Share

Bab 6

Author: Wilda Akha
last update Last Updated: 2024-10-26 20:52:26

Hari demi hari berlalu, Mawar masih saja terngiang-ngiang akan akan ucapan Aprilia tempo lalu. Di mana wanita itu mempertanyakan alasan apa yang membuatnya tetap bertahan dengan pernikahan toksik ini.

Hingga terlintas begitu saja di dalam benaknya untuk meninggalkan sang suami, akan tetapi Mawar belum mendapatkan alasan yang tepat untuk mengajukan perceraian.

"Dek, Mas minta uang kamu untuk beli rokok ya?" Pernyataan Bambang yang tiba-tiba itu membuat Mawar yang sedang menjemur pakaian terdiam sejenak, kemudian membuang nafas panjang dan bergegas menyudahi aktifitasnya.

Sebagai seorang istri, Mawar sangat menghindari perdebatan dengan sang suami. Terlebih tentang masalah ekonomi.

"Ini Mas, uangnya," ucap Mawar seraya menyodorkan uang berwarna merah. Namun, bukannya menerima uang tersebut. Bambang malahan membuang muka dan memakinya.

"Mana cukup ini, Dek!"

Sebisa mungkin Mawar menahan amarah yang mulai naik keubun-ubun, andaikan saja lelaki yang berada dihadapannya ini bukanlah orang yang berstatus suaminya. Kemungkin besar akan ia membalas makian Bambang.

"Ya udah, kalau enggak mau. Lumayan untuk lauk makan siang nanti, bisa beli tempe dan kangkung," kata Mawar seraya masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti. Karena sang suami yang menahan pergelangan tangannya, dengan perasaan malas dan dongkol ia menatap Bambang lekat.

"Mau apa lagi?" tanya Mawar dengan menarik kasar tangannya.

"Kamu!" ucap Bambang dengan penuh penekanan seraya menujuk wajah Mawar dengan geram. Akan tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali.

Kehidupan keduanya dulu baik-baik saja, namun setelah Bambang di PHK dari tempatnya bekerja dan menjadi pengangguran yang suka keluyuran serta nongkrong ditempat yang tidak jelas. Hubungan suami-istri itupun mulai diterpa badai.

"Apa? Mau nampar aku? Silahkan!" balas Mawar sengit.

Tangan Bambang yang sudah mengepal kuat diudara ditariknya kembali, kemudian lelaki itu berlalu keluar begitu saja.

"Satu hal yang harus kamu ingat, Mas! Uang istri mutlak miliknya!" teriak Mawar membuat sang suami hanya terdiam, tanpa mampu membalas perkataannya.  

Namun, sekuat-kuatnya wanita. Ia merupakan sosok yang lemah, setelah pertengkaran kecil tersebut Mawar masuk ke kamar dan menangis dalam diam.

Bukan hanya masalah ekonomi yang harus ia hadapi, akan tetapi perubahan sikap sang suami pun harus ia pertimbangkan untuk bertahan.

"Ayo Mawar! Kamu harus kuat," ucapnya menyemangati diri.

Hari minggu yang dulu biasanya ia habiskan dengan bersantai dan rehat dari pekerjaan kantor, namun berubah untuk saat ini.

Baru saja Mawar masuk ke kamar, tidak berapa lama terdengar teriakan dari ibu mertua yang meraung-raung tidak henti.

"Mawar! Mawar!"

Mawar mengusap kasar air mata yang masih saja sempat jatuh, kemudian membuka pintu kamar yang sudah menampakkan sosok Herlina yang tengah berkacak pinggang.

"Kamu itu ada telinga atau tidak sih? Ibu panggil sedari tadi tidak menyahut!" decak Herlina kesal.

Mawar tersenyum kecil, "Aku ada telinga, Bu. Tapi, tidak berusara saja. Karena Ibu mempertanyakan telingaku, bukan mulutku."

Herlina nampak naik pitam akan jawaban dari Mawar, wanita itu mengendus kesal.

"Sekarang kamu sudah pandai menjawab, ya? Mau jadi menantu durhaka, kamu!" balas Herlina sengit.

Karena tidak ingin memperpanjang masalah yang tidak seberapa, membuat Mawar mengalah seraya mengusap dadanya bersabar.

"Ibu kenapa memanggilku?" tanya Mawar pelan, namun dengan sorot mata lekat menatap ibu mertuanya.

"Ini!" terang Herlina seraya menyodorkan kantong plastik kepada Mawar, kemudian wanita itu berlalu begitu saja.

Mawar yang sudah bisa menebak isi kantong plastik itu pun berlalu menuju dapur, jika tidak berangkat ke kantor seperti saat ini. Maka, Mawar akan di suruh mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Dari berbersih-bersih, sampai memasak dan terkadang disuruh mencari uang tambahan dengan membuat kue. Sungguh, realita pernikahan yang tidak ada di dalam kamus kehidupan sorang Mawar.

