Home / Sci-Fi / Rahasia sang Pewaris Kembar / Taman dan Pohon Oak

Share

Taman dan Pohon Oak

last update Last Updated: 2023-01-06 21:28:39

Ban kursi roda terdengar berdesir-desir bergesekan dengan lantai. Dentingan pintu lift yang telah berulang kali didengarnya selama berpindah-pindah ruang pemeriksaan tak lagi mengusik perhatiannya kini. Senyuman wajib yang selalu disunggingkan para perawat pendampingnya itu juga tak pernah mampu memberi sedikit pun penghiburan baginya. 

Lorong demi lorong yang dilintasi, ruangan demi ruangan yang dimasuki. Kesemuanya tampak monoton di matanya. Namun dalam keheningannya, ia diam-diam memetakan lorong-lorong serta tempat yang menarik minatnya ke dalam benak –jalur menuju taman belakang termasuk salah satunya.  

"Sus Adams..." panggilnya pada perawat senior yang berada di balik punggungnya tersebut saat mereka beranjak meninggalkan ruang CT Scan. 

Tuntunan pada kursi rodanya sontak tersendat sesaat menyiratkan keterkejutan wanita tua itu. Tampaknya perawat tersebut tak menduga ia mengenali serta mengingat namanya dalam pertemuan mereka yang baru dalam hitungan jari. 

Samar-samar terdengar wanita tua tersebut berdeham halus menata nada suara sebelum kemudian terdengar menanggapi. 

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Anderson?”

“Kecelakaan apa?” ujarnya dengan suara pelan. Ia terjeda sesaat, membiarkan diri menyusun kata-kata agar dapat mengutarakan keingintahuannya dengan tepat. Dan sebagaimana dugaannya, lawan bicaranya itu segera mengungkapkan kebingungannya. 

“Maaf?”

Ia mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan kalimat yang lebih jelas. “Kecelakaan apa yang aku alami?”

Dengan cepat sang perawat memberi jawaban. “Berdasarkan info yang saya dengar Anda korban tabrak lari...” 

“Ah, berarti kecelakaan lalu lintas...” sahutnya menyimpulkan. Tanpa jeda, ia kembali melontarkan pertanyaan selanjutnya.   

“Apakah korban kecelakaan itu hanya aku?” 

Alih-alih menjawab dengan cepat seperti sebelumnya, kali ini perawat Adams terdengar hening. 

Hati kecilnya menggeliat semakin ingin tahu apakah keheningan sosok tersebut diakibatkan oleh ketidaktahuan atau oleh keraguan. 

Kala ia hendak menoleh mencari tahu, tubuhnya tercekat oleh rompi penyangga juga rasa sakit yang serta merta muncul. 

Ia hanya mampu bergeming pelan dan melempar sebuah kalimat singkat sebagai pendesak tanggapan sang perawat. 

“Sus?”

Sadar akan tanggapannya yang tengah dinantikan, wanita tua itu segera membuka mulut untuk menjawab. 

“Saya tidak tahu pasti. Dengar-dengar ada seorang lagi selain Anda saat kecelakaan terjadi. Tetapi korban tersebut tidak berhasil terselamatkan akibat pendarahan hebat yang dialaminya...”

Will terhenyak. Seolah tak pernah terpuaskan meski pertanyaan-pertanyaannya telah mendapatkan jawaban, kini beberapa pertanyaan-pertanyaan baru menyeruak begitu saja di dalam batinnya. Apakah ‘seorang lagi’ itu orang yang berarti bagiku? Apakah itu sebabnya tiada orang yang mendampingiku selama dirawat di sini? Siapakah ‘seorang lagi’ itu? Apa hubungannya denganku hingga mengalami kecelakaan bersama? 

Ia mengernyit berusaha membendung pertanyaan-pertanyaan untuk terus menerus bermunculan membanjiri benaknya. 

Rasa tak nyaman mulai bersarang di kepalanya saat ini menyiratkan padanya untuk berhenti. Dikepalnya kedua tangan erat di atas pangkuan menenggarai rasa tersebut. 

Ia mengenali lorong yang tengah mereka lintasi kini. Pada ujung lorong ini terdapat jalan menuju taman. Keinginannya untuk melihat dunia luar secara nyata seketika tak terbendung. Ditekankannya kedua tangan ke atas roda kursi, mencegat benda yang membawanya itu untuk tidak bergeming ke arah lain. 

“Tuan?” terdengar sang perawat mempertanyakan sikapnya tersebut.

“Dari sini aku bisa sendiri...”

“Maaf. Apa maksudnya, Tuan Anderson?” tanya perawat Adams masih tak menangkap maksud perkataannya.

“Aku akan melanjutkan perjalananku sendiri...” 

“Anda tidak bisa...”

Wanita tua itu menggeleng dengan suara yang sempat tercekat. Dan sesaat kemudian memutuskan melanjutkan ucapan dengan arah yang berbeda. 

