แชร์

Bab 19. Luka yang Belum Mati

ผู้เขียน: Quennnzy
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-03 14:55:38

Langkah Alura kembali menapaki lorong-lorong kecil di bawah taman. Saat ia hendak naik kembali ke atas, cahaya dari cermin air yang barusan ia tinggalkan masih bersinar lembut di balik punggungnya.

Dan sesuatu terjadi.

Dari dinding batu di dekat tangga keluar, muncul simbol mata yang sama, namun kali ini, berdenyut perlahan, seolah merespons detak jantungnya.

Alura menyentuh dinding itu.

Suara ibunya terdengar kembali.

"Jika kau menemukan altar ini, maka waktumu telah tiba. Kau akan memilih: menjadi bayangan... atau menjadi cahaya yang bahkan iblis tak bisa padamkan."

Napasnya tercekat. Ia tahu, apa pun yang datang setelah ini... tak akan bisa ia tarik kembali.

Begitu ia muncul kembali di permukaan, langit mulai berubah. Awan gelap berkumpul, bukan seperti hujan biasa. Ada aura di sana—siaga, terbangun.

Dan ia sadar.

Gerbang keempat, lambat laun... sedang menatapnya.

Dan dunia ini akan mulai bersiap. Entah untuk menyambutnya.

Atau... menghancurkannya.

Di malam
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 56. Nama yang Tidak Boleh di Ucapkan

    Lorong tempat Alura menghilang menutup dengan sendirinya, meninggalkan Rafael dan Arga di kegelapan yang lebih tebal dari sebelumnya. Bukan sekadar gelap karena tak ada cahaya, tapi gelap yang hidup, yang mengembuskan napas ke tengkuk, yang berbisik nama-nama dari masa lalu. Arga menahan napas. Tangannya menyentuh dinding basah di sampingnya. Batu itu berdenyut seperti nadi, seolah tempat ini bukan dibangun, melainkan dilahirkan. “Dia ke mana?” tanya Rafael akhirnya, suaranya serak, dingin. “Bukan ke mana. Tapi ke… sisi lain,” jawab Arga pelan. “Gerbang Kedelapan bukan hanya cermin, tapi juga jalur ke bagian dari dirinya yang belum pernah disentuh siapa pun.” Rafael mencengkeram gagang pedangnya, seolah menahan marah. Tapi bukan kepada Arga. Bukan juga kepada tempat ini. Melainkan kepada dirinya sendiri. Karena ia membiarkan Alura melangkah sendirian. Sementara itu, Alura berdiri di tengah ruangan yang terasa tak berbatas. Tidak ada lantai. Tidak ada langit-langit. Hanya semburat

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 55. Gerbang Kedelapan

    Langkah mereka terhenti di hadapan lorong batu yang hening, tak bernama, tapi seolah menyimpan nafas ratusan jiwa. Ruangan sebelumnya menghilang begitu saja, digantikan oleh dinding-dinding kelam yang tampak lebih tua daripada reruntuhan lain yang pernah mereka temui. Di langit-langit, akar-akar menggantung seperti tali jemput maut, dan udara menjadi lebih berat, seakan memaksa dada mereka untuk mengakui: inilah akhir dari penyangkalan. "Apa ini bagian terdalam dari Vellen Thar?" tanya Arga pelan, suaranya seperti direndam lumpur ketakutan. Tidak ada yang menjawab. Alura berdiri di depan, tubuhnya nyaris membeku. Mata ungunya memandangi sebuah ukiran pada dinding batu yang mulai retak, sebuah ukiran yang entah kenapa, terasa sangat… familiar. Bukan dalam ingatan, tapi di daging. Di tulang. Seolah dia sendiri yang pernah mengukirnya dalam kehidupan lain. “Ke mana kamu pergi, Silvanna… Mengapa kau tidak kembali saat kami memanggilmu?” Bisikan itu muncul lagi pelan, namun menusuk le

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 54. Hati yang Tersentuh Bayangan

    Langkah Alura terasa berat ketika ia meninggalkan ruang gelap tempat “mata” itu menatap. Udara di koridor sempit reruntuhan Vellen Thar kini lebih lembap, seakan baru saja dilewati sesuatu yang hidup dan bernapas. Rafael berjalan di sampingnya, diam, seolah kata-kata tak bisa menjelaskan apa yang baru saja mereka saksikan. "Apa kau melihatnya juga?" Alura bertanya akhirnya, suaranya rendah dan sedikit gemetar. Rafael mengangguk pelan. "Mata itu… bukan hanya simbol. Ia hidup. Ia menilai kita." Alura menarik napas dalam, tapi paru-parunya seolah menolak udara. Sejak mereka meninggalkan ruang itu, ada sesuatu yang ikut bersamanya. Bukan makhluk, bukan bayangan fisik melainkan sesuatu yang merayap perlahan di pikirannya. Suara yang berbisik bukan dengan kata, tapi dengan emosi. Dan setiap kali ia mencoba mengusirnya, bisikan itu menyelusup kembali seperti kabut dingin menyelinap ke celah-celah celana perang yang robek. Mereka sampai di ruangan kecil yang agak aman, dipenuhi reruntuhan

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 53. Mata dari Seberang Gerbang

    Langit di atas Vellen Thar masih kelabu seperti hari sebelumnya, tapi ada sesuatu yang berbeda pagi itu. Udara tidak hanya dingin, ia menggigit, menembus kulit dan menyusup ke tulang. Bahkan kabut yang biasanya diam, kini seolah bergerak perlahan, menyelinap masuk ke celah-celah reruntuhan, seperti makhluk hidup yang sedang mengintai. Alura berdiri di tepi sebuah lorong yang menganga di tengah kota kuno itu, jalan menuju bagian terdalam dari Vellen Thar. Tanahnya retak dan merah kehitaman, seolah pernah terbakar dari dalam. Rafael ada di belakangnya, diam, tapi waspada. "Ini jalur menuju Gerbang Keempat," gumam Rafael. "Tapi pagi ini... rasanya lain." Alura mengangguk pelan, seakan pikirannya ada di tempat lain. “Kau dengar itu?” bisiknya. Rafael mengerutkan dahi. "Dengar apa?" Telinga Alura menangkap suara samar seperti desah napas, atau mungkin desir kain menyentuh batu. Tapi saat ia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Hanya reruntuhan, angin, dan kabut yang terus menebal. “Sudah

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 52. Tanda yang Tak Bisa di Hapus

    Angin yang berembus dari celah reruntuhan Vellen Thar tak membawa bau tanah, melainkan besi dan darah. Dingin yang menusuk bukan karena udara, melainkan karena keheningan yang terlampau dalam. Di bawah bayang-bayang tiang batu yang runtuh dan akar-akar kering yang menggantung dari atap gua, Arga terjaga. Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa sakit di tulang-tulangnya tak mengizinkan tidur. Tangannya gemetar saat menyentuh sisi rusuknya yang robek, lalu meraba bagian dadanya. Di sana samar, tapi menyala dari dalam ada tanda. Seolah-olah tinta merah gelap telah meresap ke dalam daging dan tulangnya. Bukan sekadar luka, melainkan ukiran. Mantra darah. Kutukan lama. Ia memejamkan mata. Tapi bahkan dalam gelap, tanda itu menyala samar. Berdetak. “Tanda itu tidak akan hilang,” suara itu datang dari balik pikirannya. “Karena itu bukan pemberian, Arga. Itu pengingat.” Arga menggigit bibir. Suara itu sudah lama tidak muncul. Tapi kini, sejak Gerbang Kedelapan terbuka, sejak tanah ini

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 51. Langkah Setelah Duka

    Langit belum benar-benar sembuh dari retakannya. Cahaya ungu lembut masih menjalar samar seperti guratan luka yang belum kering, menyelimuti reruntuhan Vellen Thar dalam aura ganjil dan hening. Tak ada suara burung, tak ada bisikan angin. Seolah dunia menahan napas, menunggu... sesuatu. Alura berdiri di antara sisa-sisa lingkaran batu. Rambutnya kusut, gaunnya ternoda debu dan darah yang sebagian telah mengering. Tapi mata itu mata hitam legam yang dulunya membakar karena amarah dan kehilangan, kini hanya menyimpan satu hal: keheningan. Bukan damai. Bukan pula pasrah. Tapi keheningan seorang yang baru saja menatap wajah dirinya sendiri, dan memilih untuk tidak lari. Rafael berdiri tak jauh dari sana. Ia telah mengikat luka di lengannya, namun sorot matanya tak lepas dari Alura. “Kau kembali,” ucapnya perlahan. Alura mengangguk, suara tenggorokannya masih serak. “Aku tidak pernah benar-benar pergi,” jawabnya, walau bahkan ia sendiri tak yakin apakah itu benar. Gerbang Kedelapan

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status