(Pov Bani)
Bayangan putih melesat begitu cepat, namun masih sempat tertangkap indera penglihatan kami semua. Setelah istri Harto berteriak, suasana hutan semakin terasa mencekam. Dalam pekatnya malam, angin berhembus kencang dari segala arah. Diiringi suara kicauan burung kedasih yang saling bersahutan, menambah ketakutan menjalar dalam hati kami. "Gawat, dia mendengarnya," Suara tetua desa terdengar jelas nyaring. Wajahnya menegang, entah siapa yang disebut mendengar. "Ada apa Tetua?" tanya kepala desa, nampaknya juga bingung. "Harto, lebih baik kamu ajak istri kamu pulang ke rumah. Kunci semua pintu rumah dan jendela. Berdoalah sesuai ajaran kamu!"titah tetua desa, bukannya menjawab pertanyaan kepala desa, malah memerintahkan Harto pulang. "Tapi kenapa Pak? Apa ada masalah?" Kali ini aku yang maju menanyakannya. Rasanya tidak tenang kalau tidak mengetahui apa alas(Masih Pov Bani) Suasana menjadi hening. Tak ada yang bicara lagi setelahnya. Tetua desa menghela nafas berat. Aku akui, jika kejadian ini memang membuat kami semua merasa was-was. "Maaf sebelumnya Pak, apa saya boleh bertanya?" Kali ini kakak ipar Harto angkat bicara. Mungkin ia merasa penasaran dengan penjelasan di hutan tadi malam. "Silahkan!" sahut tetua, ekspresinya benar-benar tidak bisa ditebak sama sekali. "Apa maksud Bapak saat di hutan tadi malam? jujur saja, saya masih merasa penasaran dah perlu penjelasan. Kenapa harus keponakan saya? Siapa yang mendengarnya? Lalu, kenapa kami semua diminta pulang?" Pertanyaan beruntun dilayangkan kakak ipar Harto. Sedang kami yang tadi malam ikut pulang bersamanya mengangguk mengiyakan. "Begini Nak, saya juga bingung harus memulainya dari mana. Ilmu sesat yang dianut oleh mendiang ibunya Harto adalah ilmu kuyang yang memang ia wa
(Pov Author) Nana terus merengek ingin pulang. Pikirannya terus tertuju pada putri kecilnya--Reina. Tetes air mata sudah tidak terhitung lagi berapa banyaknya menetes. "Kamu tidak bisa pulang sekarang Nak! Semua tidak semudah yang kamu pikirkan. Makhluk itu mengincar kamu. Jika kamu pulang sekarang, putri kalian bisa terancam bahaya. Bisa saja bayi mungil itu menjadi santapannya. Ilmu itu tidak harus diturunkan pada keturunan perempuan saja. Ingat, yang mengisi jasad ibu kalian itu adalah iblis. Mereka tidak ada rasa belas kasihan lagi. Yang mana menjadi santapan mereka, akan tetap disantap. Tidak peduli, itu keturunan atau keluarga. Lebih baik tinggal di sini saja untuk sementara waktu! Kita selesaikan semuanya, baru setelah itu kalian kembali," ucap tetua desa Semuanya terdiam. Pikiran mereka berkecamuk kacau. Banyak pekerjaan lainnya harus diabaikan karena masalah ini. Niat hati ingin beberapa hari saja di desa, terpaksa harus mema
Dua malam sudah pencarian jenazah ibu Harto, tapi hasilnya belum ada sama sekali. Teror di rumah Harto juga semakin gencar terjadi. Satu persatu dari keenam orang itu diganggu dengan cara berbeda-beda. "Kak, aku ngantuk sekali," keluh Ahmad, tersandar di dinding ruang tamu. "Sama, aku juga. Hampir semalaman kita tidak tidur," sahut Agung, kedua matanya tampak sayu. "Andai ibu cepat ditemukan, pasti masalahnya tidak seperti ini. Dua malam ini kita terus-terusan diteror," keluh Bani, ada rasa kesal di dalam hatinya. Harapan, hanya tinggal harapan. Entah kapan semua harapan mereka dapat terkabul dan menemukan jasad ibu mereka. "Mas, aku mau ke warung dulu beli stok makanan, mumpung masih pagi," pamit Nana sudah bersiap. "Kamu pergi sendiri Na? bahaya nanti," ujar Bani, begitu khawatir. "Iya Na, bahaya kalau sendiri. Biarpun ini masih pagi, tetap saja hawanya tidak enak," timpal
Di tengah kekalutan dan ketakutan tentang masalah baru, Bani maju mendekat. Ia menepuk pundak Agung, pria yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. "Jangan takut Gung! Biarpun Janah itu kuyang, dia tidak akan berani mengganggu kita di rumah ini. Jenazah ibu kami belum ditemukan. Bisa saja ibu masih berkeliaran di mana-mana, termasuk di sekitaran rumah ini," ucap Bani, mencoba meyakinkan Agung. Ada rasa lega di hati Agung saat mendengarnya. Andai semua masalah ini dengan sesama manusia, mungkin mereka tidak terlalu takut. Masalahnya ini semua berhubungan dengan makhluk gaib atau astral. Sedang ilmu yang merek miliki bukan ke arah hal seperti itu. "Jadi maksud kak Bani, kuyang wanita itu, tidak akan berani mengganggu kita di sini? Harusnya sih memang begitu. Anggap saja wanita itu kuyang junior, sedangkan ibu mas Bani dan mas Harto seniornya. Junior dan senior, sudah pasti kalah junior," sahut Ahmad, menjabarkan ulang.
