LOGINLangit mendung belum bergeser sejak pagi. Angin yang masuk melalui celah jendela kamar Alura membawa bau tanah basah, tapi ada sesuatu yang lain juga, aroma logam samar, seperti... darah.
Alura berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran gelap samar di bawah matanya. Tubuhnya letih, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk tidur nyenyak. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan selembar kertas tua yang semalam ia temukan, terlipat rapi di dalam buku warisan milik ibunya. Di permukaan kertas itu, tercetak simbol asing berwarna merah gelap, hampir seperti ukiran darah kering. Tidak seperti tulisan manusia. Tapi anehnya... ia bisa membacanya. “Darah adalah kunci, bukan kutukan. Simbol adalah pintu, bukan akhir.” Kalimat itu terngiang dalam kepalanya. Hatinya berdebar. Alura tahu, ini bukan pesan biasa. Simbol itu mirip dengan yang ia lihat dalam mimpi-mimpi anehnya dan di punggungnya sendiri. Kadang berdenyut panas saat malam tiba, seolah hidup. Ia menyentuh punggungnya perlahan, merasakan denyutan samar di bawah kulit. Segel itu... mulai bereaksi sejak malam Rio menunjukkan tatapan itu. Dan sejak makhluk kabut muncul, semuanya terasa lebih dekat. Ketukan di pintu memecah lamunannya. “Alura?” suara pelayan perempuan dari luar. “Nyonya Keysha ingin bertemu di taman belakang.” Alura menghela napas. Ia menyimpan kertas itu, lalu melangkah keluar kamar. Taman belakang itu sunyi. Udara dingin menusuk tulang, dan embun belum sepenuhnya hilang dari rerumputan. Di bawah pohon ek tua, Keysha duduk sendirian. Tidak ada cangkir teh di tangannya hari ini. Tidak ada senyum basa-basi. Wajahnya pucat dan matanya kosong. Alura berjalan mendekat, menunggu kata-kata keluar lebih dulu dari mulut wanita itu. “Pernahkah kau melihat sesuatu yang terus mengikutimu, bahkan saat kau menutup mata?” suara Keysha akhirnya terdengar, nyaris seperti bisikan. Alura tidak menjawab. Tapi langkahnya melambat. Ia tahu... Keysha tidak sedang berbicara soal mimpi. Keysha menoleh, menatap Alura lama. Ada bekas luka tipis di bawah matanya garis merah yang belum ia lihat sebelumnya. “Malam itu... aku tidak hanya melihat sosok itu,” bisik Keysha. “Dia... memanggilku dengan nama asliku. Nama yang tak pernah aku ucapkan lagi sejak perjanjian itu.” Alura mengerutkan kening. “Perjanjian apa?” Keysha tersenyum pahit. “Kau pikir hanya kau yang terikat kontrak, Alura? Rumah ini... pernikahan ini... bukan panggung kosong. Kami semua pion dalam permainan tua.” Angin berhembus lebih kencang, membawa aroma mawar mati. Alura menatap wanita itu dalam diam, mencoba membaca di balik matanya. “Dia bilang... darahku tak cukup,” kata Keysha pelan. “Bahwa kau adalah kunci terakhir. Dan bahwa waktuku akan habis... jika aku tak segera memilih sisi.” Untuk sesaat, Alura merasa dingin merayap naik dari kakinya. “Simbol itu...” ucap Alura, “...kau juga melihatnya?” Keysha mengangguk lemah. Ia menyibak sedikit bagian lehernya, menunjukkan ukiran kecil berwarna hitam yang tampak membekas di kulit, simbol tua, nyaris sama seperti milik Alura, tapi... rusak. “Aku gagal menjaganya,” ujar Keysha lirih. “Dan sekarang, semuanya akan bergantung padamu.” Diam menggantung lama di antara mereka. Bukan karena permusuhan. Tapi karena keduanya mulai menyadari... musuh yang sesungguhnya bukanlah mereka satu sama lain. “Kalau kau ingin tahu segalanya, pergilah ke ruang bawah,” lanjut Keysha. “Lantai tersembunyi di balik rak buku perpustakaan. Arga menyembunyikan lebih dari yang kau tahu.” Alura mengangguk perlahan. Tak ada kata terima kasih. Tak perlu. Langkahnya berbalik, dan sebelum ia pergi, Keysha berkata lirih, “Kalau kau temukan nama ibumu di sana... jangan kaget. Dia pernah berdiri di tempatmu. Dan membuat pilihan yang tidak bisa dibatalkan.” Langkah Alura menuju perpustakaan terasa berat, seolah rumah ini mulai menolak gerakannya. Setiap lorong dilewati dalam diam yang terlalu sunyi, terlalu dalam. Hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar… dan napasnya sendiri. Perpustakaan besar itu remang. Cahaya matahari hanya masuk lewat kaca patri tinggi. Rak-rak buku menjulang, berdebu, dan terasa menatap balik padanya. Ia berjalan pelan, menyusuri bagian belakang sesuai petunjuk Keysha. Rak terakhir tampak biasa, tapi Alura tahu ada sesuatu yang tersembunyi. Ia menyentuh sisi kayunya, lalu menarik sebuah buku tua dengan lambang mirip simbol di tubuhnya. Bunyi klik pelan terdengar. Rak itu bergeser perlahan, mengungkapkan sebuah celah sempit menuju ruang bawah tanah. Bau tanah dan besi tua langsung menerpa wajahnya. Tangga batu menurun, tanpa penerangan. Alura menyalakan api kecil dari ujung jarinya, sihir dasar yang mulai muncul tanpa ia sadari. Nyala merah itu menyala lembut, menerangi dinding yang penuh ukiran kuno. “Bukan kutukan. Tapi warisan.” Kalimat itu terukir di ambang pintu batu di dasar tangga. Alura menelan ludah, lalu mendorongnya perlahan. Ruang di baliknya dingin dan sepi. Di dalamnya ada altar kecil, meja batu, dan di atasnya... gulungan perkamen tua serta sebuah buku dengan sampul hitam. Di bagian tengah ruangan tergantung sebuah simbol besar dari logam, bentuknya menyerupai simbol di tubuh Alura tapi lebih kompleks, dan berwarna merah gelap seperti darah segar. Alura mendekat, lalu menyentuh permukaan buku. Begitu jari-jarinya menyentuhnya, suara-suara bisik terdengar samar di kepalanya. "Aluratharza... anak darah pertama... pewaris luka dan pintu...” Napasnya tercekat. Buku itu bergerak pelan, halaman-halamannya membuka sendiri. Ia melihat gambar ibunya, Lilith masih muda, duduk di altar yang sama. Tatapan ibunya dingin dan agung. Di bawahnya tertulis: “Lilith, Pembuka Segel Pertama. Pengkhianat yang disucikan.” Alura mengerutkan kening. Ia membuka halaman berikutnya. “Pernikahan darah antara keturunan Lilith dan penjaga klan Bayangan akan membangkitkan jalur penawar terakhir. Jika gagal... dunia akan kembali ke titik nol.” Tangannya gemetar. Itu berarti... Pernikahannya dengan Arga bukan sekadar simbol. Itu bagian dari perjanjian kuno ritual yang telah ditulis jauh sebelum ia lahir. Dan nama Arga... tertulis di bagian bawah halaman terakhir, bersama simbol darah yang sama dengan miliknya. Suara di belakangnya memecah keheningan. “Jangan sentuh lebih dari itu, Alura.” Ia menoleh cepat. Arga berdiri di ambang pintu batu, cahaya dari baliknya membuat siluetnya tampak seperti bayangan panjang. Tapi wajahnya... bukan murka. Melainkan campuran antara lelah dan cemas. “Kenapa semua ini disembunyikan?” tanya Alura, suaranya bergetar. Arga masuk perlahan. Langkahnya tak berbunyi di lantai batu. “Karena kalau kau tahu semuanya terlalu cepat, kau akan menghancurkan dirimu sendiri... dan mungkin dunia,” jawabnya. Alura menatapnya, mata merahnya berkedip samar. “Terlambat. Aku sudah tahu.” Arga diam. Lalu berkata pelan, “Maka sekarang... kau harus memilih. Jalan darah... atau jalan kehendakmu sendiri.”Langit Velthara hari itu berwarna lembut — bukan lagi perak, bukan ungu, tapi putih keemasan. Udara hangat berembus dari lembah, membawa aroma bunga liar yang tumbuh dari tanah yang dulu pernah hangus. Tidak ada lagi suara perang. Tidak ada jeritan, tidak ada kutukan. Hanya desiran angin, dan suara dunia yang bernafas dalam ritme tenang. Kael berjalan di jalan setapak menuju dataran tinggi, tempat menara putih berdiri sendirian di antara kabut. Dulu tempat itu jadi singgasana Ratu Dunia — kini, menara itu kosong, tapi masih bersinar lembut seolah menyimpan denyut kehidupan di dalamnya. Ia berhenti di kaki tangga, menatap langit. Dua matahari yang dulu menyatu kini berputar pelan, membentuk cincin cahaya yang menggantung di cakrawala. Di tengahnya, warna biru dan ungu masih menari samar — warna yang tak pernah pudar, warna yang menjadi tanda bahwa Lyra belum sepenuhnya pergi. “Dunia ini tumbuh lebih cepat dari yang kubayangkan,” gumam Kael pelan. “Tapi setiap kali angin berhembus,
Langit Velthara berwarna keperakan hari itu — bukan biru, bukan ungu, tapi perpaduan lembut yang seperti napas dari dunia itu sendiri. Lyra berdiri di tepi menara tertinggi, rambutnya menari pelan dihembus angin hangat. Dari sana ia bisa melihat semuanya: lembah cahaya, hutan yang perlahan tumbuh dari tanah hitam, dan lautan yang kini mulai berkilau seperti kaca cair. Setiap sudut dunia itu berdenyut pelan. Setiap batu, daun, dan embusan angin mengandung kehidupan yang pernah ia pertaruhkan. Ia tidak hanya memerintah Velthara — ia adalah Velthara. “Dunia ini sudah bernapas lagi,” suara Kael memecah keheningan di belakangnya. Lyra tersenyum tanpa menoleh. “Ya. Tapi setiap napasnya terasa seperti lagu yang belum selesai.” Kael berjalan mendekat, langkahnya ringan di atas batu putih. “Mungkin karena dunia masih menunggu kau menyanyikan bait terakhirnya.” Lyra menatap jauh ke cakrawala, tempat dua matahari perlahan bergerak menyatu. “Kau tahu, dulu aku pikir akhir dari semua ini ad
Pagi itu, kabut di lembah selatan Velthara menggulung lebih tebal dari biasanya. Embun menggantung di udara seperti benang perak yang melayang tanpa arah. Lyra berjalan sendirian melewati padang rumput bercahaya. Setiap langkahnya disambut oleh bisikan halus dari tanah — bukan suara manusia, bukan roh, tapi sesuatu yang lebih tua dari keduanya. Ia berhenti di dekat batu besar yang separuh tenggelam di tanah. Dari celahnya, terdengar getaran pelan, seperti detak jantung dunia. “Sudah dimulai lagi,” gumamnya. “Tidak,” suara Kael datang dari belakang. “Mungkin dunia hanya bernapas.” Lyra menatapnya, mata ungunya tampak berkilau lembut di balik kabut. “Kalau dunia bernapas, berarti ia hidup. Dan kalau ia hidup, ia bisa bermimpi. Pertanyaannya — apa yang ia impikan?” Kael terdiam, lalu tersenyum samar. “Mungkin tentang masa depan yang tak kita tahu.” “Mungkin juga tentang masa lalu yang belum selesai,” jawab Lyra perlahan. Ia berjongkok, menempelkan telapak tangannya pada tanah. Ge
Cahaya pagi menembus lembah Velthara, membelah kabut lembut yang menggantung di atas danau kristal. Dua matahari kecil memantulkan warna emas dan ungu di permukaan air, seperti dua jiwa yang saling menyapa setelah lama berpisah. Di tepi danau, Lyra berdiri diam, jubahnya berkilau samar tertiup angin. Di matanya, pantulan dua matahari itu menari lembut — biru dan ungu, seimbang, tidak saling menelan. Kael datang dari belakang, langkahnya pelan tapi mantap. “Kau sudah berdiri di sini sejak fajar pertama muncul,” katanya. “Dunia baru lahir, tapi kau belum beristirahat.” Lyra tersenyum tipis, tanpa menoleh. “Aku hanya… mendengarkan.” “Dengarkan apa?” “Dunia,” jawabnya pelan. “Dulu aku mendengar teriakan. Sekarang aku mendengar bisikan. Dunia ini belum tenang, Kael. Ia masih mencari bentuknya.” Angin berembus lagi, membawa aroma tanah muda dan bunga kristal yang baru tumbuh di sekitar mereka. Dari kejauhan, suara anak-anak terdengar — mereka bermain di antara bebatuan bercahaya, tert
Udara pertama yang menyentuh kulit Lyra terasa asing. Hangat, tapi tidak membakar. Dingin, tapi tidak menusuk. Ia berdiri di tepi dataran tinggi, memandangi cakrawala yang belum pernah ia lihat sebelumnya — langitnya bukan lagi hitam dan merah, melainkan campuran lembut antara ungu, biru, dan keemasan. Seolah dunia sedang belajar bernapas lagi setelah berabad-abad tertahan dalam kegelapan. Kael berdiri di sampingnya, diam, menatap bentangan itu dengan mata yang belum percaya. “Apakah ini… benar-benar dunia yang sama?” Lyra tersenyum kecil. “Tidak. Tapi juga bukan dunia yang berbeda. Ini adalah sisa dari keduanya — yang memilih untuk tidak saling memusnahkan.” Angin bertiup pelan, membawa butiran cahaya seperti debu bintang. Setiap butiran menyentuh tanah, tumbuh menjadi bunga kristal kecil yang berpendar lembut. Dari bawah dataran tinggi, sungai-sungai cahaya mengalir, memantulkan warna langit. Di tengah gemerlap itu, seekor burung dari bayangan dan cahaya terbang melintas — se
Tidak ada cahaya, tidak ada bayangan. Hanya keheningan yang menelan segalanya. Lyra membuka mata dan menyadari bahwa ia tidak lagi berdiri di dunia yang sama. Udara di sekelilingnya tidak bergetar, tapi mengalir seperti air. Langit berwarna abu yang lembut, tanah di bawah kakinya berdenyut pelan seperti nadi. Ia menatap sekeliling — Kael sudah tidak ada. “Kael?” Tidak ada jawaban. Hanya gema suaranya sendiri yang memudar, lalu larut seperti dihisap waktu. Ia tahu. Ini bukan sekadar ruang. Ini ujian — dunia di dalam Gerbang Ketujuh yang menilai isi jiwanya. Setiap Ratu yang lahir dari bayangan harus melewatinya, atau lenyap bersama kegelapan yang ia tolak. Langkahnya terayun perlahan. Setiap kali ia melangkah, bayangan hitam muncul di tanah, mengikuti, meniru… lalu berubah bentuk. Bayangan itu bukan lagi dirinya, tapi sosok lain — Alura, berdiri dengan api biru-ungu menyala di matanya. “Jadi kau akhirnya sampai juga.” Suara itu bukan gema, melainkan sesuatu yang hidup. Ly







