“Ah….” Desahku panjang sambil memijat pelan bahuku. Tak kusangka aku harus membersihkan aula besar itu sendirian dalam waktu singkat, bagaimana tidak? Yang bertugas untuk membersihkan aula hari ini adalah para Goblin. Dan ya.. seperti yang kalian tahu mereka meninggalkanku begitu melihatku mulai menyapu. Aku masih ingat bagaimana tawa kencang mereka yang mengiraku membantu mereka secara sukarela. Padahal alasan kenapa aula ini sangat kotor juga karena diriku. Dan lagi, ketika aku hendak membantu para werewolf menata aula, mereka memberikan tatapan tajam dan merendahkan ke arahku. Rasanya ingin ku teriakkan tepat di wajah mereka kalau aku sendiri juga tak mau berdampingan dengan mereka. Jika bukan karena hukuman dari penjaga The Strary, aku juga tak mau bersuka rela membantu mereka mengerjakan tugas. Alhasil aku tak melakukan apapun, begitu aku bergerak sejengkal saja, mereka sudah menjauh berlangkah langkah, dari pada aku malah menghambat pekerjaan mereka. Bukankah lebih baik aku duduk diam dan hanya berkerja ketika para penjaga lewat?.
Dan untuk tugas lainya. Untungnya tugas milik Six tidak terlalu berat, aku hanya perlu mencuci piring di dapur. Memang banyak, tapi tak seberat tugas lainya. Belum lagi tugasku yang juga harus selesaikan saat itu juga membuat tubuh kecilku harus berkerja ekstra.
Aku berjalan lunglai melewati lorong panjang dengan beberapa barak api yang tersedia di dinding ruangan. Hari sudah sore, tak terasa aku sudah menghabiskan berjam jam hanya untuk menyelesaikan tiga tugas. Dari kejauhan aku dapat mendengar suara tawa dari para penjaga sel, sebentar lagi mereka akan mengadakan pesta. Tangkapan besar, itu yang penjaga tadi katakan. Jujur aku tak terlalu peduli dengan perkembangan atau apapun yang terjadi di tempat penjual belian ini, rasa kasihan juga tak pernah ku rasakan. Untuk apa aku merasa kasihan dengan mahkluk lain yang pada akhirnya akan merasakan hidup yang tetap mewah walaupun berada di tempat seperti ini?.
Aku menundukkan pandanganku, sebentar lagi aku akan berpapasan dengan dua beast dewasa. Salah satu diantara mereka merupakan beast singa yang saat itu memukul Six ketika jadwal penjualan.
“Tidak ku sangka mereka bisa mendapatkan seorang gadis siren. Kebanyakan dari tangkapan kita adalah laki laki, dan gadis siren yang dulu kita dapatkan juga langsung terbeli habis. Akhirnya aku dapat mendengarkan nyanyian siren yang merdu itu lagi” kata salah satu penjaga sambil tertawa lebar.
“Benar, aku juga tak menyangka. Kudengar mereka sampai harus berjuang melawan ombak ganas karena gadis itu. Entah metode apa yang mereka gunakan sampai bisa mendapatkan gadis itu”.
Aku berjalan lurus ke depan, melewati dua beast besar yang berjalan tegap dengan langkah kaki mereka yang besar. Aku berusaha menghilangkan hawa keberadaanku sebisa mungkin, berjalan menepi dengan wajah menunduk.
“Siren ya…” gumamku pelan. Mendengar percakapan para penjaga tadi sebenarnya aku sedikit bingung, mengapa mereka tidak memproduksi siren untuk tempat ini sendiri, tanpa perlu mencuri?. Bukankah siren perempuan susah di dapat? Tapi mereka malah melepaskan semua gadis siren itu dalam jadwal penjualan. Aku menyentuh daguku berpikir, selang beberapa menit aku tersadar. Untuk apa juga aku berpikir keras untuk hal ini? sekarang yang harus ku lakukan adalah mengecek tubuh Six.
