Share

Re : 8

“Ah….” Desahku panjang sambil memijat pelan bahuku. Tak kusangka aku harus membersihkan aula besar itu sendirian dalam waktu singkat, bagaimana tidak? Yang bertugas untuk membersihkan aula hari ini adalah para Goblin. Dan ya.. seperti yang kalian tahu mereka meninggalkanku begitu melihatku mulai menyapu. Aku masih ingat bagaimana tawa kencang mereka yang mengiraku membantu mereka secara sukarela. Padahal alasan kenapa aula ini sangat kotor juga karena diriku. Dan lagi, ketika aku hendak membantu para werewolf menata aula, mereka memberikan tatapan tajam dan merendahkan ke arahku. Rasanya ingin ku teriakkan tepat di wajah mereka kalau aku sendiri juga tak mau berdampingan dengan mereka. Jika bukan karena hukuman dari penjaga The Strary, aku juga tak mau bersuka rela membantu mereka mengerjakan tugas. Alhasil aku tak melakukan apapun, begitu aku bergerak sejengkal saja, mereka sudah menjauh berlangkah langkah, dari pada aku malah menghambat pekerjaan mereka. Bukankah lebih baik aku duduk diam dan hanya berkerja ketika para penjaga lewat?.

Dan untuk tugas lainya. Untungnya tugas milik Six tidak terlalu berat, aku hanya perlu mencuci piring di dapur. Memang banyak, tapi tak seberat tugas lainya. Belum lagi tugasku yang juga harus selesaikan saat itu juga membuat tubuh kecilku harus berkerja ekstra.

Aku berjalan lunglai melewati lorong panjang dengan beberapa barak api yang tersedia di dinding ruangan. Hari sudah sore, tak terasa aku sudah menghabiskan berjam jam hanya untuk menyelesaikan tiga tugas. Dari kejauhan aku dapat mendengar suara tawa dari para penjaga sel, sebentar lagi mereka akan mengadakan pesta. Tangkapan besar, itu yang penjaga tadi katakan. Jujur aku tak terlalu peduli dengan perkembangan atau apapun yang terjadi di tempat penjual belian ini, rasa kasihan juga tak pernah ku rasakan. Untuk apa aku merasa kasihan dengan mahkluk lain yang pada akhirnya akan merasakan hidup yang tetap mewah walaupun berada di tempat seperti ini?.

Aku menundukkan pandanganku, sebentar lagi aku akan berpapasan dengan dua beast dewasa. Salah satu diantara mereka merupakan beast singa yang saat itu memukul Six ketika jadwal penjualan.

“Tidak ku sangka mereka bisa mendapatkan seorang gadis siren. Kebanyakan dari tangkapan kita adalah laki laki, dan gadis siren yang dulu kita dapatkan juga langsung terbeli habis. Akhirnya aku dapat mendengarkan nyanyian siren yang merdu itu lagi” kata salah satu penjaga sambil tertawa lebar.

“Benar, aku juga tak menyangka. Kudengar mereka sampai harus berjuang melawan ombak ganas karena gadis itu. Entah metode apa yang mereka gunakan sampai bisa mendapatkan gadis itu”.

Aku berjalan lurus ke depan, melewati dua beast besar yang berjalan tegap dengan langkah kaki mereka yang besar. Aku berusaha menghilangkan hawa keberadaanku sebisa mungkin, berjalan menepi dengan wajah menunduk.

“Siren ya…” gumamku pelan. Mendengar percakapan para penjaga tadi sebenarnya aku sedikit bingung, mengapa mereka tidak memproduksi siren untuk tempat ini sendiri, tanpa perlu mencuri?. Bukankah siren perempuan susah di dapat? Tapi mereka malah melepaskan semua gadis siren itu dalam jadwal penjualan. Aku menyentuh daguku berpikir, selang beberapa menit aku tersadar. Untuk apa juga aku berpikir keras untuk hal ini? sekarang yang harus ku lakukan adalah mengecek tubuh Six.

