“Yah, kayaknya ibu nggak terlalu suka kalau kita datang ke rumah ini deh,” bisikku, agar tidak terdengar oleh ibu.
“Nggak lah, Nda. Ibu pasti hanya bingung, tau-tau kita sudah ada di rumahnya. Di dalam hati pasti ibu sangat bahagia.”
Mas Ubay tidak mau berpikiran negative kepada ibu. Iya sih, seharusnya memang begitu. Namun, dari tadi sikap ibu terlihat sangat aneh dan sepertinya ibu sangat tak nyaman. Raut wajahnya seperti seorang yang sangat khawatir. Tapi apa yang dikhwatirkan oleh beliau? Seharusnya ibu bahagia saat kami datang ke rumahnya. Justru beliau terlihat sebaliknya.
“Iya Yah, semoga saja seperti itu. Kira-kira yang tadi jatuh apa ya, Yah?”
Aku memang penasaran. Tentu wajar jika mempertanyakannya.
“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin benar memang kucing yang menjatuhkan baskom atau apalah di dapur.”
“Iya sih, mungkin saja.”
“Nda, padahal pertanyaan Arsya belum dijawab sama nenek. Malahan nenek pergi ke belakang. Jadi, di sini ada teman nenek apa nggak, Nda?”
Arsya memang begitu. Jika dia bertanya harus ada jawabannya.
“Mungkin saja teman nenek itu sudah pulang lewat belakang, Sayang. Nenek ke belakang memang ada alasannya. Nggak apa-apa ‘kan kalau begitu?”
Aku menerangkannya sebisaku.
“Iya deh, mana gawai punya Arsya, Nda. Mau mainan.”
Aku mengambilkan apa yang diminta oleh Arsya di dalam tas yang selalu kubawa. Ada banyak barang berharga di dalamnya. Jadi, tak mungkin kutinggal begitu saja di dalam mobil. Gawai milik Arsya adalah gawai yang tidak membutuhkan internet. Aman untuk anak-anak, karena tidak bisa mengakses secara sembarangan. Meski di dalamnya hanya seperti itu saja, tapi Arsya tidak merasa bosan. Jika di rumah dia memang jarang memegang gawainya itu, dia lebih suka bermain dengan teman-temannya.
Kami menunggu sekian lama. Sepertinya tidak ada tanda-tanda ibu kembali menemui kami di ruang tamu.
“Yah, ibu kok lama banget. Apa nggak terjadi sesuatu? Kita susul ibu ke belakang saja yuk.”
Tentu saja aku khawatir dan mencoba untuk mengajak mas Ubay untuk melihat ibu di belakang.
“Iya Nda, coba yuk, kita lihat ke belakang saja.”
Kami pun bangkit bermaksud pergi menemui ibu.
“Nda, mau kemana?” tanya Arsya.
Sejak tangannya sibuk dengan gawai, dia sudah tak banyak bertanya lagi. Karena aku bangkit dari tempat duduk, pasti rasa ingin tahunya muncul kembali.
“Mau ke belakang lihat nenek. Arsya mau ikut?” tanyaku.
“Ikut Nda. Masa Arsya mau ditinggal sendiri di sini sih? Arsya takut.”
Dia bergegas bangkit, meletakkan gawainya dan menggandeng tanganku.
Kami bertiga melangkah menuju ke belakang rumah. Aku menyibakkan tirai penutup antara ruang tamu dan ruangan yang ada di belakang. Benar dugaanku. Di balik tirai langsung terlihat pemandangan dapur dan kamar mandi. Dua kamar berjejer di sebelah kananku. Namun, aku tidak melihat ibu di dapur. Jadi, beliau ada dimana?
“Yah, ibu kok nggak ada di dapur. Katanya ada kucing yang nggak sengaja menjatuhkan sesuatu di sini. Tapi kenapa nggak ada ibu?” bisikku.
“Ayah juga nggak tau, Nda.”
Suasana di dalam sini semakin mencekam. Keadaanya remang-remang. Hari memang sudah semakin petang. Mungkin saat ini sudah pukul empat sore lebih.
