Share

Part 8

Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.

“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”

Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.

“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.

Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?

Arsya melangkah mendekatiku dengan raut wajah murung.

“Nda, Arsya salah ya pegang benda nenek tanpa izin?” lirihnya.

“Iya udah nggak apa-apa. Biar Bunda nanti yang minta maaf sama nenek. Ayo kita temui Ayah.”

Aku dan Arsya kembali ke depan. Sedangkan ibu masih di dalam kamar, mungkin memeriksa siapa tahu ada yang hilang.

*** 

“Udah turun semua ‘kan, Nda?” tanya mas Ubay.

Kami baru saja memindahkan segala barang yang kami bawa dari dalam mobil.

“Sudah, Yah.”

“Arsya capek, Nda.”

Dia memang ikut membantu. Hanya membawa barang-barang yang berukuran kecil saja. Meski begitu, dia sudah kembali ceria setelah tadi dibentak oleh neneknya.

“Iya, sudah selesai kok. Ayo masuk keburu tambah gelap.”

Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Di sana menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Suasana di sini lebih gelap karena masih banyak pepohonan rindang.

“Nda, udah adzan maghrib belum? Aku nggak dengar apa-apa.”

“Sebentar lagi kayaknya, Yah. Sudah hampir pukul enam. Ayo, masuk dulu.”

Kami masuk ke dalam rumah. Di sana sudah ada lampu minyak disetiap sudut. Sepertinya ibu sendiri yang membuatnya.

“Bu, memangnya nggak ada listrik?” tanya mas Ubay.

“Ada Bay, tapi Ibu lebih suka seperti ini,” jawab beliau.

“Gelap lho, Bu. Mumpung ada listrik kenapa nggak digunakan?” Aku ikut bertanya.

“Ibu sukanya begini.”

Jawaban yang sama membuatku terdiam. Mas Ubay melihat ke arahku.

“Oh, ya sudah. Senyamannya Ibu saja,” ucap mas Ubay.

“Ibu mau beresin kamar kalian dulu.”

“Fira bantu ya, Bu?” Aku menawarkan diri.

“Kamu pasti capek. Ibu saja nggak apa-apa. Kamu di sini saja sama Arsya. Sudah semakin gelap.”

“Iya Bu.”

Beliau pergi kebelakang.

“Nda, masa gelap begini, Nda? Arsya takut,” protes Arsya dengan berbisik.

“Arsya ada Bunda, nggak usah takut ya?”

“Pulang saja yuk, Nda?” bisiknya lagi.

Apa yang kukhawatirkan ternyata terjadi. Arsya sudah mulai tak nyaman dengan keadaan di rumah ini.

“Sudah hampir malam, masa mau pulang. Kasihan nenek masa baru bertemu Arsya sebentar sudah mau ditinggal pulang lagi sih?”

Aku membelai rambutnya. Dia hanya diam, menuruti perkataanku.

*** 

Hari semakin gelap. Malam pertama menginap di rumah ibu. Kami sudah ada di dalam kamar yang tadi ibu bereskan.

Mas Ubay dan Arsya sudah lelap tertidur. Mataku masih enggan untuk terlelap. Suasanan di sini sangat sunyi. Jangkrik dan hewan malam saja yang terdengar di telinga. Sebenarnya sangat nyaman untuk tidur, tapi mataku masih segar tak mau terpejam.

Kuk, kuk, kuk ….

Suara burung hantu tak kunjung berhenti bernyanyi. Aku mendengarnya lama-lama jadi ngeri sendiri. Kubenamkan badan di dalam selimut yang kubawa sendiri dari rumah.

Gedebuk!

Telingaku mendengar benda jatuh dari luar rumah. Mungkin hanya buah kelapa yang jatuh dari pohonnya. Di samping rumah memang ada pohon kelapa yang menjulang tinggi. Perasaanku semakin tak nyaman. Di dalam selimut mata kupaksa agar bisa terpejam.

Srek, srek, srek ….

Namun, bukannya terpejam, kini telingaku mendengar ada langkah yang sangat pelan mendekat ke pintu kamar ini. Jantungku semakin berdebar. Mulutku komat-kamit melafadzkan doa untuk mengusir rasa takut yang kian menyergap. Pikiranku sudah membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Membuatku semakin masuk ke jurang ketakutan.

“Aku menemukanmu. Akhirnya kalian datang ke sini, hihihi ….”

Samar aku mendengar orang berbicara diselingi dengan tawa yang menakutkan. Aku semakin membenamkan diri ke dalam selimut. Jantungku berdebar sangat tak menentu. Sekujur tubuhku merinding. Suara siapa barusan? Apakah ibu belum tidur?

Srek, srek, srek ….

Langkah itu kembali terdengar. Namun kini semakin menghilang.

“Ya Allah … sebenarnya tadi itu suara siapa? Apa aku hanya berhalusinasi saja karena perasaan takut? Lindungi kami ya Allah ….”

