Home / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 3. Tatapan yang Tidak Manusiawi

Share

Bab 3. Tatapan yang Tidak Manusiawi

Author: Quennnzy
last update Last Updated: 2025-06-18 17:07:25

Alura duduk di bangku pojok kelas, matanya tak lepas dari sosok Rio yang tampak berbeda hari ini. Tatapan Rio sebelumnya hanya biasa, kini berubah dingin, hampir seperti bukan manusia. Ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.

Sejak insiden di sekolah, segala sesuatunya berubah perlahan tapi pasti. Rio tidak lagi seperti teman sekelas biasa. Tatapannya, yang kini sering menempel padanya, terasa penuh rahasia dan ancaman terselubung. Tapi Alura masih belum tahu apa maksudnya.

“Tadi kau bilang kau tahu siapa yang membuka portal itu,” suara Rio tiba-tiba memecah keheningan saat mereka berdua sedang di lorong sekolah, hampir kosong. “Apa kau benar-benar siap menghadapi kenyataan itu?”

Alura menatapnya, hatinya berdegup cepat. “Aku harus siap. Aku tidak bisa terus menghindar.”

Rio melangkah mendekat, pandangannya makin intens. “Kadang, kenyataan lebih kejam daripada yang bisa kau bayangkan.”

Alura menelan ludah. Ada sesuatu yang mengusik dalam kata-katanya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Dan saat Rio menatapnya dengan mata merah yang samar memancar di bawah bayangan topinya, Alura merasa seolah dilihat bukan sebagai manusia biasa, tapi sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang berbahaya.

Sepulang sekolah, suasana di rumah tidak seperti biasanya. Di ruang tengah, Keysha duduk dengan tenang, tapi ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya hari ini, lebih dingin, dan penuh perhitungan. Alura memperhatikan foto tua yang ada di tangan Keysha, sebuah gambar yang memperlihatkan Arga muda berdiri bersama seorang pria berjubah hitam dan sebuah simbol tua yang Alura kenal dari cerita-cerita masa kecilnya.

“Kau sudah tahu tentang ini?” Alura bertanya, suaranya bergetar antara penasaran dan ketakutan.

Keysha mengangkat alis, tersenyum kecil. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi? Aku bukan cuma istri Arga, Alura. Aku juga bagian dari permainan ini.”

Alura merasakan hati mulai sesak. Keysha yang selama ini tampak ramah dan hangat, kini berubah menjadi sesuatu yang sulit ia pahami. “Apa maksudmu ‘bagian dari permainan’?”

Keysha menatapnya tajam, seolah membaca setiap pikiran Alura. “Dunia ini penuh rahasia yang kau bahkan belum siap untuk tahu. Dan kau, Alura, entah bagaimana, telah membuat semua mata tertuju padamu.”

Alura menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi tatapan Keysha semakin menusuk, penuh ancaman terselubung.

“Kau pikir kau bisa menggantikan posisiku dengan mudah?” Keysha melanjutkan, suaranya bergetar tipis. “Jangan bodoh. Jika kau ancaman, aku tidak akan ragu untuk menjatuhkanmu.”

Seketika, ruangan itu menjadi dingin. Alura bisa merasakan getaran aneh di udara, seperti ada sesuatu yang mengawasi dari sudut gelap ruangan. Ia mengangkat matanya dan melihat ke arah jendela yang terbuka sedikit, bayangan malam menempel di sana.

“Jangan main api, Keysha,” kata Alura dengan suara rendah dan dingin. Perlahan, matanya berubah merah, memancarkan aura yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Keysha tersenyum sinis, “Lucu. Kau dan Arga ternyata punya kesamaan.”

Malam itu, setelah semua kegaduhan mereda, Alura berdiri di balkon kamarnya, menatap langit kelam yang tidak bertepi. Suasana sunyi membuat pikirannya berkecamuk, tapi bukan hanya itu yang membuatnya gelisah.

Dari balik bayang-bayang pagar balkon, muncul sosok tinggi, diliputi kabut pekat. Wajahnya tak berbentuk, hanya dua mata merah menyala yang menatap langsung ke arah Alura.

“Aku tahu siapa kau sebenarnya,” suara makhluk itu mengalun seperti ribuan bisikan yang bersatu. “Waktumu hampir habis, Ratu.”

Alura menggenggam pagar balkon, matanya menyala merah penuh kemarahan. “Aku belum kalah.”

Makhluk itu tertawa, suara yang menusuk jiwa dan menghilang dalam kabut hitam.

Alura berdiri membeku sesaat, napasnya memburu. Ada sesuatu yang mengancam lebih dari sekadar dunia ini, ada sesuatu yang mengincar dirinya secara langsung.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lantai bawah, memecah kesunyian malam.

“KEYSHA!!!”

Alura langsung berlari turun, jantungnya berdetak kencang. Di depan kamar utama, Arga berdiri dengan wajah pucat, matanya penuh kecemasan. Di dalam kamar, Keysha tergeletak di ranjang, tubuhnya menggigil hebat, mata terbelalak seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata.

