Mendapati hal itu, semua orang kompak menoleh ke arah Topan.
Melihat wajah Topan, tiba-tiba Elias merasakan ketakutan menyebar begitu cepat. Tubuhnya seketika berkeringat. Si–siapa orang ini?! Usahanya melepaskan diri dari cengkraman Topan tak menghasilkan apa-apa. Ke–kenapa tubuhnya tiba-tiba kaku?! Elias mendengus. "Le–lepaskan bajingan!" "Hei, lepaskan Boss kami!" bentak salah satu anak buah Elias seraya mengambil kerah bajunya Topan. Kini Topan baru melepaskannya. Tapi tatapannya tak lepas dari wajah Elias yang membuat pria itu sedikit gentar. Buru-buru Elias mengondisikan diri, lalu ia berdiri di hadapan Topan dan mengamatinya dari atas kepala sampai ujung kaki dengan tatapan penuh intimidasi. "Siapa kau? Dan punya nyali kau mengancam akan mematahkan tanganku? Kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, hah?!" "Aku adalah tunangannya Davina! Calon suaminya!" jawab Topan dingin sekaligus tegas. "Dan aku tak peduli siapa dirimu, berani kau menyentuh tunanganku, aku akan menghajarmu!" Elias tersentak sekaligus geram mendengarnya. Dengan alis tertaut, ia menghadap Davina dan berucap, "Bukan kah Nona tak memiliki kekasih? Kenapa tiba-tiba sekali?" Tentu Elias merasa heran. Sebelumnya, ia telah mencari tahu informasi tentang wanita itu dan dia belum memiliki kekasih! Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Davina memiliki kekasih? "Dia baru sampai di kota ini tadi malam," jawab Davina ketus. Elias kembali menatap Topan seraya mengernyit. Matanya memindai Topan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak mungkin wanita seperti Davina memiliki calon suami dengan penampilan lusuh dan gembel seperti ini! Apa jangan-jangan pria ini juga yang menghajar dua pengawalnya sekaligus? Melihat tubuh pria di depannya yang biasa saja, Elias masih tidak percaya dengan pikirannya sendiri! Sementara Davina terhenyak kala sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya. Demi membuat Elias tak berani macam-macam padanya lagi, ia memutuskan akan memanfaatkan status Topan. Davina, dengan dagu terangkat tinggi dan tatapan angkuh berucap, "Aku juga diselamatkan olehnya. Jadi, sebaiknya anda jangan macam-macam kepada saya lagi atau anda akan habis di tangannya karena... dia sangat jago bertarung!" Seketika wajah Elias berubah. Sedangkan Topan yang mendengar itu tersenyum. Namun Elias mengabaikan ancaman Davina. Kentara tak percaya dengan apa yang barusan wanita itu katakan. "Nona pikir, saya tidak tahu, sudah berapa banyak pria yang tidur dengan anda? Pasti, Nona selalu menggunakan tubuh anda untuk menggaet investor dan mendapatkan proyek. Jadi, jangan sok jual mahal dengan saya!" Davina melotot. "Jangan asal menuduh–" Sebelum Davina menyelesaikan kalimatnya, sebuah tamparan keras sudah mendarat di pipi Elias lebih dulu. Hal tersebut membuat pria itu langsung terjerembab ke belakang. Cetakan tangan terlihat di pipinya. Pun darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Mendapati hal itu, anak buah Elias terkesiap. Sedangkan Davina refleks menutup mulutnya dengan tangan selagi memandang Topan dengan tatapan tak percaya. Menurutnya Topan sudah gila! Elias, selagi masih terkejut sekaligus kesakitan, ia menunjuk ke arah Topan. "Kurang ajar! Berani-beraninya kau menamparku?!" Akan tetapi, Topan sama sekali tak gentar. Dengan wajah mengeras, ia