Ruangan itu tetap hening setelah Arga mengucapkan kata-kata terakhirnya. Tapi bagi Alura, keheningan itu lebih bising dari ribuan teriakan. Ia berdiri membatu, sementara buku tua di depannya masih terbuka, seolah menantinya untuk melangkah lebih jauh ke dalam kebenaran yang belum selesai.
Arga mendekat, langkahnya mantap meski mata tajamnya menyiratkan kelelahan. Alura menyadari, di bawah sinar remang dari sihir lilin yang menyala di langit-langit batu, wajah Arga tampak lebih manusiawi. Lebih… rentan. “Apa semua ini berarti aku hanya pion?” tanya Alura, suaranya pelan namun tidak goyah. “Tidak,” jawab Arga, singkat. Tapi lalu ia menambahkan, “Kau adalah pusatnya. Tapi pusat pun bisa dikendalikan… jika tidak cukup kuat.” Alura memalingkan wajahnya. Ia tak tahu apa yang lebih menyakitkan, fakta bahwa dunia telah merancang jalan ini sejak lama, atau bahwa Arga tahu semua dan tetap diam. Tapi sesuatu dalam dirinya, simbol merah yang samar menyala di bawah kulitnya, membisikkan bahwa semua ini bukan hanya tentang warisan. “Kenapa kau menikahiku, Arga? Kalau semua ini hanya soal segel dan darah, kau bisa pilih orang lain.” Arga menatapnya lama, lalu menurunkan pandangannya pada buku di altar. “Aku sudah melihat masa depan yang hancur,” katanya lirih. “Dan satu-satunya cara untuk mengubahnya... adalah menjalin perjanjian denganmu.” “Perjanjian?” Alura nyaris tertawa getir. “Itu kata yang kalian suka pakai. Tidak pernah bicara tentang kehendak, atau perasaan.” “Karena dalam dunia kami, kehendak bisa membunuhmu. Dan perasaan adalah kelemahan.” Alura menarik napas dalam, menatap simbol logam besar yang tergantung di tengah ruangan. Cahaya sihir dari permukaannya memantulkan bayangan merah ke seluruh dinding. Ia melangkah ke arahnya, pelan, lalu menyentuh simbol itu dengan ujung jari. Sekilas, ia merasa sesuatu masuk ke dalam dirinya, bukan kekuatan, tapi kenangan. Potongan-potongan asing melintas, seorang wanita berambut panjang berteriak dalam api, seorang anak kecil duduk menangis di tengah lingkaran simbol, dan suara bisikan ribuan bahasa asing menyatu. Ia mundur, napas memburu. “Apa itu?” bisiknya. Arga tak menjawab langsung. Ia menatap simbol itu sejenak, lalu membuka mulutnya. “Itu... bagian dari segel yang menyimpan Api Hitam. Elemen kuno yang bisa membakar dunia ini, atau menyucikannya. Itu tertanam dalam darahmu, Alura.” Alura menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menolak membiarkannya jatuh. “Kenapa ibuku tidak pernah bilang? Kenapa semua orang membiarkan aku hidup seperti manusia biasa, lalu tiba-tiba melemparkanku ke dalam ini?” Arga menghela napas. “Lilith menyembunyikanmu. Ia membuat pengorbanan besar agar kau bisa tumbuh tanpa beban darahnya. Tapi segel itu tak bisa ditahan selamanya. Begitu kau beranjak dewasa, api itu mulai bangkit. Itu sebabnya... kau mulai melihat hal-hal yang seharusnya tak bisa kau lihat.” Alura ingat mata merah Rio, makhluk kabut di balkon, simbol yang berdenyut, dan mimpi-mimpi aneh sejak ia tinggal di rumah ini. Semuanya perlahan menyatu, membentuk satu kenyataan yang tak bisa lagi ia tolak. “Jadi aku... wadah?” gumamnya. “Kau bukan wadah. Kau penentu. Dunia ini akan berubah karena pilihanmu, bukan karena garis darahmu.” Arga berkata pelan, tapi tegas. “Itulah kenapa aku takut. Bukan karena kau lemah. Tapi karena kau terlalu kuat untuk dikendalikan.” Alura memejamkan mata. Ia merasakan sesuatu mendesak dari dalam tubuhnya, seperti energi panas yang terkurung terlalu lama. Ia meletakkan tangannya di dada, dan di balik kain bajunya, simbol itu kembali berdenyut. “Apa yang terjadi kalau segel ini rusak?” tanyanya. Arga mendekat. “Maka Api Hitam akan membebaskan kehendaknya sendiri. Dan ia... tidak peduli pada manusia, iblis, atau cinta.” Mendengar kata terakhir itu, Alura menoleh cepat. “Cinta?” tanyanya, nadanya