Season III“Menunggu itu membosankan, kau tau?” ujar Wanda, setelah beberapa hari mengintai dirumah Axel.“Ya. Aku tahu. Aku pikir makan donat sambil mengintai adalah hal yang menyenangkan, tapi nyatanya tidak,” Bree melempar donat yang dia sudah gigit.Wanda mendelik ke arah Bree, “Dasar jorok!” tudingnya.Namun, Bree tidak menjawab apa pun, dia hanya menghela napas. Lalu tersenyum jail ke arah Wanda.Dihari keberapa, Wanda dan Bree tidak menghitungnya, mata Bree lalu melihat ada pergerakan dari dalam rumah.“Nah, apa itu?” mata Bree memelotot.Mobil putih melintas, melewati mobil mereka.“Itu mobil biasanya untuk pesuruh di rumah ini. Pasti itu dia,” kata Bree—langsung menoleh ke arah Wanda, “Cepat nyalakan mesin mobil, kita akan ikuti dia!”***Beberapa jam menunggu, Bree dan Wanda tidak berai mengintai terlalu dekat. Jadi ketika mobil itu masuk ke dalam rumah berpagar besi tinggi, mereka berhenti dekat pagar itu.“Aku tidak menyangka kalau mereka membeli rumah di sini,” ujar Bree.
Season III“Kita berpisah di sini saja,” ujar Bree ketika Wanda menepikan mobilnya di stasiun kereta api.“Kau mau ke mana?” tanya Wanda dingin.“Ke mana saja, aku tidak peduli. Ke mana pun kakiku melangkah.”“Baik. Tapi ingat, kau masih punya pekerjaan. Aku akan menghubungimu melalui nomor sekali pakai.”Dahi Bree mengerut, “Apalagi yang harus aku kerjakan?”“Memastikan kalau perempuan-perempuan itu mati. Aku tidak ingin kasus Lily terulang lagi. Pastikan mereka mati.”Bree membanting pintu mobil, dan berlari ke arah stasiun. Dia harus mengejar kereta yang akan datang lima menit lagi.Permintaan Wanda mengiang-ngiang dalam pikiran Bree. Dia berhasil naik kereta, tapi entah mau ke mana. Pindah kota atau bahkan pindah negara. Yang jelas, jauh dari kota dan negara ini.***Dor!Entah berapa kali suara tembakan itu terdengar memekakkan telinga.Steve yang selalu berjaga di basemen langsung berlari ke asal suara. Eric yang ada di lokasi siap siaga mencari siapa yang melepaskan tembakan.T
Season IIIBeberapa hari kemudian, Bree dan Wanda ditangkap. Penangkapan mereka sedikit banyak karena informasi yang diberikan Nyonya Margot.“Jadi, kapan mereka disidang?” tanya Nyonya Margot kepada Meredith yang ada di ruang kerja.“Belum ada informasi, Nyonya,” jawab Meredith. Sambil menyodorkan beberapa dokumen untuk ditandatangan.Nyonya Margot menatap Meredith, “Apa kau bisa cari tahu siapa jaksa penuntut dan hakimnya? Aku ingin bicara kepada mereka.” Nada suara Nyonya Margot dingin dan datar.Meredith tahu sekali kalau atasannya sudah berkata seperti ini, berarti ada niat yang lain dalam hatinya.“Baik, Nyonya,” jawab Meredith sambil menunduk. “Saya permisi dulu.”Nyonya Margot hanya mengangguk satu kali. Wajahnya terlihat kaku dan tegang. Jadi, Meredith tidak mau menganggu lagi, dan bertanya.Meredith dengan cepat menjalankan apa yang Nyonya Margot minta, yaitu, mencari tahu siapa hakim dan jaksa penuntut yang akan menyidang Wanda dan Bree.“Jadi begitu?” Meredith mulai melaku
Season IIINyonya Margot merasa ada yang tidak beres. Tidak biasa-biasanya Meredith seperti ini. Wanita itu berjalan ke kamar Meredith—yang katanya sedang berbaring. “Biasanya tidak dikunci,” katanya pelan sambil mendorong pintu kamar. Meredith ada di ranjang, matanya terpejam, Nyonya Margot masuk begitu saja.“Mer,” panggil Nyonya Margot pelan, sambil mendekat ke arah ranjang. Ada beberapa barang berserak dekat Meredith berbaring. Ponsel, beberapa butir pil dan … alat praktis tes kehamilan. Yang terakhir kali dilihat membuat Nyona Margot membeliak.Apa mungkin asistennya saat ini sedang mengandung?“Mer?” Nyonya Margot makin gelisah, bagaimana kalau nanti Meredith tidak bisa bekerja untuknya lagi?“Mer? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lalu duduk di tepian ranjang. Tangannya terulur mengguncang pelan tangan Meredith. “Mer?” panggilnya sekali lagi. Suara Nyonya Margot pelan, namun bisa membuat siapa saja merinding mendengarnya. Atau langsung terpaku mendengar suaranya.“Nyonya?”
