Home / Fantasi / Raja Terakhir Dinasti Wang / Bab 8 Teror Di Hutan Bambu

Share

Bab 8 Teror Di Hutan Bambu

Author: Selene21
last update Huling Na-update: 2022-01-19 23:57:57

Ru Feng mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi ketika anak panah menembus paha kanannya. Xiaoyang meraih pinggang Zening yang tercengang di bawah kaki Ru Feng.

“AWAS!”

Brug.

Xiaoyang jatuh ke tanah dengan keras bersama Zening di atas tubuhnya.

Drap. Drap. Drap.

Ru Feng berlari tanpa tujuan, kebingungan dengan rasa sakit di tubuhnya. Tanpa menghiraukan Xiaoyang yang meringis kesakitan, Zening berlari mengejar kudanya sambil terus berteriak memanggilnya.

“Ru Feng! Ru Feng! Kembali!”

Xiaoyang duduk sambil membersihkan debu di bajunya dengan mata terus mengawasi Zening yang makin menjauh. Tiba-tiba, ekor matanya menangkap pergerakan di antara pohon bambu.

Sret. Sret. Sret.

Gerakan mereka sangat cepat. Delapan orang berpakaian serba hitam dan menggunakan topi bercadar mengepung Xiaoyang, setiap mereka memegang pedang yang terhunus dan mengkilap.

Xiaoyang segera berdiri dan meraih pedangnya. ‘Sial, mereka sengaja memancing Zening menjauh.’

“Siapa kalian?!”

Pertanyaan yang sia-sia. Alih-alih menjawab pertanyaan Xiaoyang, delapan pria bercadar itu maju serentak menyerang Xiaoyang dari berbagai arah. Mereka menggunakan formasi menyerang yang sulit dihadapi dengan kemampuan ilmu pedang Xiaoyang.

Ting. Ting. Sret.

Xiaoyang menangkis serangan dua pria di sisi kanan sambil memutar menghindari serangan pria lainnya. ‘Aku harus keluar dari formasi. Hutan bambu.’

Xiaoyang berlari masuk ke dalam hutan bambu untuk mempersempit ruang gerak dan memecah formasi melingkar. Benar, delapan pria itu tidak bisa menyerangnya bersamaan karena Xiaoyang menggunakan pohon bambu untuk melindungi diri.

Krakk. Brakk.

Beberapa kali pedang mereka mengenai bambu dan tiap kali itu pula, bambu akan tumbang dalam sekali tebas. Xiaoyang mulai kewalahan menghadapi pria bercadar, sampai satu ketika sebilah pedang berhasil mengenai lengan kiri dan dadanya.

Sret. Sret. Serr.

“Argh!” Xiaoyang terhuyung dan jatuh bersandar pada batang bambu yang sudah patah. Darah mengalir dari lengan dan dadanya yang tersayat pedang.

Seorang pria bercadar yang berdiri paling dekat dengannya mengangkat pedang ke samping, bersiap menebas kepala Xiaoyang.

Zleb. Zleb. Brukk.

Dua orang pria tumbang dengan anak panah tertancap di dada kiri, tepat di jantung. Mereka terkapar di tanah dengan mata terbuka. Enam pria lain mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari arah serangan.

Zleb. Ting. Ting.

“Argh!” Satu anak panah berhasil melukai paha satu pria bercadar, melumpuhkan gerakannya.

Tap. Tap. Tap.

Suara orang berlari di antara pohon bambu begitu ringan. Dari belakang Xiaoyang muncul Zening dengan pedang sudah terhunus, terbang menghampiri lima pria yang tersisa. Terjadilah perkelahian sengit.

Zening bergerak dengan gesit, berputar sambil mengayun pedang dan menendang musuh. Gerakannya gemulai namun mematikan. Pedangnya berhasil melukai dua pria, tersisa tiga pria yang saling pandang dan menyadari kemampuan Zening jauh di atas mereka. Salah satunya menggerakkan kepala mengisyaratkan untuk mundur.

