Selama ini aku hanya dimanfaatkan dan hasil keringatku dirampas oleh sosok yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga. Mas Bambang yang selama ini kutahu pelit dan suka mengambil gajihku ternyata memiliki sebuah rahasia besar, setelah semuanya terbongkar? Aku baru menyadari siapa suamiku yang sebenarnya. Rahasia apa yang selama ini Bambang sembunyikan dari Mawar–istrinya? Dan semua itu tersembunyi dengan rapi untuk beberapa tahun mereka bersama.
View More"Dek, Mas di PHK!"
Bagaikan tidak memiliki tulang lagi, tubuh Mawar luruh ke bawah setelah mendengar pernyataan sang suami. Berbagai ujian dalam hidup berumah–tangga saja sudah membuat seorang Mawar yang berstatus sebagai istri harus menelan pil pahit, sekarang ditambah masalah ekonomi yang menjadi momok yang paling menakutkan. "Lalu, bagaimana biaya hidup kita, Mas?" tanya Mawar dengan lirih. "Kamu 'kan masih bekerja? Jadi, pakai uang gajih kamu saja dulu, untuk menutupi kebutuhan kita," terang Bambang yang membuat Mawar hanya mampu tersenyum getir. Bukan Mawar tidak ingin berbakti kepada sang suami, akan tetapi kebutuhan mereka sangatlah banyak. Karena Bambang yang harus membiayai ibu dan juga adik perempuannya, sedangkan gajih yang dimiliki oleh Mawar sebagai pegawai disalah satu pemerintahan desa tidaklah seberapa. Disaat semua hal tengah berkecambuk di dalam pikirannya, tidak berapa lama terdengar suara Herlina dari balik pintu. "Bang! Ibu mau minta uang! Tabung gas habis!" Mawar hanya mampu terdiam, seraya menatap wajah tampan sang suami yang masih tidak bergeming sama sekali setelah mendengar teriakan dari sang ibu. "Dek," panggil Bambang dengan pelan setelah ketukan dan teriakan dari sang ibu semakin menjadi. Dengan langkah gontai Mawar berjalan ke lemari dan mengambil uang yang ada di dalam dompetnya, kemudian melangkah menuju pintu. "Eh, Mawar," sapa Herlina setelah melihat wajah sang menantu yang membukakan pintu kamar. Tanpa banyak berbicara, Mawar menyodorkan uang berwarna biru kepada sang ibu mertua. Namun, ketika mawar hendak menutup pintu kembali. Wanita itu melahan menahannya. "Tunggu, Mawar. Ini gak cukup!" kata Herlina setengah berteriak, sengaja wanita itu lakukan agar bisa di dengar oleh Bambang. Benar saja, lelaki itu pun menghampiri kedua wanita tersebut. "Memangnya berapa yang Mawar kasih ke Ibu?" tanya Bambang membuat senyum sang ibu merekah seperti bunga mawar dipagi hari. "Cuma segini, Bang. Mana cukup untuk beli lauk dan jajan Kirana," terang Herlina dengan wajah memelas seraya memagang uang pemberian dari sang menantu. "Dek, kamu ko' pelit sama Ibu?" Bagaikan di tusuk sembilu, ucapan Bambang membuat hati dan perasaan Mawar terasa perih. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang mampu menyakiti seorang istri dengan begitu kejam, kecuali suaminya sendiri. Mawar tidak menimpali ucapan Bambang, ia memilih berlalu dan kembali naik ke atas ranjang. Masih bisa ia dengar celotehan sang ibu mertua yang terus-menerus menyudutkannya. "Kamu lihat istrimu, Bang? Dia tidak memiliki sopan-santun kepada Ibu! Padahal, Ibu 'kan juga orang–tuanya. Sekolah saja dia tinggi, gelar sarjana tidak membuatnya memiliki akhlak yang baik." "Sudah Ibu bilang 'kan, kemarin. Kamu itu, tidak cocok menikahi dengan Mawar. Dia–" "Maaf, Bu. Aku capek, mau istirahat dulu," terang Bambang menghindari pernyataan sang ibu yang sudah bisa dipastikan akan membandingkan Mawar dengan mantan kekasihnya. "Loh, Bang! Ini uangnya kurang, bagaimana!" teriak Herlina yang sama sekali tidak diperdulikan oleh Bambang, di mana lelaki itu masih berdiri dibalik pintu kamar yang tertutup. "Dasar! Enggak menantu! Enggak anak! Sama-sama pelit! Padahal aku Ibunya, yang melahirkan dan membesarkannya! Enak-enaknya Mawar ambil Bambang! Awas aja nanti kamu, punya anak. Baru tahu rasa anaknya diambil orang." Suara Herlina yang terus-menerus mengoceh di luar sana masih bisa didengar oleh Bambang dan Mawar, hingga perlahan air mata Mawar yang berada di balik selimut jatuh juga. Cinta itu memang buta, ia tidak mampu melihat kekurangan orang yang dicintai. Sekalipun disakiti berulang kali, cinta tetap masih tumbuh subur. Seolah rasa sakitnya merupakan pupuk yang paling baik. "Dek," panggil Bambang pelan seraya naik ke atas ranjang. Tubuh Mawar yang membelakangi suaminya membuat lelaki itu tahu, kalau sang istri tengah merajuk. "Maafkan, Ibu ya," kata Bambang. "Iya, aku