Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.
“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.
“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.
“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.
“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.
“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kata Hendra lembut, berusaha menenangkan Anis. Ia memegang tangan Anis, menggenggamnya erat. “Ayo, kita kembali tidur. Semua akan baik-baik saja.”
Namun, saat Hendra mulai berbaring kembali, suara tangisan bayi samar terdengar, semakin lama semakin jelas. Keduanya saling bertukar pandang, dan Hendra tampak lebih serius. “Kita cari asal suara itu bersama. Aku yakin kalau itu bukan suara kucing,” ujarnya, suara nya lirih berbisik tapi tegas.
Dengan langkah mantap, Hendra memimpin Anis keluar dari kamar. Suasana di luar kamar terasa mencekam, gelap dan sunyi, namun suara tangisan itu seolah memanggil mereka. Sepasang lansia itu berusaha mencari sumber suara, berjalan perlahan melewati lorong yang sepi. Setiap langkah mereka terasa berat, dan Anis tetap menggenggam lengan suaminya erat-erat.
Mereka menjelajahi setiap sudut rumah, memeriksa ruang tamu yang luas, dapur yang gelap, dan bahkan menuju ke kamar almarhum Irawan yang tidak terpakai. Namun, tidak ada bayi yang mereka temukan, hanya keheningan malam dan suasana rumah yang semakin terasa aneh. Suara tangisan itu masih terus terdengar, menggema di salah satu ruang yang masih belum ditemukan.
“Pak, suara itu… dari mana?” Anis bertanya dengan nada panik, matanya berkilau penuh rasa takut.
Hendra menghentikan langkahnya sejenak, mencoba menenangkan diri dan berpikir. “Mungkin dari luar? Mari kita periksa halaman depan,” ujar Hendra "Suaranya seperti dari depan," lanjut Hendra dan Anis hanya mengangguk meskipun ketakutan masih menyelimuti hatinya.
Mereka melangkah keluar ke halaman, yang diterangi cahaya bulan purnama. Suara tangisan itu semakin jelas saat mereka mendekati pohon mangga di halaman rumah. Anis merasakan angin malam yang dingin menyentuh kulitnya, membuatnya menggigil. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan suara misterius ini, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia mulai merasa bahwa mungkin ada sesuatu yang tidak biasa.
Saat mereka sampai di depan tumpukan kardus, Hendra berjongkok dan memeriksanya. “Tidak ada siapa-siapa,” katanya dengan suara pelan, berusaha meyakinkan Anis. Namun saat Hendra mengangkat kepalanya, suara tangisan itu tiba-tiba terhenti. Kesunyian kembali meliputi mereka, dan hanya suara angin yang terdengar. Anis menggigit bibirnya, merasa ketegangan di udara.
"Kardus ini aku yang meletakkan ya tadi, lihat ini hanya berisi perlengkapan untuk membersihkan halaman." Hendra menunjukan isi kardus kepada Anis.
“Pak, sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini?” tanya Anis, suaranya bergetar.
"Aku juga tidak tahu, Buk. Sudah sejak kematian ayah dulu, aku tidak pernah kemari." Hendra menggeleng pelan.
Keduanya kembali ke dalam rumah, namun kali ini, Anis merasakan ada sesuatu yang berbeda. Suasana di dalam rumah seolah terasa lebih berat, dan aroma lembab yang khas semakin mencolok. Hendra mencoba untuk bersikap tenang dan mengajak Anis untuk duduk di ruang tamu. “Mari kita duduk sejenak. Kita akan berpikir jernih,” katanya, sambil menyusun napas.
Ketika mereka duduk, Anis tidak bisa mengalihkan pikirannya dari suara tangisan bayi yang telah mengacaukan istirahat malam mereka.
“Pak, itu kamar siapa yang ada di sana?” tanya Anis, menunjuk sebuah pintu yang terletak di ujung lorong, tepat di depan kamar mandi yang sudah lama tidak terpakai.
“Setahuku, itu gudang,” jawab Hendra, berusaha mengingat ingatan masa lalu tentang rumah itu.
