แชร์

Bab 5 : Putra Yang Datang

ผู้เขียน: Eliyona
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-10-24 22:25:41

Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga.

"Slashhhhhhh!" 

Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. 

Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan, ia mendapati bahwa itu hanyalah sebuah boneka yang sudah rusak, bentuknya memang menyeramkan. Boneka itu memiliki rambut hitam, matanya bolong satu, senyumnya menyeringai dengan noda merah di wajah dan tubuhnya yang hanya tertutup kain yang compang-camping.

"Pantas saja istriku pingsan," lirih Hendra "mungkin ketika ayah baru meninggal, seseorang meletakkan ranjang bayi dan boneka ini di sini." Hendra melempar boneka menyeramkan itu serampangan. Ia kembali mengingat kalau ia menitipkan kunci di pak Kartijan, supaya sang kepala desa membersihkan rumahnya sesekali.

Tanpa membuang waktu, Hendra membopong tubuh Anis yang pingsan ke kamar, berusaha menenangkan ketegangan yang melanda mereka. Namun, sepeninggalan keduanya, boneka itu tiba-tiba bergerak lambat merangkak menuju ke ranjang bayi, sambil mengedipkan satu matanya yang masih tersisa.

---

Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela rumah tua yang baru dihuni, menerangi setiap sudut ruangan dengan kehangatan yang menyegarkan. Anis dan Hendra duduk di meja makan, sarapan sederhana tertata di meja kayu sederhana—nasi goreng sisa malam sebelumnya, dengan irisan mentimun dan telur mata sapi. Suasana tenang namun tegang terasa di antara sepasang lansia itu, terutama setelah kejadian malam sebelumnya yang membuat Anis masih merasa ketakutan. Hendra berusaha mencairkan suasana, namun pikirannya tidak bisa lepas dari kejadian aneh yang mereka alami di rumah warisan milik Irawan.

"Bagaimana kalau kita ke pasar nanti? Mungkin kita bisa beli beberapa sayuran segar untuk persediaan," saran Hendra, mencoba mengalihkan perhatian Anis dari bayangan seram semalam.

"Kita tidak memiliki kulkas di sini, aku takut sayuran itu akan busuk..."

Tiba-tiba, suara pintu diketuk, membuat perhatian keduanya teralih.  Anis dan Hendra beranjak dari kursi lalu berjalan ke arah pintu depan. Betapa terkejutnya, saat keduanya melihat Rasya, putra mereka, berdiri di ambang pintu. "Kau sendirian, Nak?" Tanya Anis sambil bergegas menghampiri dan memeluk putra semata wayangnya dengan penuh kasih. Rasya hanya mengangguk, wajahnya tampak lelah dan terbebani.

"Iya, Bu," jawab Rasya singkat. Dia terlihat ragu, seolah ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tetapi tak tahu bagaimana memulainya. Anis segera mengajak sang putra menuju dapur untuk sarapan. 

"Sarapan dulu, meski hanya lauk seadanya." Anis tersenyum, berharap bisa membuat putranya merasa nyaman. Rasya duduk dan mulai menikmati sarapannya, tetapi saat itu pula, Anis dan Hendra mulai berbicara tentang kejadian malam sebelumnya. Mereka menceritakan pengalaman mereka melihat boneka rusak yang membuat Anis pingsan.

Rasya mendengarkan dengan seksama, meski hatinya terbelah antara perhatian pada orangtuanya dan komitmennya terhadap Lisa. Dalam hati, dia merasa rindu masa-masa ketika mereka semua hidup bersama di satu atap, tanpa masalah yang membebani tentunya, tanpa perasaan tertekan akibat konflik istri dan ibunya. Namun, cintanya kepada Lisa tak dapat dibantah, dan ia merasa terpaksa untuk hidup mandiri sesuai dengan keinginan wanita yang sangat dicintainya itu. Meski harus jauh dari kedua orangtuanya.

"Bagaimana kabar istrimu?" Anis berusaha mencairkan suasana, meski hatinya merasa sedikit sakit saat membahas Lisa. Ia masih berusaha menutupi sikap buruk menantu yang mengusirnya dari rumah miliknya sendiri, di depan sang putra.

"Baik, Bu," jawab Rasya, suaranya datar. "Sebenarnya kedatangan Rasya kemari untuk memberi kabar tentang kehamilan Lisa."

Sontak, ucapan Rasya membuat Anis dan Hendra berbinar bahagia. Mereka saling bertukar pandang, senyum lebar menghiasi wajah mereka, seolah semua kesedihan dan ketegangan malam itu lenyap seketika. "Kau akan jadi ayah, Nak!" seru Hendra dengan semangat, hampir melupakan semua hal yang mengganggu pikirannya.

"Tapi baru dua minggu," lanjut Rasya.

"Kau harus menjaga istrimu, jangan sampai dia lelah. Semua keperluan untuk kehamilannya harus dipenuhi," ungkap Anis penuh perhatian, sampai-sampai ia melupakan perlakuan buruk Lisa kepadanya. "Pak, kita harus mempersiapkan semua kebutuhan untuk cucu kita." Anis mengalihkan pandangan kepada sang suami dengan senyum yang terus merekah.

Hendra mencubit gemas sang istri. "Kalau itu masih belum lah, Bu. Toh belum juga sebulan," jawabnya, mencoba mengingatkan Anis agar tidak berlebihan.

Rasya mengalihkan pembicaraan kembali ke awal di mana ayah dan ibunya berdiskusi mengenai keanehan rumah peninggalan kakeknya, Irawan. 

"Keanehan itu tadi..."