***
Aku berdiri membeku di tempat. Sosok didepanku bukan lagi Six yang ku kenal, mata coklat itu sudah berubah dengan warna merah darah. Ia menyeringai ke arahku, aku ingat tatapan ini. Seorang Vampir pernah hampir menggigitku saat kami berpapasan. Untung saja aku masih sempat melarikan diri darinya, tapi sekarang, aku tak bisa lari. Padahal aku hanya meninggalkanya sebentar untuk mengambil air, suhu tubuhnya masih sangat panas. Untuk berdiri saja seharusnya ia tak kuat, tapi entah apa yang terjadi, lelaki itu kini berdiri tegak di depanku.
“Lukamu baik baik saja?” tanyaku. Mungkin ini terdengar aneh, di situasi yang tak jelas ini, aku tak tahu reaksi apa yang harus ku berikan. Apa ia seperti ini karena gigitan Kerberos? Aku tak pernah tahu mereka memiliki virus yang bisa menjangkit manusia. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, sebentar lagi para penjaga akan berkeliling mengecek ruangan kami satu persatu. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Six, tapi firasatku berkata hal yang buruk akan terjadi padanya jika para penjaga menyadari keadaanya saat ini.
Six melangkahkan kakinya maju mendekatiku, refleks aku melangkah mundur. Air yang berada di nampanku bergoyang. Aku menatap tanganku yang bergetar, kenapa aku takut? Orang didepanku adalah Six kenapa aku harus merasa takut?.
“Hei, wajahmu menyeramkan. Kembalilah tidur, lukamu belum sembuh!” aku berusaha menenangkan diriku, bertingkah biasa. Rupanya kata kataku tak membuat Six bergeming, mata Six memandangku kosong. Ia melihatku tapi seperti tidak melihat ke arahku. Itu yang membuatku semakin takut.
Aku berusaha menegakkan badanku, aku tak akan mundur.Toh ia manusia sama sepertiku untuk apa aku takut. Kini jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal. Kain yang tadinya ku gunakan untuk menutupi luka Six mulai merosot jatuh, memperlihatkan luka di bahu dan tangan yang menganga. Dengan cepat aku mengulurkan tanganku untuk menghentikan kain itu, akan gawat jika sampai kain itu jatuh terkena lantai. Dan tepat saat itu juga Six membuka mulutnya lebar hendak menggigit tanganku, sekilas dapatku lihat gigi taring yang runcing. Aku membelalakkan mata, untung saja aku masih sempat menarik tanganku sebelum terlambat. Apa yang terjadi? Pikirku. Six adalah vampir? Bagaimana bisa vampir sepertinya masuk ke dalam basecamp zero? Bahkan para penjaga juga memperlakukanya seperti manusia biasa pada umumnya. Padahal para vampir termasuk dalam golongan elit yang masih menempati peringkat atas dalam urutan dunia.
Dengan cepat aku membalikkan badan dan menutup pintu jeruji besi milik Six. Air yang tadi ku bawa jatuh membasahi lantai.
“Siapa kau!” bentakku.
Orang didepanku menyeringai tanpa mengatakan sepatah katapun. Ia berjalan mendekati pintu, tanganya menarik pintu untuk terbuka. Tentu saja, jika kita adu kuat, aku akan kalah telak. Gadis dengan ras manusia sepertiku tak akan bisa melawan vampir sepertinya. Kini pintu milik Six terbuka lebar. Matanya memandangku lekat, seperti predator menatap mangsanya.
Aku tak bisa mati di sini, ucapku dalam hati. Perlahan aku berjalan mundur menggiringnya menuju pintu keluar. Tiba tiba ide terlintas di otakku. Basecamp Zero hanya memiliki 6 sel kamar dan seseorang yang memiliki kamar paling dekat dengan pintu keluar harus menanggung semua ini.
