Home / Sci-Fi / Rahasia sang Pewaris Kembar / Sahabat baru dan Sarang Robin

Share

Sahabat baru dan Sarang Robin

last update Last Updated: 2023-01-08 21:39:46

"Kakak mendengarnya juga ya?"

Teguran pelan dengan suara lembut mengalun tersebut sontak membuatnya tertegun. Ditolehkannya kepala ke samping kiri. 

Seorang gadis kecil berambut ikal pirang –yang keberadaannya sedari tadi tak disadarinya itu tampak tengah tersenyum padanya. 

Ia membalas dengan senyuman kikuk. Dan dengan cepat ia mengenali gadis yang juga duduk di atas kursi roda tersebut. Gadis itu adalah gadis kecil yang sering dilihatnya berada seorang diri di bawah pohon tiap kali memandang keluar jendela ruangannya.

"Kakak sudah menemukan sarangnya?" 

Gadis itu terdengar kembali melontarkan teguran padanya. 

Ia terhenyak. Dilayangkannya tatapan tak paham ke arah anak perempuan tersebut seolah meminta penjelasan dari bibir pucat nan mungil itu.

Gadis kecil tersebut tersenyum sembari mengkayuh kursi roda mendekat dan kemudian menyodorkan tangan ke arahnya. 

"Aku Fransisca. Salam kenal, Kak..."

Ia terkesiap. Sesaat rasa canggung menyergapnya. Dengan nama apa aku memperkenalkan diriku sendiri? Wilbert? Entah mengapa nama itu seakan tak menemukan tempat yang mengena di lubuk hatiku hingga menimbulkan keengganan untuk menyebutkannya sebagai namaku. 

Menyadari tatapan gadis kecil di sampingnya yang tengah menanti tanggapan itu, dengan cepat ia memutuskan. Disunggingkannya senyum simpul sepenuh hati dan menjawab salam perkenalan gadis kecil bernama Fransisca tersebut. 

"Panggil saja aku Will..."

Ia kembali menengadah, melihat perlahan menyusuri dahan demi dahan juga ranting demi ranting dari pohon oak nan rindang yang berada tepat di atas kepalanya itu. "Sarang?" gumamnya pelan dengan dahi mengernyit. Matanya masih terus mencari.

"Iya. Sarang burung robin. Bukankah kakak menengadah karena mendengar kicauannya hingga membuat kakak penasaran akan sumber suaranya?" sahut Fransisca mengutarakan dugaan. 

Ia hanya mengerjap tanpa kata-kata. Ternyata gadis ini mengamati gerak-geriknya sedari tadi. Tak ingin mengusik dugaan polos Fransisca, ia hanya tersenyum tipis. Namun seakan tak menyerah menyamakan ketertarikan di antara mereka, gadis itu menggenggam telunjuk Will dan mengarahkannya ke bagian tengah atas pohon. 

Seketika jemari-jemari mungil sedingin es itu sempat membuatnya terkesiap. Ia nyaris menarik tangannya keluar dari genggaman Fransisca kala terdengar gadis tersebut berseru penuh semangat padanya, menggiring perhatiannya ke ujung telunjuknya mengarah.

"Lihat? Itu disana!"

Kini kedua matanya telah menemukan sebuah sarang burung yang dibicarakan sobat kecilnya itu. Sebuah sarang burung robin yang dipenuhi penghuni-penghuni mungil tampak bertengger pada antara rerantingan pohon oak tepat beberapa meter di atas tempatnya berteduh. Dan di saat itu pula ia menyadari kicauan riuh burung-burung mungil yang sedari tadi mengitarinya tersebut. Sepertinya kesibukannya pada kekosongan diri sempat menumpulkan kepekaannya terhadap sekelilingnya. Sembari mengangguk menanggapi, ia tersenyum ke arah gadis di sampingnya itu. 

“Terima kasih...”

