แชร์

Bab 5. Api di Balik Segel

ผู้เขียน: Quennnzy
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-21 13:31:57

Ruangan itu tetap hening setelah Arga mengucapkan kata-kata terakhirnya. Tapi bagi Alura, keheningan itu lebih bising dari ribuan teriakan. Ia berdiri membatu, sementara buku tua di depannya masih terbuka, seolah menantinya untuk melangkah lebih jauh ke dalam kebenaran yang belum selesai.

Arga mendekat, langkahnya mantap meski mata tajamnya menyiratkan kelelahan. Alura menyadari, di bawah sinar remang dari sihir lilin yang menyala di langit-langit batu, wajah Arga tampak lebih manusiawi. Lebih… rentan.

“Apa semua ini berarti aku hanya pion?” tanya Alura, suaranya pelan namun tidak goyah.

“Tidak,” jawab Arga, singkat. Tapi lalu ia menambahkan, “Kau adalah pusatnya. Tapi pusat pun bisa dikendalikan… jika tidak cukup kuat.”

Alura memalingkan wajahnya. Ia tak tahu apa yang lebih menyakitkan, fakta bahwa dunia telah merancang jalan ini sejak lama, atau bahwa Arga tahu semua dan tetap diam. Tapi sesuatu dalam dirinya, simbol merah yang samar menyala di bawah kulitnya, membisikkan bahwa semua ini bukan hanya tentang warisan.

“Kenapa kau menikahiku, Arga? Kalau semua ini hanya soal segel dan darah, kau bisa pilih orang lain.”

Arga menatapnya lama, lalu menurunkan pandangannya pada buku di altar. “Aku sudah melihat masa depan yang hancur,” katanya lirih. “Dan satu-satunya cara untuk mengubahnya... adalah menjalin perjanjian denganmu.”

“Perjanjian?” Alura nyaris tertawa getir. “Itu kata yang kalian suka pakai. Tidak pernah bicara tentang kehendak, atau perasaan.”

“Karena dalam dunia kami, kehendak bisa membunuhmu. Dan perasaan adalah kelemahan.”

Alura menarik napas dalam, menatap simbol logam besar yang tergantung di tengah ruangan. Cahaya sihir dari permukaannya memantulkan bayangan merah ke seluruh dinding. Ia melangkah ke arahnya, pelan, lalu menyentuh simbol itu dengan ujung jari.

Sekilas, ia merasa sesuatu masuk ke dalam dirinya, bukan kekuatan, tapi kenangan. Potongan-potongan asing melintas, seorang wanita berambut panjang berteriak dalam api, seorang anak kecil duduk menangis di tengah lingkaran simbol, dan suara bisikan ribuan bahasa asing menyatu.

Ia mundur, napas memburu.

“Apa itu?” bisiknya.

Arga tak menjawab langsung. Ia menatap simbol itu sejenak, lalu membuka mulutnya. “Itu... bagian dari segel yang menyimpan Api Hitam. Elemen kuno yang bisa membakar dunia ini, atau menyucikannya. Itu tertanam dalam darahmu, Alura.”

Alura menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menolak membiarkannya jatuh. “Kenapa ibuku tidak pernah bilang? Kenapa semua orang membiarkan aku hidup seperti manusia biasa, lalu tiba-tiba melemparkanku ke dalam ini?”

Arga menghela napas. “Lilith menyembunyikanmu. Ia membuat pengorbanan besar agar kau bisa tumbuh tanpa beban darahnya. Tapi segel itu tak bisa ditahan selamanya. Begitu kau beranjak dewasa, api itu mulai bangkit. Itu sebabnya... kau mulai melihat hal-hal yang seharusnya tak bisa kau lihat.”

Alura ingat mata merah Rio, makhluk kabut di balkon, simbol yang berdenyut, dan mimpi-mimpi aneh sejak ia tinggal di rumah ini. Semuanya perlahan menyatu, membentuk satu kenyataan yang tak bisa lagi ia tolak.

“Jadi aku... wadah?” gumamnya.

“Kau bukan wadah. Kau penentu. Dunia ini akan berubah karena pilihanmu, bukan karena garis darahmu.” Arga berkata pelan, tapi tegas. “Itulah kenapa aku takut. Bukan karena kau lemah. Tapi karena kau terlalu kuat untuk dikendalikan.”

Alura memejamkan mata. Ia merasakan sesuatu mendesak dari dalam tubuhnya, seperti energi panas yang terkurung terlalu lama. Ia meletakkan tangannya di dada, dan di balik kain bajunya, simbol itu kembali berdenyut.

“Apa yang terjadi kalau segel ini rusak?” tanyanya.

Arga mendekat. “Maka Api Hitam akan membebaskan kehendaknya sendiri. Dan ia... tidak peduli pada manusia, iblis, atau cinta.”

