Di dalam kamar, aku termenenung, kembali membayangi kehidupanku yang sangat melelahkan. Kini, aku dapat melihat mahluk gaib, hal itu membuatku sangat tertekan. Rasanya aku ingin menutup mata batinku. Tetapi, mengingat Dave yang memujiku kemarin, aku sekarang malah berpikir, apakah aku memang harus menghapusnya?
Saat itu, sosok gadis yang semalam muncul di pojok ruangan itu lagi. Ia menatapku dengan tatapan datar seperti tadi malam. Aku menyadari sesuatu bahwa gadis itu adalah gadis yang ada di ruang guru sebelumnya. Aku yang baru saja bangun dan duduk di kasur tentu saja menjadi ketakutan. Tapi, aku berusaha menegarkan diri.
Aku menarik napas perlahan, dan menenangkan diri. Aku pun memberanikan diri menatapnya. Gadis itu hanya diam memandangku. Sepertinya ia tidak berniat macam-macam.
“Haruskah aku menutup mata batinku?” tanyaku dengan risau.
Gadis itu kemudian tersenyum. “Terserah kamu. Kamu yang punya kendali atas dirimu.”
Wow, sebuah lontaran bijak yang diutarakan oleh makhluk tak kasat mata. Perkataannya membuat diriku terbesit dengan senyuman kecil. “Benar. Makasih.”
Gadis itu hanya mengangguk. Tak lama, wujudnya sirna bak ditiup angin.
Esok harinya, di jam istirahat aku datang ke kantin dengan langkah tak bersemangat. Usai memesan makananku, aku duduk di meja pojok yang kosong. Namun, baru saja aku duduk, aku melihat siswa di depanku sedang melihat video yang menarik perhatianku dari ponselnya.
Dia tampak sangat serius menatap layar ponselnya. Sayangnya aku tidak bisa mendengar apa yang pria itu tonton karena dia menggunakan headset. Aku memperhatikannya dengan serius hingga melupakan makanan yang tersaji di mejaku.
“Kenapa?” tanya pria itu dengan penasaran.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sayangnya aku tak bisa berbohong.
“Sorry, iya, gue penasaran sama apa yang lo tonton itu. Soalnya, gue liat sekilas kayak video horor gitu,” jawabku dengan nada lirih. Aku sangat ketakutan pada saat itu. Bagaimana jika pria ini mengamuk dan menyerangku?
“Hahaha, sudah gue duga! Gue kasih tau, ya. Sebenarnya gue lagi nonton kayak cerita horor gitu. Kalau lo penasaran, liat nih!” Ralph menyodorkan ponselnya kepadaku. Tapi, aku hanya bisa melihat orang berbicara dengan subtile tanpa bisa mendengar suara orang itu. Sepertinya Ralph lupa tidak memberikan headset-nya kepadaku.
“Liat, dia keren kan! Dia itu indigo, sering nyeritain pengalamannya tentang hal mistis gitu. Gue paling suka dengan hal-hal gini. Keren pokoknya!” ujarnya, pria itu terlihat sangat antusias menceritakan seorang wanita paruh baya yang berada di layar ponselnya itu.
“Lo suka hal-hal gitu?” tanyaku yang merasa penasaran dengan sosok Ralph ini. Sungguh.
“Suka banget, malah kalo bisa gue pengen jadi asistennya. Pasti seru deh!” jawabnya atas pertanyaanku.
Mendengarnya, membuatku hanya tersenyum getir. “Di saat gue gak pengen liat yang begituan lagi, malah ada yang pengen bisa ngeliat,” gumamku dengan pelan, tetapi entah bagaimana si Ralph bisa mendengarnya.
Ralph bangkit berdiri sembari menggebrak meja dengan cukup keras. Hal itu hampir saja membuatku terjungkal. “Maksud lo? Lo itu indigo?” tanyanya dengan mata melotot.
Aku mengatur napasku yang hampir ikut terjungkal saking kagetnya dengan tindakan pria itu yang begitu tiba-tiba. Aku meraih botol air di meja dan menegak hingga menghabiskan separuh dari air di botol tersebut.
