LOGINTampak wanita paruh baya yang penampilannya 10 tahun lebih muda dari umurnya yang sebenarnya. Dia berjalan tenang, penuh percaya diri dan elegan ke arah ruang tamu. Ditambah aura arogannya begitu tak terbantahkan.
Tubuhnya masih kencang, dadanya besar dan proporsional seperti wanita yang tahu betul cara merawat diri. Mendengar apa yang barusan wanita itu katakan, mulut Davina sudah akan terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu sebelum kemudian terkatup rapat lagi. Sebenarnya, ia ingin membenarkan apa yang barusan Ibu tirinya itu katakan. Ya, wanita itu adalah istri kedua sang Ayah yang dinikahinya setelah Ibu kandungnya meninggal. Sebabnya hubungan keduanya yang tidak baik, membuat Davina mengurungkan niatnya. Sampai kapan pun ia tak akan pernah sependapat dengan Ibu tirinya! Dengan tangan terlipat di depan dada, wanita itu memandang Topan dengan tatapan merendahkan. "Pria ini sepertinya tak sehebat yang kamu ceritakan itu, sayang. Terlihat biasa, bahkan kampungan!" Gunawan mendengus. "Jangan asal bicara kamu, Indira!" seru Gunawan dengan gigi gemeretak. "Topan adalah orang hebat!" Kemudian, Gunawan beralih menghadap Topan kembali. "Perkenalkan. Dia istriku, Nak Topan. Calon Ibu mertuamu," Gunawan berkata dengan suara melembut sedikit. Davina, dengan wajah masam menyeletuk. "Lebih tepatnya istri kedua, Ayah. Ibu tiriku!" Gunawan menghela napas panjang, berusaha mengontrol emosinya. "Tidak bisakah kamu bersikap lembut kepada Ibumu, Davina?!" Akan tetapi, Davina hanya melengos tanpa mengatakan apa-apa. Sementara itu, Topan telah menyadari situasinya. Davina tidak menyukai Ibu tirinya! Indira mencoba membantah. "Tapi, sayang–" Namun, kalimat Indira tak sampai selesai ketika Gunawan langsung memotong perkataannya. "Keputusanku sudah bulat! Tak ada satu pun diantara kalian yang bisa mengubah keputusanku. Termasuk kamu Indira. Aku akan tetap menikahkan Davina dengan Topan, aku mempercayai Tuan Besar Armand lebih dari apa pun!" Tanpa memedulikan sang istri yang masih ingin protes, Gunawan beralih menatap Topan dan Davina secara bergantian. "Kalian berdua, pergi lah sekarang. Tak usah hiraukan Ibu kalian!" Topan dan Davina pun menurut dan melangkah keluar. Seraya berjalan ke arah mobil, Topan berujar, "Sepertinya kita memang berjodoh, Nona. Ditakdirkan bersama. Buktinya, kita bertemu lagi." Davina mendelik. Lalu, ia menunjuk Topan dan berkata, "Jangan harap aku akan mencintaimu, Topan! Aku menerima perjodohan ini karena terpaksa!" Namun, Topan sama sekali tidak mempedulikannya. Sesaat ia berpikir sebelum kemudian berkata, "Itu malah bagus!" Mendengar hal tersebut, Davina menautkan alis. "Kenapa malah bagus?" "Karena menjadi tantangan bagiku untuk dapat menaklukan hati calon istriku." Senyum jahil tersungging di bibirnya. Topan lanjut berkata, "Apalagi, kita telah berkenalan di ranjang sebelumnya. Pasti, kejadian tadi malam tak akan hilang dari ingatanmu begitu saja, bukan?" "Kamu...!" ucap Davina geram. "Itu juga karena terpaksa! Mendesak! Kalau tidak, mana mungkin aku mau. Dan perlu kau tau, Topan, kalau kejadian tadi malam itu sudah kulupakan. Tak meninggalkan kesan berarti bagiku!" Tapi, wajah Davina sedikit