Tepat saat Harto akan sampai di dahan tempat jenazah ibunya duduk, ia menghentikan pergerakannya. Bau busuk dan anyir menguar memenuhi rongga pernafasannya. Dari jarak yang lumayan dekat, dapat Harto lihat bagaimana wajah ibunya. Kepala sang ibu masih bergerak pelan ke kiri dan ke kanan. Tatapan matanya kosong tapi terlihat liar. Hampir saja Harto memilih turun dan menyerah, tapi ia mengurungkan niatnya. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Jika saat ini ia tidak berhasil membawa turun sang ibu, maka musibah dan teror akan semakin bertambah mengerikan. "Har, cepat! Apa yang kamu tunggu? Jangan sampai ibu melesat pergi!" teriak kakak tertuanya dari arah bawah. Lamunan Harto buyar, dengan sisa tenaga yang masih tersisa. Ia kembali memanjat dan menggapai dahan pohon yang lumayan kokoh. Rasa takut sudah tidak bisa ia gambarkan lagi. Di depan mata kepala sendiri, sosok ibunya yang berwujud pocong sedang menatapnya dengan tata
Pov Nana Aku merinding sampai ke ubun-ubun mendengar suara ibu dari dalam peti. Suaranya sangat mengerikan. Belum lagi saat ibu mengatakan ingin minta diwarisi ilmunya. Sungguh di luar nalar. Andaikan ini aku ceritakan pada orang-orang, mungkin tidak akan ada yang percaya dan menganggap aku gila. Mana mungkin seorang yang sudah meninggal bisa bicara, walaupun jasadnya sudah mati. Tapi ini berbeda, aku melihat dan mendengarnya sendiri. Ini tanah Kalimantan, yang di luar nalar bisa saja terjadi di sini. "Yank, lebih baik kita masuk ke kamar!" titah mas Harto, menarik tanganku. Kakak dan adikku hanya bisa mengangguk melihatku ditarik oleh mas Harto. Mereka bahkan tidak ingin melarang atau menahanku. "Untuk malam ini, biar kami yang berjaga. Karena besok kami akan pulang. Kantor sudah beberapa kali menghubungi," ucap kakak tertua mas Harto. Kami semua hanya mengangguk. Andaikan aku bisa, aku juga ingin sekali
Pagi akhirnya menjelang. Kicauan burung terdengar merdu, menyambut cuaca cerah hari ini. Aku terbangun dari tidur singkat tadi subuh. Setelah ditemukannya ibu, hidupku menjadi tak karuan. Begitu pula dengan jam tidur yang tidak beraturan lagi. "Sudah bangun Yank?" tanya mas Harto, mendekat ke arahku dengan nampan berisi makanan di tangannya. Malu sekaligus tidak enak menjalar di hatiku. Aku ini istri, satu-satunya perempuan yang ada di rumah ini. Tapi, aku malah bangun kesiangan. Mas Harto sudah bangun, mungkin yang lainnya juga sudah. "Ayo makan dulu! Setelah itu, kita keluar menemui yang lain. Katanya, ada yang ingin dibicarakan," ucap mas Harto, menyodorkan sesendok makanan ke arah mulutku. Aku menghindar. Baru juga bangun tidur, masa iya, langsung menyantap makanan. "Kenapa? Kamu tidak suka makanannya?" tanya mas Harto, mengernyitkan keningnya. "Eh, bukan Mas. Bukan itu! Aku baru bangun t
Tumpukan emas batangan tersusun rapi di dalam lemari kaca. Jika tidak salah hitung, mungkin jumlahnya ada lima puluhan. Entah berapa berat semuanya jika ditotal. Tak hanya aku yang terkejut dibuatnya. Para anak-anak ibu, Ahmad dan kak Agung juga sama terkejutnya. Tak ada yang bergerak dari posisi masing-masing. Semuanya masih merasa kaget sekaligus takjub. "Ma-Mas, itu e-emas semua?" tanyaku, tergagap. Mas Harto tak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dari mana ibu mendapatkan kekayaan yang seperti ini? Sedang selama ini, ibu terlihat begitu sederhana. Pakaian atau barang-barang pribadinya juga tidak begitu mewah. Apalagi makanannya sehari-hari, aku sampai tidak pernah melihat lauk pauk lain, selain ikan pindang. Cukup lama terdiam, akhirnya kami memberanikan masuk ke dalam ruangan itu. Tepat saat kaki kami melangkah, peti tempat jenazah ibu dibuat berbunyi keras. Aku sampai terkejut dan memeluk lengan mas Harto.