"Baik, Tuan Muda. Saya urus jaringan bisnis mereka, partner, arus uang biar runtime mereka berhenti." "Saya akan pakai kontak lama, mulai dari yang kita punya di pasar gelap sampai investasi yang mereka banggakan!" lanjut Dimas mantap penuh keyakinan. Topan terdiam sejenak. Seperti menimang. "Tapi jangan pakai jalan pintas, Dimas. Kita buat fondasi mereka goyah. Bukan dengan trik kasar, tapi dengan tekanan yang membuat mereka kehilangan pijakan. Waktu dan kesabaran adalah senjata kita!" Topan memperingatkan. Sebelum Dimas sempat merespon, Topan lanjut bicara, "Mulai perlahan, seperti yang barusan aku katakan, dari titik-titik yang akan membuat mereka goyang. Kita bukan merusak demi merusak, tapi memindahkan batu-batu fondasi mereka satu-persatu!" Dimas mengangguk lagi tanda mengerti. Sedangkan Topan, setelah manggut-manggut, merasa sudah tidak ada yang perlu dibahas mengenai bagian Dimas, ia beralih menatap ke arah Letnan 1. "Untukmu, Rian. Kau yang jaga jalur pengait hukum.
Keheningan masih menyelimuti vila itu. Api perapian memantulkan bayangan di wajah Topan yang tampak semakin tegas, semakin jauh dari sosok bodyguard biasa. Alessia masih berdiri kaku dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran, matanya menatap pria itu seolah melihat orang asing yang kini terlihat begitu menakutkan. Di titik ini, Topan menarik napas dalam, lalu bersuara berat. "Kalau kau masih ragu, tanyakan langsung saja pada ayahmu. Lorenzo tahu siapa aku sebenarnya." "Dia tahu dengan siapa putrinya berjalan setiap hari!" Lanjut Topan dengan nada dingin, tanpa menatap ke arah seseorang yang sedang diajaknya bicara. Mata Alessia membesar, kaget. "Papa… tahu?!" ulang Alessia dengan suara tercekat. Topan baru menoleh menatap Alessia dan mengangguk pelan. "Dan itu sebabnya dia mempercayanmu padaku tadi." Alessia terdiam, lagi-lagi, tenggorokannya kering, tubuhnya terasa goyah. Semua yang ia duga—tentang pengganti yang tiba-tiba, izin mendadak, sikap dingin Topan—sekarang memil
Mobil hitam berhenti di sebuah vila tersembunyi di pinggiran kota, jauh dari keramaian dan suara tembakan yang masih terngiang di telinga Alessia. Hujan sudah mereda, hanya menyisakan bau tanah basah yang menenangkan. Topan memandu Alessia masuk ke ruang tamu vila itu, lalu menyalakan perapian agar hangat. "Beristirahatlah dulu, Nona," ucap Topan lembut. Kemudian, dia menambahkan. "Anda butuh ketenangan dan kehangatan." Topan mempersilahkan. Alessia menatap Topan sesaat. "Bagaimana jika kau saja yang menghangatkanku dengan tubuhmu?" balas Alessia dengan gumaman nyaris tidak terdengar. Tentu saja ia hanya bercanda, upaya untuk membuatnya tidak terlalu khawatir. Demi memastikan ucapan Alessia barusan, Topan menghentikan kegiatannya, lantas menoleh kembali menatap Alessia seraya menyipitkan mata. "Apa yang baru saja anda katakan, Nona?" Alessia mengerjap, lantas buru-buru menggeleng. "Tidak," Kemudian, ia menghembuskan napas berat dan melambaikan tangan. "Lupakan saja!" Kemudian,
Dimas mulai menjelaskan. "Bu Indira memang pernah bermain di belakang Pak Gunawan, Tuan Muda. Dia tidak hanya ‘bermain’ secara emosional. Tapi dia sengaja mencari pria lain. Bukan pria kaya atau pengusaha, melainkan seorang pemuda miskin yang dia bayar untuk tidur dengannya. Tujuannya, memuaskan hasrat dan menjaga hubungan itu rapat-rapat supaya tidak mencoreng citranya di depan Pak Gunawan." Topan mengepalkan tangan pada setir begitu mendengar hal itu. Suara mesinnya seolah berdentum mengikuti ketukan jantungnya. "Indira membayar pria miskin untuk diajak tidur dan memuaskan hasratnya?" ulangnya terkejut hendak memastikan. "Benar, Tuan Muda. Saya sudah mendapatkan bukti transfer kecil-kecilan, pesan singkat yang mengatur pertemuan dan satu dua foto samar. Saksi juga memastikan ada pertemuan berulang beberapa kali di malam hari." Dimas menambahkan, hati-hati. "Kelihatannya dia sengaja memilih pria yang tidak punya pengaruh, agar tidak bisa menuntut atau menuntut pembuktian di publi
Irama mereka terus berpacu, bergantian siapa yang mendominasi. Davina menindih dengan berani, lalu Topan membalik keadaan dengan tenaga penuh cinta. Setiap gerakan, setiap desahan, menambah panas malam itu hingga kamar seolah bergetar oleh energi keduanya. Bibir mereka tidak pernah jauh, selalu mencari dan bertaut, seolah takut kehilangan rasa hangat itu walau sedetik. Jemari mereka saling menggenggam erat, seakan ingin memastikan bahwa di dalam pusaran gairah ini, cinta tetap menjadi pusatnya. Napas mereka kian memburu, desahan kian meninggi. Davina menggeliat, tubuhnya tidak kuasa menahan gejolak yang semakin menekan. "Kamu benar-benar berhasil membuatku merasakan kenikmatan tiada tara. Aku benar-benar seperti terbang melayang. Ini nikmat sekali, sayang. A-aku sudah tidak tahan lagi…" bisiknya dengan suara patah-patah di sela erangan. Mendapati itu, Topan semakin gila-gilaan menghentakan tubuhnya, membuat keringat membasahi dahinya, lalu ia balas berbisik serak. "Lepaskan
Bibir mereka kini sudah saling bertaut, bergerak semakin panas, hingga desahan lirih Davina tidak bisa ditahan lagi, bercampur dengan hembusan napas Topan yang jelas ikut terbakar suasana. Sudah tidak ada penolakan, pun tidak ada keraguan! Dalam kehangatan itu, tangan Davina bergerak lincah, menelusuri leher suaminya yang tegang karena menahan desakan hasrat. Jemarinya lalu naik menyusuri rahang Topan yang kokoh, mengusap pipi sang suami dengan sentuhan lembut namun penuh rasa memiliki. Topan akhirnya mendesah pelan disela ciuman, tubuhnya merinding dengan setiap belaian. Sentuhan itu membuatnya semakin tidak berdaya di bawah kendali istrinya, seolah seluruh dirinya dipenjara oleh rasa cinta dan hasrat sekaligus. Bibir mereka terus berpaut, masih tidak ada jeda, hanya sesekali terpisah untuk menarik napas, sebelum kembali melumat satu sama lain. Genggaman tangan Davina di wajah Topan memberi sinyal jelas—malam ini, ia tidak hanya ingin dicintai, tapi juga ingin menunjukkan ba