“Nda, kok rumah nenek serem begini,” keluh Arsya.
“Arsya berdoa saja ya. Pegang tangan Bunda, pasti rasa takut Arsya jadi hilang.”
Bocah itu menurutiku. Untunglah dia tak rewel dan tidak meminta untuk pulang saja.
Mas Ubay yang berada paling depan kini pergi ke arah kamar. Pintu disetiap kamar tidak tertutup dan tirainya pun sama saja terbuka. Dengan begitu, mas Ubay bisa menebak keberadaan ibu di kamar yang mana.
“Bu … Ibu nggak apa-apa ‘kan? Maaf kami masuk ke kamar Ibu. Kami khawatir Ibu lama nggak keluar lagi.”
Ibu membelakangi kami. Beliau sepertinya kaget dan langsung menutup kotak yang berada di depannya. Entah kotak itu berisi apa, aku tidak sempat melihat isi di dalamnya. Beliau pun berbalik dan melihat kami dengan tatapan kekhawatiran.
“Kenapa kalian masuk ke dalam sini? Ibu ‘kan sudah ngomong, tunggu di sana dulu. Rumah ibu masih berantakan.”
“Kami khawatir Bu. Ibu terlalu lama di dalam sini. Apalagi tadi ada sesuatu yang jatuh.”
Mas Ubay mencoba untuk menerangkan.
“Ya sudah, kita ke depan lagi saja. Kalian nanti tidur di kamar sebelah sana. Semuanya masih berantakan.”
Ibu menunjuk ke ruangan yang dimaksud dan keluar dari kamar. Kami pun mengikuti di belakangnya.
“Nda, Arsya kok jadi takut ya?” bisik anakku.
Aku hanya menggelengkan kepala dengan memberi kode agar dia tak berbicara seperti itu lagi. Arsya pun memahami kode yang kuberikan padanya.
Glutak!
Aku dan Arsya yang masih tertinggal di belakang kembali mendengar sesuatu yang terjatuh. Seketika Arsya pun menoleh.
“Nda, teman nenek masih ada di dalam kamar, Nda. Baru saja mengintip. Benar ‘kan apa kata Arsya, teman nenek itu belum pulang,” celetuk Arsya menarik-narik tanganku.
Aku tak mau mempedulikan ocehan Arsya, tapi rasanya ada yang aneh. Aku pun ikut menoleh.
“Mana Sayang? Di sini nggak ada temannya nenek. Ayo, kita susul ayah sama nenek yang sudah ada di ruang tamu. Tadi katanya Arsya takut.”
Sebelum rasa takutku semakin menjadi, harus cepat-cepat mengajak Arsya untuk pergi dari sini. Padahal nantinya kita mau bermalam di sini untuk beberapa hari ke depan. Aku justru sudah parno seperti ini duluan.
“Iya sih Arsya takut, tapi Arsya mau memastikan teman nenek itu masih bersembunyi di kamar nenek apa nggak, Nda. Ayo Nda, lihat ke sana.”
Ya ampun, anak ini. Nggak tahu bundanya sudah semakin merinding apa. Kenapa justru memintaku untuk melihatnya ke dalam kamar. Aku hanya bisa mengeluh di dalam hati saja.
“Arsya, nggak sopan lho, kalau mau lihat kamarnya nenek tanpa izin. Ayo kita keluar saja. Ayah pasti nungguin Arsya di ruang tamu.”
Aku harus bisa mempengaruhi Arsya untuk tidak lagi merasa penasarn tentang temannya nenek. Aku sangsi, sosok itu berwujud manusia atau justru … ah, aku jadi merinding jika membayangkannya.
“Tapi Nda, mumpung Arsya tadi melihatnya lagi, Nda. Arsya penasaran, Nda. Pasti teman nenek itu belum pulang. Pasti masih di dalam kamar itu, Nda. Ayo Nda, lihat ke sana Nda.”
Jika Arsya sudah semakin penasaran, anak ini pun susah juga untuk dialihkan ke sesuatu hal yang lain. Apalagi dari tadi dia selalu membahasnya.
