“Oh iya, kok jadi nggak ada. Padahal nggak lama manggil ayah. Apa mungkin sudah dikubur sama tetangga?”
Aku pun heran dengan kejadian yang baru saja terjadi.
“Yah … kok malah dikubur sama tetangga sih, Nda. Arsya ‘kan mau lihat ayah yang nguburin,” ketus Arsya. Dia benar-benar penasaran.
“Bagus dong kalau sudah ada yang nguburin,” sahut mas Ubay.
“Mbak Fira, Mas Ubay … lagi ngapain bawa cangkul segala?” tanya tetangga depan rumah.
“Hehe. Iya Bu. Tadi ada ayam mati yang tergeletak di rumput dekat pagar,” jawabku.
“Ayam mati? Kok bisa ada di situ?”
“Nggak tau juga, Bu. Mungkin habis ditabrak motor atau mobil.”
“Ck! Nggak ada apa-apa dari tadi lho, Mbak. Aku dari tadi bersihin rumput depan rumah. Nggak ada ribut-ribut orang nabrak ayam kok.”
Aku tercengang mendengarnya. Padahal mataku tidak mungkin salah melihat ayam yang sudah tergeletak di rumput dekat pagar tadi. Arsya saja melihatnya.
“Masa sih, Bu? Anakku saja melihat ayam matinya kok.”
Aku masih mencoba membela diri. Siapa tahu tetanggaku yang sok tahu.
“Iya Mbak, beneran. Dari jam tujuh sampai sekarang aku ada di depan rumah, cabutin rumput liar. Jalannya saja belum begitu ramai. Aku juga melihat Arsya baru pulang dari rumah tetangga sebelah. Lalu, dia berhenti tepat di depan pagar melihat sesuatu. Padahal dari sini aku nggak melihat apa-apa. Lalu, Mbak Fira datang. Dari sini aku lihat Mbak Fira terlihat kaget. Aku jadi bingung, apa yang kalian lihat. Mau kusapa keburu masuk,” jelas bu Sari—tetangga seberang jalan.
“Nda, kamu benar melihat ayam mati itu?” tanya mas Ubay.
“Lihat, Yah,” jawabku.
“Oh begitu ya, Bu. Mungkin Fira yang salah lihat,” sahut mas Ubay.
Aku bergeming kembali mengingat apa yang kulihat. Jelas-jelas tadi adalah ayam mati, tapi kenapa sekarang tak ada bekasnya sama sekali. Dan lagi, bu Sari katanya tidak melihat apa-apa. Beliau pun dari tadi di depan rumah yang katanya tidak ada keributan tentang ayam yang tertabrak. Jadi, aku melihat apa? Kenapa mataku sering melihat sesuatu hal yang ganjil belakangan ini. Tapi, kali ini Arsya pun melihatnya.
“Hehe. Iya mungkin mbak Fira kecapekan aja. Aku lanjut cabutin rumputnya.”
Bu Sari kembali fokus dengan kegiatannya mencabuti rumput yang hampir selesai.
“Nda, kamu salah lihat kali?”
Kami berjalan memasuki rumah.
“Nggak Yah, Bunda nggak salah lihat. Arsya yang melihatnya duluan kok. Aneh ya? Kenapa ayamnya bisa hilang sendiri ya, Nda. Padahal udah mati. Arsya sudah senang mau nguburin bareng Ayah malah udah nggak ada. Seharusnya Arsya nungguin ayam mati itu di depan, Nda. Bunda nggak percaya sih ….”
Arsya membelaku di depan mas Ubay, tapi dia pun protes karena gagal menguburkannya. Di kepalaku hanya ada tanda tanya yang besar. Kejadian tadi sangat aneh. Padahal Arsya melihatnya juga.
“Nda, kamu kecapekan?” tanya mas Ubay lagi.
“Nggak Yah, aku nggak capek.”
Ekspresiku datar. Ingin marah karena mas Ubay selalu saja menganggapku berhalusinasi, tapi nyatanya memang sesuatu yang aku lihat selalu terasa janggal. Aku bingung dengan kejadian yang akhir-akhir ini terjadi. Terkadang membuatku menjadi merinding.
“Ya sudah, nggak usah dibahas lagi. Kita siap-siap aja ke rumah ibu. Biar kita cepat dapat suasana baru. Mungkin kamu bisa lebih tenang saat sudah ada di sana, Nda.”
