. Memang aneh. Tapi begitulah keinginan beliau. Kami hanya menurut saja.

“Arsya dimana Nda? Kok dari tadi aku nggak dengar suaranya?”

“Hmm, iya ya. Mungkin lagi main sama temannya.”

“Nda … ke sini Nda ….”

Baru saja kami membahasnya, Arsya memanggilku dari luar. Mungkin benar, Arsya baru pulang dari rumah tetangga.

“Ada apa Sayang,” ucapku seraya menghampirinya.

“Nda itu Nda, lihat Nda.”

Jari kecilnya menunjuk ke rumput di sekitaran pagar.

“Apa sih, Sya?” tanyaku seraya mencari sesuatu yang dia maksud. “Astaghfirullah, kok ada ayam mati di situ. Pasti belum lama. Belum kecium bau bangkainya. Ayo Sayang, kita ke ayah dulu. Biar ayah yang menguburkannya. Mungkin tadi ketabrak motor atau mobil.”

“Tapi Nda, Arsya mau lihat di sini saja.”

“Iya Sayang. Nanti kita lihat lagi. Kasihan kalau nggak cepat-cepat dikubur. Ayamnya nangis minta dikubur gimana hayo?”

“Iya deh, Nda.”

Kita kembali ke dalam rumah bermaksud memanggil mas Ubay untuk mengubur ayam tadi yang sudah mati.

“Ayah … ayo kita kubur ayam mati dulu. Yuk ….”

Baru satu kaki melangkah ke dalam rumah, Arsya sudah tidak sabar mengatakannya.

“Masa ngomongnya di sini, Sya. Tunggu kalau sudah di depan ayah ya?”

Aku menasihatinya. Ya, karena tidak sopan jika mengatakannya begitu saja, apalagi jika sedang berbicara dengan orang yang lebih tua. Lebih baik menghampiri orangnya lebih dulu, baru mengatakan keperluan yang dimaksud.

“Iya Nda, maaf,” ucapnya seraya berlari menemui mas Ubay.

“Pelan-pelan, Sayang.”

Aku perlahan menghampiri mereka.

“Ada ayam mati? Dimana?” ucap mas Ubay setelah Arsya mengatakannya.

“Di sana Yah. Ayo, Arsya tunjukin. Arsya mau lihat ayam mati itu dikubur.”

“Iya nanti, Ayah ambil cangkul di belakang.”

Mas Ubay pergi mengambilnya. Arsya pun ikut membuntutinya. Ya, mungkin Arsya sangat tertarik untuk melihat prosesi menguburkan ayam mati itu. Anak laki-laki, mungkin wajar jika seperti itu.

Mereka sudah kembali terlihat di mataku. Aku dari tadi hanya menunggu mereka di ruang tengah.

“Ayo Nda, kita mulai mengubur ayam mati tadi,” ucap Arsya bersemangat.

Kami pergi ke tempat ayam mati yang tergeletak di rumput dekat pagar.

“Ayo, ayo, ayo ….”

Arsya terlihat begitu bersemangat.

“Ayam matinya ada dimana Sya?” tanya mas Ubay saat sudah berada di tempat itu.

“Lho Nda, kok nggak ada, Nda?” ujar jagoan kecilku.

Aku pun ikut melihatnya untuk memastikan. Ya, sudah tidak ada lagi ayam mati yang tadi kami lihat. Padahal kami tak lama pergi ke dalam rumah. Atau mungkin sudah ada orang yang menguburkannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status