Home / Historical / Reinkarnasi Sang Dewa Perang / Pertemuan dengan Livia

Share

Pertemuan dengan Livia

Author: Ransti
last update Last Updated: 2024-10-30 23:02:34

Bab 3: Pertemuan dengan Livia

Hari-hari berlalu, dan mimpi Arjuna semakin intens. Setiap malam, sosok wanita misterius itu terus menghantuinya, membangkitkan rasa penasaran yang tak terpadamkan. Di siang hari, ia merasa terjebak antara kehidupan sehari-hari dan kenangan samar yang tampak lebih nyata dalam mimpinya.

Suatu hari, saat berada di kantin kampus, Arjuna duduk bersama Bima dan Sarah. Mereka bercakap-cakap tentang tugas kuliah ketika pandangan Arjuna teralihkan. Di sudut ruangan, ia melihat seorang gadis duduk sendirian, tenggelam dalam sebuah buku. Rambut panjangnya yang lurus berkilau di bawah sinar matahari, membingkai wajahnya yang oval dan cerah. Livia Pratama memiliki mata cokelat gelap yang dalam, mencerminkan ketenangan namun juga misteri. Ia mengenakan sweater sederhana dan jeans, tetapi tetap terlihat menarik dengan aura kecerdasannya.

“Siapa itu?” Arjuna bertanya, tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Bima mengikuti arah pandangnya dan tersenyum. “Oh, itu Livia Pratama. Dia sering duduk sendiri, tapi sebenarnya sangat baik dan cerdas.”

Arjuna merasa jantungnya berdebar. Ada sesuatu yang menarik tentang Livia—sesuatu yang membuatnya ingin mendekat. Ia berusaha mengatur napas dan mengumpulkan keberanian. “Aku ingin mengenalnya,” ucapnya, suaranya hampir berbisik.

Dengan tekad, Arjuna berdiri dan melangkah menuju Livia. Saat mendekat, ia bisa melihat ekspresi serius di wajahnya, seolah dunia di sekelilingnya menghilang. Begitu ia berada di hadapan Livia, Arjuna merasakan campuran rasa canggung dan harapan.

“Eh, hai,” sapanya, berusaha terdengar santai meskipun hatinya bergetar.

Livia menoleh, matanya yang cerah menatapnya dengan dingin. “Oh, hai,” jawabnya, suaranya datar. Tidak ada senyum hangat yang biasanya ia harapkan.

“Aku Arjuna. Aku lihat kamu membaca. Buku apa yang kamu baca?” tanyanya, mencoba memulai percakapan.

“Ini tentang sastra klasik,” jawab Livia sambil mengalihkan pandangannya kembali ke bukunya, seolah Arjuna tidak terlalu menarik perhatiannya.

Arjuna merasa sedikit kecewa, tetapi ia tidak ingin menyerah. “Keren. Aku tidak begitu tahu tentang sastra, tapi sepertinya menarik. Apa ada yang bisa kamu rekomendasikan?”

Livia mengangkat bahu, tampak tidak tertarik. “Banyak. Tapi mungkin kamu lebih baik bertanya kepada orang lain.”

Mendengar jawaban dinginnya, Arjuna merasa hatinya sedikit tertekan. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Livia yang membuatnya ingin menggali lebih dalam. “Oke, mungkin kita bisa ngobrol setelah kelas. Aku… senang berbicara denganmu,” katanya, berusaha untuk tetap positif.

Livia meliriknya sekilas sebelum kembali ke bukunya. “Kita lihat saja,” jawabnya tanpa menambah kata.

Setelah beberapa saat, bel berbunyi menandakan waktu kelas berikutnya. Arjuna merasa campur aduk antara harapan dan kekecewaan. “Ya… sampai jumpa,” katanya, meski tidak yakin apakah dia ingin bertemu Livia lagi.

Kembali ke rumah kosnya, Arjuna tidak bisa berhenti memikirkan Livia. Meskipun sikapnya dingin, ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ada lebih dari sekadar keinginan untuk mengenal Livia.

Malam itu, saat Arjuna terlelap, ia tidak bisa memprediksi apa yang akan datang. Dalam mimpinya, sosok wanita yang ia lihat sebelumnya kembali muncul, tetapi kali ini, dia tidak sendirian. Livia berdiri di sampingnya, menatapnya dengan penuh harapan.

“Arjuna, kita harus pergi. Ini semua ada hubungannya dengan kita,” ucap Livia dengan suara lembut, meski wajahnya menunjukkan ketidakpastian.

Arjuna merasa bingung. “Apa maksudmu? Siapa kita?”

“Semua ini. Ares, peperangan, mimpi-mimpi ini. Kita memiliki ikatan yang lebih dari sekadar kebetulan,” jawab Livia, dan saat itu, bayangan kegelapan mengelilingi mereka.

Dia terbangun dengan napas berat, tubuhnya bergetar. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan mereka. Arjuna bertekad untuk mencari tahu lebih dalam tentang mimpi dan hubungannya dengan Livia.

Keesokan harinya, saat bertemu Livia di kampus, Arjuna merasa dorongan untuk berbicara tentang mimpi-mimpinya. “Livia, aku… ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”

“Apa itu?” Livia tampak penasaran, tetapi nada suaranya tetap dingin.

“Aku terus bermimpi tentang Ares, dewa perang. Dan dalam mimpiku, ada kamu. Seperti kita memiliki hubungan yang lebih dalam. Apa menurutmu ini aneh?” tanyanya, suaranya sedikit ragu.

Livia menatapnya dengan skeptis, alisnya sedikit terangkat. “Kamu aneh, tahu? Mimpi tentang dewa perang? Ini terdengar seperti cerita dalam film atau novel,” katanya dengan nada sarkastis.

Arjuna merasa sedikit tersingkir oleh komentarnya. “Tapi ini terasa nyata bagiku. Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya,” ucapnya, hatinya sedikit terluka.

“Mungkin kamu harus mencari tahu lebih banyak tentang dirimu sendiri sebelum berbicara tentang hal-hal seperti itu,” Livia menjawab, tetap dengan ekspresi dingin. Namun, ada kilatan rasa ingin tahunya yang terlihat sejenak di matanya.

Arjuna merasakan jantungnya berdebar. Dia menyadari bahwa langkah yang diambilnya mungkin akan membawa mereka pada sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

---

Setelah percakapan singkat yang membuat Arjuna merasa canggung, ia berusaha mengalihkan pikirannya dari pertemuannya dengan Livia. Meskipun pernyataan dingin Livia terus membayangi benaknya, ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membara. Apa sebenarnya yang terjadi antara mereka? Kenapa Livia bisa muncul dalam mimpinya?

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Arjuna kembali fokus pada kehidupannya di kampus. Ia masih menjalani rutinitas yang sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali ia melewati ruang kelas tempat Livia berada, ia merasa semangatnya terbangun. Mimpinya tentang Ares dan Livia semakin sering menghampirinya, dengan detail yang semakin jelas. Dalam mimpi, ia melihat pertempuran epik, bunyi pedang beradu, dan cahaya yang menyilaukan. Namun, selalu ada Livia di sampingnya, meski ia tidak mengerti sepenuhnya mengapa.

Suatu sore, setelah kelas berakhir, Arjuna memutuskan untuk menunggu Livia di luar ruang kelasnya. Ia merasa bertekad untuk mendekatinya lagi. Ia ingin tahu lebih banyak tentang gadis misterius ini, dan ada dorongan yang tak tertahankan untuk menggali lebih dalam.

Ketika pintu ruang kelas terbuka, Arjuna melihat Livia keluar, tampak sibuk dengan buku-bukunya. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Arjuna berdiri menunggu.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Livia, suaranya tidak secerah sebelumnya.

