Share

Bab 7 Pesan Ayahanda

Kediaman Raja Wang Li, Istana Barat

“Ayah.” Wang Yang berlutut memberi hormat yang dibalas lambaian tangan Wang Li, meminta Wang Yang mendekat.

“Yang’er,” sapa Wang Li lirih.

Pria tampan penuh wibawa itu terbaring lemah di ranjang besar berlapis emas. Wajahnya kurus, ada rona biru kehitaman di bawah mata dan bibirnya yang kering.

“Ayah, maafkan putramu yang tidak berbakti. Yang’er tidak mendengar kabar apapun tentang kalian. Beruntung Ibu mengirim surat meminta Yang’er kembali, jadi Yang’er bisa datang mengunjungi Ayah.”

Wang Li meremas jemari tangan anaknya dalam genggaman. “Tidak apa-apa. Aku yang mengirimmu untuk pergi ke perbatasan. Aku merindukanmu, tetapi tidak ingin mengganggumu belajar.”

Kasim raja masuk membawa cawan dalam nampan. “Baginda, waktunya minum obat,” ucap kasim bertubuh subur itu seraya membungkuk.

“Sini, biar aku yang membantunya minum obat.” Wang Yang mengulurkan tangannya.

Perlahan, Cheng Zhaolin maju, mengantarkan nampan berisi cawan di tangannya. Wang Yang meraih cawan keramik berlukiskan pemandangan istana dengan hati-hati. Keningnya berkerut melihat warna cairan di dalam cawan, sangat tidak biasa.

“Ambilkan aku jarum akupunktur.”

Zhaolin sedikit tersentak mendengarnya. “Ma-maaf, Yang Mulia. Kalau boleh tahu, untuk apa Anda menginginkannya?”

“Aku hanya ingin menguji minuman ini,” sahut Wang Yang tenang. “Warnanya tak biasa,” imbuhnya.

Zhaolin segera merunduk, bersujud menempelkan dahinya ke lantai. “Ampun, Yang Mulia. Zhaolin pantas mati!”

“Bangunlah, kenapa harus bersujud begitu. Aku hanya ingin memeriksa minuman ini, bukan menuduhmu meracuni ayahku.”

“Yang’er, Zhaolin sudah bersamaku puluhan tahun. Dia tidak akan mungkin melakukannya.”

“Ayah, Yang’er hanya sedang waspada,” Yang’er tersenyum pada ayahnya. “Cepat, bawakan jarumnya!” titahnya dengan suara lebih tinggi.

Zhaolin bangkit segera, berjalan cepat menuju kotak obat milik tabib kerajaan yang sengaja ditinggal untuk mengobati raja. Tangan tuanya gemetar saat menyerahkan kotak jarum akupunktur pada Wang Yang.

“Ada apa denganmu? Kenapa menjadi ketakutan? Apa kau melakukan kesalahan?”

“Ampuni Hamba!” Zhaolin mengangkat tangannya ingin memberi hormat.

Prang!

Tangan gemetar itu menyenggol cawan obat di tangan Wang Yang, mengakibatkan cawan itu jatuh ke lantai. Ramuan herbal itu tumpah seluruhnya mengenai pakaian Wang Yang.

“Yang Mulia …!” Zhaolin tersungkur ke lantai dengan tubuh gemetaran. “Yang Mulia, Zhaolin pantas mati!” seru kasim itu sambil terus bersujud. “Hamba pantas mati.”

Wang Yang meraih gagang pedangnya di tangan kiri, bersiap menghunus. Melihat itu, Wang Li segera meraih ujung hanfu putranya dan menariknya. Wang Yang berpaling menatap ayahnya yang sedang menggeleng lemah ke arahnya.

“Keluarlah,” lirih Wang Li.

“Terima kasih, Baginda.” Zhaolin segera bangkit dan setengah berlari ia keluar menyelamatkan diri.

“Ayah, tapi dia –.”

“Yang’er, Zhaolin sudah melayaniku selama hampir dua puluh tahun. Dia rela menjadi kasim dan masuk istana untuk menjadi pelayanku. Jangan menakutinya.”

“Ayah, Yang’er yakin di dalam ramuan tadi terdapat racun yang dapat membahayakan nyawa. Izinkan Yang’er menyelidikinya.”

“Anakku, ingatlah kata-kataku ini. Kejahatan tidak akan sirna, bila kau hanya berkutat pada ekornya, sedangkan kepalanya kau biarkan terus ada.”

Yang’er terdiam sejenak, berusaha memahami apa yang ayahnya sampaikan. Sejurus kemudian, ia mulai mengangguk mengerti. “Baik, Yang’er akan selalu mengingatnya, Ayah.”

“Aku tahu semua yang terjadi di istana ini, hanya saja, aku harus mengutamakan rakyatku. Kita tidak bisa serakah, harus ada yang kita korbankan untuk menyelamatkan lainnya. Pada dasarnya, rakyat adalah raja kita yang sebenarnya. Langit akan murka dan mengutuk kita bila kita lalai.”

Mata tua itu mulai basah. “Bagaimana kabar adikmu? Aku belum bisa menjenguknya.”

“A-Yin sudah membaik. Ayah tidak perlu khawatir, ada aku di sini. Aku akan menjaga kalian semua.”

Raja tersenyum mendengarnya. “Kalian harus saling menjaga. Tahta tidak punya mata, tapi manusia punya mata dan hati. Bisa membedakan baik dan buruk, kawan dan lawan. Kau harus terus membantu saudara-saudaramu, terutama Putra Mahkota.”

Raja menghela napas sejenak. “Maafkan aku, karena sakitku, aku terpaksa menobatkan kakakmu menjadi Putra Mahkota karena desakan pejabat istana dari kubu kanselir. Aku harap, kau tidak sakit hati dan tetap mendukung Wang Su.”

“Ya, Ayah. Yang’er mengerti dan akan selalu ingat pesan Ayah.”

“Bagus, kau tidak pernah mengecewakanku. Belajarlah yang rajin, jangan sia-siakan waktumu di perbatasan. Aku akan menunggumu pulang.”

“Ya, Yang’er akan rajin belajar dan segera kembali ke istana.”

Setelah raja tertidur, Wang Yang keluar menemui Huazhi yang sejak tadi berdiri di depan pintu. “Kau awasi Zhaolin, sikapnya mencurigakan,” bisik Wang Yang lirih.

****

Kediaman Menteri Militer, Paviliun Houxiang

“Apa kau tidak lelah? Setelah berkuda cukup lama, langsung menuju dapur dan memasak berbagai macam makanan kesukaan Ayah.” Daehan menarik ujung lengan bajunya agar tidak terkena kuah makanan.

“Tidak, aku tidak lelah. Kebetulan aku bisa kembali ke istana dan mengunjungi Ayah.” Zening mengambil sepotong daging ayam dan meletakkannya ke dalam mangkuk Daehan. “Cobalah, Yah.”

Daehan mengikuti permintaan Zening, menyuap dan mengunyah perlahan. “Hmm, kemampuanmu memasak makin meningkat. Apa di perbatasan kau punya banyak waktu luang?”

“Ayah … tentu saja tidak. Aku hanya memasak saat ingin memakan masakan tertentu dan mereka tidak mengerti cara memasaknya.” Zening bergelayut manja di lengan kokoh ayahnya. “Jangan khawair, aku masih ingat tugas utamaku. Belajar giat dan membantu Kak Deyun menjaga perbatasan.”

Daehan mencubit lembut ujung hidung Zening. “Ayah tidak khawatir tentang itu. Justru yang Ayah khawatirkan adalah tentang jodohmu. Kalau kau terus berada di antara pria kasar, kau akan mudah terpengaruh dan lupa bahwa kau seorang wanita dari keluarga bangsawan.”

Zening menjauh. “Ish, harusnya Ayah katakan itu pada Kak Deyun. Dia yang harus menikah lebih dulu,” sungutnya kesal.

Sejak usianya genap tujuh belas tahun, kerapkali Daehan menyinggung soal pernikahan di hadapan Zening, membuatnya kesal. Zening menyuapkan lauk banyak-banyak ke dalam mulutnya hingga pipinya menggembung.

“Ning’er, apa yang kau lakukan? Pelan-pelan saja, tidak akan ada yang berebut denganmu.”

“Biarkan saja, biar aku berubah menjadi gemuk dan tidak ada pria yang menyukaiku. Dengan begitu, Ayah akan berhenti membahas pernikahan denganku,” sahutnya dengan mulut penuh makanan.

“Ya, ya, ya. Ayah tidak lagi membicarakannya. Makanlah perlahan.” Daehan hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya.

Seorang pelayan datang dan menekuk lututnya memberi hormat. “Maaf, Tuan, Nona. Seorang pemuda bernama Xiaoyang ingin bertemu.”

“Cepat juga dia datang,” gumam Zening.

“Antarkan dia ke ruang baca. Sebentar lagi kami selesai,” ucap Daehan pada pelayan rumahnya.

“Baik, Tuan.” Pelayan itu mengangguk dan pergi.

“Ayah, sebenarnya siapa dia? Kenapa Selir Chu ingin bertemu dengannya? Bukankah Ayah katakan bahwa dia putra dari seorang pejabat rendahan? Dan apa yang terjadi di sini? Begitu sepi dan dingin.”

“Terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab. Ikutlah menemui Xiaoyang, dengan begitu, rasa ingin tahumu akan terjawab.” Daehan beranjak lebih dulu.

“Untuk apa aku menemui pria menyebalkan itu? Lebih baik aku diam di sini menggemukkan badan.”

“Paman Li,” sapa Xiaoyang hormat saat

“Duduklah. Apa kau sudah bertemu dengan keluargamu?”

“Sudah, Paman. Banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang yang terjadi di istana.”

“Tunggu.” Daehan menutup pintu di belakangnya dan meniup lilin dan lentera yang menerangi ruang baca, kemudian melangkah mendekati Xiaoyang.

“Ada apa, Paman?” tanya Xiaoyang heran.

“Hanya memberikan isyarat pada Zening bahwa yang sedang kita bahas adalah hal rahasia.” Daehan menuntun bahu Xiaoyang agar mengikutinya.

“Apa dia akan menerimanya?”

“Kami punya kesepakatan bahwa setiap orang berhak menyimpan rahasianya dan meniup lentera adalah salah satu tandanya, walau tidak bisa memadamkan rasa ingin tahu dan amarahnya,” kekeh Daehan. “Lanjutkan ucapanmu tadi.”

Mereka duduk berhadapan, saling berpandangan dalam gelap.

“Paman, apa yang terjadi selama aku tidak ada?” tanya Wang Yang dengan suara lirih.

“Pangeran, banyak yang terjadi di sini. Para pejabat tidak takut lagi melakukan kecurangan sejak raja jatuh sakit. Kanselir memegang kendali atas pemerintahan mewakili raja, sehingga terjadi pergunjingan yang berujung pada desakan untuk segera mengangkat Pangeran Wang Su sebagai Putra Mahkota.”

“Apa mereka sudah tidak waras?!”

“Saya tidak punya kesempatan untuk menghadap raja dan menanyakan langsung padanya. Ratu Qi membatasi pengunjung dengan alasan kondisi kesehatan Raja Wang Li. Apa Anda sudah bertemu dengan Baginda?”

“Ya, aku sudah bertemu dengannya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Bahkan sepertinya beliau tahu bahwa dia sedang diracuni oleh orang terdekatnya.”

Daehan terbeliak kaget. “Apa?!”

“Ayah berpesan padaku untuk menangkap kepalanya, bukan hanya memotong ekornya. Paman, bantu aku melindungi ayah dan A-Yin. Kirim orang untuk menyelidiki yang terjadi di sana.”

“Apakah tidak sebaiknya Anda tinggal lebih lama di istana?”

Wang Yang menggeleng. “Ayah memintaku untuk belajar giat dan segera kembali ke istana membantu Putra Mahkota.”

Daehan mengangguk mengerti, kemudian menyalakan semua lilin dan mulai menulis surat.

“Pangeran, istirahatlah dengan nyenyak malam ini. Besok pagi-pagi sekali, Anda harus segera kembali ke perbatasan. Tunjukkan surat ini pada Li Deyun, dia akan mengerti.”

“Baik, terima kasih bantuanmu, Paman Li.”

****

Pagi-pagi sekali, seperti yang dipesan Daehan, Wang Yang pergi berpamitan pada ayah dan ibunya. Menyempatkan menemui Wang Yin sambil menunggu laporan penyelidikan dari Huazhi. Namun, setelah lama menunggu, Huazhi tak kunjung menampakkan batang hidungnya hingga Wang Yang memutuskan untuk segera pergi.

Di tengah perjalanan, tepat di tengah hutan bambu, Ru Feng menunjukkan kegelisahan yang tak biasa. Zening memutuskan untuk berhenti sejenak memeriksa kondisi kuda kesayangannya.

Zening turun dari punggung kuda, berjalan pelan ke depan Ru Feng. “Hei, ada apa denganmu? Kenapa kau gelisah begini, Anak Pintar?” tanya Zening sambil mengelus kepala berbulu putih di depannya. “Apa yang membuatmu ketakutan?”

“Sepertinya dia kesakitan. Coba periksa kakinya.”

“Sok tahu!” ucap Zening ketus.

Tidak sabar melihat perlakuan Zening pada kudanya, Xiaoyang turun dari kudanya dan dengan cepat menarik kaki kanan bagian belakang Ru Feng. Benar saja, sebuah pasak kecil tertancap di sana.

“Astaga! Siapa yang tega melakukan ini padamu, Nak?!”

“Dia tidak akan menjawabmu.”

Zening melotot marah pada Xiaoyang. “Bisa tidak kamu berlaku sedikit lembut padanya? Dia sudah bersamaku hampir dua tahun. Jangan kasar padanya!”

“Kita harus mencabut pasaknya agar dia bisa kembali berlari. Kalau tidak, kita akan –.”

Zleb!

Hhiieekk ….

Sebuah anak panah melesat mengenai paha kanan Ru Feng, membuat kuda itu meringkik kesakitan dan mengangkat dua kaki depannya. Zening yang berada tepat di bawah kaki kuda hanya bisa ternganga kaget karena kejadian itu begitu cepat.

“AWAS!”

Brug!

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status