bersemu merah saat mengatakan hal itu. Tidak mau mendapat amukan dari tunangannya, Topan langsung bergegas dan lalu membukakan pintu mobil. "Silahkan masuk calon istriku," ucap Topan dengan suara menggoda. Davina mendesis, dengan tatapan jijik. Ternyata pria itu jauh lebih mengesalkan dari yang ia kira! Tanpa menjawab sepatah kata pun, Davina masuk ke dalam mobil. Lalu, Topan masuk setelahnya. Ia yang akan menyetir. Dalam perjalanan, keduanya sibuk dengan diri masing-masing. Davina tak sudi mengobrol seperti saran dari Ayahnya. Tak membutuhkan waktu lama untuk keduanya sampai di kantor sipil. Begitu prosedur akta nikah selesai, keduanya beranjak pulang. Namun, di tengah perjalanan, Topan merasa mobilnya diikuti. Topan pun segera berbelok, lewat jalan pintas, untuk mengetes apakah mobilnya benar-benar sedang diikuti atau tidak. Ternyata mobil itu ikutan berbelolak, sesekali akan memelankan lajunya. Topan, dengan menghela napas berucap, "Kita sedang diikuti, Nona." Davina mengerjap, buru-buru menoleh ke belakang. "Benarkah?" "Lalu, bagaimana ini?" tanya Davina panik. Topan mengangkat bahu, ekspresinya begitu tenang. "Tidak bagaimana-mana." Respon yang ditunjukan Topan membuat Davina mendecak. "Kau masih bisa bersikap santai dan tenang seperti ini? Kita dalam bahaya, Topan!" Topan tersenyum. "Aku adalah tunanganmu, Nona. Calon suamimu. Tentu, aku akan melindungimu." Mendengar hal tersebut, Davina mengerutkan kening. Lalu, dengan tangan terlipat di depan dada ia berkata, "Tapi kenapa aku tak yakin kalau kamu bisa melindungiku?" Tiba-tiba... Citt!!! Topan mengerem mendadak. Sontak, Topan dan Davina tersentak ke depan. "Sudah gila kau–" "Ada mobil menghadang kita di depan, Nona!" potong Topan menyela perkataan Davina. Mobil yang mengikuti keduanya di belakang juga ikutan berhenti. Davina segera mengalihkan pandangan ke depan. Jarak mobilnya dengan mobil itu kira-kira sekitar dua meter. Lalu, tiga orang turun dari mobil itu. Salah satu diantara mereka langsung membukakan pintu dan seseorang berjas rapi turun dari mobil. Seketika Davina terhenyak kala mengenali sosok pria itu! "Itu Elias!" seru Davina seraya menunjuk ke arah pria yang dimaksud. "Investor yang aku temui tadi malam di bar dan yang memasukan obat perangsang ke dalam minumanku dan hendak memperkosaku!" Seketika pandangan Topan mengikuti ke arah jari telunjuk Davina. Detik berikutnya, wajah Topan berubah. Tentu saja ia marah sekaligus tidak terima! Selagi keduanya terdiam kaget di dalam mobil, dua orang bertampang preman yang turun dari mobil di belakangnya menghampiri mobil mereka. Di saat bersamaan, pria bernama Elias juga melakukan hal yang sama bersama ketiga anak buahnya. "Keluar kalian!" titah salah satu dari mereka seraya mengetuk kaca mobil. Dengan geram, Topan keluar diikuti Davina yang panik. Begitu melihat sosok Davina, Elias segera menghampiri dengan seringaian lebar menghiasi wajahnya. "Nona Davina begitu tidak sopan! Main pergi saja tadi malam. Padahal, saya belum tanda tangan–" "Tidak perlu! Perusahaan kami tak membutuhkan investor mesum seperti anda!" ujar Davina dengan gigi gemeretak. "Bagaimana mungkin saya tidak kabur? Anda mencoba memperkosa saya, Pak