“Aku hanya… ingin menanyakan lebih banyak tentang buku yang kamu baca. Aku pikir mungkin kita bisa berdiskusi,” jawab Arjuna, berusaha menjaga nada suaranya santai.

Livia menatapnya dengan keraguan. “Kenapa kamu begitu tertarik? Aku rasa banyak orang lain yang bisa kamu ajak bicara.”

Arjuna merasa sedikit tertekan, tetapi ia tidak ingin menyerah. “Karena aku merasa ada yang spesial dari kamu, Livia. Mungkin aku memang aneh, tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu. Terutama setelah… kamu muncul dalam mimpiku.”

Livia terdiam sejenak, tampak merenung. “Kamu benar-benar aneh, Arjuna. Mimpi tentang Ares? Kenapa tidak ada orang lain yang melakukannya? Mungkin kamu butuh waktu untuk merenung.”

Arjuna merasa hatinya tertekan. “Tapi aku tidak bisa mengabaikan ini. Ada sesuatu yang lebih dalam, aku yakin.”

Dengan nada sinis, Livia menjawab, “Kadang hal-hal seperti ini memang muncul, tetapi bukan berarti itu berarti apa-apa. Mimpi hanya mimpi, kan?”

Merasa dihadapkan pada sikap skeptisnya, Arjuna mencoba mencari cara untuk menarik perhatiannya. “Apa kamu tidak merasa aneh? Seperti ada sesuatu yang menghubungkan kita? Mungkin kita ditakdirkan untuk bertemu.”

Livia menggelengkan kepala, senyumnya kembali datar. “Arjuna, kamu harus realistis. Kita hanya dua orang biasa. Tidak ada yang spesial dari itu.”

Mendengar tanggapannya, Arjuna merasa sedikit putus asa. Namun, ada kilatan di matanya yang membuatnya yakin bahwa ada lebih dari sekadar kebetulan. “Tapi aku ingin percaya, Livia. Aku merasa kita bisa saling membantu. Mungkin kita bisa menggali lebih dalam tentang mimpiku ini bersama-sama?”

Senyum dingin Livia sedikit mereda, tetapi ia tetap skeptis. “Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Tapi aku tidak yakin seberapa jauh kita bisa pergi dengan ini. Ini terdengar seperti kisah dalam novel.”

Arjuna merasa sedikit lega. Meskipun Livia masih terlihat ragu, ada sedikit kemajuan. “Terima kasih. Mungkin kita bisa memulai dengan membahas tentang sastra yang kamu baca. Aku ingin tahu lebih banyak.”

Mereka mulai berjalan bersama ke arah kantin, di mana mereka bisa berbincang lebih nyaman. Dalam perjalanan, Arjuna mencuri pandang ke arah Livia. Dia menyadari bahwa gadis ini, meskipun dingin, memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan.

Saat mereka tiba di kantin, Arjuna merasakan suasana menjadi lebih hangat. Meskipun Livia bersikap dingin, ia dapat merasakan sedikit ketertarikan yang mulai tumbuh di antara mereka. Mereka berbagi ide dan pendapat tentang buku-buku yang mereka baca, meskipun Livia tetap mengeluarkan komentar sinis yang membuat Arjuna tersenyum.

“Jadi, kalau kamu berpikir bahwa kita memiliki hubungan, kita harus mencari tahu lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya,” Livia berkata dengan nada serius, meskipun ada sedikit kelucuan di wajahnya.

Arjuna merasa terinspirasi. “Aku setuju. Mari kita lakukan itu. Aku ingin menemukan lebih banyak tentang Ares, dan mungkin bisa membantuku memahami mimpi-mimpiku.”

Ketika mereka melanjutkan diskusi, Arjuna merasa jalinan koneksi di antara mereka semakin kuat. Meski Livia masih bersikap dingin, ada secercah harapan bahwa ia bisa memahami lebih dalam tentang gadis yang membuatnya terpesona.