Jantungku kian berdebar hebat. Apa harus aku menuruti permintaan Arsya. Padahal tadi di dalam kamar itu hanya ada ibu saja. Mana mungkin ada yang mengintip dari sana. Tidak masuk akal.
“Ayo Nda.”
Kini Arsya menarik tanganku dengan sekuat tenaganya. Aku pun pasrah dan pergi melihat ke kamar ibu lagi.
‘Bismillah ya Allah … semoga apa yang kubayangkan nggak terjadi. Semoga di sana nggak ada siapa-siapa,’ batinku.
Aku tidak bisa menunjukkan ketakutanku kepada anak semata wayangku ini.
Setiap kaki ini melangkah lebih dekat ke kamar itu, kakiku terasa semakin berat saat diangkat. Jantungku pun semakin berdegup kencang. Sekujur tubuhku merinding. Rasanya ingin kabur saja dari sini. Namun Arsya tetap saja menarikku ke kamar itu.
“Arsya, ayo ke depan saja.”
“Nggak Nda, Arsya mau lihat temannya nenek di dalam kamar itu.”
Akhirnya sampai juga di dalam kamar ibu. Aku ingin melihat disetiap sudutnya, tapi rasanya sudah ngeri duluan. Hanya tertunduk melihat satu arah saja. Justru Arsya yang sudah mencari kesana-kemari.
“Kok nggak ada siapa-siapa ya, Nda?” ucapnya masih sibuk mencari disetiap sudut.
Aku sedikit lega mendengarnya, tapi tetap saja rasa takut masih menyelimuti. Kuberanikan untuk melihat keberadaan Arsya. Tiba-tiba ada seseorang yang memegang pundakku. Perasaan yang tadi sudah mulai lega, kini jantung kembali berloncatan tak karuan. Siapa yang memegang pundakku? Aku kira dari tadi tidak ada langkah yang datang menghampiriku.
Meski rasa takutku begitu besar. Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang memegang pundakku.“Kalian kenapa masih ada di kamar Ibu? Ayo ke depan dulu.”Ya, ternyata hanya ibu mertua yang memegang pundakku. Aku sangat lega dan tanpa sadar mengelus dada. Kuhembuskan napas untuk membuang rasa takut yang masih tertinggal.“Arsya! Jangan pegang benda itu!” bentak ibu tiba-tiba.Sontak aku kaget dan segera melihat Arsya. Sebenarnya apa yang Arsya pegang, sampai-sampai ibu membentaknya? Ya, ternyata hanya kotak yang belum lama ini ditutup rapat oleh beliau. Apa kotak itu sangat berharga, sampai cucunya yang baru datang dibentak seperti tadi?
Aku melihat ibu pergi lewat pintu belakang.“Yah, memangnya di dalam gubuk itu ada apanya sih? Kok ibu sampai melarang kayak gitu?”“Ayah juga nggak tau, Nda. Mungkin saja di sana banyak barang berharga milik ibu.”“Iya sih, mungkin begitu. Lalu, kotak yang ibu pegang kira-kira isinya apa ya, Yah? Soalnya kemarin waktu Arsya memegangnya ibu terlihat nggak suka. Ibu mendadak kayak orang marah, membentak Arsya segala. Apa isinya sangat penting sampai ibu membentak Arsya kayak gitu, Yah?”Padahal aku tak berniat menceritakannya, tapi rasa penasaranku yang mengendalikannya.“Membent
“Aman? Aman bagaimana, Bu?” tanyaku.“Ya … intinya malam ini kalian boleh menyalakan lampu. Nggak usah pakai lampu minyak yang Ibu buat.”Aku masih belum memahami perkataan beliau. Pandanganku beralih ke arah mas Ubay, dia hanya mengangguk saja.“Iya Bu, mungkin dengan seperti itu, Arsya bisa betah dan nggak takut lagi,” ucap mas Ubay.“Iya Bay. Kalian di sini saja ya? Ibu yang akan masak.”“Fira bantu ya, Bu?”Selalu saja diriku menawarkan bantuan.
