Share

Part 4

“Tapi Man, kami sudah jauh-jauh datang ke sini. Dari jam Sembilan pagi sampai jam dua lebih baru sampai lho, Man. Sayanglah kalau mau pulang lagi. Apalagi kami sudah lama banget nggak ketemu sama ibu.”

Mas Ubay tentu saja akan memprotesnya. Padahal menurut mas Ubay, paman Joko adalah orang yang sangat baik, tapi kenapa sekarang melarang kami untuk pergi menemui kakaknya yang memang ibu kandungnya mas Ubay.

“Ya sudah terserah kamu saja, Bay. Yang penting paman sudah memperingatkan. Ayo duduk. Oh, ini Arsya pasti ya? Udah gede ya?”

Sebelum duduk, aku pun bersalaman. Arsya pun kusuruh untuk mencium tangan kakeknya.

“Memangnya di rumah ibu ada apa? Kenapa sampai Paman dan ibu mempersulit kami untuk datang ke sana?”

Mas Ubay pun bertanya. Mungkin saking penasarannya. Aku saja ingin tahu alasannya apa.

“Kata ibumu, kalau sudah menginap di sana, nggak bakalan bisa keluar lagi. Paman saja nggak pernah ke rumah ibumu. Selalu saja mbak Diyah yang datang ke rumah ini.”

Aku dan mas Ubay kembali saling menatap. Rasanya ingin percaya tapi tetap saja mengganjal di hati.

“Mungkin hanya mitos saja, Man,” jawab mas Ubay.

“Mbak Diyah yang melarangku ke sana. Ibumu itu sangat takut kalau terjadi apa-apa sama adiknya ini. Apalagi sama kalian. Paman minta sekali lagi, pertimbangkan rencana kalian untuk pergi ke rumah ibumu.”

“Gimana Nda?” tanya mas Ubay, aku tahu sebenarnya dia hanya tak enak hati saja, mangkanya dia pura-pura bertanya padaku. Sebenarnya bagaimana pun mas Ubay akan tetap menjenguk ibunya.

“Terserah kamu saja, Yah. Sudah jauh begini, sayang sih sebenarnya,” jawabku.

“Iya Man, lebih baik kami melanjutkan saja. Arsya pasti ingin tau wajah neneknya. Kalau sampai ibu sudah meninggal dan aku belum pernah mengenalkan Arsya sama neneknya, rasanya pasti bersalah banget, Man. Maaf ya, Man. Bukannya nggak menuruti apa kata Paman, kami hanya ingin bersilaturahmi saja. Kasihan ibu. Masih punya anak kayak nggak punya siapa-siapa.”

Mas Ubay menerangkannya dengan sangat detail. Dia pasti merasa sungkan karena menolak perintah dari pamannya.

“Ya sudah nggak apa-apa. Kalian harus hati-hati. Nggak boleh lengah, takutnya terjadi apa-apa.”

Perasaanku semakin tak nyaman mendengar perkataan paman Joko yang sepertinya bernada peringatan. Sebenarnya ada apa di rumah ibu, sampai-sampai paman begitu mengkhawatirkan keadaan kami. Bukannya sama saja seperti waktu dulu. Bedanya kini ibu berada di lingkungan baru. Karena hal itu, atau karena apa?

“Insyaallah, semua akan baik-baik saja, Man. Niat kita baik, mau berilaturahmi sama ibu. Pasti akan selalu diberi perlindungan sama Sang Pencipta.”

“Iya Amin ….”

Seorang wanita paruhbaya datang membawa minuman untuk kami. Mungkin beliau adalah istrinya paman Joko—bibi Tri. Lagi-lagi aku lupa dengan wajah beliau.

“Ayo diminum dulu. Ubay sama istrinya ‘kan? Bibi sampai lupa sama wajah istrimu, Bay. Anak kalian sudah besar ya? Siapa namanya?”

Bibi Tri begitu sangat ramah. Meski kami tak pernah bertemu. Mungkin sekali dua kali saja, wajar jika aku lupa dengan wajah beliau. Hanya ingat dengan namanya saja.

“Iya Bi. Terima kasih. Ayo Arsya, salim dulu sama nenek,” perintah mas Ubay.

“Itu nenek Arsya yang mau Arsya jenguk, Yah?”

Sambil berjalan dia bertanya dengan polosnya dan mengulurkan tangan meminta bersalaman kepada bibi Tri.

“Hehehe. Aduh … pintar banget ya? Namanya Arsya ya? Nenek yang di sana, bukan nenek yang ini,” jawab beliau seraya tersenyum.

“Bukan Yah?” tanya Arsya lagi.

Dia pun perlahan mundur kembali kepadaku.

“Yang ini neneknya Arsya juga. Tapi kalau nenek yang ibunya Ayah rumahnya masih sekitar setengah jam lagi. Iya ‘kan Kek?”

Mas Ubay memanggil paman sebagai kakek memang sengaja untuk mencontohkan kepada Arsya.