Dari mulut Keysha keluar gumaman bahasa kuno yang membuat udara seakan membeku. Alura merasa dingin membalut seluruh tubuhnya, dan dari kulit Keysha merambat garis merah seperti urat terbakar.

Arga merunduk di sampingnya, mencoba membangunkan Keysha dengan lembut. “Dia disentuh sesuatu... sesuatu yang bukan dari dunia ini.”

Alura menatap Arga, ketegangan semakin meningkat. “Ini belum berakhir, bukan?”

Arga mengangguk pelan. “Ini baru permulaan. Mereka sudah masuk ke rumah kita.”

Alura merasakan simbol kuno di punggungnya mulai berdenyut, seperti segel dalam tubuhnya mulai retak.

“Kita harus bertarung, Arga. Aku tidak akan diam saja.”

Arga menatap Alura dengan mata yang penuh kepercayaan dan ketakutan. “Kalau begitu, bersiaplah. Perang sudah di ambang pintu.”

Keheningan menggantung di antara mereka. Alura menatap pria itu lama, mata tajam yang biasanya tak pernah menghindar, kini tampak lelah. Untuk sesaat, ia bukan Arga yang dingin dan selalu tahu segalanya. Ia hanya seseorang yang takut kehilangan sesuatu... atau seseorang.

Alura melangkah pelan ke arah jendela. Di luar, hujan belum turun, tapi langit sudah terlalu berat. Sama seperti dadanya.

"Apa kau takut?" tanyanya tanpa menoleh.

Arga tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke meja kecil di sudut ruangan, mengambil cangkir yang belum disentuh sejak tadi.

“Aku tidak takut pada mereka,” katanya pelan. “Aku takut... jika aku harus memilih antara melindungimu atau menghentikanmu.”

Alura menoleh. Kata-kata itu seperti pisau yang tak ia sangka akan datang dari Arga, pria yang selama ini menganggap semuanya tak lebih dari strategi.

“Kau pikir aku akan kehilangan kendali?” bisiknya.

“Bukan. Aku pikir dunia ini akan membuatmu percaya bahwa kendali adalah kelemahan.”

Mata mereka bertemu. Tak ada api atau petir. Hanya kejujuran. Dan mungkin, luka yang tak sempat jadi kata.

Alura menarik napas. “Aku tidak akan jadi boneka ibuku. Dan aku juga tidak akan jadi senjatamu.”

“Aku tahu.” Arga mendekat. Jarak mereka tipis sekarang, seperti dua sisi mata uang yang tak pernah menyatu tapi tak terpisah.

“Kalau kau berubah nanti,” lanjut Alura, “kau harus janji… kau akan menghentikanku.”

Arga menatapnya lama, lalu mengangguk.

“Aku janji.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 240. Di Antara Cahaya yang Abadi

    Langit Velthara hari itu berwarna lembut — bukan lagi perak, bukan ungu, tapi putih keemasan. Udara hangat berembus dari lembah, membawa aroma bunga liar yang tumbuh dari tanah yang dulu pernah hangus. Tidak ada lagi suara perang. Tidak ada jeritan, tidak ada kutukan. Hanya desiran angin, dan suara dunia yang bernafas dalam ritme tenang. Kael berjalan di jalan setapak menuju dataran tinggi, tempat menara putih berdiri sendirian di antara kabut. Dulu tempat itu jadi singgasana Ratu Dunia — kini, menara itu kosong, tapi masih bersinar lembut seolah menyimpan denyut kehidupan di dalamnya. Ia berhenti di kaki tangga, menatap langit. Dua matahari yang dulu menyatu kini berputar pelan, membentuk cincin cahaya yang menggantung di cakrawala. Di tengahnya, warna biru dan ungu masih menari samar — warna yang tak pernah pudar, warna yang menjadi tanda bahwa Lyra belum sepenuhnya pergi. “Dunia ini tumbuh lebih cepat dari yang kubayangkan,” gumam Kael pelan. “Tapi setiap kali angin berhembus,

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 239. Langit yang Bernafas

    Langit Velthara berwarna keperakan hari itu — bukan biru, bukan ungu, tapi perpaduan lembut yang seperti napas dari dunia itu sendiri. Lyra berdiri di tepi menara tertinggi, rambutnya menari pelan dihembus angin hangat. Dari sana ia bisa melihat semuanya: lembah cahaya, hutan yang perlahan tumbuh dari tanah hitam, dan lautan yang kini mulai berkilau seperti kaca cair. Setiap sudut dunia itu berdenyut pelan. Setiap batu, daun, dan embusan angin mengandung kehidupan yang pernah ia pertaruhkan. Ia tidak hanya memerintah Velthara — ia adalah Velthara. “Dunia ini sudah bernapas lagi,” suara Kael memecah keheningan di belakangnya. Lyra tersenyum tanpa menoleh. “Ya. Tapi setiap napasnya terasa seperti lagu yang belum selesai.” Kael berjalan mendekat, langkahnya ringan di atas batu putih. “Mungkin karena dunia masih menunggu kau menyanyikan bait terakhirnya.” Lyra menatap jauh ke cakrawala, tempat dua matahari perlahan bergerak menyatu. “Kau tahu, dulu aku pikir akhir dari semua ini ad

