Bab 4: Ingatan yang Tersembunyi
Hari berikutnya, Arjuna terbangun dengan semangat baru. Mimpinya semalam masih segar dalam ingatannya, membangkitkan rasa ingin tahunya untuk mencari tahu lebih banyak tentang hubungannya dengan Livia. Ia bertekad untuk tidak hanya memahami mimpinya, tetapi juga untuk menggali lebih dalam ke dalam diri Livia, gadis yang semakin mengisi pikirannya. Sesampainya di kampus, Arjuna segera merasakan suasana yang berbeda. Teman-teman kampusnya, terutama Bima, Sarah, dan Dani, tampak saling berbisik sambil melirik ke arahnya. Rasa ingin tahunya makin meningkat, tetapi ia tahu bahwa fokusnya saat ini adalah Livia. Ia berharap bisa menemukan waktu untuk bertemu dengannya dan melanjutkan pencarian mereka. Bima, teman dekatnya yang selalu ceria dan penuh energi, menghampiri Arjuna dengan senyuman lebar. “Eh, Arjuna! Apa kabar? Kemarin kita lihat kamu sama Livia. Kalian ada urusan penting ya?” tanyanya dengan nada penasaran. “Tidak ada yang penting,” jawab Arjuna sambil tersenyum, berusaha terlihat santai. “Kami hanya belajar bersama tentang mitologi Yunani.” Sarah, teman satu kelas mereka yang dikenal dengan kecerdasannya dan sikap pedulinya, ikut mendekat. “Belajar mitologi? Menarik sekali! Tapi sepertinya kalian berdua terlihat akrab sekali. Ada yang ingin kalian sembunyikan?” ujarnya sambil mengedipkan mata. Dani, teman sekelas lainnya yang dikenal sebagai kutu buku, bergabung dengan mereka, menyesuaikan kacamatanya. “Sebaiknya kita semua belajar tentang mitologi Yunani. Aku tahu banyak tentang dewa-dewi itu, terutama tentang Ares,” katanya dengan semangat. Arjuna merasa sedikit canggung, tetapi ia tidak bisa menahan senyumnya. “Yah, mungkin sedikit lebih dari itu. Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya, berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Mendengar jawaban Arjuna, teman-temannya saling bertukar pandang, tampak semakin penasaran. “Baiklah, kami akan melihat kalian di kelas. Tapi jangan terlalu lama ya, nanti kami khawatir,” kata Bima sambil tersenyum nakal. Dengan sedikit perasaan bersalah, Arjuna meninggalkan mereka dan langsung menuju perpustakaan. Ketika ia menemukan Livia di sudut ruangan dengan buku di tangannya, hatinya berdebar. “Hai, Livia! Apakah kamu siap untuk diskusi hari ini?” tanyanya dengan penuh semangat. Livia menatapnya, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi jangan berharap banyak. Aku masih skeptis tentang semua ini.” Mereka mulai mencari referensi tambahan tentang Ares dan hubungan antara dewa perang itu dengan dewi-dewi lainnya. Arjuna merasakan ketegangan yang menyenangkan saat mereka bersama-sama menggali lebih dalam. Setiap kali mereka menemukan informasi baru, Arjuna merasa seolah satu potongan teka-teki baru berhasil terpasang. Saat sedang asyik mencari, Dr. Haris, dosen mereka, melintas dan memperhatikan mereka dengan tajam. Ia mengangkat alisnya saat melihat interaksi antara Arjuna dan Livia. “Hmm, tampaknya ada chemistry di antara kalian berdua,” katanya sambil tersenyum penuh arti. Arjuna merona, merasa sedikit canggung di bawah tatapan Dr. Haris. “Kami hanya belajar, Pak. Tidak ada yang istimewa,” jawabnya, berusaha terdengar tenang. “Belajar bisa jadi sangat menarik, terutama jika ada dua orang yang memiliki ketertarikan yang sama. Pastikan kalian tetap fokus pada pelajaran,” Dr. Haris mengingatkan dengan nada bercanda sebelum melanjutkan langkahnya. Setelah Dr. Haris pergi, Arjuna dan Livia tertawa kecil. “Sepertinya kita menarik perhatian,” kata Arjuna, merasa lebih rileks. “Mungkin kita memang harus lebih fokus pada apa yang kita lakukan,” jawab Livia dengan nada serius, tetapi senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia menikmati momen tersebut. Mereka melanjutkan pencarian hingga sore menjelang. Livia terlihat lebih rileks dan akrab, dan Arjuna merasakan kehangatan di antara mereka. Namun, di balik senyuman Livia, ia merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Ia ingin tahu lebih banyak tentang apa yang ada di pikiran Livia. “Livia, kenapa kamu terlihat sedikit ragu? Apakah ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?” tanya Arjuna, dengan nada khawatir. Livia menundukkan kepala, seolah mencari kata-kata. “Aku hanya merasa bahwa kita sedang mengejar sesuatu yang tidak bisa kita pahami sepenuhnya. Seperti kita mencari jawaban di tempat yang salah.” Arjuna mengerutkan dahi. “Tapi bukankah kita sudah menemukan beberapa petunjuk? Kita harus melanjutkan pencarian ini.” “Ya, mungkin. Tapi kadang aku merasa seperti ini hanya akan membawa kita lebih jauh ke dalam kebingungan,” jawab Livia, suaranya lembut namun penuh ketegangan. Mendengar kata-kata Livia, Arjuna merasakan keraguan yang sama. Namun, semangatnya untuk menemukan kebenaran lebih besar. “Kita tidak akan tahu jika kita tidak mencarinya. Aku merasa ada yang lebih besar yang menunggu untuk kita temukan.” Livia menatapnya, lalu mengangguk. “Baiklah, kita lanjutkan. Tapi aku ingin kita tetap realistis tentang semua ini.” Setelah beberapa jam di perpustakaan, mereka merasa lelah tetapi puas dengan kemajuan mereka. Saat berjalan keluar, Arjuna merasa ada sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan Livia, dan ia ingin mengeksplorasi lebih lanjut tentang perasaan itu. Ketika Arjuna berjalan pulang, ia teringat dengan pengamatan Dr. Haris dan rasa ingin tahunya mulai tumbuh. Apakah orang lain juga memperhatikan mereka? Ia ingin tahu bagaimana perasaan Livia tentang hubungan ini, dan apakah dia merasakan ketertarikan yang sama. Malam itu, saat terbaring di tempat tidur, Arjuna merasakan semangat yang baru. Ia tahu bahwa pencarian mereka akan membawa mereka pada penemuan yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan juga satu sama lain. Dengan pikiran itu, ia terlelap, bersiap untuk mimpi-mimpi berikutnya. Dalam mimpinya, sosok Ares muncul lagi, tetapi kali ini dengan wajah yang lebih jelas. “Arjuna, kau harus ingat siapa dirimu,” kata Ares dengan suara tegas. “Ada yang menunggumu.” Saat Arjuna terbangun, ia merasa lebih bersemangat. Ia harus menemukan cara untuk menghubungkan dirinya dengan Ares dan ingatan yang hilang. Dengan pikiran itu, ia bertekad untuk melanjutkan pencariannya bersama Livia, sembari menghadapi tantangan yang akan datang. ---Bab 83: Api Dendam yang Membara Arjuna berdiri terpaku di depan puing-puing rumah orang tuanya. Malam yang gelap terasa seperti neraka bagi dirinya. Bau hangus dari kayu yang terbakar masih tercium, bercampur dengan darah yang mengering di tanah. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan oleh kemarahan yang membara. Pak Budi berdiri di sampingnya, tubuhnya penuh luka setelah pertarungan sengit melawan Kyle dan Ragnar. Meski berhasil melukai Kyle, kehadiran Ragnar yang mendadak mengubah segalanya. Kini, mereka hanya bisa berdiri di hadapan kehancuran, dengan dua tubuh tak bernyawa tergeletak di antara reruntuhan. “Arjuna...” Pak Budi mencoba berbicara, tetapi suaranya bergetar. Arjuna perlahan berlutut di samping tubuh kedua orang tuanya. Matanya menatap kosong ke arah mereka, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Ibunya, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, kini terbaring diam dengan luka mendalam di dadanya. Ayahnya, yang selalu menjadi sosok pelindu
