Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Uap panas tampak mengepul-ngepul di atas secangkir kopi yang baru saja tiba ke atas meja. Ia menarik nafas sambil sesekali menolehkan pandangan keluar jendela kafe menatap ke arah keramaian lalu lintas di sore hari itu. Sebelum kemudian memutuskan menegur Ann yang sedari tadi hanya duduk diam seribu bahasa di hadapannya tersebut. Seolah berusaha menelan seluruh keresahannya sendiri, di matanya wanita itu tampak sangat gusar saat ini. Bahkan tangan yang menyuapkan sup ke bibir merah muda wanita tersebut pun tampak bergetar mengatasi rasa yang tengah disamarkan sosok di hadapannya itu. "Ada apa, Ann? Apakah hari ini rasa supnya berbeda dari biasanya?" ujarnya mencoba memulai pembicaraan dengan gurauan ringan. Meski Ann tampak sempat tertegun namun tetap saja bibir wanita itu masih mengatup rapat. Alih-alih menanggapi dengan jawaban, Ann meletakkan sendok sup yang ada di tangan serta menjauhkan tatapan. Will terhenyak. Entah mengapa diam-diam hati kecilnya merasa ada hal yang sungg
Dengingan yang terdengar lirih mengusik ruang dengarnya. Suara yang melengking seiring irama nafasnya itu sungguh memekakkan telinga. Perlahan dibukanya mata yang terasa berat itu. Bersitan cahaya lampu nan benderang menyergap matanya segera. Ia mengernyit dan memicing silau, berusaha secepat mungkin membiasakan pandangannya dengan cahaya tersebut. Dilayangkannya pandangan berkeliling. Dimana ini? Perlahan satu demi satu keingintahuan mulai bermunculan di dasar batinnya. Ia bergeming mengingsut masih dengan mata yang terus menyisir ruangan. Dan meringis miris disambut oleh rasa nyeri. Ini rumah sakit? Mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi denganku? Direndahkannya pandangan memeriksa diri sendiri. Dan terhenyak kala menemukan sekujur tubuhnya yang tengah dilekati berjenis peralatan bantu medis. Perlahan ia menggerakkan kedua tangan ke atas kepala. Memeriksa kepala serta wajahnya lewat usapan. Ia menemukan kepalanya tengah terbalut perban dan dilekati semacam alat pend
Sekonyong-konyong hendak memberi penghiburan, kedua perawat tersebut bergantian menyunggingkan senyuman kilas mereka padanya di sepanjang perjalanan menuju ruang perawatan. Namun ia tak memberi tanggapan apapun. Hati kecilnya menyadari jawaban apapun tidak akan mampu menghiburnya saat ini hingga ia tak berkeinginan untuk menanyakan apapun. Dilayangkannya pandangan menyusuri sepanjang selasar lorong, menatap ke arah pintu demi pintu yang dilewati dengan tatapan tanpa hasrat. Sesaat sempat berkelebat keinginan memutar otak untuk mencoba kembali menggali ke dalam ruang ingatnya, namun seketika ia mengurungkannya. Entah dikarenakan tengah kehilangan daya pada tubuhnya atau memudarnya hasrat pada batinnya. Ia masih tetap diam nir tanggapan saat digiring memasuki sebuah ruangan yang lebih private dengan jendela pada salah satu sisinya. Ruangan tersebut juga tampak lebih sederhana tanpa kehadiran peralatan-peralatan medis yang kompleks nan riuh sebagaimana tempat ia dirawat sebelumnya. Da
Ban kursi roda terdengar berdesir-desir bergesekan dengan lantai. Dentingan pintu lift yang telah berulang kali didengarnya selama berpindah-pindah ruang pemeriksaan tak lagi mengusik perhatiannya kini. Senyuman wajib yang selalu disunggingkan para perawat pendampingnya itu juga tak pernah mampu memberi sedikit pun penghiburan baginya. Lorong demi lorong yang dilintasi, ruangan demi ruangan yang dimasuki. Kesemuanya tampak monoton di matanya. Namun dalam keheningannya, ia diam-diam memetakan lorong-lorong serta tempat yang menarik minatnya ke dalam benak –jalur menuju taman belakang termasuk salah satunya. "Sus Adams..." panggilnya pada perawat senior yang berada di balik punggungnya tersebut saat mereka beranjak meninggalkan ruang CT Scan. Tuntunan pada kursi rodanya sontak tersendat sesaat menyiratkan keterkejutan wanita tua itu. Tampaknya perawat tersebut tak menduga ia mengenali serta mengingat namanya dalam pertemuan mereka yang baru dalam hitungan jari. Samar-samar terdenga
"Kakak mendengarnya juga ya?"Teguran pelan dengan suara lembut mengalun tersebut sontak membuatnya tertegun. Ditolehkannya kepala ke samping kiri. Seorang gadis kecil berambut ikal pirang –yang keberadaannya sedari tadi tak disadarinya itu tampak tengah tersenyum padanya. Ia membalas dengan senyuman kikuk. Dan dengan cepat ia mengenali gadis yang juga duduk di atas kursi roda tersebut. Gadis itu adalah gadis kecil yang sering dilihatnya berada seorang diri di bawah pohon tiap kali memandang keluar jendela ruangannya."Kakak sudah menemukan sarangnya?" Gadis itu terdengar kembali melontarkan teguran padanya. Ia terhenyak. Dilayangkannya tatapan tak paham ke arah anak perempuan tersebut seolah meminta penjelasan dari bibir pucat nan mungil itu.Gadis kecil tersebut tersenyum sembari mengkayuh kursi roda mendekat dan kemudian menyodorkan tangan ke arahnya. "Aku Fransisca. Salam kenal, Kak..."Ia terkesiap. Sesaat rasa canggung menyergapnya. Dengan nama apa aku memperkenalkan diriku