Aku tahu maksud dari pembicaraan ini. Mas Ubay pasti menganggapku benar-benar kelelahan dengan segala kegiatanku di rumah. Ya, mau tersinggung percuma saja. Aku hanya diam dan mengiyakannya saja.
***
“Nda, masih jauh ya?” tanya Arsya.
Kami sudah berada di dalam mobil, menyusuri jalan pergi ke rumah ibu.
“Masih lama nggak, Yah?”
Aku ikut bertanya kepada mas Ubay. Wajar jika aku tidak tahu jalannya, mungkin mas Ubay pun sama. Namun, dia tahu rumah ibu berada di daerah terpencil yang bernama desa Larangan. Entah nama desa itu memang sebuah larangan untuk ditinggali atau justru hanya sebuah nama saja.
Mas Ubay tahu nama itu karena mendapat informasi dari pamannya yang sering dititipi pesan oleh ibu. Paman Joko tinggal tak jauh dari desa tersebut. Desa Larangan berada di paling ujung dengan rumah yang sangat jarang. Katanya, desa itu masih banyak ditumbuhi oleh pepohonan yang sangat rindang. Beda dengan desa tempat tinggal paman yang sudah banyak orang.
Meski di desa Larangan sudah ada listrik, tapi kata paman desa itu selalu gelap gulita. Orang-orang yang tinggal di sana lebih suka memakai lilin atau bahkan obor yang mereka buat sendiri. Termasuk ibu pun melakukan hal yang sama.
Paman pun mengingatkan kami untuk kembali mempertimbangkan rencana pergi menemui ibu di desa tersebut. Namun, kami tetap gigih untuk pergi ke sana. Justru menurut kami, suasana yang asri semacam itu bisa menyegarkan pikiran kembali. Mas Ubay pun meminta kepada paman agar tidak mengatakan apa-apa tentang kepergian kami kepada ibu, agar beliau tidak melarang kami seperti yang sudah-sudah.
“Mungkin sebentar lagi. Kita akan mampir ke rumah paman Joko dulu. Sekalian memberikan oleh-oleh untuk paman.”
“Paman Joko itu siapa, Nda?” tanya Arsya.
Dia duduk di jok belakang. Saat bertanya, aku melihat dari spion, posisinya tiduran sesuka hati. Biarkan saja, asal dia tenang dan nyaman.
“Paman Joko itu adiknya nenek. Jadi, Arsya harus memanggilnya kakek. Yang boleh manggil paman hanya Bunda dan ayah,” jawabku menjelasakannya.
“Oh ….”
Jawaban Arsya sangat singkat. Aku tersnyum dan menggelengkan kepala mendengar kata tersebut keluar dari bibir mungilnya.
Beberapa saat, akhirnya sampai juga di rumah paman Joko. Benar saja, meski pedesaan tapi sudah banyak orang yang tinggal di sana. Pasar pun tak jauh dari tempat tinggal paman.
“Assalamu’alaikum!” sapa mas Ubay.
Aku dan Arsya membuntuti dari belakang. Tanganku membawa bingkisan oleh-oleh yang khusus kami bawa dari rumah.
“Wa’alaikumsalam,” jawab seorang laki-laki dari dalam rumah.
“Paman, sehat?”
Mas Ubay segera meraih tangan laki-laki tersebut yang ternyata paman Joko. Aku sedikit lupa dengan wajahnya. Aku memang jarang bertemu saat masih tinggal di rumah mertua yang dulu. Rumah ibu yang dulu sebelum tinggal di desa Larangan, mungkin beda arah dari sini. Sedangkan paman Joko setahuku sudah tinggal di desa ini sejak lama. Karena jauh, mungkin dulu paman jarang main ke rumah ibu yang dulu. Dan sekarang mereka sudah berdekatan, ya mungkin itu alasan ibu pindah ke desa Larangan sengaja ingin dekat dengan paman Joko.
“Iya Alhamdulillah, Bay. Kamu beneran mau ke rumah ibumu? Paman sudah mencoba untuk mengingatkanmu, Bay. Lebih baik putar arah saja. Pulang kembali ke rumah kalian.”
Padahal baru saja datang, paman Joko sudah berbicara seperti itu. Aku dan mas Ubay hanya saling memandang. Sepertinya apa yang diucapkan paman Joko terdengar sangat aneh. Aku kembali teringat tentang kejadian sore itu. Saat aku berbicara dengan mas Ubay yang seolah melarangku pergi ke rumah ibu dan ternyata mas Ubay tak mengakuinya. Seketika, bulu kudukku merinding saat mengingatnya lagi.