nyaris tajam. “Kau yakin bisa mengucapkan kata itu?” Arga terdiam. Lalu, untuk pertama kalinya, ia tampak kehilangan kata. “Aku… tidak tahu apa itu cinta, Alura. Tapi aku tahu aku tidak ingin kehilanganmu.” Keheningan menyelimuti mereka lagi. Tapi kali ini bukan karena rasa asing. Melainkan karena sesuatu mulai bergeser antara dua orang yang sama-sama tak percaya dunia, tapi perlahan mulai percaya satu sama lain. Alura menghela napas panjang, lalu menoleh ke simbol logam yang kini mulai kehilangan cahayanya. “Aku harus belajar mengendalikan ini,” katanya. “Ya. Dan aku akan mengajarimu,” jawab Arga. Mereka saling tatap. Bukan sebagai penjaga dan pewaris. Tapi sebagai dua makhluk yang dibentuk oleh luka masa lalu dan disatukan oleh ancaman masa depan. Alura tersenyum samar. “Kalau begitu… kita mulai besok. Tapi malam ini, aku ingin tidur seperti manusia biasa.” Arga mengangguk. “Kau masih manusia, Alura. Itu kekuatanmu.” Alura melangkah pelan keluar dari ruangan bawah tanah itu. Koridor gelap dan dingin menyambutnya, tapi langkahnya tetap stabil. Di balik segala keguncangan yang ia rasakan, ada satu hal yang kini tumbuh diam-diam di dalam dirinya: tekad. Setelah menutup pintu batu besar di belakangnya, ia menyandarkan punggung ke dinding dan menatap langit-langit yang retak. Sorot matanya sayu, tapi dalam keheningan itu, pikirannya bekerja keras. Bayangan ibunya terus muncul senyumnya yang misterius, matanya yang menyimpan terlalu banyak luka, dan kini, warisan yang harus ia jalani tanpa pernah mendapat penjelasan langsung. “Apa aku akan jadi seperti dia?” gumamnya, hampir tak terdengar.Api biru yang sebelumnya padam menyala kembali satu per satu, namun cahaya yang biasanya membawa kesan agung kini terasa asing, seperti mata ratusan makhluk yang mengintip dari balik kegelapan. Aula Obsidian berdiri dalam keheningan yang berat. Tidak ada yang berani bicara, seolah gema nama yang baru saja diucapkan kabut tadi masih menggantung di udara. Silvanna. Nama itu bergaung di kepala semua yang hadir. Sebagian besar utusan memang tidak memahami arti sebenarnya, namun getaran gaib yang menyertainya cukup untuk membuat mereka tahu: itu bukan sekadar nama. Itu adalah panggilan yang membawa beban sejarah, beban yang bahkan para imam paling tua tidak berani sebut. Alura berdiri di singgasananya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya berkilat merah emas. Dalam dadanya, jantungnya berdegup keras. Ia tidak pernah membiarkan siapapun menyebut nama itu di hadapannya. Bahkan ia sendiri menguburnya jauh di bawah lapisan ingatan. Rafael melangkah maju, suaranya dingin tapi tegas. “Apa a
Kegelapan merayap ke seluruh aula Obsidian. Api biru yang tadi menyala di sepanjang dinding telah padam satu per satu, seperti dipadamkan oleh tangan tak kasatmata. Udara menjadi berat, dingin, dan sarat dengan desisan halus yang terdengar seperti bisikan ribuan mulut. Para utusan merapatkan formasi, sebagian gemetar, sebagian lain mulai melantunkan doa. Tapi kata-kata mereka tenggelam oleh kegelapan yang semakin menekan dada. Rafael berdiri di depan Alura, pedang hitamnya berkilau samar meski nyaris tak ada cahaya. Matanya tajam, menembus gelap, mencoba menangkap gerakan sekecil apa pun. Arga, di sisi lain, sudah menyalakan api gelap di tangannya, wajahnya menegang penuh kewaspadaan. “Ini bukan ujianmu, bukan juga permainanku,” desis Arga lirih. “Ada sesuatu yang masuk bersama sumpah itu.” Alura tetap berdiri tegak di singgasananya. Gaunnya bergelombang ringan, rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian wajah. Namun matanya terbuka lebar, berkilat merah emas, menatap lurus ke dalam