“HEI! Jangan kabur!” teriak Zening saat tiga pria itu melesat cepat masuk lebih jauh ke dalam hutan.

Zening berbalik, memeriksa kelima pria yang berhasil dia kalahkan. Empat diantaranya meninggal terkena anak panah dan sabetan pedang miliknya. Satu pria yang terkena panah di paha sedang bersandar kesakitan. Zening dengan cepat menghampirinya.

Sret.

Ujung tajam pedang Zening terarah ke leher pria itu. Zening menarik kasar cadar yang menutupi wajahnya. “Katakan, siapa yang menyuruhmu?”

“Ning’er,” lirih Xiaoyang kesakitan.

Zening berpaling menatap Xiaoyang yang sudah merosot ke tanah. Ekor matanya menangkap gerakan pria di depannya memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.

Bug.

Zening memukul punggung pria bercadar untuk mengeluarkan benda yang ditelannya, tapi terlambat. Mulut pria itu sudah berbusa dan tak lama kemudian, tubuhnya menggelepar sebelum akhirnya terkulai lemas.

“Sial! Dia menelan racun.”

Zening bergegas menghampiri Xiaoyang dan menariknya ke pangkuan. “Buka matamu. Biar aku periksa lukamu.”

Bret.

Zening merobek lengan baju Xiaoyang untuk memeriksa luka sabetan pedang. Daging di sekitar luka mulai membiru. “Pedangnya beracun!”

Sret. Brett. Brett.

Tangannya sigap merobek pinggiran bawah hanfunya dan mengikatkannya pada luka di lengan Xiaoyang. “Kita harus segera mencari pertolongan. Ayo, aku bantu kamu berdiri.”

Uhukk. Uhukk.

Xiaoyang terbatuk, keluar darah dari mulutnya. “Zening, aku tidak sanggup berjalan,” lirihnya. “Pergilah, cari bantuan. Aku akan menunggumu di sini.” Tangannya lemah mendorong Zening menjauh.

“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Ayo, aku akan membawamu di punggungku.” Zening berlutut membelakangai Xiaoyang. Dua tangannya menarik lengan pria itu agar melingkari lehernya.

Selisih tinggi badan mereka lumayan jauh. Meskipun Zening sudah berdiri tegak, tapi kedua kaki Xiaoyang masih menapak tanah membuat gerakan Zening makin terhambat. Namun, Zening terus berjalan membawa Xiaoyang di punggungnya dengan tertatih.

Pelan namun pasti, mereka sampai ke tepi jalan setapak. Beruntung, dua orang pria melintas membawa gerobak jerami yang ditarik kuda. Zening segera melambaikan tangannya meminta pertolongan.

“Nona, apa yang terjadi?” tanya pria yang lebih tua.

“Pak Tua, kami baru saja dirampok. Tolong bantu kami mencari tabib terdekat,” pinta Zening.

“Naiklah.”

Pria yang lebih muda turun dari gerobak dan membantu Zening mengangkat Xiaoyang naik. Bibir pria itu mulai membiru. Zening menempelkan telinganya ke dada Xiaoyang, tangannya menyentuh leher memeriksa denyut nadi di sana. ‘Dia masih hidup.’

“Pak Tua, tolong bergegaslah. Nyawanya sedang dalam bahaya.”

Tanpa banyak bicara, lelaki tua pemilik gerobak itu menarik tali kekang, memacu kudanya berlari lebih cepat. Mereka sampai di gerbang desa terdekat. Gerobak itu berhenti di depan toko obat.

“Tolong!” teriak Zening.

Seorang pria tua dengan jenggot putih panjang keluar tergopoh-gopoh dari dalam. “Kenapa dia?” tanyanya dengan suara serak.

“Kami diserang perampok. Dia terkena sabetan pedang beracun.”

Tabib tua memeriksa pergelangan tangan Xiaoyang dengan dahi berkerut dalam. “Segera bawa masuk!” perintahnya. “Nona, masuklah ke dalam. Aku perlu bantuanmu.”