Begitu kami mendekati pintu keluar, dengan cepat aku membuka pintu sel milik Four dan mendorong Six masuk ke dalam. Mendengar pintu besinya yang terbuka, Four membuka perlahan matanya yang tadinya tertutup rapat. Dengan tatapan mata Six yang kosong, aku tahu yang ia kejar tak harus aku. Selama yang ada didepanya adalah seorang manusia siapapun bisa menggantikan tempatku.
“Six?” kata Four berusaha menggumpulkan kesadaranya. “Hei! Apa yang kau lakukan!” jerit Four dari dalam sel kamarnya begitu mata kami bertemu. Ia merangkak ke pojokkan kamarnya. Ia menatap ke arahku dengan tatapan benci, well aku juga membencinya. Ini merupakan salahnya semua ini harus terjadi, coba saja ia tak membuat Six mengalami luka seperti itu mungkin sampai sekarang kami bisa berteman. Ya… sepertinya harapanku akan hilang lagi, padahal aku mulai menganggap Six sebagai salah satu harapanku, rupanya aku salah. Jika wujudnya tetap seperti itu, mungkin besok para penjaga akan memindahkan ruanganya.
“Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu Four” kataku sambil mengikatkan kain yang tadi ku pegang untuk mengunci pintu Four.
Perlahan Six mulai mendekati tubuh Four yang bergetar, ia seperti tikus yang berhadapan dengan kucing. Aku di sisi lain menyaksikan pertunjukan tersebut dengan puas. Dan seperti yang ku perkirakan, Six menggigit leher Four membuat darah mengalir deras dari lehernya. Four menjerit ketakutan, ia berkali kali meronta dan berusaha melepaskan cengkraman Six. Tapi sayang, ia hanyalah manusia biasa. Lama kelamaan kesadaran Four menghilang. Sepertinya sudah cukup, pikirku sambil berjalan pergi, ini sudah tak menarik untuk di lihat. Keinginanku untuk menyembunyikan Six sudah menguap, aku sudah tak peduli dengan vampir sepertinya. Ia akan mendapatkan tempat yang lebih layak dari pada tempat ini.
Kretak….. Aku memalingkan wajahku kebelakang. Mataku membulat lebar, leher itu putus. Kepala Four kini sudah tak lagi terpasang dengan benar bersama dengan tubuhnya. Aku bergidik ngeri, begitu ku rentangkan kakiku untuk berlari pergi. Sebuah dentuman cukup keras terdengar. Tubuh Six roboh didepan mayat dengan darah yang masih bercucuran.
Aku mulai berdebat dengan diriku sendiri, apa yang harus ku lakukan sekarang? Jika Six ku biarkan seperti itu, ia akan ketahuan. Aku menatap ruangan dengan nomer 4 itu lamat, aku sudah menetapkan pilihanku, ku langkahkan kakiku pergi. Dia bukan Six yang dulu, berkali kali aku mengucapkan hal itu untuk meyakinkan diriku. Tubuhku ku rebahkan di atas lantai sel, karpet bulukku masih berada di kamar Six, tak ada waktu untuk mengambilnya. Aku berusaha memejamkan mataku, mengalihkan pikiran dari kejadian yang baru saja terjadi. Hati kecilku berkali kali menyuruhku untuk kembali, bisa jadi ia hanya terinfeksi sebentar dan ia masihlah Six yang dulu. Kemungkinan kemungkinan mustahil berkali kali berkelebat di otakku. Mengganggu usahaku untuk tertidur.
“Three…” suara lirih itu berhasil merobohkan keteguhan hatiku, dengan cepat aku melangkah keluar. Membuka ikatan kain dan menyeret tubuh Six keluar dan merebahkanya kembali ke kamarnya. Panasnya sudah turun, sepertinya aku tak perlu lagi memberinya kompres. Kain di tanganku kembali ku lilitkan untuk menutupi lukanya. Aku memang gila, aku tahu itu. Bisa saja Six menerjang tubuhku saat ini dan mengambil nyawaku, tapi entah kenapa aku memilih tinggal dan mengurus keadaanya.