Malam harinya, Arjuna terbaring di ranjang, memikirkan pertemuannya dengan Livia. Ia merasa seperti tengah berada di ambang sesuatu yang besar. Mimpi tentang Ares dan kenangan samar tentang masa lalunya terus menghantuinya, tetapi kini ia merasa sedikit lebih tenang. Livia bisa menjadi kunci untuk memahami semua ini, dan ia bertekad untuk menggali lebih dalam.

Ketika ia terlelap, bayangan Livia muncul lagi. Dalam mimpinya, mereka berdiri di tengah medan perang, dikelilingi oleh cahaya dan suara pertarungan. Livia menatapnya, dan dalam tatapannya, Arjuna merasakan keberanian yang mengalir dalam dirinya. “Kita harus siap, Arjuna. Ini baru permulaan,” ucap Livia, dan saat itu, Arjuna terbangun, siap menghadapi apa pun yang menantinya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Api Dendam yang Membara

    Bab 83: Api Dendam yang Membara Arjuna berdiri terpaku di depan puing-puing rumah orang tuanya. Malam yang gelap terasa seperti neraka bagi dirinya. Bau hangus dari kayu yang terbakar masih tercium, bercampur dengan darah yang mengering di tanah. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan oleh kemarahan yang membara. Pak Budi berdiri di sampingnya, tubuhnya penuh luka setelah pertarungan sengit melawan Kyle dan Ragnar. Meski berhasil melukai Kyle, kehadiran Ragnar yang mendadak mengubah segalanya. Kini, mereka hanya bisa berdiri di hadapan kehancuran, dengan dua tubuh tak bernyawa tergeletak di antara reruntuhan. “Arjuna...” Pak Budi mencoba berbicara, tetapi suaranya bergetar. Arjuna perlahan berlutut di samping tubuh kedua orang tuanya. Matanya menatap kosong ke arah mereka, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Ibunya, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, kini terbaring diam dengan luka mendalam di dadanya. Ayahnya, yang selalu menjadi sosok pelindu

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Darah di bawah Langit Malam

    Bab 82: Darah di Bawah Langit Malam Di tengah kegelapan ruang bawah tanah yang dingin, Sven berdiri dengan angkuh di atas lantai batu yang berlumut. Kilatan cahaya biru dari bola kristal di tangannya memantulkan wajahnya yang penuh dengan kegetiran dan kebencian. Mata merahnya menatap tajam pusaran dimensi dalam bola tersebut, menyaksikan Arjuna yang baru saja berhasil melewati ujian waktu bersama Sun Wukong dan Pak Budi. "Dia semakin kuat," gumam Sven dengan suara berat yang menggema di ruangan itu. Di sampingnya, berdiri sosok pria berotot dengan rambut pirang pendek dan wajah keras — Kyle, tangan kanan Sven yang terkenal tanpa ampun. Mata Kyle yang dingin memancarkan kekejaman yang sudah menjadi ciri khasnya. “Dia sudah melampaui ekspektasi kita,” lanjut Sven sambil mengepalkan tangan. "Tapi kekuatan yang besar tidak ada artinya kalau hati seseorang dihancurkan.” Kyle mengangguk tanpa ekspresi. “Apa perintahmu, Tuan Sven?” Sven tersenyum tipis, senyum yang lebih me

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu

    Bab 81: Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu Arena kosmik berputar seperti pusaran dimensi tanpa akhir. Arjuna berdiri di tengahnya, tubuhnya diliputi rasa lelah yang menusuk, tetapi tekadnya tetap membara. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan cermat persiapan ujian berikutnya. “Ujian waktu adalah ujian terakhir sebelum kau sepenuhnya layak disebut pewaris kekuatan para dewa,” kata Sun Wukong dengan suara berat. Pak Budi menambahkan, “Ini bukan sekadar perjalanan melawan elemen. Waktu adalah musuh yang tidak terlihat, yang bisa menghancurkan jiwa siapa pun.” Arjuna menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang ia lewati—kematian teman-temannya, kekacauan yang ditinggalkan Sven, serta kehilangan besar yang menghantam hatinya—ia tahu bahwa ujian ini mungkin yang paling berbahaya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arjuna sambil menatap lurus ke pusaran waktu yang berkilauan di depannya. “Kau harus melangkah ke dalam waktu itu sendiri,” j