Bab 82: Darah di Bawah Langit Malam Di tengah kegelapan ruang bawah tanah yang dingin, Sven berdiri dengan angkuh di atas lantai batu yang berlumut. Kilatan cahaya biru dari bola kristal di tangannya memantulkan wajahnya yang penuh dengan kegetiran dan kebencian. Mata merahnya menatap tajam pusaran dimensi dalam bola tersebut, menyaksikan Arjuna yang baru saja berhasil melewati ujian waktu bersama Sun Wukong dan Pak Budi. "Dia semakin kuat," gumam Sven dengan suara berat yang menggema di ruangan itu. Di sampingnya, berdiri sosok pria berotot dengan rambut pirang pendek dan wajah keras — Kyle, tangan kanan Sven yang terkenal tanpa ampun. Mata Kyle yang dingin memancarkan kekejaman yang sudah menjadi ciri khasnya. “Dia sudah melampaui ekspektasi kita,” lanjut Sven sambil mengepalkan tangan. "Tapi kekuatan yang besar tidak ada artinya kalau hati seseorang dihancurkan.” Kyle mengangguk tanpa ekspresi. “Apa perintahmu, Tuan Sven?” Sven tersenyum tipis, senyum yang lebih me
Bab 81: Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu Arena kosmik berputar seperti pusaran dimensi tanpa akhir. Arjuna berdiri di tengahnya, tubuhnya diliputi rasa lelah yang menusuk, tetapi tekadnya tetap membara. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan cermat persiapan ujian berikutnya. “Ujian waktu adalah ujian terakhir sebelum kau sepenuhnya layak disebut pewaris kekuatan para dewa,” kata Sun Wukong dengan suara berat. Pak Budi menambahkan, “Ini bukan sekadar perjalanan melawan elemen. Waktu adalah musuh yang tidak terlihat, yang bisa menghancurkan jiwa siapa pun.” Arjuna menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang ia lewati—kematian teman-temannya, kekacauan yang ditinggalkan Sven, serta kehilangan besar yang menghantam hatinya—ia tahu bahwa ujian ini mungkin yang paling berbahaya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arjuna sambil menatap lurus ke pusaran waktu yang berkilauan di depannya. “Kau harus melangkah ke dalam waktu itu sendiri,” j
Bab 80: Ujian Kekosongan Arena Kosmik kembali hening. Hanya gema napas Arjuna yang terdengar saat ia berdiri di tengah ruang tak berujung itu. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya setelah menghadapi dua elemen pertama, angin dan api. Namun, tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat sedang menantinya. Sun Wukong berdiri di tepi arena, tongkat emasnya menciptakan suara ketukan pelan saat ia menyentuh lantai kaca hitam dengan ujung tongkatnya. Wajahnya serius, sebuah ekspresi yang jarang terlihat dari raja kera yang biasanya ceria. Pak Budi berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh perhatian. "Elemen berikutnya akan benar-benar menguji inti jiwamu, Arjuna," kata Pak Budi, suaranya bergema lembut di dalam arena. "Ini bukan soal kekuatan fisik atau bahkan pengendalian energi semata. Ini tentang seberapa kuat hatimu menghadapi kehampaan
Bab 79: Awal Perjalanan Baru Keesokan paginya, langit di Alam Para Dewa dihiasi warna keemasan yang memukau, seperti lukisan hidup yang tak ada bandingannya di dunia fana. Sinar mentari lembut menyentuh setiap sudut istana, membawa ketenangan sekaligus kekuatan baru bagi siapa pun yang merasakannya. Arjuna berdiri di balkon kamarnya, mengenakan pakaian tempur ringan yang diberikan para dewa. Angin sejuk mengelus wajahnya, namun pikirannya jauh dari damai. Ia memikirkan kata-kata Amaterasu semalam. Bayangan Livia yang berlatih untuk menjadi lebih kuat terus menghantui benaknya. Di satu sisi, ia merasa bangga atas keberanian Livia, namun di sisi lain, ia khawatir. Livia adalah bagian terpenting dalam hidupnya, dan gagasan bahwa ia harus menghadapi bahaya membuat Arjuna tidak bisa tenang. “Sudah siap?” Suara Sun Wukong yang khas membuyarkan lamunan Arjuna. Ia menoleh dan mendapati sosok raja kera itu berdiri di depan pintu kamar, dengan tongkat emasnya yang bersandar di bahu.