***

Aku berdiri membeku di tempat. Sosok didepanku bukan lagi Six yang ku kenal, mata coklat itu sudah berubah dengan warna merah darah. Ia menyeringai ke arahku, aku ingat tatapan ini. Seorang Vampir pernah hampir menggigitku saat kami berpapasan. Untung saja aku masih sempat melarikan diri darinya, tapi sekarang, aku tak bisa lari. Padahal aku hanya meninggalkanya sebentar untuk mengambil air, suhu tubuhnya masih sangat panas. Untuk berdiri saja seharusnya ia tak kuat, tapi entah apa yang terjadi, lelaki itu kini berdiri tegak di depanku.

“Lukamu baik baik saja?” tanyaku. Mungkin ini terdengar aneh, di situasi yang tak jelas ini, aku tak tahu reaksi apa yang harus ku berikan. Apa ia seperti ini karena gigitan Kerberos? Aku tak pernah tahu mereka memiliki virus yang bisa menjangkit manusia. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, sebentar lagi para penjaga akan berkeliling mengecek ruangan kami satu persatu. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Six, tapi firasatku berkata hal yang buruk akan terjadi padanya jika para penjaga menyadari keadaanya saat ini.

Six melangkahkan kakinya maju mendekatiku, refleks aku melangkah mundur. Air yang berada di nampanku bergoyang. Aku menatap tanganku yang bergetar, kenapa aku takut? Orang didepanku adalah Six kenapa aku harus merasa  takut?.

“Hei, wajahmu menyeramkan. Kembalilah tidur, lukamu belum sembuh!” aku berusaha menenangkan diriku, bertingkah biasa. Rupanya kata kataku tak membuat Six bergeming, mata Six memandangku kosong. Ia melihatku tapi seperti tidak melihat ke arahku. Itu yang membuatku semakin takut.

Aku berusaha menegakkan badanku, aku tak akan mundur.Toh ia manusia sama sepertiku untuk apa aku takut. Kini jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal. Kain yang tadinya ku gunakan untuk menutupi luka Six mulai merosot jatuh, memperlihatkan luka di bahu dan tangan yang menganga. Dengan cepat aku mengulurkan tanganku untuk menghentikan kain itu, akan gawat jika sampai kain itu jatuh terkena lantai. Dan tepat saat itu juga Six membuka mulutnya lebar hendak menggigit tanganku, sekilas dapatku lihat gigi taring yang runcing. Aku membelalakkan mata, untung saja aku masih sempat menarik tanganku sebelum terlambat. Apa yang terjadi? Pikirku. Six adalah vampir? Bagaimana bisa vampir sepertinya masuk ke dalam basecamp zero? Bahkan para penjaga juga memperlakukanya seperti manusia biasa pada umumnya. Padahal para vampir termasuk dalam golongan elit yang masih menempati peringkat atas dalam urutan dunia.

Dengan cepat aku membalikkan badan dan menutup pintu jeruji besi milik Six. Air yang tadi ku bawa jatuh membasahi lantai.

“Siapa kau!” bentakku.

Orang didepanku menyeringai tanpa mengatakan sepatah katapun. Ia berjalan mendekati pintu, tanganya menarik pintu untuk terbuka. Tentu saja, jika kita adu kuat, aku akan kalah telak. Gadis dengan ras manusia sepertiku tak akan bisa melawan vampir sepertinya. Kini pintu milik Six terbuka lebar. Matanya memandangku lekat, seperti predator menatap mangsanya.

Aku tak bisa mati di sini, ucapku dalam hati. Perlahan aku berjalan mundur menggiringnya menuju pintu keluar. Tiba tiba ide terlintas di otakku. Basecamp Zero hanya memiliki 6 sel kamar dan seseorang yang memiliki kamar paling dekat dengan pintu keluar harus menanggung semua ini.

Begitu kami mendekati pintu keluar, dengan cepat aku membuka pintu sel milik Four dan mendorong Six masuk ke dalam. Mendengar pintu besinya yang terbuka, Four membuka perlahan matanya yang tadinya tertutup rapat. Dengan tatapan mata Six yang kosong, aku tahu yang ia kejar tak harus aku. Selama yang ada didepanya adalah seorang manusia siapapun bisa menggantikan tempatku.

