Sebuah tradisi keluarga yang mengharuskan anak perempuannya menikah bila sudah genap delapan belas tahun membuat Zakia muak dan berontak. Gadis remaja itu secara terang-terangan menolak permintaan sang nenek, tetapi nahasnya ia malah mendapat malapetaka.Terjebak ruang dan waktu, Zakia jatuh koma pasca menjatuhkan diri di lantai dua. Sebuah fakta mengejutkan terungkap, kala sesosok perempuan cantik yang selalu menghantui siang dan malamnya menunjukkan sesuatu.Apakah yang ditunjukkan sosok itu? Lalu, bagaimana Zakia menghentikan tradisi leluhurnya jika ia sendiri terjebak di dimensi lain? Mari kita susun potongan puzzle yang berserakan dan membantu Zakia menemukan jawabannya dalam novel Darah Sang Dara!
View MoreTubuh mungil itu kini terbalut kain kebaya berwarna hijau lumut. Wajah ovalnya tampak cantik setelah dipoles sedikit make-up. Senyum terpancar indah menghias bibir tipisnya. Bahagia tidak terkira Zakia rasakan kini, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-18, gadis cantik itu merayakan kelulusan sekolah menengah pertama.
"Cieee ... yang dapet juara umum selama tiga tahun secara berturut-turut," goda Hilda seraya mencolek dagu lancip temannya, Zakia.
Semburat rona merah jambu terlukis dengan malu-malu, Zakia tersenyum menanggapi gurauan temannya. "Alhamdulillah, ini hasil kerja kerasku selama ini, Hil. Selama ini aku percaya, bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati usaha," balasnya bangga.
Kedua gadis remaja itu tertawa bersama. Sebagai tanda perpisahan, mereka menghabiskan waktunya di belakang panggung setelah lelah bergelut dengan berbagai acara. Zakia duduk di tepi tembok pembatas koridor, sementara Hilda berdiri sambil berpangku tangan.
"Berasa disindir aku tuh," rajuk Hilda mencebik. Namun, ia tidak serius mengatakan itu.
Gadis remaja itu merasa bangga sekaligus iri karena mendapat teman seperti Zakia. Seorang Zakia terlalu sempurna untuknya. Bisa lulus dengan nilai yang sesuai minimal kriteria umum saja sudah syukur-syukur alhamdulillah. Sebab, nilai Hilda tidak sesempurna Zakia. Ia terlalu lamban dalam banyak hal. Bahkan, jika ada tugas kelompok Hilda lebih mengandalkan temannya itu.
"Gak gitu juga kali." Zakia menggeleng pelan. Ia tidak bermaksud menyinggung teman karibnya itu. Ia berkata demikian karena selama ini sudah belajar dengan tekun, tidak pernah absen jika ada kegiatan ekstrakurikuler, selalu bersedia jika dimintai tolong oleh siapa pun. Sehingga, gadis itu disukai banyak orang.
"Rencana mau kuliah di mana, Hil?" tanya Zakia seraya memainkan ponsel canggih di tangannya.
"Belum tahu nih, masih nyari-nyari yang pas. Kalau kamu?"
Zakia bergeming. Senyum yang tadi sempat terbit perlahan surut. Binar bola mata hitam itu tampak meredup. Ada guratan kecewa yang jelas terpancar di wajah mulusnya. "Aku ... gak diizinkan lanjut ke jenjang perguruan tinggi oleh keluargaku," gumamnya lirih.
"Apa?!" Hilda membulatkan mata. Gadis yang memakai kebaya krem itu tidak habis pikir, salah dengarkah ia? Tetapi itu tidak mungkin. Jelas-jelas tadi pagi setelah mandi ia sudah membersihkan telinganya menggunakan cotton buds. Jadi, tidak mungkin jika pendengarannya yang bermasalah.
"Bukan apa-apa," kilah Zakia dengan senyum yang dipaksakan. "Oh, iya. Aku harus balik nih, ditunggu sama ayah dan bunda." Jemari lentiknya menunjuk sepasang suami-istri yang terlihat kelimpungan mencari sesuatu. Mungkin mencari Zakia yang sedari tadi asyik bercengkerama dengan Hilda di belakang panggung usai melakukan pentas seni.
"Ya udah, deh. Take care, ya!" teriak Hilda seraya melambaikan tangan.
Zakia mengangguk kemudian berlari kecil, takut membuat orang tuanya khawatir. Hari sudah beranjak petang, tidak elok bagi anak gadis terlalu lama di luar, apalagi malam sudah menjelang.