“Iya Arsya. Nenek yang Arsya maksud, rumahnya masih sekitar setengah jam lagi dari sini. Rumahnya ada di desa ujung yang masih banyak pohon-pohon besarnya,” jelas paman Joko.

“Nda, kalau banyak pohon-pohon besar, Arsya takut Nda. Nanti banyak hantu.”

Namanya anak kecil, pasti akan berpikir seperti itu.

“Arsya banyak-banyak berdoa saja di sana ya?”

“Iya Kek. Kalau nggak berdoa nanti banyak hantu yang datang ya, Kek?”

Ya, Arsya adalah anak yang gampang kenal dengan orang lain. Jadi, dia punya banyak teman dan kenalan. Entah itu anak seusianya atau orang yang lebih tua darinya.

“Arsya pintar banget ya? Sudah sekolah apa belum?”

Bibi Tri memotong pembicaraan antara paman Joko dan Arsya. Mungkin ada alasan tertentu karena membahas soal makhluk halus. Atau entah, aku pun tak mengerti.

“Sudah Nek. Masuk TK,” jawab Arsya.

“Aduh … pintarnya ….”

Hampir satu jam kami beristirahat di rumah paman Joko. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kini hampir pukul tiga sore, meski hanya setengah jam perjalanan, tapi kami belum pernah pergi ke sana dan katanya jalannya sepi. Kami tidak mau kesasar atau salah jalan dan menjadi memakan waktu lebih, sehingga sampai sana sudah semakin gelap.

“Hati-hati ya? Kalau ada apa-apa, langsung kabari Paman. Semoga saja di sana tetap ada sinyal.”

“Iya Paman. Kami pasti berhati-hati. Insyaallah di sana aman-aman saja. Buktinya ibu betah tinggal di sana. Sendirian lagi. Ya udah, kami pamit dulu.”

Ya, akhirnya kami melanjutkan perjalanan juga. Semakin mobil ini melaju menjauhi desa paman Joko, suasananya kian berbeda. Rasanya memang semakin sepi. Pepohonan pun semakin banyak tumbuh di tepian jalan.

“Nda, Arsya takut di belakang sendiri. Arsya boleh duduk di pangkuan Bunda?”

Kita sudah terbiasa dengan suasana keramaian. Pantas jika Arsya merasa perbedaan yang begitu jelas saat melewati daerah yang sepi penuh pepohonan seperti ini. Namun bagiku, suasana seperti ini bisa menenangkan pikiran dan membebaskan diri dari kepenatan. Udaranya pun masih sangat segar.

Arsya pun kini berada di pangkuanku.

“Pemandangannya bagus ‘kan, Sya?” tanyaku memecah keheningan.

“Bagus Nda, tapi Arsya takut. Pohonnya gede-gede banget, Nda. Kenapa nenek betah tinggal sendiri di hutan kayak gini sih, Nda?”

Pertanyaan yang terdengar menggelitik, tapi Arsya memang anak yang rasa ingin tahunya begitu tinggi.

“Ini bukan hutan, Sayang. Ini desa. Hanya saja belum banyak orang-orang yang tinggal di sini.”

“Iya lah, Nda. Tempatnya serem. Mana mau pada tinggal di sini.”

“Hehe. Kalau sudah terbiasa, pasti nggak serem lagi, Sayang.”

Mendadak mas Ubay melambatkan laju mobilnya. Saat aku melihat ke depan ada persimpangan jalan. Pasti dia  bingung mau lewat jalan yang mana.

“Aduh Nda, ada persimpangan jalan. Kita harus lewat mana ya?”

Saat sedang bingung, dari ujung jalan terlihat ada seorang kakek yang membawa karung  berjalan ke arah kami. Kebetulan yang tak bisa di nalar.

“Nda, ada kakek-kakek, Ayah tanya dulu.”

Dengan cepat, mas Ubay turun dan menghampiri kakek tersebut. Beberapa saat akhirnya mas Ubay kembali dengan senyum yang mengembang. Dia pasti sudah dapat tujuan selanjutnya.

“Udah Yah?” tanyaku.

“Udah yuk. Bismillah … sebentar lagi kita sampai. Kita ambil kanan, rumah ibu nggak jauh dari sana. Jalannya sudah buntu soalnya.”

Mobil kembali melaju menuju ke tujuan yang dimaksud oleh mas Ubay. Tak lupa kami memberi salam penghormatan kepada kakek tersebut. Aku pun melihat lekat dengan tersenyum. Namun anehnya, bibir beliau tak membalas senyumanku. Wajahnya pun terlihat pucat. Mendadak aku pun merinding dan kembali melihat ke depan.

“Nda, kakek tadi kok udah nggak ada?” ujar Arsya.

Aku pun memastikannya melihat dari spion. Ternyata benar, sudah tak ada orang di sana. Padahal baru tadi aku tersenyum padanya. Atau dia pergi ke dalam semak-semak? Ya, mungkin begitu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
dipo yudono
baru kali ini sebutan paman di ganti hanya man. ga paham sy. ada yg ky gitu y
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status