balik menunjuk Elias. "Sudah kukatakan kalau aku tak akan segan-segan menghajar seseorang yang berani menyakiti hati tunanganku!" Sementara itu, Davina merasa sedikit tersentuh dengan dua hal yang dilakukan Topan padanya. Terlebih barusan, Topan langsung menghajar Elias tanpa bertanya padanya terlebih dahulu. Tiba-tiba, salah satu anak buah Elias berseru, "Mau cari mati kau!" Setelah itu, empat anak buah Elias langsung menyerang Topan secara bersamaan. Sedangkan satunya segera membantu Elias berdiri. Selang sebentar saja, semua orang tercengang saat melihat ke empat anak buah Elias tergeletak di aspal. Topan melumpuhkan mereka dalam waktu singkat! Lalu, Topan berjalan ke arah Elias yang seketika membuat pria itu memundurkan langkah bersama satu anak buahnya. Nyali keduanya mendadak ciut. "Coba, katakan sekali apa yang barusan kau katakan tentang tunanganku!" Elias menelan ludah. "M-memang benar kalau dia sudah tidur dengan banyak–" PLAK! Topan menampar Elias lagi. Kali ini dengan kekuatan penuh. Alhasil, Elias tersungkur ke aspal kembali bersama anak buahnya. Tidak cukup sampai di situ, hal yang dilakukan Topan selanjutnya membuat teriakan kesakitan dari Elias semakin keras. BUGH! Topan menambahkan pukulan di wajah pria itu. Lalu, Topan berjongkok di depan Elias dan mencengkram kerah kemejanya. "Masih berani kau memfitnah tunanganku?" Meski ia belum tahu kebenaran akan ucapan Elias, tapi ia tak akan membiarkannya menyakiti hati Davina. Kali ini Elias langsung menggeleng. Raut mukanya menunjukan ketakutan. "T-tidak, sebenarnya aku juga tidak tahu. Aku hanya asal bicara saja. Kumohon, jangan tampar aku lagi..." Di saat bersamaan, satu anak buah Elias yang tersisa menyerang Topan. Namun, nasibnya harus berakhir sama seperti teman-temannya. Dia pikir, Topan lengah, tapi nyatanya menyadari pergerakannya. Merasa terancam, Elias langsung kabur dengan langkah tertatih-tatih. Ketika dia sudah dekat dengan mobilnya, ia mengurungkan niat masuk ke dalam mobil, lantas berbalik menunjuk Topan dan Davina. "Awas kalian berdua! Tunggu pembalasan dariku!" teriaknya dengan suara menggelegar. Tanpa menunggu respon dari keduanya, ia segera masuk ke dalam mobil dan mobil pun melesat meninggalkan tempat tersebut. Davina menatap Topan dengan kagum. Selama ini, ia selalu menolak bahkan tak berminat untuk memiliki pasangan karena menurunya semua laki-laki sama saja; hanya menginginkan tubuh wanita sebagai pemuas nafsu mereka. Namun, entah kenapa keberadaan Topan justru malah membuatnya aman. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan ketika berada di samping Topan. Tapi tunggu… Bukannya Topan juga yang telah merenggut kesuciannya?! Mengingat ini, kebencian Davina kepada Topan kembali berkobar! Sekalipun begitu, Davina tak memungkiri kejadian malam itu masih membekas di benaknya… Topan mengernyit melihat Davina menatapnya dengan intens. "Kenapa melihatku begitu? Ada yang mau Nona sampaikan?”" Davina tersadar dari lamunannya. Lalu, dengan wajah memerah ia menggeleng. "Tidak ada!" jawab Davina ketus. Usai mengatakan hal tersebut, ia balik badan dan berjalan ke arah mobil lebih dulu. Mendapati sikap Davina seperti itu, Topan hanya menghela napas seraya menggelengkan kepalanya. *** Sementara itu, di ruang tamu yang luas, Elias mondar-mandir gelisah selagi berpikir keras. Di saat yang