Alura duduk di bangku pojok kelas, matanya tak lepas dari sosok Rio yang tampak berbeda hari ini. Tatapan Rio sebelumnya hanya biasa, kini berubah dingin, hampir seperti bukan manusia. Ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Sejak insiden di sekolah, segala sesuatunya berubah perlahan tapi pasti. Rio tidak lagi seperti teman sekelas biasa. Tatapannya, yang kini sering menempel padanya, terasa penuh rahasia dan ancaman terselubung. Tapi Alura masih belum tahu apa maksudnya. “Tadi kau bilang kau tahu siapa yang membuka portal itu,” suara Rio tiba-tiba memecah keheningan saat mereka berdua sedang di lorong sekolah, hampir kosong. “Apa kau benar-benar siap menghadapi kenyataan itu?” Alura menatapnya, hatinya berdegup cepat. “Aku harus siap. Aku tidak bisa terus menghindar.” Rio melangkah mendekat, pandangannya makin intens. “Kadang, kenyataan lebih kejam daripada yang bisa kau bayangkan.” Alura menelan ludah. Ada sesuatu yang mengusik dalam kata-katanya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Dan saat Rio menatapnya dengan mata merah yang samar memancar di bawah bayangan topinya, Alura merasa seolah dilihat bukan sebagai manusia biasa, tapi sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang berbahaya. Sepulang sekolah, suasana di rumah tidak seperti biasanya. Di ruang tengah, Keysha duduk dengan tenang, tapi ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya hari ini, lebih dingin, dan penuh perhitungan. Alura memperhatikan foto tua yang ada di tangan Keysha, sebuah gambar yang memperlihatkan Arga muda berdiri bersama seorang pria berjubah hitam dan sebuah simbol tua yang Alura kenal dari cerita-cerita masa kecilnya. “Kau sudah tahu tentang ini?” Alura bertanya, suaranya bergetar antara penasaran dan ketakutan. Keysha mengangkat alis, tersenyum kecil. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi? Aku bukan cuma istri Arga, Alura. Aku juga bagian dari permainan ini.” Alura merasakan hati mulai sesak. Keysha yang selama ini tampak ramah dan hangat, kini berubah menjadi sesuatu yang sulit ia pahami. “Apa maksudmu ‘bagian dari permainan’?” Keysha menatapnya tajam, seolah membaca setiap pikiran Alura. “Dunia ini penuh rahasia yang kau bahkan belum siap untuk tahu. Dan kau, Alura, entah bagaimana, telah membuat semua mata tertuju padamu.” Alura menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi tatapan Keysha semakin menusuk, penuh ancaman terselubung. “Kau pikir kau bisa menggantikan posisiku dengan mudah?” Keysha melanjutkan, suaranya bergetar tipis. “Jangan bodoh. Jika kau ancaman, aku tidak akan ragu untuk menjatuhkanmu.” Seketika, ruangan itu menjadi dingin. Alura bisa merasakan getaran aneh di udara, seperti ada sesuatu yang mengawasi dari sudut gelap ruangan. Ia mengangkat matanya dan melihat ke arah jendela yang terbuka sedikit, bayangan malam menempel di sana. “Jangan main api, Keysha,” kata Alura dengan suara rendah dan dingin. Perlahan, matanya berubah merah, memancarkan aura yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Keysha tersenyum sinis, “Lucu. Kau dan Arga ternyata punya kesamaan.” Malam itu, setelah semua kegaduhan mereda, Alura berdiri di balkon kamarnya, menatap langit kelam yang tidak bertepi. Suasana sunyi membuat pikirannya berkecamuk, tapi bukan hanya itu yang membuatnya gelisah. Dari balik bayang-bayang pagar balkon, muncul sosok tinggi, diliputi kabut pekat. Wajahnya tak berbentuk, hanya dua mata merah menyala yang menatap langsung ke arah Alura. “Aku tahu siapa kau sebenarnya,” suara makhluk itu mengalun seperti ribuan bisikan yang bersatu. “Waktumu hampir habis, Ratu.” Alura menggenggam pagar balkon, matanya menyala merah penuh kemarahan. “Aku belum kalah.” Makhluk itu tertawa, suara yang menusuk jiwa dan menghilang dalam kabut hitam. Alura berdiri membeku sesaat, napasnya memburu. Ada sesuatu yang mengancam lebih dari sekadar dunia ini, ada sesuatu yang mengincar dirinya secara langsung. Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lantai bawah, memecah kesunyian malam. “KEYSHA!!!” Alura langsung berlari turun, jantungnya berdetak kencang. Di depan kamar utama, Arga berdiri dengan wajah pucat, matanya penuh kecemasan. Di dalam kamar, Keysha tergeletak di ranjang, tubuhnya menggigil hebat, mata terbelalak seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. Dari mulut Keysha keluar gumaman bahasa kuno yang membuat udara seakan membeku. Alura merasa dingin membalut seluruh tubuhnya, dan dari kulit Keysha merambat garis merah seperti urat terbakar. Arga merunduk di sampingnya, mencoba membangunkan Keysha dengan lembut. “Dia disentuh sesuatu... sesuatu yang bukan dari dunia ini.” Alura menatap Arga, ketegangan semakin meningkat. “Ini belum berakhir, bukan?” Arga mengangguk pelan. “Ini baru permulaan. Mereka sudah masuk ke rumah kita.” Alura merasakan simbol kuno di punggungnya mulai berdenyut, seperti segel dalam tubuhnya mulai retak. “Kita harus bertarung, Arga. Aku tidak akan diam saja.” Arga menatap Alura dengan mata yang penuh kepercayaan dan ketakutan. “Kalau begitu, bersiaplah. Perang sudah di ambang pintu.” Keheningan menggantung di antara mereka. Alura menatap pria itu lama, mata tajam yang biasanya tak pernah menghindar, kini tampak lelah. Untuk sesaat, ia bukan Arga yang dingin dan selalu tahu segalanya. Ia hanya seseorang yang takut kehilangan sesuatu... atau seseorang. Alura melangkah pelan ke arah jendela. Di luar, hujan belum turun, tapi langit sudah terlalu berat. Sama seperti dadanya. "Apa kau takut?" tanyanya tanpa menoleh. Arga tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke meja kecil di sudut ruangan, mengambil cangkir yang belum disentuh sejak tadi. “Aku tidak takut pada mereka,” katanya pelan. “Aku takut... jika aku harus memilih antara melindungimu atau menghentikanmu.” Alura menoleh. Kata-kata itu seperti pisau yang tak ia sangka akan datang dari Arga, pria yang selama ini menganggap semuanya tak lebih dari strategi. “Kau pikir aku akan kehilangan kendali?” bisiknya. “Bukan. Aku pikir dunia ini akan membuatmu percaya bahwa kendali adalah kelemahan.” Mata mereka bertemu. Tak ada api atau petir. Hanya kejujuran. Dan mungkin, luka yang tak sempat jadi kata. Alura menarik napas. “Aku tidak akan jadi boneka ibuku. Dan aku juga tidak akan jadi senjatamu.” “Aku tahu.” Arga mendekat. Jarak mereka tipis sekarang, seperti dua sisi mata uang yang tak pernah menyatu tapi tak terpisah. “Kalau kau berubah nanti,” lanjut Alura, “kau harus janji… kau akan menghentikanku.” Arga menatapnya lama, lalu mengangguk. “Aku janji.”Api biru yang sebelumnya padam menyala kembali satu per satu, namun cahaya yang biasanya membawa kesan agung kini terasa asing, seperti mata ratusan makhluk yang mengintip dari balik kegelapan. Aula Obsidian berdiri dalam keheningan yang berat. Tidak ada yang berani bicara, seolah gema nama yang baru saja diucapkan kabut tadi masih menggantung di udara. Silvanna. Nama itu bergaung di kepala semua yang hadir. Sebagian besar utusan memang tidak memahami arti sebenarnya, namun getaran gaib yang menyertainya cukup untuk membuat mereka tahu: itu bukan sekadar nama. Itu adalah panggilan yang membawa beban sejarah, beban yang bahkan para imam paling tua tidak berani sebut. Alura berdiri di singgasananya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya berkilat merah emas. Dalam dadanya, jantungnya berdegup keras. Ia tidak pernah membiarkan siapapun menyebut nama itu di hadapannya. Bahkan ia sendiri menguburnya jauh di bawah lapisan ingatan. Rafael melangkah maju, suaranya dingin tapi tegas. “Apa a
Kegelapan merayap ke seluruh aula Obsidian. Api biru yang tadi menyala di sepanjang dinding telah padam satu per satu, seperti dipadamkan oleh tangan tak kasatmata. Udara menjadi berat, dingin, dan sarat dengan desisan halus yang terdengar seperti bisikan ribuan mulut. Para utusan merapatkan formasi, sebagian gemetar, sebagian lain mulai melantunkan doa. Tapi kata-kata mereka tenggelam oleh kegelapan yang semakin menekan dada. Rafael berdiri di depan Alura, pedang hitamnya berkilau samar meski nyaris tak ada cahaya. Matanya tajam, menembus gelap, mencoba menangkap gerakan sekecil apa pun. Arga, di sisi lain, sudah menyalakan api gelap di tangannya, wajahnya menegang penuh kewaspadaan. “Ini bukan ujianmu, bukan juga permainanku,” desis Arga lirih. “Ada sesuatu yang masuk bersama sumpah itu.” Alura tetap berdiri tegak di singgasananya. Gaunnya bergelombang ringan, rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian wajah. Namun matanya terbuka lebar, berkilat merah emas, menatap lurus ke dalam
