Ramona kembali ke rumah dengan wajah sendu yang tak dapat disembunyikan. Ketika membuka pintu, ia mendapati sang ayah masih tetap diposisi semula, tak menyadari kepulangan anak gadisnya yang pulang dengan air mata bercucuran. Hanya ketenangan yang dibutuhkan gadis itu untuk saat ini, dan juga sepasang telinga untuk sudi mendengarkan jeritan luka batinnya yang menganga. Mona hanya tinggal berdua dengan ayahnya untuk saat ini, sedangkan profesi ibunya sebagai pramugari menjadikan beliau jarang pulang ke rumah. Ingin rasa hati mengadu kepada ayahnya atas kesialan yang menimpa gadis itu malam ini, namun dia sadar, sang ayah bukanlah pendengar yang baik. Gadis itu membanting pintu kamar dan mengambil posisi meringkuk, memeluk lutut di atas lantai. Buliran bening di pelupuk mata tak kunjung berhenti meloloskan diri, yang sama sekali tidak ia sadari, beriringan dengan sumpah serapah seorang wanita yang merasa terhianati.Bayangan tentang Dimas dan gadis itu terus menghantui pikiranya. Hati
Sang surya mulai menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. Embun menetes beriringan dengan cuitan burung yang hinggap di ranting pohon cemara yang terletak di halaman depan Specta Cafe. Seperti biasa, para pekerja cafe tersebut bersiap merapikan cafe sebelum jam operasional berlangsung. Ada diantara mereka yang menyiapkan bahan masakan di dapur, mengelap alat makan dengan serbet, mengepel lantai, ada pula yang mengelap meja. Dewi memastikan setiap meja yang dia bersihkan mengkilap, hingga dia dapat melihat bayangan wajahnya tergambar pada tiap meja kaca yang ditemuinya. Cafe buka jam setengah tujuh pagi, biasanya para pengunjung akan menyesakki ruangan cafe itu untuk sarapan atau ada juga yang datang untuk memesan kopi sebelum memulai aktifitas kerja mereka.Seorang gadis berjalan keluar untuk menemui seorang pria yang datang membawa kotak bekal. Lalu kembali masuk melalui pintu kaca dan menaruh bekalnya di loker pekerja. Gadis itu kembali membawa cairan pembersih kaca dan juga
"Sejam berapa, Wi?" ucap seorang pria bartender sembari terus mengikuti gadis itu, tak peduli meski raut wajah gadis itu menunjukan ekspresi kesal. Pria itu menarik paksa tangan Dewi saat kata-katanya sama sekali tak digubris. Dengan paksa Dewi menghempaskan pegangan tangan pria itu. Ingin sekali ia berlari sekencang mungkin, namun saat terlepas dan akan berlari, tangannya kembali ditarik oleh pria yang sama. Lebih kuat dari sebelumnya."Lepasin, Dio, aku mau pulang," Dewi meronta sekuat tenaga, namun usahanya sia-sia. Pria itu lebih kuat darinya."Please, jangan jual mahal. Aku bersedia bayar berapapun, untuk malam ini saja," pinta Dio dengan kedua tangan mencengkram kuat, bak seekor elang yang berhasil mencengkram buruanya. "Lepasin, Dio, tanganku sakit," Dewi mengaduh dengan lirih. Berharap pria itu membebaskannya dari cengkraman kuat."Jawab lah, aku tau, kamu nggak bisu." pria itu menatap lekat, dia sangat bersungguh-sungguh ingin Dewi menemaninya malam ini.Tidak ada seorangpun
Sinar matahari menembus kaca jendela dalam ruangan, menyentuh beberapa bagian tubuh pria berusia 32 tahun yang tengah berkutat dengan banyak dokumen di atas meja kerjanya. Terasa hangat, walau hanya sedikit. Kehangatan itu membawanya jauh ke relung hati yang akhir-akhir ini merindukan sentuhan hangat seorang gadis, yang mendapat ruang khusus dalam hati pria tersebut. Gadis berambut panjang dengan tubuh tinggi nan sekal, nyaris mendekati kata sempurna untuk standar tubuh sensual wanita. Masih tergambar jelas saat keduanya saling melumat bibir, seketika rasa hangat menjalar hingga punggung Dimas. Terdengar ketukan pintu dari luar. Perlahan imajinasinya memudar, bayangan tentang gadis itu lenyap seketika. Dimas mendengus kesal, siapa gerangan yang berani mengusir gadis itu dari lamunannya? Pandangnya kini tertuju pada daun pintu. Ia berusaha mengatur ekspresi wajahnya. Sebisa mungkin terlihat tenang di hadapan rekan kerja yang akan masuk menemuinya, meski sangat ingin memaki orang di