POV Ubay***“Ya ampun … sinyal kok susah bener! Ck!” keluhku seraya mengangkat gawai tinggi-tinggi.“Tetap nggak dapat apa-apa? Huft! Kayak gini harus cari sinyal nih. Mumpung Arsya sudah tenang sama bundanya.”Pandanganku sesaat melihat ke arah Arsya dan Fira. Kini aku melangkah menuju ke jalan. Aku akan mencari sinyal sampai dapat.Selama tiga minggu ini, aku meminta untuk cuti liburan. Sebenarnya bebas bagiku untuk bersantai tanpa memikirkan pekerjaan. Aku adalah owner sebuah warung makan yang sudah mulai terkenal. Selama di sini pekerjaanku sebenarnya sudah kupasrahkan segalanya kepada asisten pribadi. Ya, meski begitu aku tak bisa berdiam diri.
Perlahan tapi pasti, kaki ini kubawa masuk ke dalam gubuk. Meski sudah ada matahari, suasananya tetap saja membuat bulu kuduk berdiri. Sengaja kubiarkan pintu terbuka lebar agar cahaya di luar bisa masuk dan memberikan penerangan di dalam gubuk. Meski sudah ada jendela tempat masuk bola yang ditendang Arsya tadi dengan sekuat tenaganya, tapi jendela itu tertutup tirai dan menghalangi cahaya masuk.“Bismillah, ya Allah,” gumamku.Aku mencari bola disekitaran jendela. Bola itu masuk menembus tirai di jendela, pasti tidak jauh dari tempat itu.Sambil mencari bola, aku melihat-lihat isi di dalam gubuk.“Hanya ada barang-barang tak terpakai, kenapa ibu melarang masuk ke da
“Nda, sebenarnya ada apa di dalam gubuk itu? Waktu kamu keluar dari sana, wajahmu terlihat sangat pucat. Mangkanya aku khawatir banget sama kamu, Nda. Apa alasan ibu melarang kita masuk ke sana sih, Nda? Lalu, kenapa wajahmu tadi sepucat itu?”Mas Ubay sangat penasaran dengan apa yang baru saja kualami.“Nda, kok lama banget? Cari bolanya susah ya, Nda?”Arsya datang menghampiriku saat melihatku muncul dari arah samping rumah.“Iya Sayang. Bunda sampai pusing cari bolanya nggak nemu-nemu. Maaf ya, kalau Bunda lama.”Aku harus pintar berakting dihadapan putra semata wayangku. Padahal semua y
POV Ibu***‘Fira, kenapa malah kamu mencari masalah sih? Padahal aku sudah menenangkannya dengan susah payah. Ck! Anak itu memang ya, sudah kularang tetap saja nekat masuk ke dalam gubuk,’ batinku seraya masuk ke gubuk.Aku tak peduli jika Ubay dan Fira mulai curiga kepadaku. Yang kuharapkan mereka baik-baik saja dan segera pergi dari sini. Mungkin kejadian ini membuat mereka berpikir untuk segera meninggalkan tempat ini. Ya, semoga saja mereka berpikir seperti itu. Biar aku di sini yang menanggung segalanya, asal mereka bahagia.Di dalam gubuk pemandangnnya sudah seperti kapal pecah. Dia pasti marah tapi tak bisa melukai Fira. Syukurlah dia masih mau menurutiku.
Beberapa saat setelah melihat ibu membawa tampah kecil beserta ayam hitam yang masih hidup, aku masih ragu untuk mengatakannya kepada mas Ubay. Aku berusaha menepis rasa curiga dan meneruskan permainan yang kami lakukan. Tapi, apa yang kulihat tadi selalu mengganggu pikiranku.“Udah turun semua Yah, ayo kita ambil tanahnya lagi di sana. Aku menang ‘kan, Yah?”Arsya sangat bersemangat kala bermain mobil-mobilan dan tanah bersama kami.“Ayo, tapi Arsya sendiri yang masukin tanah ke mobilnya ya? Bunda mau ngomong penting dulu sama ayah.”Aku menyela pertanyaan Arsya yang ditujukan kepada ayahnya.&l