Elias!" Mendapati sikap Davina seperti itu, Elias mendesis dan berkata, "Bukankah hal itu wajar terjadi pada dirimu, Nona?" Selagi wajah Davina mengernyit mendengar kata-kata pria itu, Elias menyentuh dagu Davina. Di saat yang sama, matanya liar mengamati belahan dada wanita itu yang begitu ia dambakan. Tiba-tiba, tangan Elias digenggam erat oleh Topan. "Berani kau menyentuhnya! Aku akan mematahkan tanganmu!"Setelah makan siang, Armand Prakoso bangkit dari duduknya dan menepuk bahu Topan pelan. "Temani aku ngobrol sebentar," ujarnya tenang namun tegas. Usai berkata demikian, Armand melangkahkan kakinya lebih dulu. Tanpa banyak bicara, Topan mengikuti ayah angkatnya menuju ruang kerja setelah ijin kepada Davina lebih dulu, sebuah ruangan bergaya klasik dengan rak buku menjulang, aroma tembakau lembut dan foto-foto lama terpajang di dinding. Begitu pintu tertutup, suasana berubah menjadi lebih berat, hening dan penuh makna. Armand duduk di kursi kulit besar di balik meja kayu hitamnya, sementara Topan berdiri tegak di seberang, menatap pria yang telah membentuknya menjadi seperti sekarang. Beberapa saat hanya diisi suara jam antik yang berdetak pelan. Hingga akhirnya Armand bersuara, suaranya dalam dan tenang, tapi penuh sorotan tajam. "Jadi, bagaimana dengan misi balas dendammu, Topan? Kau telah menghancurkan keluarga Maheswara? Tanpa ada yang tersisa sedikit pun?" Topan terdiam
Topan tersenyum tipis, lalu membungkuk hormat. "Ayah…" "Tu-tuan Armand Prakoso…" ucap Davina berbisik tanpa sadar menambahi sang suami. Di saat yang sama, tubuhnya membeku. Melihat kedatangan mereka berdua, Armand langsung tersenyum lebar. Di saat yang sama, wajahnya mendadak berbinar-binar. Armand, dengan menghembuskan napas berat berkata, "Lama sekali kau pulang, Topan." Sebenarnya, Armand langsung ingin menyinggung soal misi balas dendam. Tapi mengingat ada wanita bersama anak angkatnya, yang ia sudah tahu siapa dia, membuatnya mengurungkan niat. Ia akan bicara nanti, empat mata dengan Topan! "Baru sempat Ayah," balas Topan pendek. Di titik ini, Armand mengalihkan pandangan ke arah wanita tersebut selagi memicingkan pandangan. "Jadi ini wanita yang bisa menjinakkan sang raja gangster Valdoria,” ucapnya dengan suara berat namun berkarisma. Kemudian, ia memandangi penampilan Davina dari atas sampai bawah. "Ah, memang benar. Gunawan memiliki putri yang sangat cantik. Sayang sek
"Sayang," ujar Topan tanpa menoleh ke arah Davina, masih menatap ke arah makam di hadapannya. "Ada seseorang yang sangat berjasa dan berarti yang ingin aku pertemukan denganmu setelah dari sini." Seketika Davina menarik kepala dari bahu sang suami. Davina, dengan kening berkerut berucap, "Seseorang yang sangat berjasa dan berarti bagimu?" Topan baru menoleh menatap istrinya, lalu mengangguk pelan. "Entah kamu sudah bertemu dengannya atau belum. Apakah Ayahmu sudah pernah mengenalkannya padamu? Orang ini adalah yang menyelamatkanku waktu aku hampir mati, sayang. Tanpa dia, aku tidak bisa seperti sekarang ini." Davina terhenyak begitu mendengarnya, mendadak ia teringat dengan cerita masa lalu sang suami. Setelah terdiam sesaat, Davina kembali menatap Topan lekat-lekat, hatinya mulai berdebar. "Maksudmu, Ayah angkatmu? Tuan Armand Prakoso? Yang dulu adalah ketua organisasi mafia Naga Sakti?" tanya Davina hendak memastikan. Topan tersenyum samar dan mengangguk. "Benar sekali." Seke
Topan mematung sesaat di muka pintu tatkala melihat Davina tertidur dengan posisi terduduk di sofa. Setelah dari makam keluarganya, memastikan sekali lagi tidak ada masalah terhadap sisa-sisa misi balas dendamnya, Topan pulang. Pulang ke rumah yang sebenarnya... Davina! Sebelumnya, ia sempat mengecek ponsel, mendapatkan beberapa pesan masuk dari istrinya ; menanyakan kapan ia pulang, apakah sudah selesai dan apakah ia baik-baik saja. Tapi Topan hanya membalas singkat, jika ia akan segera pulang jika urusannya sudah selesai. Topan bukan pergi tanpa pamit, Davina mengetahui apa yang akan ia lakukan. Bahkan, ia jujur jika akan membalaskan dendamnya. Topan, dengan menghela napas bergumam, "Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu sampai ketiduran, sayang." Tidak ada aura menyeramkan sekaligus menakutkan yang terpancar dari diri sang raja gangster Valdoria, yang ada hanya aura suami lembut tapi tegas dan penyayang. Kemudian, Topan membawa langkahnya ke arah sang istri. Begitu tib
Ballroom hotel itu kini berubah menjadi puing dari pesta megah. Begitu berantakan sekaligus mengerikan! Mayat-mayat bergeletakan di lantai, juga dipenuhi bercak darah di mana-mana dan senjata. Selesai membunuh ketiga anggota keluarga Maheswara, Topan berdiri di tengah ruangan, menatap ke sekeliling. Wajahnya datar, dingin, tapi sorot matanya berat, bukan karena ragu, melainkan karena beban yang kini perlahan turun dari pundaknya. "Bersihkan semuanya," titahnya datar kepada para tukang pukul. "Jangan tinggalkan apa pun. Tidak satu jejak pun!" Tanpa pikir panjang, Jaya dan yang lainya kompak mengangguk. Kemudian, Jaya memberi isyarat pada para tukang pukul untuk segera bergerak. Selagi kesibukan terjadi, Topan memerintahkan beberapa dari mereka untuk membawakan kepala Anton, Arka dan Gerald. Sebelum Topan beranjak hendak ke markas, ia memperingatkan sekali lagi. "Selesaikan semuanya sebelum matahari terbit!" *** Markas Naga Sakti. "Akhirnya, selesai juga balas dendam ini, Tua
Anton terisak pelan, suaranya bergetar di tengah keheningan yang menegangkan. Ia perlahan berlutut di lantai marmer yang kini penuh pecahan kaca dan genangan sampanye. Di matanya ada ketakutan sekaligus keputusasaan, sisa-sisa seorang raja bisnis dan dunia bawah tanah yang kini hanya tampak seperti lelaki tua rapuh tanpa daya. "Topan…" panggilnya lirih, nyaris tidak terdengar. "Aku… aku mohon… hentikan ini… aku tahu… aku salah… kami salah. Maafkan atas kejadian lima tahun lalu. Maafkan kami yang telah membunuh orang tuamu. Kami mengakui kesalahan kami. Tapi kalau kau ingin uang, aset atau apa pun itu, aku akan berikan. Aku akan membayar semuanya. Semua milikku, semua yang kumiliki, ambil saja. Asal jangan bunuh kami…" Di sampingnya, Arka menunduk dalam-dalam. Wajahnya pucat, keringat menetes deras di pelipis. "Kami... kami tidak tahu kau masih hidup. Waktu itu—" suara Arka terhenti saat Topan menatapnya dingin, sorot matanya setajam baja. Gerald yang paling muda bahkan suda