“Bener, gue bisa ngeliat hal yang begituan.” Aku menjawab pertanyaannya dengan nada yang lirih.
Mata pria berbinar-binar, seakan-akan apa yang aku katakan itu adalah sebuah ucapan tentang keberadaan sebuah harta karun.
“Lo serius?” tanyanya.
Aku mengangguk sebagai jawabannya.
“Oh iya, nama lo Agas, ‘kan?” tanyanya sambil melirik name tag di dadaku.
Memang, pertemuan kami tidak disengaja. Bahkan kami terasa sangat dekat dalam beberapa menit. Seolah-olah, kita memang seperti sudah kenal sangat lama.
“Iya, salam kenal, ya!” kataku dengan mata berkaca-kaca. Untuk sekian lamanya akhirnya aku merasa ada yang memperhatikanku.
“Gila, coba ceritain gimana lo bisa ngebuka mata batin lo!” pinta Ralph yang sangat antusias ingin mendengarkan ceritaku.
Aku merasa ragu dengan Ralph. Jujur, bagaimana jika setelah aku mengatakannya dan Ralph tidak mempercayaiku? Lantas, dia akan menyebarkan berita aneh tentangku?
Ralph berpindah tempat duduknya ke sampingku. Dia meraih tanganku dan mendesakku untuk bercerita. Akhirnya, karena tidak tega melihatnya memohon-mohon seperti itu, aku menceritakan semuanya. Dari awal mula aku terjatuh dan kepalaku terantuk, hingga kejadian kemarin dimana ada hantu perempuan di sekolah ini.
“Kemarin? Serius lo? Lo diapain aja sama dia? Lo diajak ngomong apa lagi selain itu sama dia?” Tanpa memberiku jeda bernapas, Ralph sudah memberondongiku dengan pertanyaan bertubi-tubi.
“Satu-satu napa!” Aku memprotes Ralph yang keterlaluan banyak pertanyaannya.
Pria itu hanya cengengesan tidak jelas.
“Dia cuma bilang jangan takut. Ya gimana orang gak takut, tiba-tiba muncul gitu. Mana mukanya pucat banget dan datar. Oh iya, semalem dia juga datang ke rumah. Pas gue bilang mau nutup mata batin gue, dia bilang semua ada di kendali gue.” Aku menghela napas panjang setelah mengatakannya.
“Apa? Lo mau nutup mata batin lo? Gila, lo itu orang beruntung yang bisa buka mata batin! Jangan lah!” Ralph terlihat seperti orang yang sangat menyayangkan niatku untuk menutup mata batinku. Dia menyuapkan makanannya ke mulutnya sendiri dengan kepala menggeleng-geleng pelan.
“Beruntung? Beruntung dari mananya coba? Gue terbebani dengan semua ini!” sanggahku atas ucapan Ralph.
Ralph mengangguk paham. Pria itu sepertinya mulai mengerti dengan perasaanku.
“Hmm, gue ngerti perasaan lo, sekarang lo gak usah takut lagi. Gua bakal bantu lo!” ujar Ralph yang berhasil membuatku tersentuh.
“Makasih, Ralph. Gue bener-bener terharu. Mulai saat ini gue gak ngerasa sendirian lagi,” ucapku dengan tulus.
Sungguh, aku sangat terharu. Ternyata, hal yang membebaniku ini tidak akan aku tanggung seorang diri lagi. Ralph mengatakan bersedia membantuku. Dan ya, aku memang membutuhkan sosok seperti Ralph ini.
Tak terasa bell telah berbunyi, menandakan bahwa jam berikutnya sudah dimulai. Aku dan Ralph juga bertukar nomor telepon sebelum berpisah.
“Gue masuk kelas dulu ya, Ralph. Kapan-kapan main ke rumah gue, oke?” ucapku sebelum melangkah menuju kelasku.
“Oke, sharelock aja!”
***
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih