LOGINBaju Yanti tergeletak di lantay. sentuhan dari tangan Rudi mulai lebih berani, mengarah kepadabagian - bagian sensitif yang seharusnya tidak boleh di jelajahi.tanpa melepas ciuman nya tangan Rudi mulai menyisir bagian demi bagian tubuh yanti mulai dari leher, turun dan semakin turun. lembutnya kulit yanti dan aroma tubuh Yanti membuat Rudi semakin ingin untuk mendapatkan semua dari yanti malam ini." wanita pintar tetap lah seperti itu dan mungkin kita bisa selesaikan masalah kita malam ini " rudi semakin menekan. yanti bisa merasakan nafas Rudi yang menyusuri tubuhnya dari telinga, leher dan sekarang mulai mengarah ke bagian yang lebih sensitip " aku harus bertahan, cuma sekali ini dan ini gak akan lama" yanti menutup matanya dan mulai meyakinkan dirinya sendiri>" waktu itu aku membuat bekas merah di area ini" ucap rudi sambil menyentuh area dada yannti di mana dia membuat bekas merah sebelumnya " kali ini aku akan buat lebih banyak dan lebih jelas" ucap rudi sambil mulai membenam
Malam merambat masuk ke kamar itu perlahan, seperti sesuatu yang disengaja.Lampu temaram tidak cukup terang untuk memberi rasa aman, tapi cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuh yang saling berhadapan.Yanti berdiri kaku di dekat ranjang tua itu.Udara terasa pengap.Setiap detik yang berlalu membuat dadanya semakin sesak.Rudi menutup pintu kamar dengan tenang.Terlalu tenang.“Kenapa kamu tegang sekali?” katanya, seolah-olah mereka hanya dua orang yang sedang bertemu tanpa beban.Padahal mereka berdua tahu—malam ini bukan soal pertemuan, tapi penyerahan.Yanti menelan ludah.Tangannya gemetar, tapi ia paksa suaranya tetap keluar.“Aku akan kasi apa yang kamu mau, tapi Setelah malam ini,” katanya, menatap lurus ke arah Rudi, “kamu berhenti. Kamu sudah dapat apa yang kamu mau. Aku gak mau kamu ganggu hidupku lagi. Suamiku. Orang-orang di sekitarku.”Rudi mendekat pelan.Langkahnya santai, tapi tatapannya tajam—seperti orang yang tahu lawannya tidak punya ruang untuk kabur.“Kamu lu
Langit sore itu tampak pucat, seperti warna wajah Yanti yang terpantul di kaca helmnya. Jalanan yang biasa ia lewati terasa berbeda hari ini—lebih panjang, lebih sunyi. Suara mesin motor yang ia kendarai seakan berdengung terlalu keras di telinganya, atau mungkin itu hanya detak jantungnya sendiri yang tak mau tenang.Ia menepikan motor sebentar di lampu merah. Lampu itu terasa terlalu lama menyala merah, seolah sengaja menahannya untuk berpikir ulang.Masih bisa balik, batinnya.Tinggal putar gas, pulang, pura-pura semua ini nggak pernah terjadi.Tapi lampu berubah hijau, dan Yanti tetap melaju.Tangannya gemetar saat merogoh saku jaket, merasakan ponseln
Rudi akhirnya pergi.Pintu tertutup, tapi udara di dalam rumah Yanti masih terasa berat. Seperti ada sisa tekanan yang tertinggal di dinding, di lantai, bahkan di dada mereka berdua.Eko berdiri mematung beberapa detik. Tangannya masih mengepal, rahangnya mengeras—bukan karena marah, tapi karena ada sesuatu di dalam dirinya yang belum sepenuhnya reda. Ia tidak merasa menang. Tidak juga merasa aman. Tapi satu hal membuat dadanya sedikit lebih ringan: Yanti tidak kenapa-kenapa.Tatapannya jatuh pada Yanti.Wajah itu pucat, napasnya belum sepenuhnya stabil. Rambutnya sedikit berantakan, matanya menyimpan terlalu banyak hal yang belum sempat keluar.Keheningan di antara mereka terasa canggung. Terlalu banyak yang baru saja terjadi, ter
Yang terjadi sebelumya, sebelum eko memutuskan untuk datang kerumah Yanti.Eko tidak berniat datang.Setidaknya itu yang ia ulang-ulang di kepalanya sejak pagi. Beberapa hari terakhir, wajah Yanti terus muncul tanpa diminta. Bukan wajah yang sama seperti sebelumnya—bukan senyum kecil yang sering ia lihat, bukan tatapan genit yang dulu sempat membuatnya lengah. Yang muncul justru wajah yang tampak menahan sesuatu. Terlalu banyak diam. Terlalu hati-hati.Padahal suaminya sudah pulang.Itu seharusnya cukup menjadi batas.Dan Eko tahu betul batas itu ada di mana.Ini bukan urusanku, katanya pada diri sendiri.Aku tidak boleh ikut terlalu jauh dalam urusan rumah tangga orang lain.Namun kalimat itu terdengar kosong. Terlalu rapi. Terlalu dipaksakan.malam itu, saat ia ke balkon kamarnya untuk merokok. dia melihat ke arah rumah Yanti . Dari sudut matanya, ia melihat seorang pria berhenti di depan rumah itu. Tubuh tinggi, bahu sedikit condong ke depan, gerakan yang tidak asing.Rudi.Eko tid
Ketukan itu terdengar sekali lagi. Lebih keras.Yanti membeku. Napasnya tertahan di tenggorokan, jantungnya seperti dipukul dari dalam.Rudi berhenti bergerak.Alisnya berkerut, rahangnya mengeras. Bukan takut—lebih ke kesal karena momen yang hampir ia kuasai tiba-tiba terpotong.“Siapa?” gumamnya lirih, tapi matanya masih menancap ke wajah Yanti.Yanti tidak menjawab. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena ketakutan, tapi karena tekanan yang menumpuk sejak hari-hari terakhir. Herman. Bekas merah. Pesan-pesan Rudi. Dan sekarang—ketukan itu.“Tenang,” Rudi berbisik sinis, mendekat ke telinga Yanti. “Kalau ini tetangga, aku bisa urus.”Ketukan kembali terdengar. Kali ini disertai suara.“Yan… ini aku.”Suara itu membuat Yanti hampir runtuh.Eko.Rudi langsung mundur satu langkah. Wajahnya berubah. Bukan panik—tapi waspada. Nama itu jelas bukan nama asing baginya.“Kamu undang dia?” tanya Rudi dingin.Yanti menggeleng cepat. “Aku nggak… aku nggak tahu dia bakal ke sini.”Rudi tert