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 238. Napas dari Dalam Tanah

    Pagi itu, kabut di lembah selatan Velthara menggulung lebih tebal dari biasanya. Embun menggantung di udara seperti benang perak yang melayang tanpa arah. Lyra berjalan sendirian melewati padang rumput bercahaya. Setiap langkahnya disambut oleh bisikan halus dari tanah — bukan suara manusia, bukan roh, tapi sesuatu yang lebih tua dari keduanya. Ia berhenti di dekat batu besar yang separuh tenggelam di tanah. Dari celahnya, terdengar getaran pelan, seperti detak jantung dunia. “Sudah dimulai lagi,” gumamnya. “Tidak,” suara Kael datang dari belakang. “Mungkin dunia hanya bernapas.” Lyra menatapnya, mata ungunya tampak berkilau lembut di balik kabut. “Kalau dunia bernapas, berarti ia hidup. Dan kalau ia hidup, ia bisa bermimpi. Pertanyaannya — apa yang ia impikan?” Kael terdiam, lalu tersenyum samar. “Mungkin tentang masa depan yang tak kita tahu.” “Mungkin juga tentang masa lalu yang belum selesai,” jawab Lyra perlahan. Ia berjongkok, menempelkan telapak tangannya pada tanah. Ge

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 237. Di Antara Dua Matahari

    Cahaya pagi menembus lembah Velthara, membelah kabut lembut yang menggantung di atas danau kristal. Dua matahari kecil memantulkan warna emas dan ungu di permukaan air, seperti dua jiwa yang saling menyapa setelah lama berpisah. Di tepi danau, Lyra berdiri diam, jubahnya berkilau samar tertiup angin. Di matanya, pantulan dua matahari itu menari lembut — biru dan ungu, seimbang, tidak saling menelan. Kael datang dari belakang, langkahnya pelan tapi mantap. “Kau sudah berdiri di sini sejak fajar pertama muncul,” katanya. “Dunia baru lahir, tapi kau belum beristirahat.” Lyra tersenyum tipis, tanpa menoleh. “Aku hanya… mendengarkan.” “Dengarkan apa?” “Dunia,” jawabnya pelan. “Dulu aku mendengar teriakan. Sekarang aku mendengar bisikan. Dunia ini belum tenang, Kael. Ia masih mencari bentuknya.” Angin berembus lagi, membawa aroma tanah muda dan bunga kristal yang baru tumbuh di sekitar mereka. Dari kejauhan, suara anak-anak terdengar — mereka bermain di antara bebatuan bercahaya, tert

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 236. Fajar di Atas Dunia Baru

    Udara pertama yang menyentuh kulit Lyra terasa asing. Hangat, tapi tidak membakar. Dingin, tapi tidak menusuk. Ia berdiri di tepi dataran tinggi, memandangi cakrawala yang belum pernah ia lihat sebelumnya — langitnya bukan lagi hitam dan merah, melainkan campuran lembut antara ungu, biru, dan keemasan. Seolah dunia sedang belajar bernapas lagi setelah berabad-abad tertahan dalam kegelapan. Kael berdiri di sampingnya, diam, menatap bentangan itu dengan mata yang belum percaya. “Apakah ini… benar-benar dunia yang sama?” Lyra tersenyum kecil. “Tidak. Tapi juga bukan dunia yang berbeda. Ini adalah sisa dari keduanya — yang memilih untuk tidak saling memusnahkan.” Angin bertiup pelan, membawa butiran cahaya seperti debu bintang. Setiap butiran menyentuh tanah, tumbuh menjadi bunga kristal kecil yang berpendar lembut. Dari bawah dataran tinggi, sungai-sungai cahaya mengalir, memantulkan warna langit. Di tengah gemerlap itu, seekor burung dari bayangan dan cahaya terbang melintas — se

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 235. Ujian di Dalam Gerbang

    Tidak ada cahaya, tidak ada bayangan. Hanya keheningan yang menelan segalanya. Lyra membuka mata dan menyadari bahwa ia tidak lagi berdiri di dunia yang sama. Udara di sekelilingnya tidak bergetar, tapi mengalir seperti air. Langit berwarna abu yang lembut, tanah di bawah kakinya berdenyut pelan seperti nadi. Ia menatap sekeliling — Kael sudah tidak ada. “Kael?” Tidak ada jawaban. Hanya gema suaranya sendiri yang memudar, lalu larut seperti dihisap waktu. Ia tahu. Ini bukan sekadar ruang. Ini ujian — dunia di dalam Gerbang Ketujuh yang menilai isi jiwanya. Setiap Ratu yang lahir dari bayangan harus melewatinya, atau lenyap bersama kegelapan yang ia tolak. Langkahnya terayun perlahan. Setiap kali ia melangkah, bayangan hitam muncul di tanah, mengikuti, meniru… lalu berubah bentuk. Bayangan itu bukan lagi dirinya, tapi sosok lain — Alura, berdiri dengan api biru-ungu menyala di matanya. “Jadi kau akhirnya sampai juga.” Suara itu bukan gema, melainkan sesuatu yang hidup. Ly

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status