Ada aturan khusus yang sedari dulu diterapkan oleh keluarga Zakia secara turun temurun. Anak gadis dilarang keras ke luar rumah lewat dari jam lima sore, tidak boleh berteman dengan anak laki-laki apalagi pacaran, wajib dinikahkan jika usianya sudah genap delapan belas tahun. Itulah sebabnya wajah Zakia tampak murung saat ditanya oleh Hilda, ia ingin melanjutkan sekolah di mana?
Bukan tidak ingin baginya meraih cita dan cinta di masa putih abu-abu. Akan tetapi, garis keras sudah mewanti di hadapannya kini. Terlebih lagi, hari ini adalah ulang tahunnya. Gadis itu paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya mampu tertunduk pasrah, ia tidak bisa mengelak walau enggan sekali pun.
"Ayah, Bunda!" sapa Zakia sesampainya di depan aula gedung. Napas gadis itu terdengar tersengal, mungkin lelah karena habis berlari.
"Dari mana saja kamu?" tanya seorang wanita paruh baya. Wanita itu tampak sangat cantik dan awet muda. Wajahnya pun sangat mirip dengan Zakia.
"Abis di belakang panggung, Bun. Tadi ngobrol sebentar sama Hilda."
Murni mengangguk paham. Ia sangat mengenal Hilda seperti apa, anak itu sudah sering main ke rumahnya. Setiap kali ada tugas kelompok atau hari libur, Hilda lebih memilih menyambangi rumah Zakia daripada ikut mama-papanya berlibur ke luar kota.
Sebab, Hilda tahu seperti apa kerasnya kehidupan keluarga Zakia. Terlalu banyak aturan membuat Zakia seolah-olah berada di dalam penjara. Namun, gadis itu tidak tahu bahwa Zakia akan dinikahkan jika usianya sudah genap delapan belas tahun dengan lelaki pilihan keluarganya. Bukan, lebih tepatnya pilihan neneknya.
"Sudah 'kan, mainnya? Yuk, pulang," ajak Murni lemah lembut. Zakia menunduk manut, sedangkan pria setengah abad di samping Murni hanya bertingkah layaknya robot. Tidak banyak berucap, lebih cenderung pendiam dan penurut.
Hal itu mungkin terdengar aneh di kalangan masyarakat, tetapi tidak di kalangan keluarga besar Murni. Hal itu sangatlah lazim. Karena sejak zaman nenek moyang mereka sudah begitu. Ada hal rahasia yang tak diketahui publik, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Salah satunya adalah Murni, karena ia sudah mengalaminya sendiri.
Kini ketiganya sudah berada di dalam mobil sedan berwarna silver. Sejenak keheningan tercipta, Murni larut dalam pikirannya yang entah ada di mana. Sedangkan Hardi, suami Murni, memilih fokus pada jalanan yang ramai dipadati pengendara.
"Sayang, nanti jangan kaget, ya? Kalau sudah sampai di rumah," ujar Murni berbisik di telinga Zakia.
"Hmm ...." Zakia bergumam pelan dengan napas lelah, gadis itu memejam saat musik degung diputar keras oleh Hardi.
Entah kenapa selera musik mereka sangat aneh dan kuno. Padahal, ada banyak sekali jenis musik yang dapat dinikmati setiap hari, dibandingkan dengan musik degung yang terdengar kolot dan membosankan. Biasanya musik ini diputar pada saat acara hajatan atau acara-acara tertentu seperti pentas seni; tari jaipong, pewayangan dan semacamnya. Entahlah. Keluarga itu memang sedikit aneh.
"Lingsir wengi ...."
"Loh, aku ada di mana?"
Gadis itu menggaruk tengkuk leher dengan tatapan heran. Aneh saja. Padahal, tadi ia hanya memejam karena bosan mendengar musik degung, lalu sayup-sayup terdengar suara seorang wanita bersenandung. Namun, saat membuka mata ia malah berada di tempat asing.
"Ayah ... Bunda?" Zakia tampak celingukan dengan wajah bingung. Ia mendapati dirinya ada di sebuah hutan pinus yang dipenuhi kabut asap tebal. Semuanya tampak gelap, tetapi samar-samar gadis itu datap menangkap sesosok wanita tengah menari di kejauhan dengan gemulai seraya bersenandung, "Lingsir wengi ... dadiyo sebarang ...."