sama, wajahnya memerah marah. Bagaimana tidak, rencana meniduri Davina gagal dan ia ditampar juga dipukul oleh tunangannya. Jelas, ia tak terima! Tiba-tiba, pria itu berhenti mondar-mandir. Setelah berpikir sejenak, ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku kemejanya. Elias hendak menghubungi kenalannya yang merupakan seorang ketua organisasi bawah tanah. "Datang lah ke rumahku sekarang! Aku membutuhkan bantuanmu untuk memberi pelajaran kepada seseorang!" Seusai menelfon, Elias kembali menghubungi kenalan lainnya yang seorang polisi. Pun memerintahkan hal yang sama. Ia akan mengajak mereka berdua ke rumahnya Davina malam ini untuk memberi pelajaran kepada wanita itu dan juga tunangannya!Bibir mereka kini sudah saling bertaut, bergerak semakin panas, hingga desahan lirih Davina tidak bisa ditahan lagi, bercampur dengan hembusan napas Topan yang jelas ikut terbakar suasana. Sudah tidak ada penolakan, pun tidak ada keraguan! Dalam kehangatan itu, tangan Davina bergerak lincah, menelusuri leher suaminya yang tegang karena menahan desakan hasrat. Jemarinya lalu naik menyusuri rahang Topan yang kokoh, mengusap pipi sang suami dengan sentuhan lembut namun penuh rasa memiliki. Topan akhirnya mendesah pelan disela ciuman, tubuhnya merinding dengan setiap belaian. Sentuhan itu membuatnya semakin tidak berdaya di bawah kendali istrinya, seolah seluruh dirinya dipenjara oleh rasa cinta dan hasrat sekaligus. Bibir mereka terus berpaut, masih tidak ada jeda, hanya sesekali terpisah untuk menarik napas, sebelum kembali melumat satu sama lain. Genggaman tangan Davina di wajah Topan memberi sinyal jelas—malam ini, ia tidak hanya ingin dicintai, tapi juga ingin menunjukkan ba
"Kenapa kamu masih berdiri di situ sayang?" Perkataan Davina membuat Topan tersadar dari keterkejutannya. Davina menambahkan dengan tatapan dan senyum nakal. "Kemari lah, sayang. Aku ... " Davina melirik dirinya yang tengah berpose menggoda, hanya sekadar ingin memperlihatkan apa yang tengah ia lakukan kepada sang suami. "Bukannya langsung kemari dan menerkamku saat melihatku dalam keadaan seperti ini." Tepat Davina menyelesaikan kalimatnya, Topan buru-buru menarik kaos yang melekat di tubuhnya. Gerakannya cepat, hampir tergesa, hingga kaos itu terlepas begitu saja dan terlempar ke sisi ranjang. Setelah itu, ia bergegas menuju ke arah ranjang dengan rasa bahagia membumbung tinggi dan hasrat yang telah memuncak. Apalagi saat mendapati istrinya telah terbuka sepenuhnya. Baik hati mau pun tubuhnya. Tentu saja kali ini Topan tidak lagi menahan diri seperti sebelumnya. Pun sudah tidak ada keraguan sedikit pun. Di hadapan sang istri, perut bidang dengan otot-otot sispack yang
Davina menelan ludah, tubuhnya tiba-tiba menegang begitu merasakan bisikan Topan yang sangat dekat di telinganya. Panas merambat di wajahnya seketika. Di titik ini, ia teringat perkataannya tadi tentang hal itu dan kini membuatnya malu bukan main. Akhirnya, setelah berhasil menguasai diri, Davina menganggukan kepalanya pelan. Setelah itu, ia langsung memalingkan muka sebab tidak tahan bertatapan dengan sang suami. Meski hanya lewat anggukan kepala, itu sudah membuat senyum tersungging lebar di bibir Topan. Seketika hatinya langsung berbunga-bunga. Sementara itu, Davina menahan napas, hatinya tengah berdegup kencang. Selama ini ia selalu menolak, galak, bahkan jutek pada Topan. Tapi sekarang, entah mengapa, ia merasa ingin menyerah pada dekapannya. Dengan perasaan senang, Topan kembali mendekat perlahan, penasaran apakah Davina akan menggeser tubuhnya atau tidak. Tapi ternyata tidak, Davina tetap bergeming meski Topan menyadari sang istri gugup. Untuk menutupinya, Davina men