Zening tercengang. “Hahh, anda menyuruhku ikut masuk ke dalam?”

Tabib tua itu tidak menggubris pertanyaan Zening, malah masuk lebih dulu ke dalam tokonya, meninggalkan gadis muda yang sedang bingung bersikap. Xiaoyang terbaring di atas dipan kayu beralas tikar anyam dari jerami. Di sampingnya, tabib tua sedang membersihkan luka dan membalur ramuan buatannya.

“Nona, temanmu ini akan sadar petang nanti. Sebaiknya kalian tinggal di sini untuk sementara waktu. Besok pagi, kalau kalian ingin melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi.”

“Hmm,” sahut Zening canggung.

“Ada apa? Apa kau juga terluka?” tanya tabib tua.

“Tidak, tapi bisakah aku merepotkan anda lagi?”

“Katakan, apa yang bisa aku bantu untukmu?” tabib tua menyeduh obat ke dalam mangkuk.

“Adakah ruang lain yang terpisah dari sini?”

Tabib itu mendekati Zening seraya mengangsurkan mangkuk obat. “Sebaiknya kalian tetap berada satu ruangan. Lebih aman.”

Setelah berkata demikian, tabib tua keluar dari pintu belakang. Zening masih termenung memikirkan bagaimana caranya dia akan tidur malam ini di ruang yang sama dengan Xiaoyang, ketika pria yang sedang ia pikirkan itu mulai menggigil.

“Xiaoyang, Xiaoyang, bangun.”

Zening menarik selimut menutupi dada telanjang, kemudian berjalan untuk menutup pintu. Tak lupa, ia mengedarkan pandangan ke sekitar toko, memastikan tidak ada yang mencurigakan atau sedang mengawasi mereka.

“Engh,” lenguh Xiaoyang lirih.

Zening menutup pintu rapat dan segera berbalik. “Hei, Yangyang. Syukurlah, kau sudah sadar.”

“Bantu aku bangkit.” Xiaoyang mengulurkan tangannya agar Zening menariknya duduk. “Di mana kita?”

“Kita di sebuah toko obat di ujung hutan bambu. Bagaimana perasaanmu?”

“Aku haus.”

Zening menoleh ke atas meja, meraih mangkuk obat dan menyendok isinya. “Minum ini, menghilangkan haus sekaligus menyembuhkan lukamu.”

Dalam tiga kali teguk, obat di dalam mangkuk sudah berpindah ke perut Xiaoyang. “Apa yang terjadi dengan para bandit itu?”

Zening mendekatkan wajahnya. “Aku pikir, mereka bukan bandit. Kantong uang milikmu masih aman. Mereka mengincarmu.”

Xiaoyang tidak bisa berpikir jernih. Suara lembut Zening memanjakan telinganya, hembusan hangat napas gadis cantik itu menggelitik pipinya dan aroma tubuh Zening singgah di hidungnya, perpaduan tiga hal itu membuat kuduknya meremang.

“Apa kau mendengarku?” tanya Zening seraya menjauh.

“Ya, aku dengar. Lalu apa rencanamu?”

“Kita bermalam di sini, besok sebelum hari terang, kita lanjutkan perjalanan. Semoga saja Ru Feng segera kembali,” lirih Zening sendu.

“Apa kau tidak bisa mengejarnya?”

“Aku berhasil mengejarnya, tapi saat aku mencabut anak panah yang melukainya dan menaburkan bubuk obat, dia meringkik marah dan berlari meninggalkanku.”

“Serbuk obat yang Paman Li berikan padamu? Bukankah itu obat mahal? Kenapa kau berikan pada seekor kuda?”

Zening memicingkan matanya. “Memang kenapa? Mana aku tahu kalau kau akan diserang bandit dan terluka?! Itu pertanda ilmu pedangmu masih harus dilatih dengan tekun.”

Xiaoyang hanya mendesah dan kembali merebahkan tubuhnya.