Rasa penasaran yang membuncah membuat Zakia berjalan pelan menyusuri gelapnya malam. Dersik daun kering yang gadis itu injak memecah keheningan. Tepat setelah kakinya melangkah di hitungan ketiga, sosok perempuan itu berbalik seraya menyeringai licik. Sosok itu tampak menyeramkan dengan mata membusuk, tubuhnya sedikit bengkok dengan rahang yang sudah rusak.
Sosok perempuan itu perlahan mendekat dengan kaki setengah diseret, membuat Zakia membelalak terkejut. Tubuh gadis itu membeku di tempat. Zakia hendak menjerit, tetapi suaranya tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Debaran jantung gadis itu terdengar memburu saat selendang merah menyala yang dikenakan sosok itu mulai melilit lehernya.
"Ukh ...." Napas Zaskia mulai tersengal. Ia berusaha keras melepas kain merah berbau anyir di lehernya, tetapi nihil. Kain itu makin mejerat lehernya dengan kuat. "Le-pas-kan ...."
"Aarrgghh!" Teriakan memilukan menggema di udara. Gadis itu mengejang, perlahan mata lentiknya terpejam seiring dengan tubuh yang melayang di udara. Ia hampir mati kehabisan napas. Rasa sakit yang amat menyiksa membuatnya tak berdaya.
"Gadis yang malang ... matilah bersamaku," lirih sosok itu, tetapi sangat menyayat telinga. "Hihihi ...!"
Tawa cekikikan sosok itu terdengar melengking terbawa sapuan angin. Tampak lidahnya menjulur panjang berwarna hijau dan berbau busuk, sangat menyengat. Sosok itu menjilati tubuh Zakia penuh minat. "Bau tubuhmu enak sekali. Santapan yang lezat."
"Tidaaak ...!"
Zakia bangkit dari tidurnya dengan napas terengah-engah, seperti habis lari maraton sebanyak sepuluh putaran. Keringat dingin membanjiri wajah cantiknya. Dengan gerakan cepat ia meraba lehernya yang terasa sakit.
"Ah, rupanya cuma mimpi." Ada sedikit kelegaan yang terdengar dari helaan napasnya yang memburu.
Ia menatap ayah dan bundanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing di kursi depan, sementara dirinya tengah berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup cepat. "Mimpi apa itu? Kenapa rasanya terasa nyata? Padahal aku cuman tidur sebentar aja," gumamnya bermonolog.
"Sayang, kamu kenapa?" Murni yang sudah bersiap membuka seat belt berbalik dengan alis bertaut. Pasalnya teriakan Zakia terdengar memilukan. Terlebih lagi raut wajah gadis itu terlihat sangat ketakutan. "Are you okay, Dear?" tanyanya memastikan.
Zakia yang masih berusaha menenangkan degup jantungnya itu lantas mendongak, lalu menggeleng dengan seulas senyum penuh keraguan. "Eng-gak kok, Bunda ... aku cuma kecapekan aja," jawabnya berbohong.
Hardi yang sedari tadi diam memperhatikan pun akhirnya melirik Zaskia yang terduduk lesu di kursi belakang melalui kaca spion dengan bibir menyeringai. Tatapan lelaki itu tampak tajam. Dengan ekspresi datar lelaki setengah abad itu berucap, "Kita sudah sampai, Sayang. Ayo turun."
Bersambung!