“Aku akan membayarmu dua juta dollar, aku pikir itu cukup untuk gadis sepertimu,” kata lelaki itu. “Jadilah ibu pengganti, agar aku punya anak penerus kebun anggur ini.” Sebagai pelayan baru di rumah Mrs. Margot, Lily tentu saja terkejut mendengar perkataan majikannya. Matanya membesar, lidah dan tubuhnya beku. Dua juta dollar bukan uang yang sedikit. Ruangan kerja Mr. Margot seketika menjadi tegang. Apa yang dikatakan oleh Axel Margot membuat Lily gemetar seketika. “Apa uang sebanyak itu masih kurang buatmu? Katakan berapa harga yang harus aku bayarkan!” Mata Axel seperti memindai tubuh Lily dari atas ke bawah, terlihat biasa saja. Lagian dia hanya seorang pelayan di rumah ini. Dia harusnya bersyukur jika bisa Axel menyentuhnya, meski hanya untuk punya anak, Axel mendengkus kasar.Sementara Lily memicingkan matanya penuh emosi. Teko teh yang sedang dia pegang untungnya tidak jatuh. “Apakah anda pikir saya adalah gadis murahan? Yang bisa dibayar untuk punya keturunan dari Anda?”
Axel diam-diam mengikuti Lily sampai apartemen tempat gadis itu tinggal. Axel yang selalu hidup dalam kemewahan menilai, apartemen tempat Lily tinggal kumuh, tidak teratur dan padat penghuni. Lagi pula, gedungnya kecil, catnya kusam. Membuat napas Axel sedikit sesak ketika masuk ke gedung apartemen itu. “Bagaimana mungkin ada manusia yang tinggal di sini?” gerutu Axel dengan sombong. Matanya terus mengikuti gerakan Lily yang naik ke lantai tiga. Dia menjaga jarak, agar Lily tidak tahu kalau sedang diikuti. “Mana tidak ada lift,” keluhnya lagi. Tujuan Axel mengikuti Lily sebenarnya ingin membuktikan kalau Lily adalah gadis yang buruk. Mungkin saja dia tinggal bersama seorang lelaki, dan berbuat zina setiap hari. Axel sudah menyiapkan kamera untuk memotret kehidupan Lily dari jauh. Dia cukup tersenyum ketika ada dua pria yang menghampiri Lily. “Itu dia,” katanya tersenyum menang. “Apa kubilang, dia bukan gadis baik-baik seperti dugaan mama.” Axel mulai mengarahkan kameranya ke Lily d
Axel tidak bisa memilih kepada siapa dia berpihak, ibu atau istrinya. Satu sisi ibunya banyak membiayai hidupnya, apalagi ketika baru menikah. Sebut saja, apartemen mewah, mobil, dan juga kartu kredit yang tidak ada batasnya. Kedudukan yang mumpuni di perusahaan distributor anggur dengan gaji yang tinggi juga. Axel sudah mengatur makan malam di apartemen untuk wedding anniversarynya malam ini. “Kamu di mana?” tanya Axel kepada Bree di sambungan telepon. “Kamu tidak lupa, kan? Ini hari jadi kita,” lelaki itu menelepon saat semua hal yang menjadi bahan kejutannya sudah siap. “Tentu saja aku ingat. Aku hanya mempersiapkan diri untuk makan malam,” jawabnya dengan centil. “Baiklah, aku tunggu kau.” Axel lantas memutus sambungan telepon. Axel malam ini memanggil chef idola Bree dari restoran favoritnya. Ada beberapa orang membantu Axel untuk membuat kejutan ini. Hal makan malam ini harusnya membuat Axel gembira dan antusias. Namun, permintaan mamanya membuat Axel murung.Para pelayan y
Axel bangkit dari duduknya, bertolak pinggang kebingungan tidak menatap Bree. Setelah dia merasa cukup tenang, pandangannya kembali ke arah Bree. “Mama meminta seseorang untuk menjadi ibu pengganti. Aku tidak akan sanggup kalau menikahi perempuan lain. Mama menyarankan teknologi bayi tabung. Aku tidak akan menyentuhnya.” “Tapi, Axe ...” Bree menghampiri Axel, berharap dengan menggodanya akan membuat mama Axel mengubah keputusannya. Dan Axel tampaknya sudah tahu gerak gerik Bree. Dia menolak godaan Bree. Membuat wanita itu membeliak. Begitu dahsyat pengaruh mamanya terhadap Axel. Dan Bree makin murka. “Bree, kau tahu, kan mamaku seperti apa?” Axel menatap Bree dengan raut wajah yang tegang. Bree ikutan terdiam, lalu menebak. “Kita tidak mungkin menolak semua perintahnya?” Axel mengangguk dengan mantap. “Atau kita semua akan kehilangan semua kemewahan ini.” Bree makin tidak bisa berkata-kata, semua yang tadi dia alami, kebahagiaannya menjadi istri Axel selama lima tahun sirna da