Mendengar kata terakhir itu, Alura menoleh cepat.

“Cinta?” tanyanya, nadanya nyaris tajam. “Kau yakin bisa mengucapkan kata itu?”

Arga terdiam. Lalu, untuk pertama kalinya, ia tampak kehilangan kata. “Aku… tidak tahu apa itu cinta, Alura. Tapi aku tahu aku tidak ingin kehilanganmu.”

Keheningan menyelimuti mereka lagi. Tapi kali ini bukan karena rasa asing. Melainkan karena sesuatu mulai bergeser antara dua orang yang sama-sama tak percaya dunia, tapi perlahan mulai percaya satu sama lain.

Alura menghela napas panjang, lalu menoleh ke simbol logam yang kini mulai kehilangan cahayanya.

“Aku harus belajar mengendalikan ini,” katanya.

“Ya. Dan aku akan mengajarimu,” jawab Arga.

Mereka saling tatap. Bukan sebagai penjaga dan pewaris. Tapi sebagai dua makhluk yang dibentuk oleh luka masa lalu dan disatukan oleh ancaman masa depan.

Alura tersenyum samar. “Kalau begitu… kita mulai besok. Tapi malam ini, aku ingin tidur seperti manusia biasa.”

Arga mengangguk. “Kau masih manusia, Alura. Itu kekuatanmu.”

Alura melangkah pelan keluar dari ruangan bawah tanah itu. Koridor gelap dan dingin menyambutnya, tapi langkahnya tetap stabil. Di balik segala keguncangan yang ia rasakan, ada satu hal yang kini tumbuh diam-diam di dalam dirinya: tekad.

Setelah menutup pintu batu besar di belakangnya, ia menyandarkan punggung ke dinding dan menatap langit-langit yang retak. Sorot matanya sayu, tapi dalam keheningan itu, pikirannya bekerja keras. Bayangan ibunya terus muncul senyumnya yang misterius, matanya yang menyimpan terlalu banyak luka, dan kini, warisan yang harus ia jalani tanpa pernah mendapat penjelasan langsung.

“Apa aku akan jadi seperti dia?” gumamnya, hampir tak terdengar.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 98. Bayangan yang Mengikuti

    Udara di luar terasa lebih tipis.Seperti setiap helai napas harus berjuang menembus lapisan dingin yang menusuk paru-paru. Langkah Alura melambat ketika kakinya menjejak tanah lembap yang berbau logam. Rafael berada setengah langkah di depannya, bahunya tegang, matanya tajam menyapu kegelapan.Mereka telah meninggalkan lorong batu yang sempit itu, tetapi kelegaan yang seharusnya datang tidak pernah muncul. Sebaliknya, rasa terjebak kini bergeser menjadi rasa diawasi.Dan itu jauh lebih mengganggu.Suara langkah ketiga terdengar samar di belakang.Tidak keras, tapi cukup teratur untuk bukan sekadar gema dari langkah mereka sendiri. Alura menoleh sekilas, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan yang bergerak di antara kabut tipis."Terus jalan," suara Rafael datar, tapi nada waspadanya tidak bisa disembunyikan. "Jangan menoleh terlalu lama."Alura menggenggam mantel di dadanya, bukan karena dingin semata, melainkan untuk menahan detak jantungnya yang melonjak. Setiap detik yang lewat te

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 97. Jejak yang Tak Seharusnya Ada

    Udara di ruang itu semakin padat, seperti setiap tarikan napas mencuri sebagian kekuatan dari paru-paru mereka. Cahaya dari obor yang mereka bawa hanya menjangkau beberapa langkah ke depan, sisanya tenggelam dalam kegelapan yang terasa hidup bergerak pelan, seakan menunggu saat yang tepat untuk menutup rapat jalannya. “Rafael…” suara Alura nyaris tak terdengar, tapi nada cemas di dalamnya memotong sunyi yang terlalu panjang. “Lantai ini… berbeda.” Rafael menunduk, matanya mengikuti jejak samar di permukaan batu. Bukan retakan biasa. Jejak itu seperti ukiran melingkar, membentuk pola rumit yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Namun yang membuat darahnya sedikit membeku adalah noda merah yang mengisi sebagian garis ukiran itu—terlalu segar untuk sesuatu yang seharusnya sudah terkubur selama ratusan tahun. “Itu darah,” Rafael bergumam, tatapannya menyapu ke sekeliling. “Dan ini bukan milik kita.” Alura mundur setengah langkah. “Kalau bukan milik kita… berarti ada orang lain di si

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 96. Panggilan dari Ujung Gelap