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Ujian kekosongan

    Bab 80: Ujian Kekosongan Arena Kosmik kembali hening. Hanya gema napas Arjuna yang terdengar saat ia berdiri di tengah ruang tak berujung itu. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya setelah menghadapi dua elemen pertama, angin dan api. Namun, tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat sedang menantinya. Sun Wukong berdiri di tepi arena, tongkat emasnya menciptakan suara ketukan pelan saat ia menyentuh lantai kaca hitam dengan ujung tongkatnya. Wajahnya serius, sebuah ekspresi yang jarang terlihat dari raja kera yang biasanya ceria. Pak Budi berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh perhatian. "Elemen berikutnya akan benar-benar menguji inti jiwamu, Arjuna," kata Pak Budi, suaranya bergema lembut di dalam arena. "Ini bukan soal kekuatan fisik atau bahkan pengendalian energi semata. Ini tentang seberapa kuat hatimu menghadapi kehampaan

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Awal perjalanan Baru

    Bab 79: Awal Perjalanan Baru Keesokan paginya, langit di Alam Para Dewa dihiasi warna keemasan yang memukau, seperti lukisan hidup yang tak ada bandingannya di dunia fana. Sinar mentari lembut menyentuh setiap sudut istana, membawa ketenangan sekaligus kekuatan baru bagi siapa pun yang merasakannya. Arjuna berdiri di balkon kamarnya, mengenakan pakaian tempur ringan yang diberikan para dewa. Angin sejuk mengelus wajahnya, namun pikirannya jauh dari damai. Ia memikirkan kata-kata Amaterasu semalam. Bayangan Livia yang berlatih untuk menjadi lebih kuat terus menghantui benaknya. Di satu sisi, ia merasa bangga atas keberanian Livia, namun di sisi lain, ia khawatir. Livia adalah bagian terpenting dalam hidupnya, dan gagasan bahwa ia harus menghadapi bahaya membuat Arjuna tidak bisa tenang. “Sudah siap?” Suara Sun Wukong yang khas membuyarkan lamunan Arjuna. Ia menoleh dan mendapati sosok raja kera itu berdiri di depan pintu kamar, dengan tongkat emasnya yang bersandar di bahu.

  • Reinkarnasi Sang Dewa Perang   Ketenangan Sebelum Badai

    Bab 78: Ketenangan Sebelum Badai Setelah pertemuan panjang dengan para dewa, Arjuna merasa tubuh dan pikirannya lelah. Langkahnya berat saat ia mengikuti Sun Wukong dan Pak Budi melalui lorong-lorong megah di istana Alam Para Dewa. Dinding-dindingnya penuh ukiran indah, menceritakan kisah-kisah kuno tentang peperangan, cinta, dan pengorbanan. “Kau butuh istirahat,” kata Pak Budi lembut. “Pikiranmu harus jernih untuk apa yang akan datang.” Arjuna hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menjawab. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang disediakan untuknya. Pintu besar dari kayu berukir terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat. Di dalamnya, ruangan itu memancarkan aura ketenangan. Tempat tidurnya besar, dihiasi kain sutra berwarna biru dan emas. Di sudut ruangan, sebuah jendela besar menghadap ke langit ungu Alam Para Dewa, memberikan pemandangan yang memukau. “Ini tempatmu untuk malam ini,” kata Sun Wukong sambil melirik sekeliling. “Manfaatkan waktumu. Besok,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status