Nicole mengerjap beberapa kali, membuka kedua matanya. Perlahan di kala dua mata indah wanita itu sudah terbuka—cahaya putih menjadi object utamanya. Aroma khas rumah sakit membuat Nicole langsung menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit. Nicole sedikit mengendarkan pandangannya. Benar saja, dirinya berada di rumah sakit. Tapi tunggu! Sosok pria yang duduk di sofa dan mendekat pada Nicole, membuat wanita itu terkejut melihat sosok pria itu.“Kau sudah sadar?” Oliver menatap Nicole dengan tatapan dalam. Ada rasa lega dalam dirinya, melihat Nicole sudah siuman. Meski dia tahu wanita itu selalu marah-marah ketika membuka mata, tapi itu jauh lebih baik, daripada Nicole tak sadarkan diri.Nicole bingung dan tak mengerti. “Oliver? Kenapa kau di sini? Lalu, kenapa aku juga di rumah sakit? Ada apa denganku?”Nicole melihat tangannya sudah terpasang selang infus. Dirinya berada di ruang rawat VIP. Ada apa dengannya? Kenapa dia berada di rumah sakit? Begitu bertanyaan muncul di dalam ben
“Kau belum tidur?” Oliver melangkah masuk ke dalam ruang rawat Nicole. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Pria itu pikir Nicole sudah terlelap, namun ternyata apa yang Oliver pikirkan salah besar. Mata wanita itu masih terbuka lebar seolah sama sekali tak mengantuk.Nicole menatap dingin Oliver yang mendekat ke arahnya. “Aku belum mengantuk. Kenapa kau ke sini?” tanyanya ketus. Dia sudah meminta Oliver pergi, tapi nyatanya pria menyebalkan itu tetap masih ada di depannya.“Bukankah tadi aku sudah bilang padamu, aku akan kembali ke sini lagi?” Oliver duduk di tepi ranjang, menatap Nicole dengan tatapan penuh arti. Nicole mendesah pelan. “Calon istrimu tadi datang ke sini.”“Maksudmu Shania?” Sebelah alis Oliver terangkat.“Memangnya calon istrimu siapa lagi selain Shania, Oliver? Oh, atau jangan-jangan kau memiliki banyak calon istri?” Nicole menyunggingkan senyuman sinis. “Tidak heran kalau kau memiliki banyak calon istri, aku sangat mengenal betapa berengseknya dirimu.” Lanjut
Oliver dan Shawn melemparkan tatapan tajam satu sama lain. Tatapan yang tersirat bengis dan begitu arogan. Dua pria tampan itu memiliki tinggi tubuh yang sama. Bahkan sama-sama memiliki iris mata cokelat gelap yang begitu tegas. Oliver dikejutkan dengan Shawn yang ada di hotel di mana Nicole menginap. Sebuah kebetulan yang tak mungkin tak disengaja. Detik itu juga, hati Oliver memanas dan merasa terusik melihat sepupunya.“Kau sendiri kenapa ada di sini?!” Oliver tak langsung menjawab pertanyaan Shawn. Pria itu malah balik bertanya. Nada bicaranya tegas, dan tersirat menahan amarah.Shawn bergeming di tempatnya. Sepasang iris mata cokelat gelap Shawn kian menajam. Terlebih Oliver balik bertanya padanya, tanpa dulu menjawab pertanyaannya. “Aku ke sini ingin bertemu dengan Nicole. Kau kenapa ada di sini?”“Untuk apa kau bertemu dengan Nicole?” Oliver seperti tak suka mendengar Shawn ingin bertemu dengan Nicole. Seperti bara api yang ada di atas kepalanya, begitu panas membakarnya.Sh
Nicole meminum jus buah yang baru saja diantar oleh staff hotel. Kondisi Nicole sudah sangat membaik. Terakhir wanita cantik itu minum obat tadi siang saja. Sekarang di kala malam hari, Nicole malas untuk minum obat. Lagi pula, Nicole merasa dirinya sudah sangat sehat. Jadi tak masalah, kalau tidak minum obat.Nicole meletakan gelas di tangannya ke atas meja. Menyandarkan punggungnya di kepala ranjang seraya memejamkan mata perlahan. Pikiran wanita itu benar-benar sangat lelah. Nicole ingin segera kembali ke Swiss, tapi semua itu tak mungkin.Wanita itu selalu saja memiliki hambatan di kala dirinya menemani Shania melihat Wedding Venue. Sungguh, Nicole merasakan dirinya ini seperti terkena kutukan. Semakin Nicole menjauh dari Oliver, malah semesta seolah membuat Nicole semakin dibuat dekat dengan pria berengsek itu.Suara dering ponsel berbunyi. Refleks, Nicole mengambil ponselnya yang ada di atas meja dan menatap ke layar tertera nomor asing muncul di sana. Tampak kening Nicole menge
“Sadie, siang ini aku memiliki janji. Aku tidak enak membatalkan janjiku.”“Nona, tapi client ini sangat penting.” “Kau dan team creative saja yang menggantikanku bertemu dengannya.”“Nona, tapi—” “Sadie, aku memiliki janji bertemu dengan Shawn. Aku tidak enak kalau membatalkan janjiku dengan Shawn. Lagi pula client ini belum sama sekali memberi tahukan konsep pernikahannya. Mereka juga mendadak. Tidak apa-apa. Kau dan team creative saja mengurus client itu.”“Baik, Nona.” “Oh, ya, Sadie. Apa ayahku tahu tentang aku baru keluar dari rumah sakit?”“Tidak, Nona. Nona Shania benar-benar tutup mulut. Beliau menuruti apa yang saya sampaikan pada beliau.” “Good, aku pikir Shania sudah memberi tahu. Tadi pagi ayahku menghubungiku sampai tiga kali, tapi aku malas berbicara dengannya. Itu kenapa aku bertanya padamu untuk memastikan.”“Anda tenang saja, Nona. Tuan Mayir tidak tahu kalau Anda baru saja keluar dari rumah sakit.” “Ya sudah, Sadie. Aku tutup dulu. Aku sedang bersiap-siap.”“Ba
Nicole terdiam menatap hamparan jalan yang luas. Sorot pandang Nicole lurus ke depan, dengan pikiran yang menerawang jauh. Dalam hati, Nicole merasa sedikit bersalah pada Shawn. Padahal sebelumnya dirinya telah berjanji akan makan siang dengan Shawn. Meskipun Shawn tak mempersalahkan, tapi tetap saja Nicole merasa tak enak.Semua ini karena ulah Oliver Maxton. Dia menjadi dalang rusaknya makan siangnya dengan Shawn. Jika saja, Oliver tak menculiknya, maka sudah pasti Nicole akan pergi makan siang bersama dengan Shawn. Sungguh, Nicole benar-benar dibuat sakit kepala dengan kegilaan Oliver.Saat Nicole melihat ke luar jendela—tatapan matanya terkejut kala mobil yang dilajukan Oliver memasuki gedung apartemen. Mata Nicole melebar, menatap Oliver dengan tatapan yang bingung dan tak mengerti.“Oliver, kenapa kau membawaku ke apartemen? Ini apartemen siapa?” cerca Nicole bertanya. Rasanya tak mungkin ada wedding venue di gedung apartemen ini.Oliver memarkirkan mobilnya dan berkata, “Turunl
Awan terang telah ditutupi oleh awan gelap. Kilat petir telah membelah langit. Cahayanya menyilaukan. Gelegar petir bergemuruh seakan membuat langit menunjukkan kemegahannya. Tampak Nicole berdiri di jendela kamar melihat cuaca di luar. Hujan sedari tadi tak kunjung reda. Pun gelegar petir tak juga berhenti.Nicole masih berada di penthouse Oliver. Nicole tak bisa pulang jika cuaca di luar sedang tak mendukung. Nicole tidak mungkin memaksa Oliver mengantarnya di tengah hujan lebat. Wanita itu juga tidak mungkin meminta Sadie menjemputnya kala kondisi cuaca di luar tak mendukung.“Kenapa cuaca ingin sekali aku benci? Kalian boleh turun hujan, jika aku sudah pulang. Jangan turun hujan sekarang.” Nicole mengomel sendiri. Dia ingin pulang tapi semua terhambat karena cuaca buruk. Oliver menyesap kopi di tangannya seraya menatap Nicole yang mengomel. “Kau mau marah-marah juga percuma, Nicole. Hujan tidak akan berhenti.”Nicole berdecak kesal pada langit luas. “Kalian menyebalkan!”Gelegar
“Terima kasih sudah mengantarku pulang. Lain kali jika terjadi sesuatu padaku, lebih baik kau hubungi asisten pribadiku. Kau tidak usah membuang energy untuk membantuku.” Nicole berucap dingin pada Oliver yang duduk di kursi pengemudi. Nicole tak mau melihat Oliver. Wanita itu hanya melihat keluar jendela mobil seperti enggan menatap Oliver.Saat ini Nicole telah diantar Oliver ke hotel di mana dirinya menginap selama di London. Dia mengatakan meminta Oliver untuk tak lagi membantunya di kala dirinya terkena masalah, karena dia tak mau mendengar Oliver menuntut balas budi. Cukup kemarin saja Nicole menuruti kegilaan Oliver. Wanita itu tak mau lagi terjebak dalam kegilaan Oliver.“Turunlah. Kau butuh istirahat. Tidak usah langsung bekerja. Kesehatanmu belum pulih sepenuhnya. Ambil waktu istirahat beberapa hari. Setelah itu baru kau bekerja lagi.” Oliver tak mengindahkan apa yang dikatakan oleh Nicole tadi.Mendengar ucapan Oliver, membuat Nicole mengalihkan pandangannya, menatap dingin