tahu! Aku yang harus selalu mengalah dan menjadi orang yang salah! Emang pernah Ibu kamu salah, Mas? Enggak 'kan? Tetap aku yang salah, sekalipun enggak melakukan apapun!" Jika benci sudah menjalar keseluruh tubuh, jangankan berbicara. Bernafas sekalipun, orang yang tidak disukai akan salah. Seperti itulah yang dirasakan oleh Mawar, setelah menikah dengan Bambang dan dibawa tinggal bersama keluarga sang suami. Kehidupan Mawar begitu berubah, jika di rumah orang tuanya ia dijadikan ratu. Berbeda dengan di rumah sang suami. Mawar tak' ubahnya seperti babu yang harus siap menjadi orang yang salah dan disalahkan. Sekalipun tidak melakukan apapun. "Kamu ya harus ngertiin, Ibu, Dek. Dia janda, gak ada pekerjaan. Jadi–" "Jadi, aku yang harus menghidupinya? Baru aja kamu bilang sudah di PHK! Terus kita mau makan apa? Ibu kamu kasih makan apa? Adik kamu itu, mau kamu kasih makan apa? Hah!" Pertanyaan tanpa henti Mawar layangkan kepada sang suami, ia merasa lelah dan juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua yang terjadi pada hidupnya kali ini begitu berat, suaminya akan menjadi pengganguran. Sedangkan mereka harus tetap makan dan membiayai ibu serta Kirana. "Dek, kamu ko' marah-marah?" Mawar tidak mampu berkata-kata lagi, ia memilih untuk diam dan menangis. Meratapi hidupnya yang akan semakin sulit untuk kedepannya, kalau masih bertahan di rumah ini. "Dek, kamu itu harus pengertian. Mas baru di PHK, jadi tolong diberi semangat." Apa yang diucapkan oleh Bambang bagaikan angin lalu ditelinga Mawar, ia tidak mampu membayangkan jika dirinya harus menjadi tulang punggung untuk menghidupi keluarga suaminya. "Dek! Kamu dengar tidak?" bentak Bambang kesal. "Iya! Iya! Aku dengar semuanya, Mas. Aku akan menjadi menantu yang baik. Istri yang cantik dan pengertian. Kakak ipar yang mengayomi. Iya! Aku dengar semua itu!" kata Mawar berapi-api seraya menatap wajah sang suami dengan lelehan air mata. "Kamu itu kenapa, sih?" Mawar tidak mampu berkata apa-apa setelah mendengar pertanyaan dari suaminya, ternyata menikah itu tidaklah indah seperti film-film korea yang ia sering tonton. Di mana pemeran laki-lakinya akan memeluk sang kekasih ketika menangis. "Gak pa-pa! Aku capek! Mau istirahat! Besok harus kerja!" balas Mawar kesal. "Loh gitu? Kamu nyindir, Mas?" Ingin rasanya Mawar menceburkan suaminya ke dalam dasar laut, "Mas lupa? Mulai besok enggak bekerja?" terang Mawar menahan amarah. "Iya, baru aja Mas bilang sama kamu. Mas di PHK, balas Bambang. "Jadi, kenapa Mas harus marah? Lalu, bilang aku nyindir, Mas?" tanya Mawar setengah berteriak. Ditengah-tengah perdebatan keduanya, tidak berapa lama terdengar teriakan dari Herlina. "Bang! Ada perempuan, cari kamu!" Seketika darah Mawar mendidih mendengar perkataan dari sang ibu mertua dan berlari ke luar diiringi oleh sang suami yang mengekor dibelakang. "Kamu!" pekik Mawar setelah berada di depan wanita cantik yang dimaksud oleh Herlina.Angin sore berhembus pelan di pemakaman, membawa aroma khas tanah basah yang bercampur dengan harumnya bunga mawar putih yang bertabur di atas makam Bambang. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan pendar jingga keemasan yang meliputi seluruh area. Di sana, di depan pusara yang sederhana namun penuh makna, berdiri Mawar dan Rendy. Mawar mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana, wajahnya terlihat sendu tetapi menenangkan. Di tangannya tergenggam buket bunga mawar putih, simbol cinta dan penghormatan untuk Bambang. Rendy, dengan wajah penuh keyakinan, berdiri di sampingnya mengenakan kemeja berwarna hitam dan sarung hijau tua. Di depannya, seorang pembuka agama dan beberapa keluarga serta teman dekat berkumpul dalam suasana yang penuh keharuan. “Apa kamu sudah siap, Dek?” bisik Rendy pelan, menoleh ke arah wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mawar mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca
Sore itu, rumah Mawar dipenuhi suasana yang begitu asing. Di ruang tamu, beberapa tamu yang terdiri dari kerabat dekat dan tetangga duduk dalam hening. Tidak ada gemerlap dekorasi atau pesta besar. Hanya meja sederhana yang dihiasi bunga mawar putih, seolah menjadi simbol kebersahajaan acara yang berlangsung hari itu. Mawar duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh emosi yang sulit diartikan. Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahan kainnya, tetapi karena beban di dalam hatinya. Di sampingnya, Rendy berdiri dengan wajah tenang, meski ada sedikit kegugupan di mata tegas pria itu. "Apa kamu yakin ingin melakukannya, Dek?" tanya Rendy pelan, nyaris berbisik. Mawar mengangguk tanpa menoleh, matanya masih menatap ke arah lantai. "Ini yang Bambang inginkan. Aku hanya mencoba memenuhi permintaannya." Mendengar itu, Rendy hanya bisa menghela napas. Ia tahu Mawar tidak benar-benar melakukan ini untuk dirinya