Aula Obsidian masih diselimuti keheningan yang berat. Aroma darah dan asap hitam dari ritual sumpah belum juga hilang, menempel di dinding dan mengendap di napas siapa pun yang ada di dalamnya. Para utusan berdiri kaku, sebagian berusaha mengatur napas, sebagian lain masih pucat dan gemetar, seolah baru saja melihat neraka. Alura duduk di singgasananya, tubuhnya tegak namun pandangannya tajam menusuk ke setiap wajah. Matanya berkilat merah emas, memantulkan cahaya api biru yang masih berkobar di sepanjang dinding. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang hanya dia yang merasakan. Sebuah suara. Bukan suara manusia. Bukan suara iblis yang dikenalnya. Suara itu datang dari dalam darahnya sendiri. "Ikatan sudah terjalin… darah telah menetes… pintu telah terbuka." Alura menutup matanya sebentar, lalu membukanya lagi dengan ekspresi dingin. Tidak ada satu pun yang boleh tahu bahwa sumpah yang ia ciptakan tidak hanya mengikat para utusan, tapi juga memanggil sesuatu yang lebih
Api hitam yang melahap tubuh utusan pertama masih bergema dalam ingatan semua orang yang hadir di Balairung Obsidian. Bau daging terbakar bercampur dengan desisan jiwa yang terpecah membuat udara terasa semakin berat. Tak ada yang berani bergerak terlalu cepat; bahkan napas pun ditahan seolah takut api itu berpaling pada mereka. Alura berdiri tegak di tengah lingkaran darah yang kini berdenyut samar, bagai jantung yang baru saja terbangun. Gaunnya yang hitam berkilauan diterpa cahaya api biru, membuatnya tampak seperti sosok yang lahir dari kegelapan itu sendiri. Tatapannya menyapu satu per satu wajah para utusan, hingga tak seorang pun berani menurunkan pandangan. “Lihatlah,” suaranya dingin, nyaring, namun tenang, “itulah harga sebuah pengkhianatan. Sumpah ini bukan sekadar kata-kata, bukan pula hanya simbol. Ia adalah kehidupan yang kalian berikan kepada takhta ini. Dan kehidupan, jika dikhianati, akan menuntut balasan.” Tak ada yang berani menjawab. Beberapa wajah pucat, bebera
Aula Obsidian masih bergetar meski raungan dari langit sudah mereda. Api biru di sepanjang dinding menari liar, kadang redup, kadang meledak, seolah terhubung langsung dengan sesuatu yang jauh lebih tua daripada benteng itu sendiri. Udara berat, dipenuhi aroma besi dan belerang yang menusuk hidung. Para utusan berdiri dalam lingkaran, tubuh mereka tegang, mata terbelalak ke arah tanda hitam di lantai yang baru saja meminum darah mereka. Lingkaran itu kini berdenyut perlahan, seperti jantung yang hidup, memancarkan cahaya merah samar dari retakan-retakan kecil yang menyebar. Alura berdiri tegak di singgasananya. Ia tampak anggun, tapi tatapannya tajam, bagai pisau yang siap menusuk siapa pun yang berani goyah. Rafael berdiri tidak jauh dari sisi kanan singgasana, pedang hitamnya sudah tersarung kembali, meski tangannya masih berada di gagang. Arga bersandar pada pilar batu, wajahnya sinis namun matanya memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. “Dengan darah kalian,” suara Alura mengge
Aula Obsidian masih dipenuhi sisa gema sumpah darah. Api biru di dinding yang tadinya tenang kini bergetar, seolah ikut menahan napas. Para utusan berdiri dalam diam, beberapa masih menatap tanda hitam di telapak tangan mereka dengan wajah pucat. Tak seorang pun yang berani bicara duluan. Bahkan Liora yang biasanya lantang, kini hanya menggenggam tongkatnya erat, tatapannya beralih dari simbol di kulitnya ke wajah Alura. “Ini…” salah seorang imam berbisik, suaranya nyaris patah, “…ini bukan sekadar perjanjian saja. Ada sesuatu yang ikut masuk.” Alura berdiri dari singgasananya. Gaun hitamnya berdesir ringan, namun setiap langkahnya terdengar jelas, menekan dada mereka. “Kalian baru saja mengikat diri dengan darah kalian sendiri. Itu adalah harga paling jujur yang bisa dibayar.” “Bukan hanya darah kita!” Liora akhirnya bersuara. Matanya menyala oleh kilatan panik dan marah. “Aku merasakan mata yang lain… mengawasi. Sesuatu yang bukan dari ruangan ini.” Rafael menoleh cepat. T