    Langkah Alura terhenti.Bukan karena suara di belakang, bukan pula karena tatapan Rafael yang terfokus penuh pada lorong di depan mereka. Tetapi karena sesuatu atau seseorang baru saja bernafas di telinganya.Bukan napas manusia.Tidak teratur, tapi berirama. Hangat dan dingin bergantian, seperti ada dua musim yang bertabrakan di dalam dada satu makhluk.Alura memutar tubuhnya pelan. Lorong di belakang kosong. Batu-batunya tetap basah, udara tetap pekat. Tidak ada siapa-siapa… kecuali kilatan merah yang sempat memotong kegelapan, lalu lenyap.Rafael menatapnya. “Kau melihatnya lagi?”Alura menelan ludah. “Dia… mendekat.”“Dia tidak pernah pergi,” jawab Rafael tanpa mengalihkan pandangan ke belakang.Lalu, dari ujung lorong depan, terdengar bunyi gesekan besi. Bukan seperti pintu dibuka, melainkan seperti rantai ditarik dari dalam dinding.Rafael langsung berdiri di depan Alura, sikapnya tegang. “Itu bukan jalur yang ingin kita ambil.”“Tapi kita tidak punya pilihan lain.”Mereka berja

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 95. Lorong yang Menyimpan Rasa

    Lorong itu sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi yang memaksa setiap desah napas terdengar seperti gemuruh di antara dinding batu yang mengerutkan kening. Alura dan Rafael berjalan pelan, langkah mereka seolah menyatu dengan denyut detak jantung lorong yang terus berdetak, menggetarkan setiap batu yang mereka pijak. Udara pekat, berat, menyelimuti setiap inci ruang itu, seakan-akan sesuatu yang lama tertidur mulai terbangun dan mengamati mereka dari balik bayangan. Cahaya obor Rafael menari-nari, menciptakan bayangan-bayangan yang membelai dinding dengan bentuk-bentuk yang sulit dikenali, namun terasa penuh ancaman. Di setiap tikungan, ukiran-ukiran misterius menyapa mata mereka, tanda-tanda dari masa lalu yang mencoba berbicara tanpa suara. Alura merasakan sentuhan halus di belakang lehernya, sebuah hawa dingin yang menjalar ke tulang belakangnya. “Kau merasakannya juga?” bisiknya pada Rafael. Rafael mengangguk pelan. “Ini bukan tempat biasa, Alura. Kita bukan tamu yang

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 94. Mata yang Mengingat

    Udara di lorong itu menebal, seolah setiap tarikan napas membawa serpihan logam ke paru-paru. Alura menatap mata merah itu tanpa berkedip, meski setiap instingnya berteriak untuk mundur. Cahaya biru dari retakan dinding meredup, dan hanya menyisakan lingkar cahaya samar di lantai batu yang retak. Langkah makhluk itu lambat, tapi setiap pijakannya memunculkan suara basah yang membuat Rafael memiringkan pedangnya sedikit, siap memotong kapan saja. Aroma darah tua mulai memenuhi udara, bukan darah segar, melainkan seperti darah yang sudah lama membeku di tanah dan tiba-tiba diaduk kembali. Ketika sosok itu sepenuhnya keluar dari kegelapan, Alura merasa dadanya sesak. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan bekas luka dalam membelah bahunya hingga ke dada. Rambut hitamnya kusut, basah, menempel di pipi. Dan yang paling membuat napas Alura tercekat, luka di sisi perutnya masih terbuka, tapi tidak ada darah yang menetes. Luka itu seperti retakan di batu, menganga tapi membisu. Rafae

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 93. Nafas yang Tak Seharusnya Ada

    Langkah mereka semakin pelan. Lorong itu seperti sengaja memanjang tanpa ujung, memaksa siapa pun yang masuk untuk menghitung setiap detik hanya demi tetap waras. Rafael menyalakan api di telapak tangannya, cukup kecil untuk tidak mengundang perhatian, namun cukup hangat agar Alura tahu dia masih di sana. Api itu memantulkan bayangan di dinding, dan untuk sesaat, bayangan itu tampak… bernafas. Alura menghentikan langkah. “Rafael…” bisiknya. Rafael menoleh, matanya menyipit. “Aku melihatnya.” Di hadapan mereka, dinding batu seakan bergerak. Bukan bergeser secara fisik, tapi teksturnya berubah retakan-retakan kecil membentuk pola melingkar, seperti mata yang terbuka perlahan. Di tengah pola itu, udara bergetar, mengeluarkan desah rendah… seperti suara seseorang yang baru saja menarik napas panjang setelah lama tenggelam. Alura merasakan hawa itu menembus kulitnya. Tidak dingin. Tidak panas. Tapi asing. Terlalu asing. “Ini bukan lorong biasa…” Rafael melangkah maju, mengulurkan t

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status