Aku bergumam dan terus mencoba untuk memejamkan mata.

“Nda! Bangun, Nda! Sudah pagi lho, Nda?”

Sepertinya suara mas Ubay. Aku membuka mata perlahan.

“Udah pagi, Yah?” tanyaku saat melihat mas Ubay yang membangunkanku.

“Sudah, Nda. Bangun sana, sholat dulu. Udaranya segar banget lho, Nda.”

Aku bangkit dari kasur dan duduk ditepian ranjang. Arsya masih tidur lelap di sampingku.

“Yah, tadi malam aku nggak bisa tidur. Aku dengar ada orang berbicara di balik pintu lho, Yah. Siapa ya? Apa ibu yang masih belum tidur? Padahal sudah lewat tengah malam lho, Yah.”

Aku menceritakan tentang kejadian tadi malam yang kualami.

“Bunda mimpi kali? Ibu pasti sudah tidur. Sudah malam ngapain di depan pintu.”

Wajar memang jika mas Ubay tidak mempercayainya.

“Bunda nggak mungkin bermimpi, Yah. Itu kejadian nyata. Aku dengar ada langkah kaki sangat pelan mendekat ke pintu, lalu dia ngomong sambil tertawa kayak gitu lah, Bunda ngeri banget tadi malam.”

Mas Ubay mengerutkan keningnya.

“Bunda sholat dulu sana. Keburu tambah siang. Ini sudah jam lima lebih lho?”

Bukannya merespon perkataanku, mas Ubay justru mengalihkan pembicaraan.

“Ayah nggak percaya?”

“Bunda pasti mimpi. Sudah jangan dipikirkan terlalu serius. Nanti malah nggak betah. Katanya mau menenangkan diri tinggal di desa sejenak, Nda. Kalau mimpi itu dipikirkan terus, lama-lama kamu malah nggak tenang dan nggak bisa menikmati suasanan pedesaan yang ada di sini.”

“Ayah … Bunda nggak bermimpi. Telingaku sendiri yang mendengarnya, Yah. Samar sih, tapi aku ingat orang itu ngomong sama tertawa juga, Yah. Katanya, dia sudah menemukan kita, Yah. Karena kita datang ke sini.”

“Bunda … sholat dulu sana. Sudah tambah siang lho.”

Ya, mas Ubay tetap tak bisa menerima ceritaku yang kuyakini adalah kenyataan bukanlah sebuah mimpi. Akhirnya, aku pun bangkit dan pergi ke kamar mandi. Untung saja, kamar mandinya berada di dalam rumah. Perasaanku sedikit lega.

“Padahal aku nggak bermimpi. Telingaku pasti nggak salah dengar,” gumamku.

Di dalam kamar mandi pun gelap. Hanya ada lampu minyak seperti di ruangan yang lain.

Aku mengambil air dan membasuhkannya ke wajah. Airnya sangat segar. Saat membuka mata, aku melihat seorang nenek berambut putih di dalam kaca yang ada dihadapanku. Meski samar karena cahaya temaram, tapi aku yakin ada pantulan sosok itu di sana.

“Astaghfirullah!”

Kembali mata ini kututup. Segera kuselesaikan kegiatan di dalam kamar mandi dengan mata terpejam. Aku takut jika nanti melihat sosok itu lagi di dalam cermin. Apa itu yang Arsya maksud? Temannya ibu? Jika iya, berarti … ih, serem.

Aku mengintip untuk membuka pintu dan segera keluar dari sana. Saking takutnya, aku segera berlarian menuju ke kamar tanpa melihat dengan pasti.

Gubrak!

Aku menabrak seseorang dan terjatuh.

“Maaf Bu, Fira nggak melihat Ibu.”

Ternyata orang yang kutabrak adalah ibu mertua tengah membawa kotak yang waktu itu Arsya pegang. Untungnya yang jatuh hanya kotaknya saja. Itu pun masih tertutup rapat.

“Ada apa, Nda?”

Mas Ubay keluar dari kamar.

“Fira, lain kali hati-hati ya,” ucap ibu mertua, beliau tidak marah. Padahal kotak berharganya baru saja terjatuh.

Kini tangan beliau mengambil kotak tersebut.

“Maafkan Fira, Bu. Sini Fira bantu.”

Aku merasa bersalah dan ingin menebus kesalahan yang baru saja kuperbuat.

“Nggak usah,” tolak beliau.

“Aku saja yang bawa, Bu. Pasti berat.”

Mas Ubay ikut menawarkan diri.

“Nggak usah. Ini nggak berat. Oh iya, kalian jangan sampai membuka gubuk yang ada di belakang rumah ya, apalagi masuk ke sana. Ibu nggak mengizinkan,” ucap beliau seraya pergi membawa kotak itu di tangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status