"Mbak, mau masak?" Pertanyaan Kirana membuat Mawar menatap sekilas ke arah adik iparnya itu dan kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa berniat menimpali ucapan Kirana.

Merasa diacuhkan gadis itu pun menghentakkan kakinya dan mendekati Mawar.

"Mbak punya telinga, enggak sih?" teriak Karina nyaring.

"Punya, kamu bisa melihatnya," balas Mawar seraya menunjuk daun telinganya dengan jari. Hal itu membuat Kirana semakin kesal.

"Benar kata Ibu, Mbak itu sekolah aja tinggi! Tapi, gak ada sopan santunya!" cibir Kiranan membuat Mawar geram.

"Hey! Nona muda tukang numpang! Kamu tadi tanya tentang apa? Telinga, bukan? Jadi, aku hanya perlu mendengar apa yang kamu ucapkan. Kecuali! Kamu mengajakku berbicara, maka ... mulut ini pun akan terbuka!" balas Mawar sengit.

Jika tidak ada siapa-siapa, tanpa merasa ragu. Mawar akan melempiaskan kekesalannya kepada Kirana. Menurut Mawar adik iparnya itu sudah mampu untuk hidup mandiri dan mencari pekerjaan.

Namun, cara Herlina yang salah dalam mendidik anak gadisnya membuat Kirana bagaikan benalu dalam rumah tangga Mawar dan Bambang.

"Cih! IQ Mbak rendahan!" kata Kirana.

Mawar membulatkan mulut dan matanya setelah mendengar ucapan Kirana barusan, ketika ingin membalas gadis itu. Tiba-tiba saja Herlina masuk ke dapur.

"War! Kamu sudah masak?" tanya Herlina membuat Mawar menggeleng pelan.

"Mana bisa masak dia, Bu! Kalau kerjaannya cuma malas-malasan!" adu Kiranan membuat Herlina memaki Mawar.

Hal seperti ini sudah sering terjadi, di mana Mawar adalah orang yang akan selalu di salahkan atas apapun yang terjadi. 

Walaupun dirinya tidak melakukan kesalahan, namun Herlina akan selalu mengungkit-ungkit bahwa Mawar hanyalah orang luar yang hidup bersama mereka.

"Cepat masak! Jangan malas-malasan! Makanya kamu enggak hamil-hamil! Kalau disuruh suka malas!"

Bukan hanya telinga yang terasa panas, namun hati dan tubuh Mawar pun ikut terasa mendidih akan pedasnya ucapan Herlina.

Padahal, bukan keinginan Mawar tidak memiliki anak. Hanya saja, Tuhan yang belum memberikan kepercayaan.

"Kerja yang rajin, ya Mbak," ucap Kirana dengan nada mengejek, kemudian menyusul Herlina.  

Setelah ibu dan anak itu pergi, barulah Mawar bisa bernafas. Semakin lama ia menjalani hubungan pernikahan ini, maka semakin kewarasannya dipertaruhkan.

Ingin sekali rasanya ia menelpon ayah dan bundanya, lalu mengadukan semua penderitaan yang ia rasakan. Namun, Mawar teringat akan pesan sang ayah. 

Bahwa kehidupan berumahtangga tidak boleh diumbar, ada aib yang harus ditutupi. Terlebih akan kekurangan dari pasangan. Di mana seroang istri adalah pakaian untuk suaminya dan begitu pun sebaliknya.

"Aku harus kuat! Tapi, sampai kapan aku bisa bertahan?" batin Mawar.

   

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 70: Janji di Atas Pusara

    Angin sore berhembus pelan di pemakaman, membawa aroma khas tanah basah yang bercampur dengan harumnya bunga mawar putih yang bertabur di atas makam Bambang. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan pendar jingga keemasan yang meliputi seluruh area. Di sana, di depan pusara yang sederhana namun penuh makna, berdiri Mawar dan Rendy. Mawar mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana, wajahnya terlihat sendu tetapi menenangkan. Di tangannya tergenggam buket bunga mawar putih, simbol cinta dan penghormatan untuk Bambang. Rendy, dengan wajah penuh keyakinan, berdiri di sampingnya mengenakan kemeja berwarna hitam dan sarung hijau tua. Di depannya, seorang pembuka agama dan beberapa keluarga serta teman dekat berkumpul dalam suasana yang penuh keharuan. “Apa kamu sudah siap, Dek?” bisik Rendy pelan, menoleh ke arah wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mawar mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 69 Kebahagiaan yang Tertunda