“Six?” kata Four berusaha menggumpulkan kesadaranya. “Hei! Apa yang kau lakukan!” jerit Four dari dalam sel kamarnya begitu mata kami bertemu. Ia merangkak ke pojokkan kamarnya. Ia menatap ke arahku dengan tatapan benci, well aku juga membencinya. Ini merupakan salahnya semua ini harus terjadi, coba saja ia tak membuat Six mengalami luka seperti itu mungkin sampai sekarang kami bisa berteman. Ya… sepertinya harapanku akan hilang lagi, padahal aku mulai menganggap Six sebagai salah satu harapanku, rupanya aku salah. Jika wujudnya tetap seperti itu, mungkin besok para penjaga akan memindahkan ruanganya.

“Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu Four” kataku sambil mengikatkan kain yang tadi ku pegang untuk mengunci pintu Four.

Perlahan Six mulai mendekati tubuh Four yang bergetar, ia seperti tikus yang berhadapan dengan kucing. Aku di sisi lain menyaksikan pertunjukan tersebut dengan puas. Dan seperti yang ku perkirakan, Six menggigit leher Four membuat darah mengalir deras dari lehernya. Four menjerit ketakutan, ia berkali kali meronta dan berusaha melepaskan cengkraman Six. Tapi sayang, ia hanyalah manusia biasa. Lama kelamaan kesadaran Four menghilang. Sepertinya sudah cukup, pikirku sambil berjalan pergi, ini sudah tak menarik untuk di lihat. Keinginanku untuk menyembunyikan Six sudah menguap, aku sudah tak peduli dengan vampir sepertinya. Ia akan mendapatkan tempat yang lebih layak dari pada tempat ini.

Kretak….. Aku memalingkan wajahku kebelakang. Mataku membulat lebar, leher itu putus. Kepala Four kini sudah tak lagi terpasang dengan benar bersama dengan tubuhnya. Aku bergidik ngeri, begitu ku rentangkan kakiku untuk berlari pergi. Sebuah dentuman cukup keras terdengar. Tubuh Six roboh didepan mayat dengan darah yang masih bercucuran.

Aku mulai berdebat dengan diriku sendiri, apa yang harus ku lakukan sekarang? Jika Six ku biarkan seperti itu, ia akan ketahuan. Aku menatap ruangan dengan nomer 4 itu lamat, aku sudah menetapkan pilihanku, ku langkahkan kakiku pergi. Dia bukan Six yang dulu, berkali kali aku mengucapkan hal itu untuk meyakinkan diriku. Tubuhku ku rebahkan di atas lantai sel, karpet bulukku masih berada di kamar Six, tak ada waktu untuk mengambilnya. Aku berusaha memejamkan mataku, mengalihkan pikiran dari kejadian yang baru saja terjadi. Hati kecilku berkali kali menyuruhku untuk kembali, bisa jadi ia hanya terinfeksi sebentar dan ia masihlah Six yang dulu. Kemungkinan kemungkinan mustahil berkali kali berkelebat di otakku. Mengganggu usahaku untuk tertidur.

“Three…” suara lirih itu berhasil merobohkan keteguhan hatiku, dengan cepat aku melangkah keluar. Membuka ikatan kain dan menyeret tubuh Six keluar dan merebahkanya kembali ke kamarnya. Panasnya sudah turun, sepertinya aku tak perlu lagi memberinya kompres. Kain di tanganku kembali ku lilitkan untuk menutupi lukanya. Aku memang gila, aku tahu itu. Bisa saja Six menerjang tubuhku saat ini dan mengambil nyawaku, tapi entah kenapa aku memilih tinggal dan mengurus keadaanya.

Aku menatap tubuh Four yang kini terduduk lemah tak bernyawa. Dengan telaten aku menyusunya dalam posisi tidur, menutupi darah yang berceceran di lantai. Kain bajunya juga ku naikkan untuk menutupi lehernya yang patah. Untuk saat ini aku tak bisa menyingkirkan tubuhnya, jam malam, kami tak boleh berkeliaran di luar.

Dari kejauhan aku bisa mendengar langkahan kaki seseorang, dentuman menggema di sekeliling ruangan. Aku berjalan menuju kamarku sambil berjinjit, ku tatap tubuh Six yang terkulai lemah.

“Semoga saja ini hanya mimpi”, kataku sambil memejamkan mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status