Aku menatap tubuh Four yang kini terduduk lemah tak bernyawa. Dengan telaten aku menyusunya dalam posisi tidur, menutupi darah yang berceceran di lantai. Kain bajunya juga ku naikkan untuk menutupi lehernya yang patah. Untuk saat ini aku tak bisa menyingkirkan tubuhnya, jam malam, kami tak boleh berkeliaran di luar.
Dari kejauhan aku bisa mendengar langkahan kaki seseorang, dentuman menggema di sekeliling ruangan. Aku berjalan menuju kamarku sambil berjinjit, ku tatap tubuh Six yang terkulai lemah.
“Semoga saja ini hanya mimpi”, kataku sambil memejamkan mata.
Aku mengerjapkan mataku, ah… bosannya hanya berdiam diri seperti ini. Jika ku hitung dari pergantian cahaya malam dan siang dari celah kecil di ruangan ini, sepertinya ini sudah 3 hari sejak kepergianku dari pusat penjualan. Kabar baiknya aku masih hidup dan sangat sehat, bagaimana tidak, Ai memenuhi semua kebutuhan ku. Bahkan lebih dari bagaimana The Strary memperlakukan ku dulu. Lama kelamaan aku merasa seperti hewan ternak dalam program penggemukan. Selama ini juga aku berusaha menggali informasi tentang tempat ini dan juga tentang tuan yang membeliku. Dan untuk kabar buruknya, aku masih terperangkap disini. Ai hanya melepaskan rantai leherku saat aku hendak pergi ke kamar mandi, selain itu gadis kecil dengan manik kuning itu tak melepaskannya. Dan lagi, ia selalu memonitoriku 24/7 setiap saatnya.“Ai…” panggilku kepada gadis itu.Ai hanya menoleh sebentar lalu kembali dengan kesibukannya membuat sebuah boneka dari jerami.“Ai&
‘Apa aku sudah mati?’ ucapku dalam hati, perlahan aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku. Aman, tubuhku masih tersambung dengan baik. Rupanya para penjaga The Strary memberikanku obat tidur, padahal selama proses pembelian aku diam dan tak melakukan sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya mereka masih merasa khawatir jika aku memiliki rencana lain.“Pstt… hei kau yang disana.” Sebuah suara berbisik ke arahku. Aku terdiam kaku, menimbang nimbang apakah lebih baik aku membuka mataku atau berpura pura tidur saja terus.Klotak.. sebuah kepingan krikil mendarat tepat di wajahku. Aku mengaduh pelan, dengan terpaksa ku buka mataku. Cahaya yang tiba tiba masuk itu membuat mataku menyipit silau.‘Dimana ini?’ batinku, aku memedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruangan berukuran 3 x 4 itu dipenuhi dengan jerami, sisanya kosong. Tak ada barang – barang yang mencurigakan, sejauh ini aman. Atapnya yang memiliki sedikit celah
Aku berdiri menghadap nampan makanku sekali lagi, memastikan apakah aku siap untuk menghadapi medan perang dihadapanku. Hari ini adalah jadwal penjualan tak terasa 6 bulan sudah berlalu dan kini kami dihadapkan dengan hari yang paling mendebarkan dalam setahun. Dan untuk rencana pertemananku dengan Lexa, jangan ditanya lagi, semua tak berjalan mulus. Ketika aku sudah hendak membuka sedikit hatiku untuknya, ia malah mati matian menyimpan Six untuk dirinya sendiri. Sedangkan lelaki itu selalu memaklumi perilaku manja dari sang gadis.“Apa kau siap?” tanya seorang lelaki dengan mata coklat dan rambut hitam legam diambang pintuku. Aku mengangguk siap.“Tentu” jawabku pendek.Wajahku kini sudah dipenuhi lebam, seperti biasa aku selalu berusaha tampil seburuk mungkin di hari penjualan.Tak butuh waktu lama kereta yang mengangkut para budak The Strary berhenti, kami digiring menuju pusat jual beli seperti biasanya. Menjajalk