Aula Obsidian masih diselimuti keheningan yang berat. Aroma darah dan asap hitam dari ritual sumpah belum juga hilang, menempel di dinding dan mengendap di napas siapa pun yang ada di dalamnya. Para utusan berdiri kaku, sebagian berusaha mengatur napas, sebagian lain masih pucat dan gemetar, seolah baru saja melihat neraka. Alura duduk di singgasananya, tubuhnya tegak namun pandangannya tajam menusuk ke setiap wajah. Matanya berkilat merah emas, memantulkan cahaya api biru yang masih berkobar di sepanjang dinding. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang hanya dia yang merasakan. Sebuah suara. Bukan suara manusia. Bukan suara iblis yang dikenalnya. Suara itu datang dari dalam darahnya sendiri. "Ikatan sudah terjalin… darah telah menetes… pintu telah terbuka." Alura menutup matanya sebentar, lalu membukanya lagi dengan ekspresi dingin. Tidak ada satu pun yang boleh tahu bahwa sumpah yang ia ciptakan tidak hanya mengikat para utusan, tapi juga memanggil sesuatu yang lebih
Api hitam yang melahap tubuh utusan pertama masih bergema dalam ingatan semua orang yang hadir di Balairung Obsidian. Bau daging terbakar bercampur dengan desisan jiwa yang terpecah membuat udara terasa semakin berat. Tak ada yang berani bergerak terlalu cepat; bahkan napas pun ditahan seolah takut api itu berpaling pada mereka. Alura berdiri tegak di tengah lingkaran darah yang kini berdenyut samar, bagai jantung yang baru saja terbangun. Gaunnya yang hitam berkilauan diterpa cahaya api biru, membuatnya tampak seperti sosok yang lahir dari kegelapan itu sendiri. Tatapannya menyapu satu per satu wajah para utusan, hingga tak seorang pun berani menurunkan pandangan. “Lihatlah,” suaranya dingin, nyaring, namun tenang, “itulah harga sebuah pengkhianatan. Sumpah ini bukan sekadar kata-kata, bukan pula hanya simbol. Ia adalah kehidupan yang kalian berikan kepada takhta ini. Dan kehidupan, jika dikhianati, akan menuntut balasan.” Tak ada yang berani menjawab. Beberapa wajah pucat, bebera
Aula Obsidian masih bergetar meski raungan dari langit sudah mereda. Api biru di sepanjang dinding menari liar, kadang redup, kadang meledak, seolah terhubung langsung dengan sesuatu yang jauh lebih tua daripada benteng itu sendiri. Udara berat, dipenuhi aroma besi dan belerang yang menusuk hidung. Para utusan berdiri dalam lingkaran, tubuh mereka tegang, mata terbelalak ke arah tanda hitam di lantai yang baru saja meminum darah mereka. Lingkaran itu kini berdenyut perlahan, seperti jantung yang hidup, memancarkan cahaya merah samar dari retakan-retakan kecil yang menyebar. Alura berdiri tegak di singgasananya. Ia tampak anggun, tapi tatapannya tajam, bagai pisau yang siap menusuk siapa pun yang berani goyah. Rafael berdiri tidak jauh dari sisi kanan singgasana, pedang hitamnya sudah tersarung kembali, meski tangannya masih berada di gagang. Arga bersandar pada pilar batu, wajahnya sinis namun matanya memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. “Dengan darah kalian,” suara Alura mengge
Aula Obsidian masih dipenuhi sisa gema sumpah darah. Api biru di dinding yang tadinya tenang kini bergetar, seolah ikut menahan napas. Para utusan berdiri dalam diam, beberapa masih menatap tanda hitam di telapak tangan mereka dengan wajah pucat. Tak seorang pun yang berani bicara duluan. Bahkan Liora yang biasanya lantang, kini hanya menggenggam tongkatnya erat, tatapannya beralih dari simbol di kulitnya ke wajah Alura. “Ini…” salah seorang imam berbisik, suaranya nyaris patah, “…ini bukan sekadar perjanjian saja. Ada sesuatu yang ikut masuk.” Alura berdiri dari singgasananya. Gaun hitamnya berdesir ringan, namun setiap langkahnya terdengar jelas, menekan dada mereka. “Kalian baru saja mengikat diri dengan darah kalian sendiri. Itu adalah harga paling jujur yang bisa dibayar.” “Bukan hanya darah kita!” Liora akhirnya bersuara. Matanya menyala oleh kilatan panik dan marah. “Aku merasakan mata yang lain… mengawasi. Sesuatu yang bukan dari ruangan ini.” Rafael menoleh cepat. T