“Tapi Man, kami sudah jauh-jauh datang ke sini. Dari jam Sembilan pagi sampai jam dua lebih baru sampai lho, Man. Sayanglah kalau mau pulang lagi. Apalagi kami sudah lama banget nggak ketemu sama ibu.”Mas Ubay tentu saja akan memprotesnya. Padahal menurut mas Ubay, paman Joko adalah orang yang sangat baik, tapi kenapa sekarang melarang kami untuk pergi menemui kakaknya yang memang ibu kandungnya mas Ubay.“Ya sudah terserah kamu saja, Bay. Yang penting paman sudah memperingatkan. Ayo duduk. Oh, ini Arsya pasti ya? Udah gede ya?”Sebelum duduk, aku pun bersalaman. Arsya pun kusuruh untuk mencium tangan kakeknya.“Memangnya di rumah ibu ada apa? Kenapa sampai Pam
“Oh iya ya … hmm, mungkin kakek tadi terburu-buru. Ya jadi gitu deh, beliau jalannya cepat-cepat masuk ke semak-semak itu, Sayang.”Aku menjelaskannya dengan nada sebiasa mungkin. Tidak mau jika Arsya mengetahui, aku pun sebenarnya merasa takut dan ngeri. Masa iya, tidak ada tanda-tanda kakek itu sudah masuk ke area yang lebih banyak ditumbuhi semak-semak. Ya, setidaknya ada semak-semak yang bergoyang karena kakek itu melewatinya. Yang kulihat hanya bergerak terkena angin saja.“Oh … begitu ya, Nda.”“Iya Sayang ….”Untunglah tidak ada pertanyaan lain yang Arsya sampaikan.
“Alhmdulillah Ibu … akhirnya bisa ketemu sama Ibu lagi,” ucap mas Ubay, saat mengetahui seseorang yang memanggilnya adalah ibu mertua.Dengan langkah yang panjang, dia menghampiri beliau. Aku dan Arsya pun menyusulnya. Mas Ubay terlihat sangat bahagia, aku pun merasakan hal yang sama. Lima tahun sudah tak pernah bertemu. Sudah pasti, kami sangat rindu dengan beliau. Apalagi dulu kami sempat tinggal bersama lumayan lama.“Ubay? Fira?”Ibu terkejut melihat kami ada di hadapan beliau.Tak menunggu lama, mas Ubay langsung saja memeluk beliau. Aku yakin, detik ini dia sangat bahagia dan terharu.&ldq
“Yah, kayaknya ibu nggak terlalu suka kalau kita datang ke rumah ini deh,” bisikku, agar tidak terdengar oleh ibu.“Nggak lah, Nda. Ibu pasti hanya bingung, tau-tau kita sudah ada di rumahnya. Di dalam hati pasti ibu sangat bahagia.”Mas Ubay tidak mau berpikiran negative kepada ibu. Iya sih, seharusnya memang begitu. Namun, dari tadi sikap ibu terlihat sangat aneh dan sepertinya ibu sangat tak nyaman. Raut wajahnya seperti seorang yang sangat khawatir. Tapi apa yang dikhwatirkan oleh beliau? Seharusnya ibu bahagia saat kami datang ke rumahnya. Justru beliau terlihat sebaliknya.“Iya Yah, semoga saja seperti itu. Kira-kira yang tadi jatuh apa ya, Yah?”Aku
Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?
Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.“Membent
“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”“Fira bantu ya, Bu?”Selalu saja diriku menawarkan bantuan.
POV Ubay***“Ya ampun … sinyal kok susah bener! Ck!” keluhku seraya mengangkat gawai tinggi-tinggi.“Tetap nggak dapat apa-apa? Huft! Kayak gini harus cari sinyal nih. Mumpung Arsya sudah tenang sama bundanya.”Pandanganku sesaat melihat ke arah Arsya dan Fira. Kini aku melangkah menuju ke jalan. Aku akan mencari sinyal sampai dapat.Selama tiga minggu ini, aku meminta untuk cuti liburan. Sebenarnya bebas bagiku untuk bersantai tanpa memikirkan pekerjaan. Aku adalah owner sebuah warung makan yang sudah mulai terkenal. Selama di sini pekerjaanku sebenarnya sudah kupasrahkan segalanya kepada asisten pribadi. Ya, meski begitu aku tak bisa berdiam diri.