“Sudahlah, aku akan berbaring di kursi itu sambil menunggu pagi.” Zening manarik dua buah kursi dan menyatukannya agar lebih panjang dan cukup untuk menampung tubuhnya.

Srek.

Suara daun bambu kering terinjak, membangunkan Xiaoyang dari tidur ayamnya. Ia menajamkan telinganya, memastikan bahwa yang sedang bergerak adalah manusia.

Srek. Srek. Srek.

“Hustt, hustt, Zening. Bangun,” panggil Xiaoyang lirih.

“Hmm, hoaam ….” Zening menguap seraya mengerjapkan matanya. “Ada apa?” yanyanya tak kalah lirih.

“Stt … ada orang.” Xiaoyang menempelkan telunjuknya di bibir.

Zening mengangguk paham, perlahan turun dari kursi dan berjinjit mengintip dari sela tembok kayu. Tangan kirinya memberitahu Xiaoyang jumlah orang yang sedang mengendap di luar rumah dengan menekuk ibu jarinya.

Brakk!

Satu pria bercadar menendang pintu dengan kasar disusul tiga pria lain yang berlari masuk dengan pedang terhunus di tangan. Empat pria itu menargetkan pria yang setengah telanjang dengan kain putih membalut dadanya.

Zening menumpukan kedua lengannya pada meja di dekatnya, dalam dua kali lompatan ia sudah berdiri di depan empat pria yang bersiap menyerang Xiaoyang.

Sring.

“Siapa kalian?” tanya Zening seraya menghunus pedangnya. “Katakan sebelum aku paksa kalian!” geramnya marah.

“Serang!”

Pertempuran tak terelakkan. Empat pria itu menyerang Zening bersamaan tanpa ada rasa sungkan. Dentingan pedang beradu, suara perabotan rusak dan patah terkena sabetan pedang membuat suasana sepi malam, menjadi riuh.

Ting. Ting. Bug. Brak.

“Hiyaat …!” Zening mengayunkan pedangnya dengan cepat sambil menghindari tebasan pedang lawan.

Sret. Sret. Zleb.

Dua orang tumbang ke lantai setelah Zening berhasil menggorok leher dan menusuk perutnya. Melihat dua kawannya tewas, dua pria lainnya berbalik melarikan diri setelah melempar bom asap yang menghalangi pandangan mata Zening.

“Sial! Mereka kabur.”

Zening berlutut di samping pria dengan luka tusuk di bagian perutnya, dengan kasar menarik baju pria itu dan membuka cadarnya. “Katakan, siapa kalian. Siapa yang menyuruhmu?!” bentaknya.

Pria itu bergerak cepat meraih pedang Zening yang masih terhunus dan mengarahkannya ke leher, menggorok lehernya sendiri.

Kkresh.

Darah segar mengalir membasahi baju depan pria itu bersamaan dengan matanya yang mulai terpejam.

“Haish!” Zening mendorong tubuh tak bernyawa di tangannya dengan kasar. “Mereka bukan pembunuh bayaran biasa.”

Zening berdiri seraya menggosokkan pedangnya pada pakaian pria di depannya, membersihkannya dari noda darah pria itu. Tak sengaja, matanya menangkap sebuah gambar di sisi leher mayat.

“Apa ini?” Zening mendekar, mencermati gambar di leher mayat. “Kelompok Bulan Sabit,” gumamnya.

“Apa katamu?”

“Ayo, kita harus segera pergi dari sini. Seseorang menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh kita.” Zening membantu Xiaoyang berpakaian dan turun dari ranjang.

Senyumnya mengembang saat melihat kuda putih besar kesayangannya sudah berdiri di halaman toko obat. “Kau memang selalu bisa diandalkan!” pekiknya senang. “Merunduk!” Ru Feng segera melipat dua kaki depannya dan merendahkan tubuhnya saat mendengar perintah Zening.

“Ayo, aku bantu kau naik ke atas kuda.”

Ketika sudah berada di punggung kuda, Zening mengikatkan tubuhnya pada tubuh Xiaoyang yang duduk di belakangnya agar pria itu tidak jatuh saat ia memacu kuda dengan cepat.

“Tahanlah, ini akan sakit dan tidak nyaman. Berusahalah untuk tidak tertidur selama perjalanan. Aku perkirakan, tengah hari nanti kita sudah memasuki perbatasan.” Xiaoyang hanya mengangguk lemah.

Mereka berkuda dengan cepat meninggalkan hitam bambu menuju perbatasan. Tepat seperti perkiraan, mereka memasuki kemah pasukan Taichan saat matahari berada tepat di atas kepala. Dua orang pria keluar dari dalam kemah dengan raut wajah terkejut saat melihat siapa yang datang.

“Apa yang terjadi pada kalian?!” Deyun bergegas mendekat dan membantu Xiaoyang turun dari punggung kuda. Hatinyakebat-kebit tak karuan melihat junjungan yang sedang menyamar tampak pucat dan lemah.

“Kami di serang kelompok Bulan Sabit di tengah hutan bambu," jawab Zening singkat.

“Bulan Sabit?!”

*****

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rayhana Rajwa
menarik untuk di baca
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 80 Kembali Seutuhnya

    “Aku akan memanggilmu lagi saat membutuhkan,” ucapnya masih membelakangi Weqing.“Ya, dengan senang hati, Yang Mulia.”Lan Weqing mengenakan kembali baju seragamnya dengan hati berbunga. Penantian panjang dan tindakan-tindakan yang diambilnya untuk mendapatkan Mu Lan, berujung kebahagiaan. Senyumnya terus mengembang.“Jenderal,” panggil Mu Lan membuat Weqing berbalik cepat menghadapnya.“Ya, Yang Mulia.”Mu Lan mendekat dengan langkah gemulai. Tangannya mendarat lembut di bahu Weqing. Ujung jari telunjuk kanannya bergerak turun dengan gerakan memutar menyusuri dada Weqing, membuat pria itu menggelinjang girang.“Y-yang Mulia, secepat ini?” tanya Weqing panik sekaligus senang.“Bawa laporan keuangan seluruh kementerian yang bisa kau dapatkan, saat kau datang mengunjungiku lain hari.” Mu Lan menjulurkan lidahnya menyapu rahang Weqing hingga tubuh pria itu bergetar.“K-kapan?” tanya Weqing menggeram menahan hasratnya yang kembali meronta.“Kapanpun kau siap, Jenderal,” desah Mu Lan di wa

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 79 Saatnya Telah Tiba

    Secepat kilat, Zening mendongak tidak percaya. “Kak, kaukah itu?”Wang Yang dan Ru Lan menyingkir menjauhi ranjang, memberi ruang untuk Deyun dan Zening.Alih-alih memeluk adiknya seperti keinginannya tadi, Deyun berlutut dan mengangkat kedua tangannya memberi hormat. “Li Deyun, menghadap Yang Mulia Permaisuri!”“Kak!” pekik Zening lega. “Mereka melepaskanmu?” tanyanya seraya menangkup wajah Deyun yang terlihat tirus dan lelah. “Apa mereka juga menyiksamu?”Li Deyun menggeleng dengan senyum samar menghiasi bibirnya. “Mereka tidak akan berani menyiksa kakak permaisuri,” godanya pada Zening. “Aku menyelinap keluar untuk mengucapkan selamat atas pernikahan dan penobatanmu menjadi permaisuri. Aku harap, kau tidak mengecewakan kami, Rakyatmu.”Dug.Zening meninju perut Deyun kuat-kuat. “Kau berkata begini saat aku khawatir tentangmu? Sungguh keterlaluan!&rdq