Bab 78: Ketenangan Sebelum Badai Setelah pertemuan panjang dengan para dewa, Arjuna merasa tubuh dan pikirannya lelah. Langkahnya berat saat ia mengikuti Sun Wukong dan Pak Budi melalui lorong-lorong megah di istana Alam Para Dewa. Dinding-dindingnya penuh ukiran indah, menceritakan kisah-kisah kuno tentang peperangan, cinta, dan pengorbanan. “Kau butuh istirahat,” kata Pak Budi lembut. “Pikiranmu harus jernih untuk apa yang akan datang.” Arjuna hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menjawab. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang disediakan untuknya. Pintu besar dari kayu berukir terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat. Di dalamnya, ruangan itu memancarkan aura ketenangan. Tempat tidurnya besar, dihiasi kain sutra berwarna biru dan emas. Di sudut ruangan, sebuah jendela besar menghadap ke langit ungu Alam Para Dewa, memberikan pemandangan yang memukau. “Ini tempatmu untuk malam ini,” kata Sun Wukong sambil melirik sekeliling. “Manfaatkan waktumu. Besok,
Bab 77: Perjalanan ke Alam Para Dewa Pagi itu, udara di Gunung Salak terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah. Arjuna, Sun Wukong, dan Pak Budi berdiri di sebuah dataran terbuka, memandang ke arah timur di mana lembah hijau membentang jauh hingga ke cakrawala. Namun, meski pemandangan itu memukau, pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. “Kita harus bergerak sekarang,” ujar Sun Wukong, tongkat emasnya bersandar di bahunya. “Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sia-siakan, terutama ketika Sven mungkin sedang mempersiapkan langkah berikutnya.” Pak Budi mengangguk. Ia merapikan kain sarungnya, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Alam para dewa bukan tempat sembarangan, Juna. Kau akan bertemu banyak entitas yang memiliki kekuatan jauh di luar nalar manusia. Tetapi, kita tidak punya pilihan. Untuk melawan Sven, kita membutuhkan aliansi yang lebih kuat.” Arjuna menat
Bab 76: Panggilan dari Puncak Kabut tebal semakin menyelimuti perjalanan mereka, membuat udara terasa berat dan mencekik. Sunyi yang mencekam hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka di atas tanah berbatu dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Arjuna memimpin di depan, pandangannya tertuju pada puncak yang masih samar terlihat di kejauhan. Panggilan itu semakin kuat, tidak lagi berupa bisikan tetapi menjadi gema yang berdentam di dalam dirinya. “Puncaknya tidak jauh lagi,” kata Pak Budi sambil mengamati sekitar, meskipun nada suaranya penuh kehati-hatian. “Tapi kita harus tetap waspada. Energi di sini semakin kacau.” Arjuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terus tertuju pada suara yang seakan-akan berbicara langsung ke dalam jiwanya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sun Wukong, yang berjalan di belakang, tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu,” katanya tegas, mengangkat tongkatnya. Matanya menyipit, mena
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men