Halo, semuanya. kenalin namaku Sariroh Azzah. Semoga kalian suka dengan cerita Darah Sang Dara. Sekadar info, bahwa sebenarnya novel ini sudah terbit. Tapi setelah mendapat saran dari pihak GN, ada sedikit revisi mengenai nama dan usia tokoh. Demikian juga dengan adegan yang tidak ada di novel. Terima kasih sudah mamir>.<
“Nghh ....” Arga melenguh saat seberkas cahaya menyerang kornea. Pemuda itu mengerjap seraya memegang kepala yang terasa berdenyut. Ia bangkit di sebuah pembaringan kayu yang keras dan dingin, lalu menatap sekeliling dengan bingung. “Di mana aku sekarang?” gumamnya pelan.Seorang perempuan muda dan cantik datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangan. Ia menaruh gelas itu di atas meja yang terletak persis di depan Arga. Perempuan itu berdiri dengan jarak satu meter dari tempat duduk Arga. “Silakan diminum dulu airnya, Tuan,” suruhnya.Sejenak Arga memijit kening yang terasa pening. Lantas, ia pun memindai sekeliling. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu tengah ia duduki, di depannya ada meja persegi yang terbuat dari kayu jati, dan sebuah lemari antik tampak terpajang di pojok ruangan.Pandangan Arga terhenti pada gadis cantik yang berdiri di depannya. &ldquo
Kembang tujuh rupa, tiga buah dupa, lilin yang membentuk lingkaran juga air dalam baskom yang terbuat dari stainless steel sudah tersaji dalam kamar bernuansa merah muda itu. Buah-buahan, segelas kopi dan kelapa tua, juga kepala kambing turut tersaji di atas sampan.Mulut Rukmini tidak henti-hentinya merapalkan mantra, dengan kaki bersila ia memejam. Tampak kedua tangannya ditaruh di atas paha, sedangkan Hardi duduk di belakang wanita itu, sebagai pengikut setia.“Wahai penguasa kegelapan yang agung! Kupersembahkan sesajen padamu. Hadirlah. Hadir dan berikan kami kedamaian pun kesejahteraan. Nikmat hidup, pun kekayaan. Perjanjian yang terikat secara turun-temurun, kami menyembahmu sebagai pengganti Tuhan.”Gemuruh angin tampak berembus dengan kencang. Usai merapalkan mantra pemanggilan, terdengar gelak membahana sesosok hitam tinggi dan berbulu. Rukmini menunduk hormat. Wanita itu mengambil belati dan mengiri
Sepulang dari kantor, pemuda tampan berhidung bangir itu tidak langsung pulang ke rumah. Tubuh gagahnya masih lengkap dibalut kemeja putih, dengan menaiki mobil sedan hitam membelah jalanan Kota Kenangan. Jingga semakin terlihat pekat di angkasa. Jalanan kota terlihat lengang daripada biasanya. Sesekali bersenandung, Arga berkaca pada spion mobil dengan tangan kekar yang menyibak rambutnya ke belakang. Tampak ia sangat senang sekali, terlihat dari senyumnya yang merekah menampakkan lesung pipit di kedua pipinya. “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia melewati pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di sepanjang jalan seiring dengan laju mobil yang meninggalkan kota. Jalannya pun sedikit terjal dan curam, tetapi tidak menyurutkan niat pemuda itu untuk menemui sang kekasih di tempat biasa mereka bersua. Keheningan semakin meraja rela. Matahari sudah
Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zakia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah. Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zakia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat. “Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat ia menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni. Sesuai kesepak
Sup daging sapi, nasi putih, ikan bakar dan sayur mayur terhidang di atas meja besar berbentuk bulat. Jus alpukat dan puding, juga buah-buahan lengkap tersaji di meja makan. Mata bulat itu membelalak menatap hidangan tersebut. “Nyo-nya, apakah ini tidak berlebihan?” tanya Manda gelagapan. Seorang wanita setengah abad tampak mengangguk dengan senyuman manis, pertanda mengiyakan pertanyaan gadis di seberangnya. “Makanlah, tidak perlu sungkan begitu. Jika perlu habiskan semua makanan ini. Kalau kurang nanti tambah lagi,” titahnya. Amanda dan Rangga saling beradu pandang seraya meneguk saliva dengan kepayahan. Makanan-makanan di depannya terlihat sangat menggiurkan. Agak segan, tetapi cacing-cacing pita di dalam perut sudah bersorak meminta jatah. Sudah sekian lama mereka tidak makan hidangan lezat seperti ini. Bahkan, jika dipikirkan lagi ini adalah yang pertama kali dalam sejarah. Sungguh. Deng
“Terima kasih,” ucap Amanda menunduk. Perempuan cantik itu kini tengah terduduk di sebuah batu besar bersama kedua adiknya setelah ditolong seorang lelaki berjubah hitam. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berdeham singkat seraya menatap luasnya hamparan cakrawala. Di sekeliling mereka hanya ada hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Tepat di hadapan mereka ada sungai dengan arus deras. Saat ini, rasa canggung tengah meliputi Amanda. Dia tidak biasa bertatap muka dengan pria dewasa. Meskipun terkadang dia memang membutuhkannya. Mereka hendak menyeberang, tetapi rasanya percuma karena ada dua anak kecil di antara dua orang dewasa. Untuk sesaat, Amanda terlupa pada kondisi Nina yang semakin menggigil. Perempuan berambut hitam panjang itu kembali panik setelah merasakan tubuh Nina yang semakin tidak karu-karuan. “Tu-Tuan, tolong saya. Tolong selamatkan adik saya,” cicitnya gelisa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments