LOGINTopan tengah berdiri di depan sebuah rumah, ia membaca lagi catatan di ponselnya, memastikan ini adalah rumah yang dituju.
Begitu merasa yakin, Topan memencet bel rumah. Awalnya, Topan berniat untuk langsung pergi ke kediaman keluarga Maheswara untuk membunuh anggota keluarga itu yang terlibat dalam pembunuhan kedua orang tuanya lima tahun lalu. Namun, pimpinan mafia Naga Sakti yang sekaligus Ayah angkatnya, menyuruhnya untuk menemui salah satu tunangannya dan menikahinya. Ia memilih anaknya pria bernama Gunawan. Setelah memencet bel dua kali, terdengar sahutan seseorang dari dalam rumah. Lalu, seorang pria paruh baya muncul di muka pintu. "Apakah benar kalau ini adalah kediaman Pak Gunawan?" tanya Topan. Pria paruh baya itu mengangguk. "Benar," balasnya. "Saya Gunawan. Ada perlu apa datang kemari?" Topan tidak langsung menjawab, justru pandangannya mengedar ke sekeliling sebelum kemudian kembali menatap pria paruh baya itu. "Saya Topan, Pak Gunawan. Anak angkat sekaligus kaki tangan Tuan Besar Armand yang dijodohkan dengan anak anda." Gunawan tersentak, lantas langsung mengamati penampilan Topan dari atas kepala hingga ujung kaki. "Astaga, akhirnya kau datang juga, Nak," ujar Gunawan girang. "Aku telah menunggu kedatanganmu!" Lalu, Gunawan pun mempersilahkan Topan masuk dan juga mempersilahkan duduk. "Maksud kedatangan saya ke sini karena hendak menemui tunangan saya, anak anda dan menikahinya, Pak Gunawan." Jelas Topan. "Apakah anda telah mengetahui hal ini?" Mendapatkan pertanyaan itu, Gunawan mengangguk. "Tentu. Tentu saja aku sudah mengetahui hal itu, Nak. Tuan Besar Armand telah memberitahuku tentang hal itu sebelumnya dan aku senang sekali karena bisa besanan dengan orang hebat dan berpengaruh sepertinya." Setelah mengatakan hal tersebut, Gunawan menggeser tubuh ke ujung sofa dan mencengkram pundak Topan. Dengan rahang mengeras, ia lanjut berkata, "Dan mulai sekarang, jangan panggil aku Pak lagi, panggil aku dengan sebutan Ayah!" Topan sedikit terkejut dengan perintah itu, calon Ayah mertuanya secara gamblang dan terbuka langsung memberikan restu! Demikian, ia tak perlu bersusah payah mengambil hatinya. Buru-buru Topan balas mengangguk. "Baik, A-ayah," balas Topan sedikit canggung. Di sela-sela pembicaraan keduanya, pembantu di rumah tersebut membawakan minuman untuk Topan. Di saat ini, Gunawan sesekali menatap ke arah dalam rumah, seperti menunggu kedatangan seseorang. "Kenapa anak itu belum turun juga?" ucapnya seraya berdecak. "Lama sekali…" Gunawan akhirnya memanggil pembantu lagi dan menyuruhnya untuk mengecek anaknya di dalam kamar. Selang sebentar saja, muncul seorang wanita cantik yang tampak berjalan ke arah ruang tamu. Akan tetapi, wanita itu tiba-tiba menghentikan langkah. "K-kamu...!" seru wanita itu terkejut sekaligus bingung sambil menunjuk ke arah Topan. Begitu pula dengan Topan yang tidak kalah terkejutnya. Karena wanita itu adalah wanita yang sama yang tadi malam ia tolong dan ia renggut keprawananya! Jangan-jangan… Topan tentu masih mengingat nama wanita tersebut. "Nona Davina, ‘Kan?!" Sedangkan Gunawan yang terkejut sekaligus kebingungan menatap Topan dan anaknya secara bergantian. "Kalian sudah saling kenal?" "Belum!" "Sudah!" Dua jawaban dari Topan dan Davina yang bertolak belakang tersebut membuat Gunawan mengerutkan kening. Topan segera memahami situasinya. Jelas wanita itu tidak ingin apa yang terjadi tadi malam diketahui oleh Ayahnya. "Kami bertemu tadi malam, Ayah," ujar Topan tiba-tiba sambil mengatasi kecanggungan itu. Davina melotot, sorot matanya memancarkan ancaman begitu jelas. Selain takut pria itu akan memberitahu soal kejadian tadi malam kepada Ayahnya, Davina tak terima sekaligus bingung saat mendengar Topan memanggil Gunawan dengan sebutan 'Ayah'! Hal tersebut membuatnya berpikir. Apa mungkin… "Benarkah? Kalian sudah sempat bertemu?" tanya Gunawan semakin terlihat senang. Kemudian, ia beralih menatap Davina. "Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah, eh?" Seketika Davina tersadar dan gelagapan."Tak sengaja bertemu, Ayah!" Lalu, ia menatap Topan tajam sebelum kemudian kembali menatap sang Ayah. "Jangan katakan... kalau dia adalah Topan? Pria yang akan dijodohkan denganku? Dia, adalah tunanganku?!" Gunawan tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Benar. Dia adalah tunanganmu." Davina terbelalak mendengarnya. Tanah di bawahnya seakan runtuh. Ia serasa mau jatuh. Tanpa mempedulikan respon anaknya, Gunawan menyipitkan mata dan berkata, "Bagaimana, Davina? Dia tampan bukan? Bukan pria tua bangka yang kamu pikirkan?" Perkataan sang Ayah membuyarkan lamunan Davina. "Tapi lihat lah penampilannya, Yah!" Tak bisa dipungkiri kalau pria itu memiliki wajah tampan, tapi tidak dengan penampilannya! "Kenapa dengan penampilannya?" balas Gunawan sambil mengangkat bahunya. "Yang penting itu hatinya!" Davina melengos, benar-benar tak paham dengan isi kepala sang Ayah. "Ayo lah, Yah. Ayah sama sekali tak takut? Bagaimana kalau dia hanya mengaku-ngaku orang hebat? Atau bahkan mau menipu?" ucap Davina cemas. Hal tak terduga, Gunawan malah terkekeh. "Apa yang kamu pikirkan, Davina? Topan tak seperti itu!" Davina ternganga selagi menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan Ayahnya. Padahal, Davina begitu yakin jika tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Tapi, justru pria itu adalah tunangannya! Awalnya, Davina menolak perjodohan itu. Namun, Ayahnya memaksa serta memberikan alasan ; tak ada alasan baginya menolak pria tersebut. Kini Davina masih mengamati Topan dengan penuh selidik. Ia merasa perawakan Topan tidak seperti laki-laki kaya raya ; tampilannya kumuh, tidak seperti lelaki kaya pada umumnya. Dan yang membuat Davina bingung, kenapa Ayahnya yang merupakan orang kaya raya, justru menjodohkannya dengan pria lusuh ini? "Sebaiknya kalian segera pergi ke kantor sipil untuk mendaftarkan pernikahan!" ujar Gunawan kepada Topan dan Davina. Davina memasang wajah tak berdaya. "Bukankah itu terlalu buru-buru, Ayah?" ucap Davina lemah. Didengar dari nada bicaranya, kentara kalau wanita itu keberatan. Seketika wajah Gunawan berubah. "Lebih cepat lebih baik, Davina!" wajah Gunawan tampak tegas. "Lagi pula, apa yang membuatmu ingin menunda pernikahan?!" Tanpa berani menatap Ayahnya, Davina berkata, "Kami perlu mengenal satu sama lain terlebih dahulu, Ayah." Gunawan melambaikan tangan. "Itu bisa kalian lakukan setelah ini dan di dalam kamar nanti." Gunawan terkekeh. Sontak, mata Topan dan Davina kompak melebar. Bagaimana tidak, keduanya sudah melakukan hal demikian! Di sisi lain, keraguan mulai menggerogoti diri Davina. Ia benar-benar tak siap jika harus menikah dengannya! Apalagi Ayahnya secara terang-terangan tak mempermasalahkan diri Topan, ia merasa ada yang tidak beres dengan sang Ayah! Melihat putrinya terlihat berpikir, Gunawan menatapnya lekat. "Sudahlah, Davina. Dengarkan apa kata Ayah. Topan adalah calon suami terbaik. Tak ada alasan untuk menolak Topan. Asal kamu tau saja, kalau semua wanita di dunia ini begitu menginginkan Topan. Seharusnya, kamu merasa beruntung karena menjadi tunangannya!" Davina termangu mendengar kata-kata Ayahnya, lalu ia memutar bola matanya ke arah Topan, seakan tak percaya. Mendapatkan hal itu, Topan hanya mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. Hal tersebut membuat Davina tambah kesal. "Cepat, pergi lah!" titah Gunawan. Topan mengangguk, segera bersiap. Sedangkan Davina terlihat ragu, tapi ia tidak bisa membantah perintah Ayahnya. Dengan enggan, ia bangkit dari tempat duduknya. Namun ketika keduanya hendak melangkah keluar, sebuah seruan mendadak terdengar. "Apa tidak sebaiknya kau pikir-pikir lagi, sayang? Hendak menikahkan Davina dengan pria kampungan sepertinya?!”Setelah makan siang, Armand Prakoso bangkit dari duduknya dan menepuk bahu Topan pelan. "Temani aku ngobrol sebentar," ujarnya tenang namun tegas. Usai berkata demikian, Armand melangkahkan kakinya lebih dulu. Tanpa banyak bicara, Topan mengikuti ayah angkatnya menuju ruang kerja setelah ijin kepada Davina lebih dulu, sebuah ruangan bergaya klasik dengan rak buku menjulang, aroma tembakau lembut dan foto-foto lama terpajang di dinding. Begitu pintu tertutup, suasana berubah menjadi lebih berat, hening dan penuh makna. Armand duduk di kursi kulit besar di balik meja kayu hitamnya, sementara Topan berdiri tegak di seberang, menatap pria yang telah membentuknya menjadi seperti sekarang. Beberapa saat hanya diisi suara jam antik yang berdetak pelan. Hingga akhirnya Armand bersuara, suaranya dalam dan tenang, tapi penuh sorotan tajam. "Jadi, bagaimana dengan misi balas dendammu, Topan? Kau telah menghancurkan keluarga Maheswara? Tanpa ada yang tersisa sedikit pun?" Topan terdiam
Topan tersenyum tipis, lalu membungkuk hormat. "Ayah…" "Tu-tuan Armand Prakoso…" ucap Davina berbisik tanpa sadar menambahi sang suami. Di saat yang sama, tubuhnya membeku. Melihat kedatangan mereka berdua, Armand langsung tersenyum lebar. Di saat yang sama, wajahnya mendadak berbinar-binar. Armand, dengan menghembuskan napas berat berkata, "Lama sekali kau pulang, Topan." Sebenarnya, Armand langsung ingin menyinggung soal misi balas dendam. Tapi mengingat ada wanita bersama anak angkatnya, yang ia sudah tahu siapa dia, membuatnya mengurungkan niat. Ia akan bicara nanti, empat mata dengan Topan! "Baru sempat Ayah," balas Topan pendek. Di titik ini, Armand mengalihkan pandangan ke arah wanita tersebut selagi memicingkan pandangan. "Jadi ini wanita yang bisa menjinakkan sang raja gangster Valdoria,” ucapnya dengan suara berat namun berkarisma. Kemudian, ia memandangi penampilan Davina dari atas sampai bawah. "Ah, memang benar. Gunawan memiliki putri yang sangat cantik. Sayang sek
"Sayang," ujar Topan tanpa menoleh ke arah Davina, masih menatap ke arah makam di hadapannya. "Ada seseorang yang sangat berjasa dan berarti yang ingin aku pertemukan denganmu setelah dari sini." Seketika Davina menarik kepala dari bahu sang suami. Davina, dengan kening berkerut berucap, "Seseorang yang sangat berjasa dan berarti bagimu?" Topan baru menoleh menatap istrinya, lalu mengangguk pelan. "Entah kamu sudah bertemu dengannya atau belum. Apakah Ayahmu sudah pernah mengenalkannya padamu? Orang ini adalah yang menyelamatkanku waktu aku hampir mati, sayang. Tanpa dia, aku tidak bisa seperti sekarang ini." Davina terhenyak begitu mendengarnya, mendadak ia teringat dengan cerita masa lalu sang suami. Setelah terdiam sesaat, Davina kembali menatap Topan lekat-lekat, hatinya mulai berdebar. "Maksudmu, Ayah angkatmu? Tuan Armand Prakoso? Yang dulu adalah ketua organisasi mafia Naga Sakti?" tanya Davina hendak memastikan. Topan tersenyum samar dan mengangguk. "Benar sekali." Seke
Topan mematung sesaat di muka pintu tatkala melihat Davina tertidur dengan posisi terduduk di sofa. Setelah dari makam keluarganya, memastikan sekali lagi tidak ada masalah terhadap sisa-sisa misi balas dendamnya, Topan pulang. Pulang ke rumah yang sebenarnya... Davina! Sebelumnya, ia sempat mengecek ponsel, mendapatkan beberapa pesan masuk dari istrinya ; menanyakan kapan ia pulang, apakah sudah selesai dan apakah ia baik-baik saja. Tapi Topan hanya membalas singkat, jika ia akan segera pulang jika urusannya sudah selesai. Topan bukan pergi tanpa pamit, Davina mengetahui apa yang akan ia lakukan. Bahkan, ia jujur jika akan membalaskan dendamnya. Topan, dengan menghela napas bergumam, "Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu sampai ketiduran, sayang." Tidak ada aura menyeramkan sekaligus menakutkan yang terpancar dari diri sang raja gangster Valdoria, yang ada hanya aura suami lembut tapi tegas dan penyayang. Kemudian, Topan membawa langkahnya ke arah sang istri. Begitu tib
Ballroom hotel itu kini berubah menjadi puing dari pesta megah. Begitu berantakan sekaligus mengerikan! Mayat-mayat bergeletakan di lantai, juga dipenuhi bercak darah di mana-mana dan senjata. Selesai membunuh ketiga anggota keluarga Maheswara, Topan berdiri di tengah ruangan, menatap ke sekeliling. Wajahnya datar, dingin, tapi sorot matanya berat, bukan karena ragu, melainkan karena beban yang kini perlahan turun dari pundaknya. "Bersihkan semuanya," titahnya datar kepada para tukang pukul. "Jangan tinggalkan apa pun. Tidak satu jejak pun!" Tanpa pikir panjang, Jaya dan yang lainya kompak mengangguk. Kemudian, Jaya memberi isyarat pada para tukang pukul untuk segera bergerak. Selagi kesibukan terjadi, Topan memerintahkan beberapa dari mereka untuk membawakan kepala Anton, Arka dan Gerald. Sebelum Topan beranjak hendak ke markas, ia memperingatkan sekali lagi. "Selesaikan semuanya sebelum matahari terbit!" *** Markas Naga Sakti. "Akhirnya, selesai juga balas dendam ini, Tua
Anton terisak pelan, suaranya bergetar di tengah keheningan yang menegangkan. Ia perlahan berlutut di lantai marmer yang kini penuh pecahan kaca dan genangan sampanye. Di matanya ada ketakutan sekaligus keputusasaan, sisa-sisa seorang raja bisnis dan dunia bawah tanah yang kini hanya tampak seperti lelaki tua rapuh tanpa daya. "Topan…" panggilnya lirih, nyaris tidak terdengar. "Aku… aku mohon… hentikan ini… aku tahu… aku salah… kami salah. Maafkan atas kejadian lima tahun lalu. Maafkan kami yang telah membunuh orang tuamu. Kami mengakui kesalahan kami. Tapi kalau kau ingin uang, aset atau apa pun itu, aku akan berikan. Aku akan membayar semuanya. Semua milikku, semua yang kumiliki, ambil saja. Asal jangan bunuh kami…" Di sampingnya, Arka menunduk dalam-dalam. Wajahnya pucat, keringat menetes deras di pelipis. "Kami... kami tidak tahu kau masih hidup. Waktu itu—" suara Arka terhenti saat Topan menatapnya dingin, sorot matanya setajam baja. Gerald yang paling muda bahkan suda