Senja menghiasi langit dengan warna jingga yang demikian anggun. Tampak koloni burung beterbangan membentuk segitiga menuju ke suatu arah. Senja adalah waktu yang tepat untuk kembali ke sarang mereka. Nampaknya dua pria yang terduduk di balkon sebuah kamar tengah menikmati pemandangan itu. Mereka saling berbincang, namun pandangan mereka tertuju pada maha karya Tuhan yang indah pada diri senja yang sedemikian megah. "Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, Dim. Apa kau yakin akan meninggalkan Ramona demi gadis yang baru saja kau kenal? Memang, dari segi fisik dia memiliki tubuh yang-" Roy menjeda ucapanya, gambaran tubuh molek gadis yang mereka perbincangkan dengan mudah muncul ke dasar pikirannya. Mungkin alasan fisik yang menjadikan Dimas bisa dengan mudah jatuh cinta dalam waktu singkat pada gadis tersebut. Pikir Roy."Bukan masalah itu, Om. Dimas sudah muak. Selalu di kekang, aku harus nurut kemauan dia. Nongkrong ketemu teman-teman ga boleh, bolehnya keluar rumah juga harus ij
Erin memacu kendaraan menuju supermarket. Waktu menunjukan pukul 11 malam, sebentar lagi supermarket akan segara tutup.Sebelum membeli belanjaan, terlebih dulu ia mengambil uang di mesin ATM yang terletak di sudut kiri ruangan tersebut. Hanya mengambil secukupnya saja, selebihnya ia tinggalkan. Karena jika diambil sekaligus, bukan perkara mustahil jika uang tersebut cepat habis. Maklum, perempuan adalah mahluk yang gemar belanja, bukan? Sengaja ia simpan sebagian lain uang pemberian Ramona untuk menghindari nafsu belanjanya. Karena menurutnya saat ini, kebutuhan anak dan ibunya lebih utama dibandingkan dirinya sendiri. Erin mengambil sebuah keranjang, mengisinya dengan barang-barang yang di butuhkan. 2 kardus susu Vido*ant berukuran 950 gram, beberapa bungkus mie instan, dan sebungkus telur. Erin berjalan menuju meja kasir. Membayarkan sejumlah uang sembari tersenyum tulus. Biasanya dia akan tersenyum hambar saat membayarkan sejumlah uang di meja kasir. Karena hanya keperluan anak
Rembulan tampak bulat utuh, membagikan sinar redum kepada mahluk bumi yang sama sekali tak mempedulikannya. Menggantikan awan hujan yang sedari siang kekeh mengguyur bumi dengan rintikan yang berasal dari tubuhnya.Sebuah kendaraan melaju di jalanan sepi yang berhiaskan kabut tipis. Dari sebelah kursi kemudi, seorang wanita berusia 43 tahun menyisir jalanan yang tampak lapang, tak ada satupun aktivitas di jalanan yang mereka lalui. Pukul satu dini hari, memangnya siapa yang sudi keluar malam-malam begini? Ditambah udara malam ini sangat dingin. Kalau saja rasa lapar tidak menyerang perut di tengah malam, sudah pasti keduanya memilih untuk berdiam diri di rumah, atau mungkin sudah terlarut dalam mimpi tidur masing-masing.Sebenarnya, bisa saja membuat mie instan sekedar perut. Namun, kwetiaw lebih menggoda, terlebih di hawa dingin seperti saat ini. Visualisasi tentang kwetiaw lah yang memaksa keduanya nekat menyusuri pekatnya malam. Melajukan kendaraan ke pusat kota untuk makan di ked
Di hamparan hijau nan luas seorang gadis tengah berjalan sendirian tanpa arah. Menoleh ke segala arah dengan perasaan takjub, pemandangan yang sngguh indah, belum pernah nampak oleh indra penglihatannya seumur hidup. Batinya berbicara.Matahari bersinar, tapi tidak menyilaukan. Gadis itu berlarian kesana kemari, hingga kakinya menghantam sebongkah batu. Ia terjatuh. Sebuah tangan mengulur tepat di wajahnya, memaksanya mendongak untuk menatap wajah sang pemilik tangan itu. Ia terperanjat, sosok yang telah lama dirindukanya berdiri tepat di hadapanya. Seorang perempuan tua dengan rambut yang sudah dipenuhi uban, menatap gadis itu sembari tersenyum tulus."Nenek!" seru sang gadis dengan tatapan berbinar. Namun perempuan tua itu tidak menjawab, masih diam mematung dengan segaris senyum yang masih awet bertengger diwajahnya. Gegas Dewi berdiri dan memeluk tubuh perempuan tua di hadapanya. Namun perasaan kecewa menghujam kalbu, perempuan itu menghilang secara misterius. "Nek" lirih suara