"Pembicaraan mengenai calon cucu ibu lebih membahagiakan," potong Anis, ia berusaha mengalihkan perhatian sang putra dari suasana mencekam di rumah yang dia tinggali. Alasan lain, Anis tidak mau putranya khawatir.

"Tapi aku penasaran." Rasya meletakan sendoknya lalu menatap ayah dan ibunya bergantian.

"Makan saja dulu." Anis meletakan telur setengah matang kesukaan sang putra, seakan itu adalah kode supaya Rasya melanjutkan sarapan.

Makan pagi berlanjut dalam suasana hening, setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Rasya merasakan tekanan yang semakin berat, seolah ia berada di tengah dua kekuatan yang bertentangan—cintanya kepada Lisa dan rasa tanggung jawabnya kepada orangtuanya.

Setelah sarapan, Hendra menyarankan agar mereka semua membersihkan rumah dan halaman, menghilangkan aura suram yang meliputi rumah tua itu. "Kita harus menjadikan rumah ini lebih hidup," lanjutnya.

Anis setuju, dan bersama-sama mereka mulai membersihkan rumah, mengeluarkan barang-barang lama dan debu yang menumpuk. Namun, semakin mereka membersihkan, semakin Anis merasakan ketidaknyamanan di hatinya. Seolah ada sesuatu yang menyaksikan mereka, mengintai dari balik bayangan-bayangan yang tak terlihat.

Saat mereka berada di ruang tengah, Rasya membuka sebuah jendela yang sudah lama tertutup. Cahaya matahari memasuki ruangan dengan cerah, membuat kesan ruangan menjadi terang dan tidak segelap sebelumnya.

"Kalau seperti ini, rumah ini jadi memiliki kesan classy dan menenangkan," celetuk Hendra. 

Setelah beberapa saat membersihkan, Hendra mengusulkan untuk beristirahat sejenak. Mereka duduk di kursi ruang tamu, mengisi waktu dengan bercerita tentang kenangan masa lalu di rumah itu. 

"Kamu bisa tahu alamat rumah ini darimana?" Pertanyaan tiba-tiba Anis membuat Rasya tercekat.

"Sebenarnya...," lirih Rasya. Ia merasa sulit melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa, Nak?" Anis tak sabar mendengar balasan dari Rasya.

"Aku dan Lisa terlibat pertengkaran kecil, Bu." Rasya akhirnya menceritakan kecemburuannya saat melihat Lisa bersama seorang pria muda. 

Cerita Rasya tentang Lisa bersama seorang pria yang keluar dari sebuah hotel, membuat Anis tidak bisa menahan ingatan tentang Lisa dan bagaimana sikap menantunya yang dingin membuatnya merasa diusir dari rumahnya sendiri. Dia merasa terjebak antara kebahagiaan mendengar kabar kehamilan Rasya dan kesedihan akibat perlakuan Lisa kepada Rasya.

"Maaf, Bu. Aku tahu kau merasa tidak nyaman dengan semua ini," kata Rasya, tiba-tiba menghentikan ceritanya. "Lisa mengatakan kalau dia sedang mendatangi reuni, dan pria muda itu adalah temannya. Kecemburuan membuat Rasya buta."

"Tak apa, Nak," jawab Anis, suaranya lembut meski hati kecilnya merasa sakit. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."

Ketika matahari mulai condong ke barat, mereka berempat—Anis, Hendra, dan Rasya—memutuskan untuk beristirahat sebelum melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka duduk bersama, berbincang-bincang tentang rencana ke depan dan harapan-harapan yang ada. Rasya berharap dapat membawa Lisa ke rumah itu agar semua bisa berkumpul bersama, tetapi Anis merasakan ketegangan yang lebih dalam ketika nama Lisa disebut.

"Mungkin kita harus merayakan kehamilan Lisa," ujar Hendra, tersenyum penuh harapan. "Kita bisa mengundang teman-teman dan keluarga. Ini akan menjadi momen yang membahagiakan."

"Benar. Kalau Rasya mengenal teman Lisa, kedepan insyallah tidak ada kesalahpahaman." Anis mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia meragukan apakah Lisa akan bersikap baik di hadapan mereka. Ia tak ingin terjadi konflik di hari bahagia seperti itu. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa berdoa agar semua berjalan lancar dan harapan-harapan mereka menjadi kenyataan.

Ketika malam tiba,  suasana rumah tetap terasa mencekam. Setiap suara kecil membuat Anis terloncat, dan pandangannya selalu tertuju pada ranjang bayi yang ada di ruang tengah. Rasya menyadari ibunya ketakutan, dan saat ia melihat wajah Anis, ia merasa harus melakukan sesuatu.

"Ibu kenapa?" tanya Rasya.

"Aku kira, ayahmu sudah memindah ranjang itu!" Anis menunjuk ke arah ranjang bayi berisi boneka seram.

Rasya beranjak ke arah ranjang yang ditunjuk sang ibu, sejenak ia tertegun dengan isi di dalamnya. 

"Boneka seram begini, wajar saja ibu takut." Rasya meletakan kembali boneka itu di dalam ranjang. "Aku akan menyimpannya di gudang." Anis setuju. Rasya segera mengangkat ranjang bayi itu dan bersiap membawanya ke gudang yang ada di ujung lorong.

Rasya membuka pintu bersiap memasukan ranjang bayi itu ke dalam, tapi ia kebingungan saat boneka itu tidak berada di tempatnya.

"Kok aneh?" Rasya mengernyitkan keningnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 102. Finish

    "Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 101. Hampir Finish

    Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 100. Terpaksa

    Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 99. Kembali Ke Rumah Dewi

    Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 98. Mencari Cara

    Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 97. Sosok Yang Belum Tenang

    Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status