“Bagaimana kalau kita memeriksanya?” Anis berkata, mengumpulkan keberanian untuk mendekati pintu tersebut. Hendra menatap istrinya sejenak, melihat ketegangan di wajah Anis, sebelum akhirnya ia mengangguk dan mengikuti langkahnya menuju pintu yang sudah hampir tiga puluh tahun lebih tidak pernah dibuka, bahkan sebelum ayah Hendra meninggal.
Hendra mengambil kunci yang menggantung di samping pintu, perlahan membuka kunci tersebut. Dengan hati-hati, ia memutar gagang pintu dan mendorongnya. Suara berdecit terdengar keras saat pintu terbuka, memperlihatkan kegelapan di dalam ruangan. Hendra menyalakan senter ponselnya, menerangi ruangan yang tampak berantakan dengan debu dan barang-barang kuno milik kakeknya yang sudah usang. Namun, tidak ada yang spesial di dalam sana.
“Sudah aku katakan tidak ada yang istimewa. Lihatlah ini, benda kuno peninggalan kakekku,” Hendra menjelaskan, tetapi pandangannya tertuju pada Anis yang tampak sedang mencari sesuatu di antara barang-barang tersebut.
“Ini kotak apa?” Anis tiba-tiba menunjuk kepada kotak besar yang terletak di depan sebuah lukisan. Kotak itu terlihat tua dan dilapisi debu, seakan sudah lama terlupakan.
“Itu kotak ranjang bayi. Itu ranjang bayiku dulu, hanya aku yang punya. Dulu kakek membelinya dari seorang Belanda lho,” kata Hendra, mencoba mengenang sejarah kotak tersebut. Namun, saat ia membuka kotak itu, wajahnya mendadak berubah. “Lho, kok… ranjangnya hilang,” katanya dengan nada bingung, memeriksa kotak yang kosong itu dengan lebih teliti.
Anis menatap kotak itu dengan cemas. “Mungkin ayah menghibahkannya ke orang yang membutuhkan,” Anis bersiap untuk pergi, menarik tangan Hendra untuk keluar dari ruangan yang menyeramkan itu.
“Masa iya, Bapak menghibahkannya?” Hendra mengernyitkan dahi, semakin bingung. Setahunya, Irawan, ayahnya, selalu menyimpan benda-benda yang dianggap penting, apalagi yang memiliki nilai sejarah, meskipun barang itu sudah rusak. Hendra merasa tidak ada alasan bagi ayahnya untuk menghilangkan ranjang bayi itu.
“Entahlah, Pak. Lagipula anak kita Rasya juga tidak akan mau kalau kita memberikan ranjang bayi bekas, meski tak kalah kualitas, ” Anis terkekeh. Ia tentu lebih tahu itu, sebab semenjak mengenal Lisa, Rasya selalu menolak pakaian atau barang pemberian Anis yang dianggap kuno dan kampung. "Ayo kembali." Ajakan Anis disambut anggukan oleh Hendra.
Saat mereka beranjak keluar dari ruangan itu, Anis merasa ada yang aneh. Suara tangisan bayi yang mereka dengar sebelumnya kembali terdengar, meski samar-samar. “Pak, menurutmu… apakah ada yang salah dengan rumah ini?” tanya Anis, tidak bisa menahan rasa takutnya.
Hendra menoleh, “Aku tidak tahu, Bu. Mungkin ini hanya efek dari tempat ini yang sudah lama tidak dihuni."
Mereka berdua keluar dari gudang yang menyeramkan itu, namun saat langkah mereka menjauh, suara tangisan seakan mengikuti di belakang mereka. Hendra dan Anis berusaha mengabaikannya, tetapi rasa cemas yang menyelimuti hati mereka semakin mendalam.
Malam semakin larut, dan suasana rumah semakin mencekam. Anis merasa gelisah, merasa ada yang mengawasi.
"Aku lelah," lirih Hendra.
"Aku juga," Anis menimpali, ia terus berjalan mengiring di belakang sang suami sampai tiba-tiba langkah Hendra terhenti, membuat Anis menabrak punggungnya.
"Ada apa?" tanya Anis bingung.
"Ranjang bayi yang kuceritakan tadi..." Hendra tidak melanjutkan ucapannya. Ia terus melihat ke dalam ruangan tengah yang belum disentuhnya. "Ranjang bayi itu ada di sana."
"Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek
Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis
Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se
Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink
Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi