Langkah Alura menimbulkan gema lembut di lantai batu hitam menara. Tapi gemanya tidak seperti biasanya, suara itu memantul dengan jeda aneh, seakan waktu di dalam tempat ini berjalan dengan ritme yang berbeda. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran melingkar yang bergerak perlahan, seperti urat nadi. Setiap kali Alura mendekat, simbol-simbol itu bersinar, bukan dengan cahaya biasa, tapi dengan emosi. Ada rasa takut, marah, luka, cinta... semuanya hidup, menempel pada udara seperti embun beku. “Selamat datang di dalam kepalamu,” kata Sazhar, menyusul di belakang. Suaranya seperti gema dari arah yang tak pasti. Alura menoleh cepat. Tapi ia tak menemukan sosoknya. Hanya bayangan yang memanjang di lantai... tanpa tubuh. “Sini bukan ruang dunia,” lanjut Sazhar. “Menara ini adalah pengurai. Ia menghapus batas antara memori dan kenyataan, lalu menatanya ulang... agar kau melihat bukan hanya kebenaran, tapi juga penyangkalannya.” Langkahnya terhenti ketika dinding di depannya membuka sendiri
Menara itu tinggi, terlalu tinggi. Seakan-akan memecah langit yang sudah retak, dan mengaitkan sesuatu yang tak seharusnya tersambung kembali. Tapi anehnya, menara itu tidak memiliki bayangan. Cahaya matahari redup jatuh dari segala arah, tapi tidak ada bayangan panjang yang mengikuti tubuhnya. Seolah ia menolak terikat oleh hukum cahaya. Seolah keberadaannya... menolak kenyataan. “Menara ini bukan dibangun,” bisik Arga. “Ini... tumbuh.” Alura mengangguk pelan. Ia bisa merasakannya denyut lembut di udara, seperti napas. Seolah menara itu makhluk yang sedang tertidur. Tapi bukan tidur damai. Rafael menggenggam gagang pedangnya lebih erat. “Kau yakin kita harus masuk?” Alura menoleh. Matanya gelap, tapi tegas. “Kalau kita menunggu lebih lama... dia akan keluar.” Langkah pertama mereka mendekati dasar menara membawa perubahan halus. Udara di sekitar mereka menjadi lebih berat, seperti berjalan di dalam air. Batu-batu tanah menggeliat perlahan, seakan memberi jalan. Dan dari dindin
Langit terus meratap. Tangisan tak bersuara itu turun ke bumi dalam bentuk cahaya suram yang membekukan udara. Suara-suara dunia mulai membisu satu per satu desiran angin, gesekan daun, bahkan detak jantung mereka pun terasa jauh. Seolah-olah dunia tengah mempersiapkan sesuatu. Menanti sesuatu. Dan di tengah keheningan yang menghimpit, Alura mengambil langkah pertama. Satu langkah ke arah dirinya sendiri versi kosong dari dirinya, yang lahir dari cahaya merah gelap Gerbang. Setiap langkahnya meninggalkan jejak api biru di tanah, tapi tak ada yang terbakar. Api itu dingin... dan hidup. Rafael bergerak, ingin menghentikannya. Tapi Arga menahan lengan pria itu. “Biar dia sendiri yang memilih,” ujar Arga pelan. “Gerbang tidak bisa dipaksa. Bahkan oleh cinta.” Rafael menatapnya sejenak, lalu menurunkan senjatanya dengan enggan. Alura berhenti tepat di depan sosok tiruannya. Ia mengulurkan tangan. “Aku tak akan memilih sisi mana pun,” bisiknya. “Tapi aku akan mengenali semua sisi da
Makhluk itu belum menyentuh tanah, tapi kehadirannya saja membuat rerumputan mati, udara menjadi berat, dan cahaya surut dari segala arah. Langkah-langkahnya seperti gerakan bayangan dalam air lambat, tapi menyentuh semuanya sekaligus. Alura menatap bentuk tak bernama itu dari balik reruntuhan batu, jantungnya berdentum tak karuan. Rasanya bukan seperti ketakutan biasa. Ini... lebih mendalam. Lebih kuno. Seolah tubuhnya mengenal makhluk itu bahkan sebelum pikirannya mampu mengerti. “Dia berasal dari dalam Gerbang, bukan?” tanya Rafael, suaranya pelan namun penuh ketegangan. Arga, masih bersandar lemah pada batu besar, mengangguk. “Bukan hanya dari dalam Gerbang... dia mungkin adalah Gerbang itu sendiri bentuk awalnya, sebelum manusia memberinya nama.” Makhluk itu terus merangkak di udara, lalu berhenti. Kepalanya atau sesuatu yang menyerupai kepala berputar perlahan ke arah mereka. Tidak ada wajah. Tidak ada mata, hidung, atau mulut. Hanya permukaan gelap berdenyut pelan, seolah s
Ketika serpihan langit menyentuh tanah, tidak ada ledakan. Tidak ada gemuruh. Tidak ada kehancuran seperti yang mereka kira. Yang ada hanya... hening. Hening yang memekakkan. Tanah tempat mereka berdiri bergema pelan. Seolah bumi menahan napas, lalu menghembuskannya perlahan dalam bentuk desir angin yang membawa partikel cahaya hitam keunguan. Di tempat jatuhnya serpihan itu, terbentuk sebuah lubang kecil, tak lebih besar dari telapak tangan. Tapi dari dalamnya, udara keluar dengan suhu beku dan aroma logam yang membuat Rafael langsung menarik napas pendek. “Ini... bukan udara dari dunia kita,” bisiknya. Alura melangkah perlahan, matanya menatap lubang itu dengan campuran rasa ingin tahu dan gentar. Ada sesuatu di dalamnya. Bukan benda, bukan makhluk, tapi... suara. Terlalu lemah untuk dimengerti, tapi cukup kuat untuk dirasakan. “Jangan terlalu dekat,” kata Arga tiba-tiba. Suara pria itu terdengar lebih berat dari biasanya. Ketika Alura menoleh, ia terkejut. Arga... gemetar.
Langit belum kembali seperti semula. Retakan itu masih menggantung, seolah-olah jagat raya sedang menahan napas. Cahaya merah keunguan menetes perlahan dari celah di langit, membentuk semburat cahaya seperti tetesan darah dewa yang membelah awan. Di bawahnya, Alura duduk bersandar pada pilar batu yang separuh runtuh. Nafasnya belum sepenuhnya stabil, dan gemetar di jari-jarinya belum juga berhenti. Tapi matanya... matanya sudah tak sama. Ia pernah memandang dunia dengan rasa penasaran dan kehati-hatian. Kini, ada sesuatu yang lain, sebuah bayangan tenang yang tidak berasal dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri. Seolah suara Myra telah meninggalkan bekas permanen di bagian terdalam jiwanya. "Air." Suara Rafael lembut. Alura mengangkat kepalanya pelan. Rafael menyodorkan kantung air padanya. Jemari mereka bersentuhan sebentar. "Terima kasih," gumamnya. Arga berdiri tidak jauh. Tubuhnya masih dibalut luka, tapi bukan itu yang membuatnya tampak rapuh. Matanya. Tatapannya yang