“Apa Anda ada keperluan ke tempat lain, Tuan? Biar saya mengantarkan Anda ke sana...” 

Ia serta merta menghentikan niat untuk bersikerasnya. Ditunjuknya pintu kaca yang dipendari cahaya dunia luar itu. 

“Ke taman yang tampak dari jendela ruanganku. Aku butuh udara segar...” ujarnya datar.

“Baik. Saya bantu Anda ke sana...” sahut perawat Adams menyanggupi. 

Sang perawat menghentikan kursi rodanya beberapa langkah setelah melewati pintu, tepat di atas lapangan berumput seolah tengah menanti instruksi berikutnya. Namun ia tak ingin menjadi pasien yang penuh tuntutan. 

Sembari memicing menenggarai silaunya sinar mentari, ia mulai mengkayuh kursi roda tersebut. Dan dengan cepat perawat itu menyusulnya, kembali meraih pegangan kendali pada belakang kursi roda serta menuntunnya menyusuri taman. 

Ia terhenyak. Ditolehkannya kepala separuh jalan ke belakang dan kemudian mengutarakan keingintahuan spontannya. 

“Apakah semua pasien akan diperlakukan seperti ini?”

Lagi-lagi perawat Adams tampak terjeda sebelum memberi jawaban. “Seharusnya iya...”

Sekalipun hanya taman kecil yang berada di belakang sebuah bangunan rumah sakit, tampaknya para insan yang bernafas tak ingin melewatkan siang hari nan cerah itu begitu saja. Gelak tawa anak-anak yang bersenda gurau terdengar riang menggema. Beberapa pasien yang tampak duduk atau berlalu lalang bersama keluarga mereka juga tak ketinggalan untuk menikmati hangatnya mentari musim semi. 

Setelah kursi rodanya digiring lebih jauh ke sebelah kanan taman, sebuah pohon oak tua yang besar dan rindang menarik perhatiannya. 

Ia mengenali pohon itu. Selama beberapa hari ini pohon besar itu selalu menyita ruang pandangnya saat melihat keluar jendela ruang perawatan. Diarahkannya telunjuk ke arah pohon tersebut. “Tinggalkan aku di bawah pohon itu...” pintanya singkat. 

Perawat senior itu segera menuntun kursi roda ke tempat yang dimaksudnya tersebut serta menarik tungkai rem setelah memastikan berada di tempat rata. 

Ketika hendak beranjak meninggalkannya, perawat Adams menyempatkan diri menatap ke arahnya beberapa saat. Kemudian mulai bergegas dengan langkah perlahan. 

“Apakah pihak rumah sakit telah menghubungi keluargaku atau siapapun itu?” lontarnya mencegat langkah sang perawat seketika. 

Wanita tua itu membalikkan tubuh dan kembali menatap ke arahnya. 

“Seharusnya sudah, saat Anda sadar dari koma beberapa hari lalu...”

Ia hanya terdiam dengan tatapan yang masih lekat pada lawan bicaranya itu. 

Entah karena profesional atau memang mengungkapkan jawaban yang jujur, ia tak menangkap sirat keraguan dalam tatapan perawat Adams saat menanggapinya. 

Setelah beberapa saat saling terjeda, perawat tersebut mengangguk sembari menarik diri dari hadapannya. 

“Saya akan kembali sekitar 30 menit lagi, Tuan Anderson...”  

Sekonyong-konyong hendak menggelontorkan bau getir desinfektan dari jalan nafasnya, ia menghirup udara musim semi yang diwarnai aroma hijau rerumputan itu dalam-dalam. Sekonyong-konyong hendak melupakan sejenak kesendirian yang membaluti jiwanya, ia memutar tatapan berkeliling sejauh matanya mampu untuk mencari penghiburan imaji. Sekonyong-konyong hendak melunturkan kepenatan yang melekat pekat dalam batinnya selama terkungkung di dalam ruangan rumah sakit, ia membentangkan pandangan ke langit biru di atas kepalanya serta menikmati keteduhan sang pohon. 

Ia menghela nafas panjang dan mengernyit resah. Lagi-lagi aku merasakan hati yang demikian kosong, pikiran yang hampa. Entah sampai kapan aku harus begini. Ini lebih menyiksa dari rasa sakit yang nyata-nyata mendera tubuh. Aku ingin segera mengakhiri keadaan ini. Aku tak ingin terpuruk semakin dalam. Aku tak bisa berlama-lama seperti ini. Tapi apa yang harus kulakukan? Dari mana aku harus memulainya? Bahkan identitas diri pun tersapu bersih tak tersisa dalam benakku saat ini. Sekali lagi ia menghela nafas. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Aku adalah Wilbert?

    "Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Pengungkapan

    Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Keakraban dengan Dave

    Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Atas Dasar Apa Mempercayainya?

    Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Apa Sebenarnya Maumu?

    "Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Sapaan yang Tak Diharapkan

    Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status