POV Ibu
Flashback on.
***
Untuk sesaat aku mematung dan menengokkan kepala ke kanan, kiri serta belakang. Namun aku tak menemukan siapa pun di dalam ruangan ini. Aku mengerutkan kening dan memikirkan siapa tadi yang mendorongku? Atau hanya kakiku yang tergelincir sehingga tanpa sengaja masuk ke ruang tamu ini? Sepertinya tidak demikian. Jika tetap saja dipikir mungkin rasa takut akan kembali hadir. Lebih baik mencari tahu siapa pemilik rumah ini saja. Milik Nyai Astuti atau justru bukan.
“Permisi. Apakah ada orang?” sapaku lagi, kaki mulai kuayun perlahan mencari keberadaan penghuni rumah ini.
Gubrak!
POV IbuFlashback on.***“Hahaha, kau masih meragukan ilmuku, Diyah! Lancang!”Brak!Aku terdorong ke belakang mengenai tembok cukup keras.“Argh! Ma-maaf Nyai.”Aku bangkit seraya meminta maaf. Tubuhku tadi sempat luruh setelah menghantam tembok. Punggungku sepertinya lebam. Terasa sakit.“Kau turuti kemauanku, aku akan mengabulkan segala permintaanmu. Kau tinggalkan sembahyang kepada Tuhanm
POV IbuFlashback on.***Beberapa bulan setelah perjanjian yang kulakukan dengan Nyai Astuti sudah berlalu. Kini aku sedang menunggu hasil yang sudah sangat kuharapkan. Selama ini, aku berhasil mengelabui semua orang yang ada di rumah ini. Semua kulakukan dengan sangat berhati-hati.Ritual sudah beberapa kali kulakukan. Aku terpaksa pergi ke bangunan tak berpenghuni yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Semua kulakukan agar seisi rumah tidak curiga dan baik-baik saja. Saat akan pergi ke tempat itu, kupersiapkan segala kebutuhan yang kuperlukan di dalam tas, kecuali ayam hitam. Dia akan kubeli saat di perjalanan dan memasukkannya ke dalam karung agar orang yang melihat tidak curiga.
POV IbuFlashback on.***“Ubay, lebih baik kamu cari kerja di kota saja sana. Mumpung perut Fira belum semakin besar. Kalau keburu lahiran, nanti kalian bingung kalau kamu belum punya pendapatan tetap. Kasihan Fira ‘kan, nantinya?”Kami sedang duduk bersama di ruang tengah. Kini kehamilan Fira sudah memasuki bulan ke tiga, jika semakin menunda untuk menyuruh mereka pergi dari sini, bisa-bisa aku kembali merasa berat hati saat melihat cucuku yang imut telah lahir. Itu tidak boleh terjadi. Secepatnya mereka harus pindah dari sini. Agar semua yang kurencanakan berhasil sampai akhir.“Iya sih, Bu. T
POV IbuFlashback on.***“Ibu, kami pergi dulu ya? Ibu sama Bapak baik-baik di sini. Insyaallah, seperti apa yang Ibu ucapkan, kami akan lebih bahagia hidup di kota. Rezeki kami lancar seperti apa yang Ibu harapkan.”Sebelum mengecup punggung tanganku, Ubay meminta izin dan restu kepadaku. Hatiku merasa terpukul, ingin melarangnya pergi dan tetap ada di sini. Tapi semua itu tidak boleh keluar dari mulutku. Mereka harus tetap pergi dan aku harus tetap terlihat tega untuk merelakan mereka pergi. Sulit sekali, tapi harus tetap mencoba menguatkan hati.“Iya Bay, Ibu merestui kalian dan selalu mendoakan ag
POV IbuFlashback on.***Sosok nenek berwajah penuh luka dan berambut putih panjang, melayang dihadapan kami, tepatnya di sisi ruang tamu yang gelap. Ya, Nyai Astuti berani menampakkan dirinya saat aku bersama dengan suami. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. Hanya karena aku lupa tidak memberikannya sesajen, kini ia bertindak seperti ini.Susah payah aku menyembunyikan segalanya. Tentang ibadah pun aku berakting sangat cantik. Tapi hanya kelalaianku yang baru satu kali, dia sudah menghancurkan segalanya dengan menampakkan diri dihadapan suami.Kini hari memang sudah gelap, jam di dinding menunjukkan hampir pukul
POV IbuFlashback on.***“Hanya karena aku lalai memberimu sesajen meski baru sekali, kau ambil nyawa suamiku! Kau tega, Nyai! Hiks. Tidak adil!”Kupeluk erat jazad suamiku yang baru saja meninggalkan dunia ini. Aku tak terima dengan perlakuan Nyai Astuti saat mengetahui suamiku sudah tak lagi bernapas.Terasa tak adil saat kehilangan seorang yang paling kusayang begitu saja. Seharusnya aku yang ada di posisinya. Aku yang salah, kenapa dia yang harus menerima balasannya.Keterlaluan Nyai Astuti.Air mataku tak hentinya mengalir. Dadaku
POV IbuFlashback on.***“Kamu sebenarnya kenapa sih, Mbak? Kenapa mau pindah ke Desa Larangan segala? Kamu tau ‘kan? Di sana tempatnya nggak jelas. Angker. Orang-orangnya pada aneh. Kenapa justru kamu pergi ke tempat seperti itu? Lebih baik di sini saja, Mbak. Jangan menjual rumah ini.”Ya, tentu saja Joko akan memprotesnya sangat keras. Apalagi dia tinggal tidak jauh dari desa itu. Dia pasti sudah sangat hafal tentang rumor Desa Larangan yang mungkin benar desanya angker.“Aku ingin menyendiri. Aku harus melakukannya. Kamu jangan ngomong apa pun sama Ubay dan Fira. Aku memohon kepadamu, Joko.”Joko kembali menghempaskan napasnya kuat-kuat. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang kubuat secara sepihak.“Ah … sudahlah
POV IbuFlashback on.***“Innalillahi wainnailaihi raji’un … kenapa Ibu baru memberitahuku sekarang, Bu? Bapak meninggal kenapa, Bu? Kenapa Ibu nggak kasih kabar sama kita yang ada di sini? Kalau tau bapak meninggal, kami pasti akan pulang, Bu. Ibu kenapa setega ini sih, Bu?”Suara dari ujung telepon semakin terdengar lirih. Perasaannya pasti sangat terpukul. Hatiku saja terasa begitu sakit. Tapi aku harus tega melakukan ini semua untuk kebahagian mereka.“Maafkan Ibu, Bay. Hiks. Bapak terkena serangan jantung, Bay. Bapak tiba-tiba saja meninggal dunia. Hiks.”Ya, tentu saja aku mengarang semuanya. Tidak mungkin mengatakan jika bapaknya meninggal karena nyawanya diambil oleh Nyai Astuti. Dia pasti akan bertanya-tanya siapa Nyai Astuti tersebut. Bisa gagal rencana yan