Aku membuka mataku perlahan, sinar matahari dari celah dinding menerangi ruangan. Kreek.. Suara pintu besi terdengar dari sebrang. Six terlihat sedang berjalan perlahan meninggalkan kamarnya.Aku menaikkan sebelah alisku, “Mau kemana kau?”“AH!” Six melonjak kaget.“Apa? Tingkahmu seperti maling yang ketahuan ingin mencuri saja”. Aku mengubah posisiku menjadi duduk, ini lebih baik.“Hm, itu..”. Six berusaha memutar otaknya, mencari alasan yang cukup untuk meyakinkanku.Aku mencium bau bau mencurigakan darinya, “Tak apa katakan saja kemana kau akan pergi” kataku dengan nada sebaik mungkin.“Mm.. itu.. sepertinya seorang penjaga sel memanggilku tadi, jadi, aku pergi dulu ya”“Oh, sepertinya” kataku dengan nada sinis sambil berjalan mendekati ambang pintu.Aku melirik jam dinding yang berada di tengah basecamp.“Memangnya ada orang yang akan memanggilmu sepagi ini?”Six menggaruk tengkuknya yang tak gatal, keringat dingin mengalir dari tu
“Jadi, apa yang kau lakukan disini?” tanyaku. Setelah puas tertawa karena kejadian yang tak terduga itu, kini aku dan Six berjalan beriringan menuju basecamp. Akhir akhir ini ras manusia kekurangan orang. Pertama karena posisi Four kosong dan yang kedua karena laki laki disampingku ini dengan menyebalkanya terbebas dari tugas, sehingga kami, budak yang tersisa harus menutupi pekerjaan mereka sebisa mungkin. Jika hal ini terus berlanjut sepertinya salah satu dari kami akan berakhir di mulut Karberos, mati karena kelelahan. Six memalingkan wajahnya, “Hm, hanya kebetulan lewat itu saja” Aku memincingkan mata jahil, “Bilang saja kau mencariku” “Siapa yang mencarimu! Kebetulan saja kita bertemu dilorong tadi, kau terlalu percaya diri” Aku tertawa puas, “Apa apaan itu, kau berbohong dengan sangat buruk! Kemana kau akan pergi melewati tempat itu hah? Aula? Atau jangan jangan.. kau diam diam ingin pergi mengunjungi kamar para penjaga se
“Six… Six!!” “Apa?” kata Six kesal. “Kenapa kau mengacuhkanku lagi?” kata Lexa sambil menggembungkan mulutnya. “Sudahlah, bukan hal penting. Lagipula kenapa kau masih mengikutiku?” Lexa mengayun ayunkan tanganya, “Hm, kenapa ya?.. aku juga tak tahu” “Kalau bukan bersamamu, siapa lagi yang bisa ku ajak bermain?” sambungnya. Six menghela nafas panjang, “Kau tak lihat ada banyak orang yang ingin mendekatimu? Mereka selalu saja memandang kearahmu dimanapun kau pergi” Lexa tersenyum palsu, “Hahaha, sepertinya aku kurang memperhatikan. Oh ya, kita mau pergi kemana?” Seketika Six menghentikan langkahnya. “Kenapa berhenti?” tanya Lexa sambil memiringkan wajahnya. “Kau bahkan tak tahu kemana aku akan pergi. Ah, sudahlah. Berdebat denganmu hanya akan menghabiskan waktuku” kata Six sambil Kembali melangkahkan kakinya. Kedekatan Lexa dengan Six benar benar mengubah segalanya. Anak emas seperti Lexa akan mend