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 78-2

    “Kak Yang, aku ….” “Tarik napasmu. Nikmati semuanya.” Wang Yang mulai bergerak cepat. “Ya, begitu ….” Zening merasakan sensasi aneh yang terjadi padanya. Seolah tenaganya terisi penuh setelah lama kering dan kosong. Seluruh otot dan sendinya yang layu, kembali merekah dengan cepat. “Ah, Kak. Aku akan meledak,” bisik Zening sambil terengah mengimbangi gerakan Wang Yang. Wang Yang berhenti dan menatap Zening. “Ini hadiah pernikahanku untukmu. Aku kembalikan semuanya padamu.” Wang Yang mengakhiri kalimatnya dengan sebuah ciuman panjang hingga Zening tertidur pulas. Beberapa lamanya, Wang Yang hanya menatap wajah cantik Zening yang lelap seperti bayi kenyang menyusu. Ibu jarinya mengusap bibir bengkak Zening akibat ulahnya. Tek tek tek. Sebuah ketukan di pintu kamar menarik Wang Yang dari gulungan hasrat yang membungkusnya. Tangannya cekatan menarik selimut menutupi tubuh polos Zening, lalu menarik tirai ranjang hingga menutup semp

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 78-1 Hadiah Malam Pertama

    Trang!Anak panah lain yang melesat cepat dari busur Hanxiu, menabrak anak panah yang nyaris menancap di dada Zening.“Ada penyusup! Ada penyusup!”Entah dari mana asal teriakan itu, seketika semua yang hadir bercerai-berai. Suasana halaman istana menjadi gaduh dan tidak terkendali karena teriakan itu. Setiap orang berlari saling tabrak menyelamatkan diri.“Yang Mulia, sebaiknya kita juga kembali ke istana. Situasinya sulit untuk dikendalikan,” usul Huazhi dengan mata waspada mengawasi udara sekitarnya.“Ayo!” Wang Yang mengulurkan tangannya membawa Zening di bawah perlindungannya. “Ning’er,” tegurnya kala menyadari Zening sedang sibuk mencari sosok yang berhasil menghalau anak panah untuknya.“Yang Mulia, siapa yang menghalau anak panah tadi?” tanya Zening penasaran dengan mata masih mengedar ke sekitar.“Huazhi akan menyelidikinya. Ayo, kita segera kembali ke is

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 77-2

    “Yang Mulia, apa Anda tidak enak badan?” cemas Yuru.“Tidak. Aku merasa kondisiku hari ini adalah yang terbaik dari semua hari sejak aku melangkahkan kaki memasuki istana. Kenapa?” Zening memutar tubuhnya seraya merentangkan gaun sutra paduan warna emas dan merah.“T-tidak.” Yuru menggeleng takut-takut.Akhirnya, Zening tak kuasa menahan tawanya melihat wajah Yuru begitu tertekan akibat perubahan sikapnya, membuat dayang muda itu semakin kebingungan.“Ayo, pasang lagi yang perlu kau pasang.” Zening merentangkan tangannya, bersiap menerima perlakuan selanjutnya.“Sabuk!” pekik Yuru seraya menepuk dahinya.Ketika Yuru setengah membungkuk merapatkan diri memasang sabuk, Zening menundukkan kepalanya sedikit dan berbisik, “Setelah ini, pergilah ke penjara. Temui kakakku dan peringatkan dia untuk tetap waspada.”Yuru mematung, tidak merespon.“Pst! Kau deng

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 77-1 Teror Pernikahan

    Mata Mu Lan melebar. “M-maksudmu kau mengelabuinya?!”“Tidak sepenuhnya. Hanya membuatnya tidak mewaspadaiku.” Wang Yoo berjalan meninggalkan aula.“Aku tidak mengerti jalan pikirannya,” gumam Mu Lan.“Wang Yoo adalah pemuda yang pintar. Isi pikirannya sulit ditebak. Sebaiknya, kita tetap waspada.” Ziliang mengibaskan lengan hanfunya dan berjalan keluar.“Cih! Tidak ada yang benar-benar bertindak demi kepentinganku.” Mu Lan mendesah kesal. “Baiklah, karena kalian hanya memikirkan kepentingan kalian sendiri, maka aku juga akan berlaku yang sama.” Mu Lan memandangi token Rajawali Emas di tangannya dan mulai memikirkan hal apa yang bisa dia buat melalui token kayu itu.“Selir pun tidak masalah asalkan bisa memilikimu dan menyingkirkan lainnya,” gumam Mu Lan seraya tersenyum bengis.Keesokan harinya, seluruh istana sudah sibuk menyiapkan upacara pernikahan raja.

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 76-2

    “Katakan!” titah Wang Yang.Berikutnya, Mao dan Yue bergantian menceritakan kejadian pagi itu di depan kamar pribadi kaisar. Setiap detail kejadian tidak ada yang terlewat karena sebelumnya, Wang Yang sudah berpesan melalui Huazhi agar kedua pengawal itu menceritakan dengan jujur apabila sampai dipanggil menghadap.“Begitulah kejadiannya, Yang Mulia,” tukas Mao di akhir ceritanya.Wang Yang mengedar pandangan sekali lagi. Menatap wajah pejabatnya, termasuk Mu lan dan Ziliang.“Ampun, Yang Mulia! Berdasarkan cerita dua pengawal ini, Nona Li tetap harus dijatuhi hukuman,” ujar Bai He berkeras. “Terbukti dia menghina Putri Mu Lan di depan pengawal rendahan.”Demi menunjukkan kesetiaannya pada ibu suri, Bai He maju membawa petisinya. “Ini adalah petisi dari seluruh pejabat yang bekerja di Biro Tata Krama,” ungkapnya penuh rasa percaya diri sambil menyerahkan petisinya ke tangan Huazhi.

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 76-1 Terima Saja

    Ziliang memperhatikan mimik Mu Lan saat mengadu padanya. Gadis itu diliputi aura pemberontak yang luar biasa besar hingga menular padanya tanpa sadar. Ziliang dapat membayangkan suasana Aula Huanyang beberapa saat lagi, bila ia berhasil memanfaatkan emosi Mu Lan dengan tepat.“Hal penting seperti ini, mana bisa ditunda?” ujar Ziliang sambil menyungging senyum samar.“Tapi, Kanselir ….”Ziliang menggeleng cepat membungkam penjaga itu. “Aku yang akan bertanggung jawab. Buka jalan!”Setelah saling pandang sejenak, akhirnya dua penjaga itu mengangguk samar dan menegakkan kembali tombak di tangan mereka.“Bagaimana bisa, tontonan sebagus ini ingin kalian halangi?” lirih Ziliang sambil melangkah masuk.Melihat kanselir memasuki aula, beberapa pejabat yang berpihak padanya mengangguk hormat. Pejabat lain yang melihat sosok perempuan yang menggandeng tangan Ziliang, mulai menerka apa yang pria l

  • Raja Terakhir Dinasti Wang   Bab 75-2

    “Perempuan kasar sepertimu, lebih tidak pantas lagi,” desis Zening.Tangan Mu Lan kembali terayun.“Hentikan!” Suara Wang Yang menggelegar dari seberang selasar. “Hentikan, Wang Mu Lan!” ulang Wang Yang seraya setengah berlari menghampiri Zening.Dagu Zening yang bergetar menjadi hal pertama yang dicermati Wang Yang. “Apa kau baik-baik saja?” cemas Wang Yang dengan suara lembut.Zening hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan.Dengan mata menyala-nyala, Wang Yang menoleh menatap Mu Lan. “Aku tidak akan membiarkan hal ini begitu saja. Sikapmu melebihi batas, Mu Lan!”Brak!Keranjang yang sejak tadi dijinjingnya di tangan kanan, Mu Lan lepaskan hingga isinya jatuh berantakan ke tanah. Tangan itu terangkat lurus menunjuk Zening.“Dia yang bersikap tidak sopan padaku, Kak! Dia belum menjadi istrimu, tapi sudah berani bicara tidak sopan padaku! Tanya saja dua pengawal itu!” elak Mu Lan dengan nada kesal. “Dia bahkan berkata kalau aku tidak beretika!” imbuhnya tak terima.“Cukup! Kembali

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status