    Sore itu, rumah Mawar dipenuhi suasana yang begitu asing. Di ruang tamu, beberapa tamu yang terdiri dari kerabat dekat dan tetangga duduk dalam hening. Tidak ada gemerlap dekorasi atau pesta besar. Hanya meja sederhana yang dihiasi bunga mawar putih, seolah menjadi simbol kebersahajaan acara yang berlangsung hari itu. Mawar duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh emosi yang sulit diartikan. Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahan kainnya, tetapi karena beban di dalam hatinya. Di sampingnya, Rendy berdiri dengan wajah tenang, meski ada sedikit kegugupan di mata tegas pria itu. "Apa kamu yakin ingin melakukannya, Dek?" tanya Rendy pelan, nyaris berbisik. Mawar mengangguk tanpa menoleh, matanya masih menatap ke arah lantai. "Ini yang Bambang inginkan. Aku hanya mencoba memenuhi permintaannya." Mendengar itu, Rendy hanya bisa menghela napas. Ia tahu Mawar tidak benar-benar melakukan ini untuk dirinya

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 68 Kepergian yang Tak Terelakkan

    Malam itu terasa begitu sunyi di ruang perawatan Bambang. Hanya suara alat monitor jantung yang terus berdetak lambat, menjadi penanda bahwa waktu Bambang di dunia ini semakin menipis. Mawar duduk di sisi ranjang suaminya, menggenggam erat tangan Bambang yang terasa semakin dingin. Wajahnya pucat, tetapi matanya tetap menatap Bambang penuh harap, seolah berusaha menyangkal kenyataan yang semakin nyata di depannya. "Mas, jangan tinggalkan aku," bisik Mawar, suaranya bergetar. "Aku butuh kamu. Aku nggak tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpa kamu." Bambang tersenyum tipis. Meski tubuhnya semakin lemah, ia berusaha memberikan ketenangan untuk Mawar. "Sayang, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Mas percaya kamu bisa melewati ini. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri." Air mata Mawar mengalir deras. Ia menggenggam tangan Bambang semakin erat, seolah berusaha menahan kepergiannya. "Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Ma

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 67 Wasiat Terakhir

    Di ruang perawatan rumah sakit, suasana begitu sunyi. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terus berdetak pelan, seolah menjadi pengingat waktu yang kian menipis. Bambang terbaring di atas ranjang dengan tubuh lemah. Napasnya tersengal-sengal, tetapi matanya tetap memancarkan tekad yang tidak pernah pudar. Di sisi ranjangnya, Mawar duduk dengan tangan menggenggam jemari Bambang yang mulai dingin. Wajahnya nampak begitu lelah dengan mata yang sembap karena kurang tidur. Sejak Bambang dirawat kembali, ia hampir tidak pernah meninggalkan suaminya dan terus berada di sisi sang suami. Rasa takut yang terus menghantui membuatnya tidak ingin membuang sedetik pun waktu bersama Bambang. “Mas …” Mawar memanggil pelan, suaranya bergetar. “Tolong jangan tinggalkan aku. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau kamu pergi.” Bambang tersenyum tipis, meski itu hanya memperlihatkan rasa lelah di wajahnya. “Sayang, Mas nggak akan pernah benar

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 66 Di Ambang Keputusan

    Malam itu, Mawar duduk di samping tempat tidur dengan mata sembap. Wajahnya terlihat lelah, bukan karena fisik, tetapi karena hatinya yang terus-menerus digempur rasa sakit. Di depannya, Bambang terbaring dengan tubuh lemah, napasnya sesekali terengah-engah. Namun, meski raganya mulai menyerah, tekad di dalam dirinya tetap kokoh. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu, dan ini adalah kesempatan terakhir untuk berbicara dengan Mawar. “Dek,” Bambang memanggil pelan, suaranya serak. “Kita harus bicara.” Mawar menggelengkan kepala. "Aku nggak mau dengar, Mas. Tolong jangan bicarakan hal itu lagi." Tapi Bambang tidak menyerah. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam jemari Mawar. "Sayang, tolong dengarkan Mas. Ini penting!" Mawar memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah lagi. "Mas, kenapa kamu memaksa aku untuk melakukan sesuatu yang begitu menyakitkan? Kita baru saja memperbaiki semuanya. Kita bar

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 65 Wasiat di Ujung Waktu

    Suasana rumah terasa sunyi malam itu, hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruang tamu. Mawar sedang tertidur di samping Bambang, menggenggam tangan suaminya yang semakin kurus. Wajah Bambang pucat, matanya redup, tapi pikirannya tak bisa tenang. Ia tahu waktunya tidak lama lagi. Dokter sudah memberitahu bahwa kondisinya semakin memburuk, dan operasi yang sebelumnya menjadi harapan kini tidak lagi mungkin dilakukan. Namun, bukan kematian yang membuatnya gelisah malam ini, melainkan Mawar. Ia tidak bisa membayangkan Mawar hidup sendirian setelah dirinya pergi. Dengan hati yang berat, Bambang memutuskan sesuatu. Ia harus menemukan Rendy. Rendy adalah mantan istrinya, seseorang yang pernah mengisi masa lalu Mawar sebelum mereka menikah. Bambang tahu betapa dalam hubungan Mawar dengan Rendy dulu. Meskipun Mawar tidak pernah menceritakannya secara rinci, Bambang bisa merasakan bahwa ada bagian dari hati istrinya yang pern

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status