Setelah beberapa saat Davina terdiam agak lama dengan napas naik-turun, ia memejamkan mata, tengah mencerna semuanya. Akhirnya, dengan berat hati, ia membuka mata. Davina, dengan nada getir berkata lirih, "Baiklah, aku percaya kali ini." Mendengar itu, Topan terperanjat. Sedangkan Indira terkejut. Tanpa mempedulikan reaksi keduanya, Davina menatap dalam mata Topan. "Karena aku tahu kamu bukan tipe pria yang memaksakan diri. Dan... karena aku juga tahu Indira terlalu membencimu untuk mau benar-benar bersama denganmu." Seketika wajah Topan dipenuhi haru sekaligus lega. "Terima kasih sayang. Terima kasih karena kamu sudah mau percaya." Balas Topan dengan bibir dan suara bergetar seraya menggenggam tangan sang istri. Indira yang melihat pemandangan itu jadi kesal. Rasa cemburu kembali membakar dirinya. Entah kenapa, setiap kali melihat keduanya memamerkan kemesraan di hadapannya, hatinya memanas. Namun kali ini ia mencoba menekan perasaan itu sebab posisisnya yang tengah terancam.
Tanpa diminta, Topan lanjut menjelaskan kejadian tadi di dalam kamar mandi, tentu saja tidak menyertakan apa yang dilakukan dengan sengaja oleh Indira kepadanya. Begitu mendengar penjelasan Topan, Davina tercekat. Kata-kata itu membuatnya terdiam sejenak, meski rasa sakit di hatinya belum berkurang. Sedangkan Indira tercengang, tapi ia segera sadar bahwa pria tampan itu sedang menutup mulutnya rapat-rapat tentang apa yang sebenarnya terjadi. Demikian, ia juga terpaksa harus melakukannya. Tanpa menoleh ke belakang, Davina angkat bicara. "Kau pikir aku percaya begitu saja?!" suara Davina meninggi, penuh dengan luka yang tak terbendung. Didengar dari nada bicaranya, kentara masih marah. Topan memasang wajah tidak berdaya, tapi ia tetap berusaha meyakinkan sang istri. "Kamu mau percaya atau tidak, tapi itu yang terjadi, sayang. Aku tidak bohong. Aku bersumpah, sayang. Tidak terjadi apa-apa antara aku dan Ibu di dalam kamar mandi. Aku tidak pernah sekalipun berniat mengkhianatimu, apa
Davina melangkah mundur, dadanya tengah naik turun menahan gejolak. Wajahnya seketika pucat. Jantungnya berdentum keras, seakan tidak mampu menerima apa yang baru saja disaksikan. Ada panas yang menjalar di matanya, bercampur antara kemarahan dan rasa sakit yang menikam. "Aku baru saja pulang dan mendapati Ibu tiriku ada di dalam kamarku dengan hanya mengenakan handuk saja di tubuhnya dan lalu kau muncul dari dalam sana juga!" seru Davina parau, seperti pisau yang tergores di tenggorokan. "Berarti, sebelumnya kalian berdua berada di dalam, bukan? Apa aku terlihat sebodoh itu untuk tidak mengerti?!" Lanjut Davina dengan suara meninggi sekaligus bergetar. Sebab kini ia langsung berpikir yang tidak-tidak, langsung berpikir kalau keduanya berbuat hal mesum di dalam kamar mandi! Indira sendiri memilih menunduk, wajahnya juga pucat, pura-pura tidak berdaya, membiarkan keduanya salah paham. Meski ia masih takut dengan sosok Topan, tapi ia menikmati situasi ini, menyaksikan Davina run