Ia menatap menelisik pada Fransisca sembari diam-diam mengusap tangannya yang baru saja keluar dari genggaman gadis itu. Rasa dingin dari jemari mungil itu yang sempat menjalar di tangannya sesaat tadi sekonyong-konyong masih melekat. Menduga dari perawakannya usia anak perempuan itu sekitar 10 tahunan. Apakah dia mengidap penyakit berat? Mengapa gadis ini masih mampu tersenyum dalam penderitaan yang dijalaninya? 

"Jadi kamu setiap hari duduk di bawah pohon untuk melihat burung-burung itu?" ucapnya memulai pembicaraan pada Fransisca. 

Gadis tersebut mengangguk membenarkan. "Iya. Aku selalu melihatnya. Aku melihat burung-burung itu dari sejak mereka baru menetas dari telur hingga kini mereka bisa terbang,” tutur gadis itu panjang lebar ditenggarai wajah sumringahnya. Kemudian Fransisca melekatkan telunjuk ke depan bibir dan mencondongkan tubuh ke arahnya. “Ini rahasia ya. Sebenarnya diam-diam aku berdoa bisa menjadi salah satu dari mereka. Bisa terbang ke sana kemari. Dan tidak sakit lagi..." gumam gadis itu menyeringai berusaha menyembunyikan kemurungan.

Ia terperanjat dengan ucapan terakhir Fransisca barusan. Dengan membungkam bibir, ia menarik nafas dalam dan membiarkan diri terjeda sesaat sebelum kemudian menolehkan pandangan pada gadis di sampingnya itu. 

"Apa kamu mau menceritakan pada kakak tentang sakitmu, Fransisca?" tanyanya dengan nada hati-hati. Setelahnya ia memberi waktu pada sobatnya tersebut untuk memutuskan. 

Gadis itu tersenyum kecut lalu menunduk. "Katanya jantungku bocor. Sejak kecil aku berada lebih lama di rumah sakit ini daripada di rumah...” Fransisca menoleh seolah sengaja mempertemukan tatapan dengannya. “...Tapi om dokter berjanji setelah menjalani operasi nanti aku bisa sembuh..."

Sekilas pandang, ia menangkap harapan yang meluap dalam tatapan juga raut wajah gadis tersebut. Tergetar oleh optimisme sobat kecil barunya itu, ia berusaha merekahkan senyum terbaiknya ke arah Fransisca. Seolah hendak berbagi sisa ketegaran yang dimilikinya, ia menepuk pelan tangan gadis kecil itu. 

"Ya. Kakak yakin kamu pasti bisa sembuh. Kakak percaya itu..." ujarnya melontarkan kalimat penyemangat sederhana yang melintas di benaknya. 

Fransisca terdengar bergumam pelan menanggapi.

Ia seketika kehilangan niat untuk berbincang kala menyadari kehadiran perawat Adams di dekatnya. Bagai seorang anak kecil yang diingatkan akan waktu bermainnya telah usai, perasaan gusar serta merta menghampirinya. 

Karenanya, sekalipun wanita tua itu tersenyum ke arahnya ia hanya hening. 

“Tuan Anderson, apakah Anda menikmati waktu Anda?” 

Kemudian sembari bergumam tak jelas, ia melirik ke samping –pada Fransisca. Gadis itu ternyata bernasib serupa dengannya. Seorang perawat lainnya tampak mulai menggiring kursi roda sang gadis kecil tersebut menjauh. 

Sebelum semakin jauh, Fransisca menyempatkan diri menangkupkan tangan di samping bibir dan berpesan. 

“Besok di sini dan di waktu yang sama aku tunggu di sini, Kak Will...”

Ia mengangguk sembari mengacungkan jempol mengisyaratkan persetujuan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Aku adalah Wilbert?

    "Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Pengungkapan

    Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Keakraban dengan Dave

    Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Atas Dasar Apa Mempercayainya?

    Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Apa Sebenarnya Maumu?

    "Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama

  • Rahasia sang Pewaris Kembar   Sapaan yang Tak Diharapkan

    Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status