Malam itu terasa begitu sunyi di ruang perawatan Bambang. Hanya suara alat monitor jantung yang terus berdetak lambat, menjadi penanda bahwa waktu Bambang di dunia ini semakin menipis. Mawar duduk di sisi ranjang suaminya, menggenggam erat tangan Bambang yang terasa semakin dingin. Wajahnya pucat, tetapi matanya tetap menatap Bambang penuh harap, seolah berusaha menyangkal kenyataan yang semakin nyata di depannya. "Mas, jangan tinggalkan aku," bisik Mawar, suaranya bergetar. "Aku butuh kamu. Aku nggak tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpa kamu." Bambang tersenyum tipis. Meski tubuhnya semakin lemah, ia berusaha memberikan ketenangan untuk Mawar. "Sayang, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Mas percaya kamu bisa melewati ini. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri." Air mata Mawar mengalir deras. Ia menggenggam tangan Bambang semakin erat, seolah berusaha menahan kepergiannya. "Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Ma
Di ruang perawatan rumah sakit, suasana begitu sunyi. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terus berdetak pelan, seolah menjadi pengingat waktu yang kian menipis. Bambang terbaring di atas ranjang dengan tubuh lemah. Napasnya tersengal-sengal, tetapi matanya tetap memancarkan tekad yang tidak pernah pudar. Di sisi ranjangnya, Mawar duduk dengan tangan menggenggam jemari Bambang yang mulai dingin. Wajahnya nampak begitu lelah dengan mata yang sembap karena kurang tidur. Sejak Bambang dirawat kembali, ia hampir tidak pernah meninggalkan suaminya dan terus berada di sisi sang suami. Rasa takut yang terus menghantui membuatnya tidak ingin membuang sedetik pun waktu bersama Bambang. “Mas …” Mawar memanggil pelan, suaranya bergetar. “Tolong jangan tinggalkan aku. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau kamu pergi.” Bambang tersenyum tipis, meski itu hanya memperlihatkan rasa lelah di wajahnya. “Sayang, Mas nggak akan pernah benar
Malam itu, Mawar duduk di samping tempat tidur dengan mata sembap. Wajahnya terlihat lelah, bukan karena fisik, tetapi karena hatinya yang terus-menerus digempur rasa sakit. Di depannya, Bambang terbaring dengan tubuh lemah, napasnya sesekali terengah-engah. Namun, meski raganya mulai menyerah, tekad di dalam dirinya tetap kokoh. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu, dan ini adalah kesempatan terakhir untuk berbicara dengan Mawar. “Dek,” Bambang memanggil pelan, suaranya serak. “Kita harus bicara.” Mawar menggelengkan kepala. "Aku nggak mau dengar, Mas. Tolong jangan bicarakan hal itu lagi." Tapi Bambang tidak menyerah. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam jemari Mawar. "Sayang, tolong dengarkan Mas. Ini penting!" Mawar memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah lagi. "Mas, kenapa kamu memaksa aku untuk melakukan sesuatu yang begitu menyakitkan? Kita baru saja memperbaiki semuanya. Kita bar
Suasana rumah terasa sunyi malam itu, hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruang tamu. Mawar sedang tertidur di samping Bambang, menggenggam tangan suaminya yang semakin kurus. Wajah Bambang pucat, matanya redup, tapi pikirannya tak bisa tenang. Ia tahu waktunya tidak lama lagi. Dokter sudah memberitahu bahwa kondisinya semakin memburuk, dan operasi yang sebelumnya menjadi harapan kini tidak lagi mungkin dilakukan. Namun, bukan kematian yang membuatnya gelisah malam ini, melainkan Mawar. Ia tidak bisa membayangkan Mawar hidup sendirian setelah dirinya pergi. Dengan hati yang berat, Bambang memutuskan sesuatu. Ia harus menemukan Rendy. Rendy adalah mantan istrinya, seseorang yang pernah mengisi masa lalu Mawar sebelum mereka menikah. Bambang tahu betapa dalam hubungan Mawar dengan Rendy dulu. Meskipun Mawar tidak pernah menceritakannya secara rinci, Bambang bisa merasakan bahwa ada bagian dari hati istrinya yang pern
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments