Home / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 4. Jejak Darah dan Simbol Tua

Share

Bab 4. Jejak Darah dan Simbol Tua

Author: Quennnzy
last update Last Updated: 2025-06-18 17:43:09

Langit mendung belum bergeser sejak pagi. Angin yang masuk melalui celah jendela kamar Alura membawa bau tanah basah, tapi ada sesuatu yang lain juga, aroma logam samar, seperti... darah.

Alura berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran gelap samar di bawah matanya. Tubuhnya letih, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk tidur nyenyak.

Ia membuka laci meja dan mengeluarkan selembar kertas tua yang semalam ia temukan, terlipat rapi di dalam buku warisan milik ibunya. Di permukaan kertas itu, tercetak simbol asing berwarna merah gelap, hampir seperti ukiran darah kering. Tidak seperti tulisan manusia. Tapi anehnya... ia bisa membacanya.

“Darah adalah kunci, bukan kutukan. Simbol adalah pintu, bukan akhir.”

Kalimat itu terngiang dalam kepalanya. Hatinya berdebar.

Alura tahu, ini bukan pesan biasa. Simbol itu mirip dengan yang ia lihat dalam mimpi-mimpi anehnya dan di punggungnya sendiri. Kadang berdenyut panas saat malam tiba, seolah hidup.

Ia menyentuh punggungnya perlahan, merasakan denyutan samar di bawah kulit. Segel itu... mulai bereaksi sejak malam Rio menunjukkan tatapan itu. Dan sejak makhluk kabut muncul, semuanya terasa lebih dekat.

Ketukan di pintu memecah lamunannya.

“Alura?” suara pelayan perempuan dari luar. “Nyonya Keysha ingin bertemu di taman belakang.”

Alura menghela napas. Ia menyimpan kertas itu, lalu melangkah keluar kamar.

Taman belakang itu sunyi. Udara dingin menusuk tulang, dan embun belum sepenuhnya hilang dari rerumputan. Di bawah pohon ek tua, Keysha duduk sendirian. Tidak ada cangkir teh di tangannya hari ini. Tidak ada senyum basa-basi. Wajahnya pucat dan matanya kosong.

Alura berjalan mendekat, menunggu kata-kata keluar lebih dulu dari mulut wanita itu.

“Pernahkah kau melihat sesuatu yang terus mengikutimu, bahkan saat kau menutup mata?” suara Keysha akhirnya terdengar, nyaris seperti bisikan.

Alura tidak menjawab. Tapi langkahnya melambat. Ia tahu... Keysha tidak sedang berbicara soal mimpi.

Keysha menoleh, menatap Alura lama. Ada bekas luka tipis di bawah matanya garis merah yang belum ia lihat sebelumnya.

“Malam itu... aku tidak hanya melihat sosok itu,” bisik Keysha. “Dia... memanggilku dengan nama asliku. Nama yang tak pernah aku ucapkan lagi sejak perjanjian itu.”

Alura mengerutkan kening. “Perjanjian apa?”

Keysha tersenyum pahit. “Kau pikir hanya kau yang terikat kontrak, Alura? Rumah ini... pernikahan ini... bukan panggung kosong. Kami semua pion dalam permainan tua.”

Angin berhembus lebih kencang, membawa aroma mawar mati. Alura menatap wanita itu dalam diam, mencoba membaca di balik matanya.

“Dia bilang... darahku tak cukup,” kata Keysha pelan. “Bahwa kau adalah kunci terakhir. Dan bahwa waktuku akan habis... jika aku tak segera memilih sisi.”

Untuk sesaat, Alura merasa dingin merayap naik dari kakinya.

“Simbol itu...” ucap Alura, “...kau juga melihatnya?”

Keysha mengangguk lemah. Ia menyibak sedikit bagian lehernya, menunjukkan ukiran kecil berwarna hitam yang tampak membekas di kulit, simbol tua, nyaris sama seperti milik Alura, tapi... rusak.

“Aku gagal menjaganya,” ujar Keysha lirih. “Dan sekarang, semuanya akan bergantung padamu.”

Diam menggantung lama di antara mereka. Bukan karena permusuhan. Tapi karena keduanya mulai menyadari... musuh yang sesungguhnya bukanlah mereka satu sama lain.

“Kalau kau ingin tahu segalanya, pergilah ke ruang bawah,” lanjut Keysha. “Lantai tersembunyi di balik rak buku perpustakaan. Arga menyembunyikan lebih dari yang kau tahu.”

Alura mengangguk perlahan. Tak ada kata terima kasih. Tak perlu.

Langkahnya berbalik, dan sebelum ia pergi, Keysha berkata lirih, “Kalau kau temukan nama ibumu di sana... jangan kaget. Dia pernah berdiri di tempatmu. Dan membuat pilihan yang tidak bisa dibatalkan.”

Langkah Alura menuju perpustakaan terasa berat, seolah rumah ini mulai menolak gerakannya. Setiap lorong dilewati dalam diam yang terlalu sunyi, terlalu dalam. Hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar… dan napasnya sendiri.

Perpustakaan besar itu remang. Cahaya matahari hanya masuk lewat kaca patri tinggi. Rak-rak buku menjulang, berdebu, dan terasa menatap balik padanya. Ia berjalan pelan, menyusuri bagian belakang sesuai petunjuk Keysha.

Rak terakhir tampak biasa, tapi Alura tahu ada sesuatu yang tersembunyi. Ia menyentuh sisi kayunya, lalu menarik sebuah buku tua dengan lambang mirip simbol di tubuhnya. Bunyi klik pelan terdengar.

Rak itu bergeser perlahan, mengungkapkan sebuah celah sempit menuju ruang bawah tanah. Bau tanah dan besi tua langsung menerpa wajahnya.

Tangga batu menurun, tanpa penerangan.

Alura menyalakan api kecil dari ujung jarinya, sihir dasar yang mulai muncul tanpa ia sadari. Nyala merah itu menyala lembut, menerangi dinding yang penuh ukiran kuno.

“Bukan kutukan. Tapi warisan.”

Kalimat itu terukir di ambang pintu batu di dasar tangga. Alura menelan ludah, lalu mendorongnya perlahan.

Ruang di baliknya dingin dan sepi. Di dalamnya ada altar kecil, meja batu, dan di atasnya... gulungan perkamen tua serta sebuah buku dengan sampul hitam. Di bagian tengah ruangan tergantung sebuah simbol besar dari logam, bentuknya menyerupai simbol di tubuh Alura tapi lebih kompleks, dan berwarna merah gelap seperti darah segar.

Alura mendekat, lalu menyentuh permukaan buku. Begitu jari-jarinya menyentuhnya, suara-suara bisik terdengar samar di kepalanya.

"Aluratharza... anak darah pertama... pewaris luka dan pintu...”

Napasnya tercekat.

Buku itu bergerak pelan, halaman-halamannya membuka sendiri. Ia melihat gambar ibunya, Lilith masih muda, duduk di altar yang sama. Tatapan ibunya dingin dan agung. Di bawahnya tertulis:

“Lilith, Pembuka Segel Pertama. Pengkhianat yang disucikan.” Alura mengerutkan kening. Ia membuka halaman berikutnya.

“Pernikahan darah antara keturunan Lilith dan penjaga klan Bayangan akan membangkitkan jalur penawar terakhir. Jika gagal... dunia akan kembali ke titik nol.”

Tangannya gemetar. Itu berarti...

Pernikahannya dengan Arga bukan sekadar simbol. Itu bagian dari perjanjian kuno ritual yang telah ditulis jauh sebelum ia lahir.

Dan nama Arga... tertulis di bagian bawah halaman terakhir, bersama simbol darah yang sama dengan miliknya.

Suara di belakangnya memecah keheningan.

“Jangan sentuh lebih dari itu, Alura.”

Ia menoleh cepat. Arga berdiri di ambang pintu batu, cahaya dari baliknya membuat siluetnya tampak seperti bayangan panjang. Tapi wajahnya... bukan murka. Melainkan campuran antara lelah dan cemas.

“Kenapa semua ini disembunyikan?” tanya Alura, suaranya bergetar.

Arga masuk perlahan. Langkahnya tak berbunyi di lantai batu.

“Karena kalau kau tahu semuanya terlalu cepat, kau akan menghancurkan dirimu sendiri... dan mungkin dunia,” jawabnya.

Alura menatapnya, mata merahnya berkedip samar. “Terlambat. Aku sudah tahu.”

Arga diam. Lalu berkata pelan, “Maka sekarang... kau harus memilih. Jalan darah... atau jalan kehendakmu sendiri.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 8. Hutan yang Tidak Pernah Tidur

    Pagi itu dingin, lebih dingin dari biasanya.Kabut tebal menyelimuti halaman rumah Klan Bayangan, membuat matahari tampak seperti cahaya redup yang tersesat di balik awan. Alura berdiri di depan jendela kamarnya, memperhatikan tetes embun yang turun dari dedaunan. Sesuatu dalam dirinya merasa tidak tenang sejak peristiwa semalam.Bayangan yang mencoba menyusup. Suara yang berkata, “Aku menunggumu di ambang.”Arga memutuskan pagi ini mereka harus pergi.“Ke Hutan Senja,” katanya singkat sambil menyiapkan pedang panjang yang biasa tersembunyi di dalam lemari dinding. “Kita harus memastikan jalur antara dunia ini dan dunia bawah belum terbuka sepenuhnya.”Alura menoleh cepat. “Hutan Senja…?”Arga mengangguk. “Penduduk lokal menyebutnya Hutan yang Tidak Pernah Tidur. Karena tidak ada waktu di sana. Siang dan malam tak berarti. Jika kita terlalu lama berada di dalamnya, kita bisa lupa siapa kita.”Alura diam sejenak. “Dan kau ingin aku ikut ke sana?”“Aku takkan pergi tanpa kau. Segelmu be

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 7. Darah di Ambang Pintu

    Angin malam menghempas jendela kamar Alura dengan suara gemuruh halus. Di luar, hujan belum turun, tapi udara sudah terasa berat, seolah langit menggantungkan sesuatu yang tak diucapkan. Lampu gantung bergoyang pelan, cahayanya memantul di lantai marmer seperti bayangan yang belum sempurna.Alura duduk di ranjangnya, punggung menempel pada sandaran kayu. Tangannya menggenggam liontin ibunya, benda kecil yang kini terasa lebih panas dari biasanya. Sejak malam itu, malam ketika Keysha terbaring menggigil, dan bayangan di balkon menghilang dalam kabut sesuatu dalam dirinya berubah.Bukan kekuatan baru, tapi kesadaran.Ada yang menunggunya di ambang. Bukan hanya makhluk dari dunia bawah, atau musuh yang ingin membunuhnya, tapi bagian dari dirinya sendiri. Bagian yang ia warisi dari darah Lilith yang kini mulai bangkit.Ia tak berani tidur.Dan seolah semesta merespons kecemasannya, suara langkah terdengar dari lorong. Tidak cepat, tidak terburu-buru, tapi berat, seolah membawa beban yang

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 6. Bayangan yang Tertinggal

    Udara malam membawa aroma tanah basah ketika Alura berdiri di depan jendela kamarnya. Tirai putih bergerak perlahan ditiup angin, menyentuh kulit lengannya yang dingin. Di luar, taman tampak sunyi, tapi Alura tahu, ada sesuatu yang belum pergi.Bayangan itu.Ia bisa merasakannya.Bukan dalam bentuk atau suara, tapi sebagai desakan samar di tengkuknya, seperti mata yang terus menatap dari balik semak gelap.Hari itu telah berakhir, tetapi pikirannya tidak bisa diam.Percakapannya dengan Arga terus berputar-putar dalam kepala. Tentang segel. Tentang api kuno. Tentang perjanjian yang tak lagi bisa dibatalkan. Tapi yang paling melekat justru satu kalimat: “Aku takut jika harus memilih antara melindungimu… atau menghentikanmu.”Alura memejamkan mata.Apa Arga benar-benar percaya ia bisa berubah menjadi sesuatu yang tak terkendali?Atau… itu hanya ketakutan yang ia proyeksikan kepada dirinya sendiri?Ia menghela napas panjang, lalu meraih buku catatan dari bawah meja. Bukan untuk mencatat p

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 5. Api di Balik Segel

    Ruangan itu tetap hening setelah Arga mengucapkan kata-kata terakhirnya. Tapi bagi Alura, keheningan itu lebih bising dari ribuan teriakan. Ia berdiri membatu, sementara buku tua di depannya masih terbuka, seolah menantinya untuk melangkah lebih jauh ke dalam kebenaran yang belum selesai.Arga mendekat, langkahnya mantap meski mata tajamnya menyiratkan kelelahan. Alura menyadari, di bawah sinar remang dari sihir lilin yang menyala di langit-langit batu, wajah Arga tampak lebih manusiawi. Lebih… rentan.“Apa semua ini berarti aku hanya pion?” tanya Alura, suaranya pelan namun tidak goyah.“Tidak,” jawab Arga, singkat. Tapi lalu ia menambahkan, “Kau adalah pusatnya. Tapi pusat pun bisa dikendalikan… jika tidak cukup kuat.”Alura memalingkan wajahnya. Ia tak tahu apa yang lebih menyakitkan, fakta bahwa dunia telah merancang jalan ini sejak lama, atau bahwa Arga tahu semua dan tetap diam. Tapi sesuatu dalam dirinya, simbol merah yang samar menyala di bawah kulitnya, membisikkan bahwa semu

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 4. Jejak Darah dan Simbol Tua

    Langit mendung belum bergeser sejak pagi. Angin yang masuk melalui celah jendela kamar Alura membawa bau tanah basah, tapi ada sesuatu yang lain juga, aroma logam samar, seperti... darah.Alura berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran gelap samar di bawah matanya. Tubuhnya letih, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk tidur nyenyak.Ia membuka laci meja dan mengeluarkan selembar kertas tua yang semalam ia temukan, terlipat rapi di dalam buku warisan milik ibunya. Di permukaan kertas itu, tercetak simbol asing berwarna merah gelap, hampir seperti ukiran darah kering. Tidak seperti tulisan manusia. Tapi anehnya... ia bisa membacanya.“Darah adalah kunci, bukan kutukan. Simbol adalah pintu, bukan akhir.”Kalimat itu terngiang dalam kepalanya. Hatinya berdebar.Alura tahu, ini bukan pesan biasa. Simbol itu mirip dengan yang ia lihat dalam mimpi-mimpi anehnya dan di punggungnya sendiri. Kadang berdenyut panas saat malam tiba, seolah hidup.Ia menyentuh punggung

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 3. Tatapan yang Tidak Manusiawi

    Alura duduk di bangku pojok kelas, matanya tak lepas dari sosok Rio yang tampak berbeda hari ini. Tatapan Rio sebelumnya hanya biasa, kini berubah dingin, hampir seperti bukan manusia. Ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Sejak insiden di sekolah, segala sesuatunya berubah perlahan tapi pasti. Rio tidak lagi seperti teman sekelas biasa. Tatapannya, yang kini sering menempel padanya, terasa penuh rahasia dan ancaman terselubung. Tapi Alura masih belum tahu apa maksudnya. “Tadi kau bilang kau tahu siapa yang membuka portal itu,” suara Rio tiba-tiba memecah keheningan saat mereka berdua sedang di lorong sekolah, hampir kosong. “Apa kau benar-benar siap menghadapi kenyataan itu?” Alura menatapnya, hatinya berdegup cepat. “Aku harus siap. Aku tidak bisa terus menghindar.” Rio melangkah mendekat, pandangannya makin intens. “Kadang, kenyataan lebih kejam daripada yang bisa kau bayangkan.” Alura menelan ludah. Ada sesuatu yang mengusik dalam kata-katanya, sesuatu yang tak bis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status